Imam Ghazali berkata dalam kitab Ihya Ulumiddin: “Ketahuilah, bahwasanya mendidik anak-anak kecil merupakan perkara yang sangat penting dan mendasar. Anak adalah amanah bagi kedua orangtuanya. Hatinya merupakan mutiara yang suci, berharga, dan masih kosong dari segala ukiran dan gambar (pengaruh luar).
Hati seorang anak siap menerima segala bentuk ukiran yang diukirkan padanya. Jika hatinya dipalingkan pada sesuatu maka niscaya dia akan berpaling (condong) padanya. Jika dia dibiasakan melakukan kebaikan dan diajarkan kebaikan maka dia akan tumbuh di atas pondasi kebaikan, dan dia akan berbahagia di dunia dan akhirat. Kedua orangtuanya akan ikut merasakan ganjaran pahala yang diterima olehnya kelak.
Setiap orang tua merupakan guru dan pendidik bagi anaknya. Jika anak dibiasakan melakukan keburukan dan perilakunya diacuhkan begitu saja seperti layaknya hewan ternak, maka dia akan hidup sengsara dan binasa. Sedangkan beban dosanya akan dilimpahkan pada lutut orang yang memberikan warna (nilai keburukan) kepadanya, dan juga akan dilimpahkan kepada walinya. Bagaimanapun usaha seorang ayah untuk menjaga anaknya dari api dunia, maka ketahuilah bahwasanya menjaganya dari api akhirat itu lebih utama. Menjaganya adalah dengan cara mendidik, memberikan pelajaran, mengajarkan kepadanya akhlak-akhlak yang baik, menjaganya dari teman yang berperangai buruk, tidak membiasakannya hidup mewah, dan tidak membuatnya cinta terhadap perhiasan dan kemewahan duniawi. Karena, jika sang anak mencintai dunia maka usianya akan dia sia-siakan untuk mencari kebahagiaan dunia di saat di dewasa nanti. Sehingga, dia akan binasa (celaka) selamanya.
Seorang anak harus selalu diawasi sejak dini, sejak akal pikirannya mulai tumbuh berkembang, dan di saat rasa malu pada dirinya mulai muncul. Jika seorang anak mulai malu dan meninggalkan suatu perbuatan tertentu, maka hal itu tidak lain karena cahaya akal sudah mulai terbit menyinari dirinya. Saat seperti itu adalah kabar gembira yang menunjukkan keseimbangan akal dan kesucian hatinya. Seorang anak baru akan memiliki akal pikiran yang sempurna ketika dia telah mencapai usia baligh (dewasa). Seorang anak yang pemalu tidak boleh diabaikan, akan tetapi hendaknya rasa malunya itu dibantu dan diarahkan ke arah yang positif.”
Imam Ghazali juga berkata: “Akhlak yang baik tidak akan tertanam kuat di dalam jiwa seseorang selama jiwa itu tidak dibiasakan untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik (terpuji) dan selama jiwa itu tidak meninggalkan seluruh perbuatan buruk. Akhlak yang terpuji juga tidak akan tertanam kuat di dalam jiwa seseorang jika jiwa tersebut tidak dibiasakan untuk memiliki kerinduan melakukan perbuatan-perbuatan terpuji dan menikmatinya, serta membenci perbuatan-perbuatan tercela dan merasa bersalah karenanya (karena melakukan perbuatan tercela).
Akhlak yang terpuji itu akan terwujud dengan cara membiasakan diri melakukan perbuatan-perbuatan terpuji, melihat orang-orang yang berperilaku terpuji, dan bersahabat dengan mereka. Mereka adalah sahabat dalam kebaikan dan saudara yang akan mengantarkan pada kemaslahatan. Tabiat seseorang itu biasanya tergantung pada tabiat orang lain. Demikian pula halnya dengan perbuatan baik dan buruk.
Yang paling pokok dalam mendidik anak adalah menjaganya dari sahabat-sahabat yang berperangai buruk. Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan baik dan memiliki fitrah yang baik. Kebiasaan dan pendidikanlah yang membentuk perilaku akhlaknya. Setiap kali seorang anak menunjukkan perilaku yang baik dan terpuji maka hendaknya anak tersebut dihargai, diberikan hadiah berupa sesuatu yang dapat membuatnya gembira, dan dipuji di hadapan banyak orang. Jika sang anak melakukan perbuatan buruk satu kali maka hendaknya berpura-pura tidak menghiraukan (acuh) terhadapnya.
Jika dia mengulangnya untuk kedua kali maka berikanlah teguran kepadanya secara sembunyi-sembunyi (tidak di hadapan orang lain). Jangan sering-sering menegurnya di setiap kesempatan, karena hal itu membuatnya merasa rendah (hina) dan teguran itu akan membekas pada hatinya. Seorang ayah hendaknya harus tetap memiliki wibawa di hadapan anak, yaitu dengan cara tidak menjelek-jelekkannya (mencercanya).”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar Anda