Rabu, 30 September 2009

Hukum Mendoakan Orangtua Yang Non-Muslim

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, mohon pencerahan; apakah doa seorang anak muslim untuk orangtuanya yang non muslim akan diterima oleh Allah swt.? Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
S. Abdullah


Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Terima kasih atas pertanyaan dan perhatiannya. Pertanyaan Anda sangat menarik, hanya saja Anda tidak menyebutkan jenis doa yang Anda maksud, apakah doa agar orangtua diampuni Allah ataukah agar mereka mendapat hidayah? Tetapi tidak masalah, saya akan mencoba menjawabnya dengan menjelaskan hukum berdoa untuk kedua orangtua yang non-Muslim dengan dalil-dalil Al-Qur`an dan Hadits.


Berbakti kepada kedua orangtua merupakan satu amaliah yang diwajibkan oleh Allah swt.. Hal ini didasarkan pada sejumlah ayat yang menyandingkan penyebutan nama kedua orangtua dengan penyebutan nama Allah swt., seperti disebutkan dalam firman Allah swt.:

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Israa` [17]: 23)


Bahkan, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa berbakti kepada kedua orangtua termasuk amaliah yang paling dicintai Allah swt.. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra., dia berkata: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw.: ‘Amaliah apa yang paling dicintai Allah?’ Rasulullah menjawab: ‘Shalat pada waktunya.’ ‘Lalu apa lagi?’, tanyaku. Beliau menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orangtua.’ ‘Lalu apa lagi?’, tanyaku. Beliau menjawab: ‘Jihad fii sabilillaah (di jalan Allah).’”


Salah satu cara berbakti kepada kedua orangtua adalah dengan mendoakannya, yaitu mendoakan agar mereka diampuni dosa-dosanya dan dirahmati oleh Allah swt., seperti diperintahkan dalam firman Allah:

“Dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku (di) waktu kecil.’” (QS. Al-`Israa` [17]: 25)


Doa untuk kedua orangtua yang merupakan upaya untuk berbakti kepada keduanya itu tidak hanya harus dilakukan saat mereka masih hidup, tetapi juga ketika mereka sudah meninggal dunia, seperti disabdakan oleh Baginda Rasulullah saw. dalam sebuah hadits yang berbunyi:

Diriwayatkan dari Abu `Usaid Malik bin Rabi’ah as-Sa’idi ra., bahwa dia berkata: “Ketika kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah, tiba-tiba seorang lelaki dari Bani Salamah mendatangi beliau, kemudian dia bertanya: ‘Wahai Rasulullah, masih adakah (kewajiban) berbakti kepada ibu-bapakku setelah keduanya meninggal?’ Rasulullah menjawab: ‘Ya, (masih ada), (yaitu) menshalatkan keduanya, memohonkan ampunan untuk keduanya, melaksanakan janji mereka berdua setelah keduanya (wafat), menjalin hubungan silaturahim (kekerabatan) yang tidak akan tersambung kecuali melalui keduanya, dan menghormati teman keduanya.’” (HR. Abu Dawud, 4/336 (5142)


Hanya saja, perlu digarisbawahi bahwa hal itu boleh dilakukan bila kedua orangtua kita beragama Islam. Tetapi bila ternyata keduanya (atau salah satunya) tidak beragama Islam, maka kita dilarang untuk memohonkan ampunan untuknya. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt.:

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam.” (QS. At-Taubah 9: 113)


Memang doa seperti itu pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim as.. Dalam Al-Qur`an disebutkan bahwa beliau pernah memohonkan ampunan untuk ayahnya yang masih kafir, namun permohonan ampunan itu tidak lain hanyalah karena suatu janji yang beliau ikrarkan kepada sang ayah dengan harapan agar sang ayah mau meninggalkan penyembahan terhadap berhala. Ketika jelas bahwa sang ayah tetap pada kekafirannya, Nabi Ibrahim pun meninggalkan perbuatan tersebut. Hal ini seperti dijelaskan dalam firman Allah swt.: “Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang hamba yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At-Taubah [9]: 114)


Berdasarkan dalil-dalil tersebut, jelaslah bahwa memohonkan ampunan untuk orangtua yang non-muslim hukumnya haram. Namun, perlu digarisbawahi pula bahwa bila orangtua kita yang non-muslim itu masih hidup, maka kita dianjurkan untuk mendo’akannya agar beliau (mereka berdua) diberi hidayah oleh Allah swt.. Hal ini pernah dilakukan oleh Baginda Rasulullah saw. saat beliau mendoakan pamannya, Abu Thalib, agar diberi hidayah oleh Allah swt.. Wallaahu A’lam….

Aku Datang Menghadap-Mu, Ya Allah

Hanya kepada-Mu-lah aku memohon perlindungan, dan siapakah dzat yang dapat memberikan perlindungan selain-Mu?

Maka, berilah perlindungan kepada orang yang lemah, yang berlindung dengan perlindungan-Mu.

Sesungguhnya aku adalah orang yang lemah, yang memohon pertolongan kepada Dzat Yang Maha Kuat.

(Aku memohon ampunan atas) dosaku dan kedurhakaanku terhadap sebagian kekuatan (kekuasaan)-Mu.

Ya Tuhanku, sungguh aku telah berdosa, dan sungguh dosa-dosaku telah menyakitkan hatiku.

Tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosaku itu kecuali Engkau.

Kehidupan dunia (milik)-Mu telah memperdayai diriku, dan pemberian maaf-Mu sangat aku harapkan.

Apa dayaku guna menghadapi (masalah) ini dan itu?

Jika hatiku ragu-ragu (mengenai hal itu), maka berarti ia belum mengimani

kemurahan ampunan-Mu, alangkah sesatnya ia dan alangkah durhakanya ia kepada-Mu.

Wahai Dzat yang dapat melihat segala penglihatan tetapi penglihatan-penglihatan itu,

tidak dapat mencapai-Nya ataupun menjangkau-Nya.

Apakah mata (manusia) dapat melihat-Mu padahal mata (manusia) memiliki batas tertentu,

yang bisa dijangkaunya, dan sungguh batas jangkauannya itu tidak sampai kepada-Mu.

Jika mataku tidak dapat melihat-Mu,

Maka, sesungguhnya aku dapat melihat tanda-tanda kekuasaan-Mu dalam segala sesuatu.

Wahai Dzat yang menumbuhkan pohon-pohonan yang berbau wangi,

Sungguh bau wangi yang semerbak itu hanyalah percikan dari bau wangi-Mu.

Wahai Dzat yang mengirimkan burung-burung yang terbang di udara,

Yang pengetahuannya tentang cara terbang itu merupakan ilham dari-Mu.

Wahai Dzat yang mengalirkan sungai-sungai, dimana mengalirnya sungai-sungai itu,

tidak lain hanyalah respon dari sebagian perintah (seruan)-Mu.

Ya Tuhanku, sekarang aku telah melepaskan diri dari keinginan (hawa nafsu)ku,

Dan sungguh hati yang memiliki keinginan ini datang menghadap(-Mu) untuk (memenuhi) keinginan-Mu.

Aku telah meninggalkan kedekatanku terhadap kehidupan dunia dan hal-hal menyenangkan yang ada di dalamnya,

Dan aku telah menemukan kedekatan yang sesungguhnya saat aku bermunajat (berdoa) kepada-Mu.

Aku telah melupakan cintaku dan telah menjauhkan diri dari orang-orang yang aku cintai,

Dan aku telah melupakan diriku sendiri karena aku khawatir akan melupakan-Mu.

Aku telah merasakan cinta sebagai sesuatu yang pahit, dan aku tidak pernah merasakan cinta,

wahai Tuhanku, sebagai sesuatu yang manis sebelum aku benar-benar mencintai-Mu.

Wahai Tuhanku, dulu aku merasakan ada sebuah penutup,

yang menyelimuti hatiku hingga aku tidak dapat mengenal-Mu.

Tetapi wahai Tuhanku, sekarang aku telah menghapus (menghilangkan) penutup itu,

Dan dengan hati yang dapat melihat, kini aku mulai dapat melihat-Mu.

Wahai Dzat Yang Maha Mengampuni dosa yang besar dan Maha Menerimal

taubat hati yang bertaubat dan bermunajat kepada-Mu.

Apakah mungkin Engkau akan menolak taubat orang itu dan menolak taubatku yang sungguh-sungguh,

Sungguh tidaklah mungkin Engkau akan menolak taubat orang yang bertaubat kepada-Mu, sungguh tidaklah mungkin!

Aku tidak peduli apakah orang-orang akan ridha (senang) ataukah benci kepadaku,

Karena aku hampir tidak pernah berusaha untuk mencari keridhaan kecuali keridhaan-Mu.

Wahai Tuhanku, aku datang kepada-Mu dalam keadaan menyesal dan menangis,

Atas dosa-dosa yang telah aku perbuat terhadap-Mu.

Aku takut kepada saat-saat yang menakutkan, yaitu ketika amal perbuatanku diperlihatkan kepada-Mu,

Dan aku takut kepada-Mu, yaitu ketika aku berjumpa dengan-Mu.

Wahai Tuhanku, aku kembali ke pangkuan-Mu dalam keadaan aku bertaubat,

Pasrah dan memegang teguh tali (agama)-Mu.

Mengapa aku harus memikirkan dan menginginkan harta orang-orang yang kaya, sementara Engkau,

wahai Tuhan Pemilik kekayaan, sungguh kekayaan-Mu tidak terbatas.

Mengapa aku harus memikirkan dan menginginkan harta orang-orang yang kuat, sementara Engkau, #

wahai Tuhanku dan Tuhan seluruh manusia, alangkah kuatnya diri-Mu.

Mengapa aku harus memikirkan dan menginginkan pintu-pintu kerajaan (maksudnya kekuasaan), sementara Engkau,

adalah Dzat yang menciptakan seluruh kerajaan dan membagi wilayah kekuasaan masing-masing.

Sesungguhnya aku telah mendatangi setiap tempat kembali yang ada dalam kehidupan ini,

Dan sungguh aku tidak melihat satu tempat kembali pun yang lebih mulia daripada tempat kembali-Mu.

Diriku telah mencari jalan-jalan menuju keselamatan,

Dan ternyata diriku tidak menemukan satu jalan keselamatan pun kecuali jalan keselamatan-Mu.

Aku telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencari kebahagiaan,

Dan ternyata rahasia dari kebahagiaan itu terletak pada ketakwaan kepada-Mu.

Aku berdoa kepada-Mu, wahai Tuhanku, agar Engkau mengampuni dosa-dosaku,

Serta menolongku dan memberikan kepadaku petunjuk-Mu.

Maka, terimalah doaku dan kabulkanlah harapan-harapanku,

Sungguh tidak pernah merugi sedikitpun orang yang berdoa dan berharap kepada-Mu.

Wahai Tuhanku, zaman ini (maksudnya orang-orang pada zaman sekarang ini) telah menyimpang, yaitu ketika,

Engkau menundukkan untuknya dunia-Mu, wahai Tuhanku.

Dan Engkau mengajarkan kepadanya sebagian dari ilmu-Mu yaitu ilmu tentang atom,

Yang belum pernah Engkau ajarkan sebelumnya, tetapi ternyata mereka malah memusuhi-Mu.

Mereka telah tertipu hingga mereka mengira bahwa alam semesta ini,

bisa menjadi seperti ini berkat kecerdasan manusia, bukan berkat karunia-Mu.

Atau manusia tidak menyadari bahwa semua hal (kemajuan) yang,

telah mereka capai merupakan bagian dari nikmat-nikmat-Mu.

Atau manusia tidak menyadari bahwa sesungguhnya jika,

Engkau menghendaki, niscaya Engkau akan menyembunyikan atom-atom di tempat persembunyian yang Engkau tentukan.

Jika Engkau menghendaki, wahai Tuhanku, niscaya Engkau akan menjatuhkan rudal-rudal mereka,

Atau jika Engkau menghendaki, niscaya rudal-rudal itu tidak dapat bergerak.

Wahai manusia, sadarlah dan ingatlah,

Dan bersyukurlah kepada Tuhanmu atas karunia yang telah diberikan kepadamu.

Bersujudlah kepada Tuanmu (Tuhanmu) Yang Maha Kuasa,

Karena sesungguhnya semua yang telah dicapai oleh ilmu pengetahuan adalah berasal dari Tuanmu itu.

Dialah Allah, yang telah memberikan kepadamu kelebihan atas seluruh makhluk lainnya,

Sungguh Dia telah menciptakanmu dan mengaruniakan kepadamu nikmat akal yang dapat berfikir.

Sesungguhnya atom-atom dan elektron-elektron yang ada di alam ini,

telah diciptakan Allah saat Dia menciptakanmu.

Sungguh kamu tidak mampu untuk melepaskan satu atom pun dari kumpulan atom-atom itu,

Seandainya Allah tidak memberikan kekuatan kepadamu.

Semua hal menakjubkan (di bidang ilmu pengetahuan) merupakan hasil karya akal manusia,

yang merupakan ciptaan Allah, Dzat yang telah menyempurnakan penciptaanmu.

Akal tidaklah mampu untuk mengetahui sesuatu jika,

Allah tidak memberikan kepadanya pengetahuan (tentangnya).

Minggu, 27 September 2009

Ad-Dars Ats-Tsaamin (Pelajaran Kedelapan)-Level Dua

Pada bagian conversation pelajaran kedelapan ini, kita akan belajar tentang cara menawar harga suatu barang. Sedangkan pada bagian grammer dan translation, kita akan belajar tentang isim faa’il.
Isim faa’il adalah kata benda yang menunjukkan pelaku (orang yang melakukan suatu perbuatan).
Cara membuat isim faa’il adalah dengan menambahkan huruf alif setelah huruf pertama (pada kata kerja past tense), lalu harakat huruf keduanya diganti kasrah.
Bila huruf kedua (pada kata kerja past tense) adalah huruf alif (seperti pada contoh terakhir: baa’a / menjual), maka pada ism faa’il-nya, huruf tersebut diganti dengan huruf hamzah.
Dalam prakteknya, terkadang isim faa’il ini dapat digunakan untuk menggantikan kata kerja present, seperti pada lafazh أَيْنَ أَنْتَ ذَاهِب؟ (Aina anta dzaahib? / Kemana kamu hendak pergi?), yang dapat digunakan untuk menggantikan ungkapan أَيْنَ أَنْتَ تَذْهَب؟ (Aina anta tadzhab? / Kemana kamu hendak pergi?)

Untuk mendownload pelajaran kedelapan ini, klik judul tulisan!

Kemuliaan Seorang Wanita

Di antara kisah menarik tentang kemuliaan wanita adalah seperti yang diceritakan oleh Al-‘Atabi, yaitu bahwa dia pernah berjalan kaki menyelusuri jalan-jalan yang ada di Bashrah. Tiba-tiba dia melihat seorang wanita yang termasuk wanita yang paling cantik dan manis, sedang bercanda dengan seorang laki-laki tua yang buruk rupa. Setiap kali wanita itu berbicara kepada laki-laki tersebut, dia pun tertawa di hadapan wajahnya.

Al-‘Atabi menceritakan: “Aku pun berusaha untuk mendekati wanita itu, lalu aku bertanya kepadanya: ‘Apa status laki-laki ini bagimu?’

Dia menjawab: ‘Dia adalah suamiku.’

Aku pun bertanya lagi: ‘Bagaimana mungkin kamu bisa bersabar dalam menghadapi keburukan rupa laki-laki ini, padahal kamu adalah wanita yang sangat cantik? Sungguh ini benar-benar menakjubkan!!’

Dia berkata: ‘Wahai Saudaraku, aku berharap barangkali ketika laki-laki itu dikaruniai diriku, dia pun bersyukur. Sebaliknya, ketika aku dikaruniai dirinya, aku pun bersabar. Orang yang bersabar dan orang yang bersyukur adalah termasuk penghuni surga. Bukankah dengan demikian, berarti aku telah ridha terhadap apa yang telah ditetapkan Allah untukku?’

Sungguh jawaban wanita itu membuatku tak berkutik, karena itu aku pun pergi dan meninggalkannya.” (Footnote: Tuhfah Al-‘Aruus, hal. 147.)

Kamis, 24 September 2009

Hukum Menikah Dengan Orang Seadat

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Semoga Ustadz selalu dalam lindungan Allah swt.. Ustadz, saya ada beberapa pertanyaan:

1. Hukum pernikahan dalam Islam itu seperti apa?

2. Setahu saya, dalam Islam itu tidak ada larangan menikah dengan orang yang tidak seadat dengan kita, tetapi mengapa terkadang adat itu lebih kuat atau lebih dijunjung daripada hukum agama? Saya pernah bertanya kepada seorang ustadz, dan kata beliau dalam Islam itu dianjurkan menikah dengan orang jauh.

3. Di dalam adat saya ada aturan spt itu Ustadz, orang tua saya juga kuat dengan itu, sedangkan saya sudah kurang respect lagi dengan orang adat saya. Dengan pengalaman-pengalaman yang ada membuat saya kurang respect kepada mereka. Orang tua saya menganggap bahwa adat kami yang paling baik, adat daerah lain dianggapnya kurang baik dan terlarang. Saya mohon bimbingannya Ustadz. Saya yakin bahwa Allah swt. menciptakan semua ini dalam keadaan yg baik, tidak ada adat yg lebih baik ataupun sebaliknya. Semoga rahmat dan hidayah Allah swt. selalu tercurah untuk kita semua. Aamiin
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Nu….


Jawaban

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

1. Hukum pernikahan dalam Islam adalah sunah karena pernikahan dianggap sebagai sarana yang dapat mencegah seorang Muslim dari perbuatan zina, sesuai dengan sabda Rasulullah saw.: “Wahai kaum muda, barangsiapa di antara kalian mampu untuk menikah, maka hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya pernikahan itu lebih dapat menundukkan pandangan matanya dan lebih dapat menjaga kemaluannya.” Bahkan, hukum pernikahan bisa menjadi wajib bila seseorang sudah mampu menikah sementara dirinya khawatir terjerumus ke dalam perbuatan zina.

2. Sebenarnya dalam Islam tidak ada anjuran untuk menikah dengan orang jauh (jauh dari segi tempat, bukan jauh dari segi hubungan kekerabatan). Yang ada, hanyalah larangan untuk menikah dengan orang yang memiliki hubungan kekerabatan sangat dekat, seperti seorang laki-laki menikah dengan saudara perempuannya, keponakannya, anaknya, cucunya, dan wanita-wanita lain yang diharamkan, baik karena hubungan kekerabatan, hubungan sesusuan, maupun hubungan perkawinan. Mungkin anjuran untuk menikah dengan orang jauh, seperti yang dikatakan oleh sebagian orang, dimaksudkan agar seseorang terhindar dari kemungkinan pernikahan dengan wanita yang masih memiliki hubungan kekerabatan ataupun hubungan-hubungan lain seperti yang telah saya sebutkan di atas, sementara dirinya tidak tahu bila dirinya memiliki hubungan seperti itu dengan wanita yang akan dinikahinya.

3. Memang tidak ada larangan untuk menikah dengan orang yang tidak seadat, karena yang menjadi dasar paling utama bagi laki-laki untuk memilih wanita adalah faktor agama, seperti yang disabdakan Rasulullah saw.: “Wanita itu (biasanya) dinikahi karena empat hal; karena hartanya, karena kecantikannya, karena keturunannya, dan karena agamanya. Maka, pilihlah wanita yang agamanya baik, niscaya kamu akan beruntung.” Dalam hadits ini, Rasulullah saw. sangat menekankan faktor agama, bukan faktor yang lain, termasuk faktor adat. Inilah aturan yang telah ditetapkan oleh Islam.


Namun, terkadang orang tua memiliki pertimbangan tertentu karenanya dirinya menghendaki hal yang terbaik untuk anaknya. Bila memang orang itu memiliki pertimbangan yang baik seperti itu, sementara saran yang diajukannya tidak bertentangan dengan ketentuan syariat (yaitu dengan memperhatikan kriteria agama seperti disebutkan di atas), maka tidak ada salahnya bila sang anak mau mengikuti saran orangtuanya. Namun, itu hanya boleh sebatas saran, bukan paksaan. Sebaliknya, bila saran tersebut bertentangan dengan ketentuan syariat (karena hanya mempertimbangkan faktor adat dan sama sekali tidak memperhatikan faktor agama), maka sebaiknya sang anak menolak saran tersebut, tetapi dengan cara yang halus dan sopan.


Mengenai anggapan bahwa adat tertentu lebih baik daripada adat-adat yang lain, saya hanya ingin mengingatkan hadits Rasulullah saw.: “Ingatlah bahwa tidak ada keunggulan bagi orang Arab atas orang non-Arab, dan tidak ada keunggulan bagi orang non-Arab atas orang Arab, kecuali dengan tingkat ketakwaannya.” Wallaahu A’lam….

Selasa, 22 September 2009

Doa Nabi Sulaiman

Suatu hari, Nabi Sulaiman as. mengadakan perjalanan (untuk berperang) bersama seluruh pasukannya, baik dari kalangan manusia, jin, burung ataupun binatang buas. “Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: ‘Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.’ Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdo’a: ‘Ya Rabbku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.’” (QS. An-Naml [27]: 18-19)

Nabi Sulaiman as. dapat memahami perkataan semut tersebut kepada saudara-saudaranya. Sungguh ini adalah sebuah karunia khusus yang belum pernah dikaruniakan Allah swt. kepada seorangpun. Maka, beliau pun memohon kepada Tuhannya agar dirinya diberi ilham dan petunjuk serta dibantu untuk selalu mensyukuri nikmat-nikmat yang telah dikaruniakan kepada dirinya dan juga kepada ibu bapaknya. Lalu beliau berharap agar dirinya selalu diberi petunjuk untuk melakukan amal yang shaleh dan diterima Allah. Kemudian beliau memohon kepada Allah agar dirinya dibangkitkan (pada hari kiamat nanti) bersama golongan hamba-hamba-Nya yang shaleh, mematikan dirinya dalam keadaan tetap berada pada jalan dan jejak orang-orang yang shaleh, serta menggabungkan dirinya bersama mereka di dalam surga-Nya dan naungan rahmat-Nya. Ini merupakan doa yang mengandung permohonan agar seseorang diwafatkan dalam keadaan khusnul khatimah. Doa Nabi Sulaiman as. ini mengandung tiga macam pengharapan:

Pertama: Pengharapan agar dirinya dibantu untuk selalu mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang telah dikaruniakan kepadanya dan juga kepada kedua orangtuanya. Di sini, Nabi Sulaiman as. tidak merasa cukup hanya dengan meminta bantuan agar dirinya selalu mensyukuri nikmat-nikmat yang khusus diberikan kepada dirinya saja. Hal ini disebabkan karena nikmat-nikmat yang dikaruniakan Allah kepada kedua orangtua beliau juga akan sampai kepada dirinya (dirasakan olehnya). Ini menunjukkan bahwa beliau termasuk ke dalam golongan orang-orang yang sempurna rasa syukurnya kepada Allah.

Kedua: Pengharapan agar dirinya dapat melakukan amal shaleh yang diridhai Allah, karena terkadang ada perbuatan yang termasuk katagori amal shaleh tetapi ternyata perbuatan tersebut tidak diridhai Allah karena ia tidak dilakukan dengan ikhlas atau tidak berdasarkan sunnah (aturan) para nabi. Dalam pengharapan seperti itu terkandung pengingkaran terhadap bid’ah dan para pelaku bid’ah.

Ketiga: Pengharapan agar dirinya mendapatkan kedudukan atau derajat orang-orang yang dekat (dengan Allah), orang-orang yang lebih dulu (segera) melakukan kebaikan dan orang-orang pilihan (yang terbaik). Sungguh Allah swt. telah mengaruniakan kepada Nabi Sulaiman as. apa yang beliau inginkan. Maha Suci Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Baik.

Ad-Dars As-Saabi’ (Pelajaran Ketujuh)-Level Dua

Bila pada pelajaran sebelumnya kita belajar kata perintah untuk kata ganti orang kedua tunggal laki-laki ( أَنْتَ ), pada pelajaran ketujuh ini kita akan belajar kata perintah untuk kata ganti orang kedua tunggal perempuan dan kata ganti orang kedua jamak.


v Untuk kata ganti أَنْتَ , huruf terakhir dimatikan.

v Untuk kata ganti أَنْتِ , setelah huruf terakhir ditambahkan huruf ya (ii).

v Untuk kata ganti أَنْتُمْ , setelah huruf terakhir ditambahkan huruf wawu (uu).

v Untuk kata ganti أَنْتُنَّ , setelah huruf terakhir ditambahkan huruf nuun (na).

Untuk mendownload pelajaran ketujuh, klik judul tulisan!

Jumat, 18 September 2009

Pernikahan Puteri Sa’id bin Musayyib

Khalifah Abdul Malik bin Marwan memiliki seorang putera. Dia meminta kepada puteri Sa’id bin Musayyib untuk menjadi isteri bagi puteranya, Al-Walid bin Abdul Malik, yang dicalonkan sebagai khalifah sepeninggal ayahnya nanti. Tetapi ulama besar itu (Sa’id bin Musayyib) menolak lamaran tersebut. Sang Khalifah pun merayunya dengan menggunakan harta, tetapi Sa’id bin Musayyib tetap tidak mau. Akhirnya, Sang Khalifah mengancamnya, tetapi Sa’id bin Musayyib sama sekali tidak takut terhadap ancaman tersebut. Pada suatu pagi, Abdullah bin Abi Wada’ah mengetuk pintu rumah Syeikh Sa’id bin Musayyib. Abdullah adalah seorang yang selalu menghadiri majlis Syeikh Sa’id dan mengikuti pelajaran-pelajaran yang disampaikannya. Tetapi selama beberapa hari, dia telah absen. Dia pun masuk dan langsung duduk.


Syeikh Sa’id bertanya kepadanya: “Kenapa kamu absen?” Abdullah menjawab: “Isteriku meninggal dunia, karena itu aku pun sibuk mengurusi pemakamannya.” Syeikh Sa’id berkata: “Mengapa kamu tidak memberitahu kami hingga kami pun dapat menghadiri pemakamannya?” Di akhir pembicaraan, Abdullah hendak berdiri (untuk pulang). Tetapi junjungan pada tabi’in, Syeikh Sa’id, berkata kepadanya: “Apakah kamu telah menemukan wanita lain sebagai penggantinya?” Abdullah menjawab: “Semoga Allah merahmatimu. Adakah orang yang mau menikahkan puterinya denganku, karena aku ini orang yang tidak memiliki apa-apa kecuali dua atau tiga dirham saja!” Syeikh Sa’id berkata: “Akulah orangnya!” Abdullah pun terkejut, lalu dia bertanya: “Engkau akan melakukan hal itu?” Syeikh Sa’id menjawab: “Ya.”


Kemudian Syeikh Sa’id berkata: “Panggillah beberapa orang Anshar ke sini!” Setelah mereka datang, Syeikh Sa’id pun memuji Allah dan membaca shalawat Nabi saw., lalu dia menikahkan Abdullah (dengan puterinya) dengan mahar sebesar 3 dirham. Sungguh hanya dengan tiga dirham saja!! Itulah mahar seorang anak perempuan yang hendak dipinang oleh Khalifah Abdul Malik untuk putera mahkotanya dengan mahar emas, berapapun yang ia mau!!


Setelah itu, Abdullah pulang ke rumahnya. Saat itu, dia sedang berpuasa. Dia berbuka puasa hanya dengan menggunakan sepotong roti dan minyak. Tidak lama kemudian, ada seseorang yang mengetuk pintu rumahnya. Abdullah pun membuka pintu, dan ternyata dia mendapati Syeikh Sa’id telah berada di depan pintu. Abdullah pun terkejut, lalu dia berkata: “Mengapa engkau tidak menyuruh orang untuk memanggilku saja, niscaya aku akan mendatangimu.” Syeikh Sa’id menjawab: “Sungguh kamu lebih pantas untuk didatangi, karena tadinya kamu adalah seorang laki-laki yang menduda, dan sekarang kamu sudah menikah. Karena itu, aku pun tidak mau kamu melewati malam ini seorang diri. Ini isterimu!!” Syeikh Sa’id bergeser sedikit, dan ternyata pengantin perempuan telah berdiri di belakangnya dalam keadaan tertutup (mengenakan hijab). Syeikh Sa’id pun menyuruhnya maju ke arah pintu, lalu dia menyerahkannya kepada Abdullah, dan setelah itu dia pun pergi. Tidak lama kemudian, para tetangga berdatangan (guna memberikan ucapan selamat).


Abdullah menceritakan: “Ketika aku masuk untuk menemuinya (di dalam kamar), ternyata dia adalah wanita yang paling cantik, paling hapal Kitabullah (Al-Qur`an), paling mengetahui Sunah Rasulullah, dan paling mengetahui tentang hak-hak suami. Jika ada satu masalah, kemudian para ahli fikih tidak mampu untuk menemukan jawabannya, maka aku menemukan jawaban itu pada isteriku. Aku bertanya kepadanya tentang ilmu (pengetahuan)nya berkaitan dengan masalah tersebut.” (Munkaraat Al-Afraah, karya sekelompok ulama Al-Azhar, hal. 95, cet. Maktabah At-Tau’iyyah.)

Rabu, 16 September 2009

Lama Masa Haid

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, saya ingin bertanya adakah aturan dalam Islam mengenai batas lamanya menstruasi sehingga diperbolehkan sholat dan puasa? Maksud saya jika menstruasinya itu tinggal flek-flek coklat saja itu berapa hari batasannya hingga boleh shalat dan puasa lagi? Demikian ustadz pertanyaan saya, mohon penjelasannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Endraningrum



Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Mengenai lamanya masa haid, ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih. Kurang lebih ada sekitar enam atau tujuh pendapat, tetapi di sini saya hanya menyebutkan empat pendapat saja:


Pertama, Imam Hanafi berpendapat bahwa masa haid paling cepat adalah tiga hari tiga malam. Sedangkan masa paling lama adalah sepuluh hari sepuluh malam. Menurut pendapat ini, bila ada darah yang keluar dari alat kelamin wanita dalam waktu kurang dari tiga hari tiga malam atau lebih dari sepuluh hari sepuluh malam, maka darah tersebut tidak dikatagorikan sebagai darah haid, melainkan darah istihadhah. Darah istihadhah adalah darah penyakit yang tidak menghalangi seorang wanita dari kewajiban shalat dan puasa. Artinya, bila seorang wanita mengalami hal itu, maka dia masih harus tetap menunaikan shalat dan menjalankan ibadah puasa.


Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Umamah, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Masa haid paling lama untuk perawan ataupun janda adalah tiga hari, sedangkan masa paling lama adalah sepuluh hari.” (HR. Tabarani dan Daruquthni)


Kedua, menurut Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, masa haid paling cepat adalah satu hari satu malam, masa standar (pada umumnya) enam atau tujuh hari, sedangkan masa paling lama adalah lima belas hari lima belas malam. Bila lebih dari itu, maka darah yang keluar dari kelamin wanita tersebut dianggap sebagai darah istihadhah. Pendapat ini sesuai dengan perkataan Ali bin Abi Thalib ra., “Masa haid paling cepat adalah satu hari satu malam, dan bila lebih dari lima belas hari maka darah yang keluar menjadi darah istihadhah.”


Ketiga, menurut Imam Malik, masa haid paling cepat adalah sekejap saja. Oleh karena itu, bila seorang wanita mendapatkan haid meskipun hanya dalam sekejap itu, maka puasa, shalat dan thawafnya batal.


Keempat, tidak ada batas minimal ataupun batas maksimal haid. Jadi, selama keluar darah atau selama masih ada darah, maka darah itu dianggap sebagai darah haid. Karenanya, wanita yang mengalaminya tidak dibolehkan shalat dan puasa. Pendapat ini merupakan pendapat Ad-Darimi yang diikuti oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah swt., “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu suatu kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci.” (QS. al-Baqarah [2]: 222). Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari-semalam, ataupun tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat (alasan) hukumnya adalah haid, yakni ada atau tidaknya. Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah suci (tidakhaid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid tersebut.


Saya pribadi lebih cenderung pada pendapat kedua, yaitu pendapat Imam Syafi’I dan Imam Hanbali. Jadi menurut saya, bila setelah melewati masa 15 hari ternyata masih ada darah atau flek yang keluar, maka darah tersebut bukan darah haid melainkan darah istihadhah. Karenanya, wanita yang mengalaminya harus segera mandi junub dan menunaikan shalat. Wallaahu A’lam….

Selasa, 15 September 2009

Isteri Ideal

Pada suatu hari, seorang laki-laki shaleh yang bernama Tsabit bin Ibrahim tengah berada di sebuah jalan. Tiba-tiba jatuhlah sebutir buah apel dari sebuah kebun. Dia pun mengambil buah apel itu, lalu dia memakan separohnya. Tetapi kemudian, dia teringat bahwa buah itu bukan haknya. Maka, dia segera menemui tukang kebun dan berkata kepadanya: “Aku telah memakan separoh buah apel ini, maka ikhlaskanlah apa yang telah aku makan, dan ambillah separohnya lagi!” Tukang kebun itu menjawab: “Aku tidak berhak untuk mengikhlaskannya karena kebun itu bukan milikku, tetapi milik majikanku!” Tsabit bertanya: “Di mana rumah majikanmu itu hingga aku mendatanginya dan meminta keikhlasan darinya?” Tukang kebun itu menjawab: “Jarak antara tempatmu ini dengan tempatnya membutuhkan waktu satu hari satu malam.” Tsabit berkata: “Aku akan pergi ke tempatnya meskipun aku harus menempuh perjalanan jauh, karena sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda: ‘Setiap tubuh yang tumbuh dari makanan yang haram, maka sungguh neraka lebih pantas baginya.’” Tsabit pun pergi ke pemilik kebun tersebut. Dia mengetuk pintu rumah pemilik kebun, dan seorang laki-laki pun membukakan pintu untuknya. Tsabit berkata: “Berilah keikhlasan kepadaku untuk apel yang telah aku makan, dan ini separohnya lagi (yang belum aku makan)!”

Pemilik kebun tersebut memandangi Tsabit, lalu dia berkata: “Aku tidak akan memberikan keikhlasan kepadamu kecuali dengan satu syarat.” Tsabit bertanya: “Apa itu?” Pemilik kebun berkata: “Kamu harus menikahi puteriku!” Mendengar itu, Tsabit pun bergembira. Tetapi tidak lama kemudian, Sang Pemilik kebun menyebutkan ciri-ciri puterinya itu, maka Tsabit berkata: “Aku menerima lamaran puterimu itu (walau bagaimanapun kondisinya), dan aku akan menyerahkan kekurangannya itu kepada Tuhanku.”

Ayah perempuan yang hendak dinikahi itu memanggil dua orang saksi untuk menyaksikan akad nikah. Tidak lama kemudian, Sang Pemilik kebun menyuruh puterinya untuk memasuk kamar pengantin yang telah disiapkan. Tsabit juga ikut masuk ke dalam kamar tersebut, lalu dia berkata dalam hatinya: “Aku akan mengucapkan salam kepadanya meskipun aku tahu bahwa dia itu tuli. Biarlah para malaikat yang menjawab ucapan salamku itu!” Tsabit pun mengucapkan salam kepadanya, dan ternyata wanita itu menjawab ucapan salam Tsabit. Lalu dia berdiri di hadapan Tsabit dan meletakkan tangannya di atas tangin Tsabit. Tsabit berkata (dalam hatinya): “Apa yang sesungguhnya terjadi? Dia membalas ucapan salamku, berarti dia itu tidak bisu. Dia mendengar ucapan salamku, berarti dia itu tidak tuli. Dia bisa berdiri, berarti dia itu tidak lumpuh. Dia juga bisa mengulurkan tangannya, berarti dia itu tidak buta.”

Tsabit pun berkata kepadanya: “Sesungguhnya ayahmu telah memberitahukan kepadaku bahwa kamu itu tuli, bisu, lumpuh dan buta, tetapi ternyata aku tidak melihat sedikitpun apa yang diberitahukan oleh ayahmu itu.” Wanita yang telah menjadi isteri Tsabit itu menjawab: “Sesungguhnya ayahku telah memberitahukan kepadamu bahwa aku ini buta. Benar, aku adalah orang yang buta dari hal-hal yang haram, karena sesungguhnya mataku tidak pernah melihat hal-hal yang diharamkan Allah. Aku ini tuli dari hal-hal yang tidak membuat Allah ridha. Aku ini bisu karena lisanku tidak bergerak kecuali untuk berdzikir kepada Allah. Aku ini lumpuh karena kakiku tidak pernah mengantarkanku kepada hal-hal yang dapat membuat Allah murka.” Ketika Tsabit melihat wajah isterinya itu, ternyata wajahnya seperti bulan purnama. Tsabit pun menggaulinya hingga lahirlah darinya seorang anak laki-laki yang ilmunya memenuhi seluruh penjuru bumi. Dialah Abu Hanifah.

Isteri Ideal

Pada suatu hari, seorang laki-laki shaleh yang bernama Tsabit bin Ibrahim tengah berada di sebuah jalan. Tiba-tiba jatuhlah sebutir buah apel dari sebuah kebun. Dia pun mengambil buah apel itu, lalu dia memakan separohnya. Tetapi kemudian, dia teringat bahwa buah itu bukan haknya. Maka, dia segera menemui tukang kebun dan berkata kepadanya: “Aku telah memakan separoh buah apel ini, maka ikhlaskanlah apa yang telah aku makan, dan ambillah separohnya lagi!” Tukang kebun itu menjawab: “Aku tidak berhak untuk mengikhlaskannya karena kebun itu bukan milikku, tetapi milik majikanku!” Tsabit bertanya: “Di mana rumah majikanmu itu hingga aku mendatanginya dan meminta keikhlasan darinya?” Tukang kebun itu menjawab: “Jarak antara tempatmu ini dengan tempatnya membutuhkan waktu satu hari satu malam.” Tsabit berkata: “Aku akan pergi ke tempatnya meskipun aku harus menempuh perjalanan jauh, karena sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda: ‘Setiap tubuh yang tumbuh dari makanan yang haram, maka sungguh neraka lebih pantas baginya.’” Tsabit pun pergi ke pemilik kebun tersebut. Dia mengetuk pintu rumah pemilik kebun, dan seorang laki-laki pun membukakan pintu untuknya. Tsabit berkata: “Berilah keikhlasan kepadaku untuk apel yang telah aku makan, dan ini separohnya lagi (yang belum aku makan)!”

Pemilik kebun tersebut memandangi Tsabit, lalu dia berkata: “Aku tidak akan memberikan keikhlasan kepadamu kecuali dengan satu syarat.” Tsabit bertanya: “Apa itu?” Pemilik kebun berkata: “Kamu harus menikahi puteriku!” Mendengar itu, Tsabit pun bergembira. Tetapi tidak lama kemudian, Sang Pemilik kebun menyebutkan ciri-ciri puterinya itu, maka Tsabit berkata: “Aku menerima lamaran puterimu itu (walau bagaimanapun kondisinya), dan aku akan menyerahkan kekurangannya itu kepada Tuhanku.”

Ayah perempuan yang hendak dinikahi itu memanggil dua orang saksi untuk menyaksikan akad nikah. Tidak lama kemudian, Sang Pemilik kebun menyuruh puterinya untuk memasuk kamar pengantin yang telah disiapkan. Tsabit juga ikut masuk ke dalam kamar tersebut, lalu dia berkata dalam hatinya: “Aku akan mengucapkan salam kepadanya meskipun aku tahu bahwa dia itu tuli. Biarlah para malaikat yang menjawab ucapan salamku itu!” Tsabit pun mengucapkan salam kepadanya, dan ternyata wanita itu menjawab ucapan salam Tsabit. Lalu dia berdiri di hadapan Tsabit dan meletakkan tangannya di atas tangin Tsabit. Tsabit berkata (dalam hatinya): “Apa yang sesungguhnya terjadi? Dia membalas ucapan salamku, berarti dia itu tidak bisu. Dia mendengar ucapan salamku, berarti dia itu tidak tuli. Dia bisa berdiri, berarti dia itu tidak lumpuh. Dia juga bisa mengulurkan tangannya, berarti dia itu tidak buta.”

Tsabit pun berkata kepadanya: “Sesungguhnya ayahmu telah memberitahukan kepadaku bahwa kamu itu tuli, bisu, lumpuh dan buta, tetapi ternyata aku tidak melihat sedikitpun apa yang diberitahukan oleh ayahmu itu.” Wanita yang telah menjadi isteri Tsabit itu menjawab: “Sesungguhnya ayahku telah memberitahukan kepadamu bahwa aku ini buta. Benar, aku adalah orang yang buta dari hal-hal yang haram, karena sesungguhnya mataku tidak pernah melihat hal-hal yang diharamkan Allah. Aku ini tuli dari hal-hal yang tidak membuat Allah ridha. Aku ini bisu karena lisanku tidak bergerak kecuali untuk berdzikir kepada Allah. Aku ini lumpuh karena kakiku tidak pernah mengantarkanku kepada hal-hal yang dapat membuat Allah murka.” Ketika Tsabit melihat wajah isterinya itu, ternyata wajahnya seperti bulan purnama. Tsabit pun menggaulinya hingga lahirlah darinya seorang anak laki-laki yang ilmunya memenuhi seluruh penjuru bumi. Dialah Abu Hanifah.

Minggu, 13 September 2009

Ad-Dars As-Saadis (Pelajaran Keenam)-Level Dua

v Pada pelajaran ini, kita akan belajar tentang fi’il amr (kata perintah), baik pada bagian conversation, grammer ataupun translation. Tak henti-hentinya, saya berharap agar Anda mau melatih conversation yang telah diajarkan, baik dengan istri/suami, anak, saudara, guru, ataupun teman.


v Fi’il amr (kata perintah) dibentuk dari kata kerja bentuk present (fi’il mudhaari’). Seperti dapat dilihat pada tabel, huruf paling depan dibuang, kemudian diganti dengan huruf hamzah dan huruf paling akhir dimatikan.


v Pada kolom kedua (huruf paling depan dihilangkan), bila huruf yang berada di tengah berharakat fathah (a) atau kasrah (i), maka huruf hamzah yang ditambahkan pada kolom ketiga berharakat kasrah (i). Tetapi bila huruf yang berada di tengah tersebut berharakat dhommah (u), maka huruf hamzah yang ditambahkan pada kolom ketiga berharakat dhommah (u).

Untuk mendownload pelajaran keenam ini, klik judul tulisan!

MENCINTAI-MU

Cintaku kepada-Mu melebihi cintaku pada diriku

Kucintai Engkau dengan sepenuh hati dan segenap jiwa

Kepastian cintaku takkan terbayar oleh apapun

Kepastian cintaku akan menggoyahkan apa saja

Wahai kasih yang terkasih, singkaplah tabir cinta-Mu hanya untukku


Demikian luasnya alam ini Engkau ciptakan, ya Allah. Mulai dari benda yang terkecil yang kukenal hingga benda angkasa yang paling besar. Tiada kata yang dapat diucapkan untuk menggambarkan betapa dalamnya kemuliaan cinta-Mu kepadaku. Ketika malam diganti siang, dan cerah siang diselimuti hening malam, disaat itu pula kasih dan sayang-Mu merasuk ke seluruh alam. Setiap detik-detik yang ku lalui tak pernah luput dari cinta kepada-Mu ya Allah. Silih berganti hidup dan mati juga merupakan wujud cinta-Mu kepadaku.


Walaupun tidak semua orang merasakan cinta-Mu, tetapi tak pernah luput cinta-Mu kepadaku. Engkau berikan segala-galanya kepadaku, tanpa pernah meminta bayaran sebagai ganti imbal jasa-Mu. Sungguh dahsyat cinta itu, hingga melebihi kedahsyatan apa saja. Udara yang setiap saat kuhirup, sebagai penyambung kehidupan, juga merupakan wujud cinta-Mu kepadaku. Akan tetapi kekerdilan jiwa dan kekerasan hati inilah yang membekukan rasa cintaku kepada-Mu. Tak pernah sekalipun Engkau membiarkan aku terpencil sendiri tanpa ada yang menemani. Jika saja setiap diri mengerti, maka dia akan berkata bahwa kami tak sendiri, ada Engkau yang menemani, mencintai dan dicintai.


Pancaran sinar mata-Mu membias keseluruh alam, menerobos setiap celah-celah kehidupan, menerangi jalan yang gelap, menunjuki jalan yang sesat. Tetapi sekali lagi hati ini tak mampu untuk menatap sinar mata-Mu, apalagi nekat memantulkannya lagi. Sungguh hampa pandanganku hingga tak sanggup untuk melihat relung-relung kasih yang memancar dari mata-Mu. Lambaian tangan-Mu menyapaku setiap saat ketika hendak mengawali kehidupan ini. Mengolah kasih, merajut sayang, tak kenal henti apalagi hilang tanpa sebab yang pasti. Tetapi sekali lagi, jiwa ini terkungkung dan terselubung oleh kecurigaan, tertutup kebodohan, terpenjara dalam ketidak pastian, hingga kelembutan belaian tangan-Mu tak terasa walau telah mengalir deras di sekujur tubuh, bahkan wahai Kasih… lambat laun mulai hilang. Senyum-Mu wahai sayang… merona mekar di setiap pagi, seraya menyapa diriku. Engkau simpulkan keindahan senyum itu dalam satu kata, bahwa Kamu sesungguhnya mencintaiku. Setiap kali kuingat senyum itu, setiap saat pula mencuat rindu hendak bertemu. Tak pernah sesaatpun Engkau tampik diriku dengan kemurkaan atau kebencian. Hingga aku merasa sungguh tak berdaya, jika senyum-Mu kusia-siakan. Engkau dekat, bahkan sangat dekat dengan diriku, karena Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau……….


لاَ إِلَهَ إِلا اللهُ

ُOleh: Jump Backer

Source: http://www.ponpesalhusna.wordpress.com

Apakah Najis ”Anjing” Menular?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Saya mau tanya, mohon pencerahannya. Misal pada saat bertamu di tempat orang yang memiliki anjing, lalu anjing itu menginjak sandal kita, apakah sandal itu menjadi najis? Kemudian jika memegang sandal kemudian tangan kita memegang benda lain, apakah benda tersebut juga ikut najis? Dan jika benda lain itu diletakkan di atas benda lain apakah benda tersebut najis juga? Demikian pula seterusnya, apakah najisnya berpindah?
Noer Eka
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Jawaban:


Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan Anda di atas, saya pernah menjelaskan tentang hukum kenajisan anjing. Penjelasan itu dapat Anda lihat kembali pada pembahasan berjudul ”Saat Membersihkan Najis Anjing, Bisakah Tanah Diganti Sabun?” yang diterbitkan di website ini pada tanggal 18 Juli 2009. Agar lebih jelas, sebaiknya Anda melihat langsung pembahasan tersebut dengan mengklik link berikut: http://mediasilaturahim.com/?p=654


Namun, di sana saya hanya menjelaskan perbedaan pendapat di antara para ulama tentang sejauh mana kenajisan anjing, apakah hanya sebatas air liurnya saja, beberapa bagian dari anjing, atau seluruh tubuhnya? Saya lupa menjelaskan bahwa suatu najis tidak akan berpindah ke benda yang tersentuh olehnya kecuali bila salah satunya dalam keadaan basah. Tetapi bila najis itu kering, sementara benda yang tersentuh olehnya juga kering, maka najis itu tidak dapat berpindah ke benda tersebut.


Dari sini, maka bila kita mengikuti pendapat Imam Maliki yang menyatakan bahwa yang najis pada tubuh anjing hanyalah air liurnya saja, ataupun pendapat Imam Hanafi bahwa yang najis hanyalah air liur, mulut dan kotorannya saja, maka sandal yang terinjak oleh kaki anjing tidak berubah menjadi najis.


Bila kita mengikuti pendapat Imam Syafi’i dan Imam Hanbali yang menyatakan bahwa seluruh bagian tubuh anjing adalah najis, maka sandal itu akan berubah menjadi najis bila sandal tersebut atau kaki anjing yang menginjaknya berada dalam keadaan basah. Tetapi bila kedua-duanya berada dalam keadaan kering, maka sandal tersebut tidak najis. Demikian pula seterusnya, bila sandal yang sudah menjadi najis atau tangan kita yang menyentuhnya dalam keadaan basah, maka tangan kita akan menjadi najis. Tetapi bila kedua-duanya dalam keadaan kering, maka najis itu tidak akan berpindah dari sandal tersebut ke tangan kita. Wallaahu A’lam….

Rabu, 09 September 2009

Islam Agama Toleransi

Peperangan telah terjadi antara kaum Muslimin dengan pasukan Salib. Dalam peperangan itu, Allah swt. memberikan pertolongan-Nya kepada kaum Muslimin dan panglima perang mereka, Shalahuddin Al-Ayyubi. Setelah peperangan selesai, Shalahuddin mendengar teriakan dan tangisan seorang wanita: “Aku ingin bertemu dengan panglima kalian yang bernama Shalahuddin!”

Shalahuddin: “Apa yang kamu inginkan, wahai wanita?”

Sang wanita: “Pasukanmu telah menahan suamiku dalam peperangan yang terjadi antara kami dengan kalian, lalu mereka mengambil anakku.”

Shalahuddin: “Sesungguhnya suamimu telah datang untuk memerangi kami dan menjajah negeri kami. Sungguh bukan kami yang memulai peperangan!”

Sang wanita: “Lalu bagaimana dengan anakku yang masih kecil, wahai pemimpin kaum Muslimin?”

Shalahuddin: “Apakah kamu tahu siapa nama orang yang mengambil anak itu darimu?”

Sang wanita: “Aku tidak tahu!”

Shalahuddin: “Wahai pasukan, carilah anak wanita ini dan bawalah ke sini sekarang juga!”

Sang wanita: “Itu dia anakku. Terima kasih, wahai Panglima yang penyayang. Terima kasih banyak!”

Shalahuddin: “Sesungguhnya Islam adalah agama yang penuh toleransi, penyayang dan adil. Ia tidak pernah memerintahkan kami untuk membunuh kaum wanita, anak-anak dan orang-orang yang sudah tua. Selain itu, kami tidak berperang kecuali untuk membela kebenaran dan kami tidak mau tunduk kepada penguasa yang zhalim atau melampaui batas. Inilah ajaran-ajaran agama kami, wahai wanita!”

Sang wanita: “Aku harap engkau mau memaafkan suamiku, karena sebenarnya dia adalah seorang laki-laki yang baik dan tidak menyukai peperangan. Mereka telah menipunya dengan mengatasnamakan Salib hingga akhirnya dia pun ikut berperang bersama mereka.”

Shalahuddin: “Wahai pasukan, sungguh aku telah memaafkan orang itu. Cepat bebaskan dia!”

Sang wanita: “Terima kasih, wahai Panglima yang agung!”

Shalahuddin: “Berterima-kasihlah kepada Allah, karena Dia-lah yang telah menyelamatkan suamimu!”

Sang wanita: “Sesungguhnya agama kalian lebih baik daripada agama kami. Apa yang harus dilakukan oleh orang yang ingin masuk ke dalamnya?”

Shalahuddin: “Imanilah bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah! Lalu lakukanlah apa yang diperintahkan Islam dan jauhilah apa yang dilarangnya!”

Sang wanita: “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”

Shalahuddin: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan mereka dari api neraka dan memasukkan mereka ke dalam agama Islam.”

Minggu, 06 September 2009

Tadriibaat (Latihan) 1 – Level Dua

Pada pertemuan keenam ini, kita akan mengadakan latihan pertama untuk level dua. Seperti biasanya, latihan ini terdiri dari tiga bagian, yaitu pilihan (multiple choise), percakapan (conversation) dan terjemah (translation). Khusus untuk conversation, bila Anda memiliki lawan bicara, maka sebaiknya salah satunya membaca pertanyaan yang ada, sementara yang lain menjawabnya. Bila Anda menemukan kesulitan dalam mengerjakan latihan ini, Anda dapat menghubungi saya melalui email atau facebook fatkhurozi@gmail.com

Bagi rekan-rekan kita yang baru bergabung, sebaiknya saya sarankan agar mengikuti pelajaran bahasa Arab ini dari awal, atau dari level satu (Tutorial Bahasa Arab I). Untuk mendownload file tadriibaat ini, klik judul tulisan!

Kisah Alqamah: Bahaya Durhaka Kepada Ibu

‘Alqamah adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw, yang taat, wara’ kuat beribadah dan rajin pula berderma. Ibunya masih hidup; rupanya beliau ini setelah berumah tangga, kurang memerhatikan ibunya. Karena itu, terpaksalah sang Ibu mondok sendirian, dan hal ini berlalu beberapa lama, sedang sang ibu belum juga mendapat santunannya menurut semestinya. Maka akibat dari pada itu, sang ibunda beliau agak kecewa dan berhati kecil terhadap anaknya ‘Alqamah yang kurang memeperhatikan dirinya itu.

Akhirnya pada suatu hari, ‘Alqamah jatuh sakit keras sehingga sanak saudara kaum familinya telah memenuhi rumahnya. Hanya Ibunya yang belum hadir. Sementara Alqamah dalam keadaan sakaratul maut, maka di antara yang hadir menalqinkan kalimat tauhid; LA ILAAHA ILLALLAH. Namun beliau tidak dapat mengikutinya, dan hal itu di ulang berkali-kali, namun ‘Alqamah belum juga dapat menirukannya, malah mulutnya tertutup dan ia membungkam seribu bahasa, hanya kelihatan susah dan gelisah dengan matanya yang membelalak kemabukan, seakan-akan ia minta tolong. Semua sahabat handaitolannya keheran-heranan, sebab mereka tahu benar bahwa ‘Alqamah ini seorang sahabat Nabi yang taat dan wara’, dan menurut mereka ia adalah teladan yang baik dicontoh selama hayatnya. Maka dari itu merekapun bingung sambil saling berbisik-bisik tanya menanya, mengapa beliau ini demikian, padahal ia adalah seorang sahabat Nabi yang shaleh.

Sementara itu, sebahagian sahabat yang hadir segera melaporkan kejadian ini kepada Rasulullah Saw., dan baginda mengutus beberapa sahabat pula untuk menjenguk ‘Alqamah dan melihat keadaan ‘Alqamah dari dekat, serta mencoba menalqinkan kalimat TAUHID lagi. Namun sesampainya mereka ditempat pembaringan Alqamah dan setekah mencoba menalqinkan kalimah Tauhid itu, perobahan Alqamah tidak ada sama sekali, malah nampaknya tambah gelisah dan tambah menakutkan pula.

Akhirnya dijemputlah Rasulullah Saw., dan beliaupun hadir di depan ‘Alqamah sahabat beliau yang setia itu. Dengan hati yang cemas penuh kasih sayang, Baginda menalqinkan kalimah tauhid, tetapi sayang seribu sayang ‘Alqamah dari pada mengikut, malah ia menggelengkan kepalanya. Nabipun tertegun dan kemudian menayakan pada hadirin, “Apakah Alqamah ini masih mempunyai Ibu kandung?” Hadirin ada yang menjawab “Masih ada”. Kemudian Beliau bertanya, “Di mana Ibu itu?” Istrinya menjawab, “Di sana, di dusun itu. Dia mondok sendirian, ya Rasulullah.”

Maka Rasulullah minta hadirkan Ibundanya itu. Setelah tiba, Nabipun lalu menanyakan kepadanya tentang hal ihwal Alqamah.

Dalam dialog itu ternyata sang Ibu ini ada berkecil hati atas sebahagian tindakan anaknya ini pada dirinya, setelah ia berumah tangga dan sampai detik ini, ia belum suka memaafkannya, meskipun Nabi sendiri telah memintanya.

Maka Nabi kita akhirnya memerintah para sahabat dan hadirin untuk mengumpulkan kayu api unggun dan minyaknya, tatkala itu sebahagian bertanya, buat apa ya Rasulullah, nabi menjawab dengan nada tegas : “Untuk membakar Alqamah ini, sebab lebih baik kita bakar sekarang saja bulat bulat dari pada kelak dibakar juga dalam api neraka jahannam.”

Mendengar putusan Nabi itu, Ibu kandung Alqamah tidak tega, bila anak kandungnya itu sampai dipanggang di matanya sendiri. Dari itu ia segera mendapatkan Nabi dan berkata “Wahai junjungan alam, janganlah dibakar anakku ini, biarlah kumaafkan segala kesalahannya itu dan aku relakan segala pengorbananku untuknya. Sembari ia naik saksi bahwa: Aku mengakui bahwa tiada Tuhan selain dari pada Allah, dan aku mengakui bahwa Muhammad benar benar Rasul-Nya. Dan untuk hadirin aku bersaksi bahwa benar benar anakku Alqamah ini, segala kesalahannya telah kumaafkan dan telah kurelakan.

Saat itu Nabi menyuruh sahabat untuk melihat Alqamah, ternyata sedang menarik nafasnya yang terakhir sambil mengucapkan kalimat tauhid, dengan muka yang jernih dan mata yang sayu memandang dengan bibir yang tersenyum : tersungging di bibir itu kalimat Thaiyibah :
لآاِلـهَ اِلاَّاللهُ

Ia kembali dengan tenang dan wajah berseri seri.

إِنَّاِلله وَإِنَّاإِلَيْـهِ رَاجِعُوْنَ

Alqamah telah kembali ke Rahmatullah dengan tenang.

Demikian satu contoh yang dapat kita ambil I’tibar betapa besar nilai Ibu bapak dalam diri sang anak kandungnya. Benar benar Maha Agunglah Allah dan Maha Pengampun.

(Diambil dari buku “Tanggung Jawab Keluarga” karya Buya Usman Husni/Pendiri Ponpes Al-Husna)

Download buku “Tanggung Jawab Keluarga”, klik:

http://www.ziddu.com/download/6285313/TanggungJawabKeluarga.zip.html

Kamis, 03 September 2009

Hukum Onani & Masturbasi

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak ustadz, saya mau curhat dan minta pencerahannya. Saya wanita masih brumur 21 tahun. Saya kadang-kadang melakukan masturbasi kalau saya merasa terangsang. Saya sudah berusaha menahan, cuman ga bisa. Akhirnya, saya pun langsung pergi ke kamar, dan terjadilah masturbsi tersebut dengan jari-jari saya sendiri. Apakah yg saya lakukan ini dosa?? Dosa besar atau kecil pak?? Untuk menebus dosa itu dengan cara apa?? Setelah melakukan masturbasi, apakah saya diwajibkan mandi besar atau tidak pak? Untuk mengendalikan hawa nafsu agar tidak mengulangi perbuatan tersebut, bagaimana caranya? Saya merasa berdosa setelah melakukan masturbsi, tapi apalah daya sudah terlanjur terjadi. Saya tidak bisa menikah karena saya masih menuntut ilmu dan saya juga belum menemukan orang yang cocok dan belum siap berumah tangga…Jadi cara ini tidak bisa saya lakukan.

Dimohon penjelasannya agar saya bisa menjauhi dan tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut. Terima kasih sebelumnya saya ucapkan..

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

B,…..


Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Mengenai hukum onani atau masturbasi, memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum perbuatan tersebut adalah haram dan termasuk dosa besar. Mereka mendasarkan pendapat itu pada firman Allah dalam QS. Al-Mu’minuun ayat 5-7:

“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap istrinya atau hamba sahaya, Mereka yang demikian itu tak tercela. Tetapi barangsiapa mau selain yang demikian itu, maka mereka itu orang-orang yang melewati batas.”


Selain mendasarkan pada ayat tersebut, mereka juga menganggap orang yang melakukan onani atau masturbasi sebagai orang yang telah menyalurkan hasrat seksualnya bukan pada tempat (dengan cara) yang benar. Menurut mereka, hal seperti itu jelas tidak diperbolehkan.


Ada pula ulama yang memperbolehkan onani atau masturbasi ini dengan alasan bahwa mani adalah sesuatu yang lebih, karenanya boleh dikeluarkan. Bahkan, hal itu diibaratkan seperti memotong daging yang lebih. Pendapat ini didukung oleh Imam Hanbali dan Ibnu Hazm.


Imam Hanafi juga mengharamkan onani atau masturbasi, hanya saja beliau membolehkannya dalam kondisi-kondisi sebagai berikut: takut berbuat zina atau karena tidak mampu menikah sementara hasrat seksual sangat berlebihan hingga sulit dibendung.


Meskipun ada perbedaan pendapat seperti itu, alangkah baiknya bila kita mengikuti pendapat yang mengharamkan perbuatan onani atau masturbasi tersebut. Apalagi menurut sebagian penelitian, dampak negatif dari perbuatan tersebut lebih besar daripada manfaatnya. Atau paling tidak, kita mengikuti pendapat Imam Hanafi yang membolehkannya hanya dalam kondisi-kondisi tertentu. Hal itu tidak lain adalah demi kehati-hatian, agar kita tidak terjerumus dalam perbuatan yang tidak diridhai Allah swt..


Seseorang yang terpaksa melakukan onani atau masturbasi, dia diwajibkan mandi junub bila sampai keluar air mani. Mengenai hukum ini, Anda dapat membaca kembali pada pembahasan tentang hukum air mani, dengan cara mengklik link berikut: http://mediasilaturahim.com/?p=522


Untuk mengendalikan hawa nafsu, bila belum memungkinkan untuk menikah, maka saya sarankan Anda untuk rajin-rajin berpuasa. Sebab, puasa merupakan perisai yang dapat membendung hasrat seksual seseorang, seperti disabdakan oleh Baginda Rasulullah saw.:

وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka hendaknya dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu akan menjadi perisai baginya.”


Atau seperti dikatakan oleh para psikolog, Anda bisa juga meredam hasrat seksual Anda yang berlebihan itu dengan cara memperbanyak aktifitas seperti olahraga ataupun aktifitas-aktifitas lainnya, lalu hindari tontonan-tontotan atau bacaan-bacaan yang dapat membangkitkan hasrat seksuat. Mudah-mudahan dengan melakukan aktifitas-aktifitas seperti itu, pikiran anda untuk melakukan masturbasi dapat berkurang.


Adapun mengenai penebusan dosa, perlu diketahui bahwa dalam Islam tidak ada cara lain untuk menebus dosa kecuali dengan cara bertaubat. Untuk mengetahui cara bertaubat, baca artikel berjudul “Cara Bertaubat” yang ada di website ini. Silahkan baca artikel tersebut dengan mengklik link berikut: http://mediasilaturahim.com/?p=894

Rabu, 02 September 2009

Tafsir Surah Al-Maa’uun

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ، فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ، وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ، فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ، الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ، الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ، وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS. Al-Maa’uun [107]: 1-7)


Laa yahudhdhu (tidak menganjurkan), maksudnya adalah tidak membantu.

Fawailun (maka kecelakaanlah), maksudnya adzab yang pedih.

Yuraa`uun (berbuat riya`), maksudnya adalah menampakkan hal yang berbeda dengan apa yang sebenarnya ada dalam bathin mereka.

Al-Maa’uun (barang-barang berguna), maksudnya adalah barang-barang yang bermanfaat yang biasa dipertukarkan di antara orang-orang.


Akhlak yang baik (mulia) merupakan buah dari keimanan kepada Allah dan hari Akhir. Orang yang tidak beriman akan memiliki hati yang keras; dia tidak mau menyayangi anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang fakir. Allah akan menyiksa orang seperti ini dengan siksaan yang pedih.

Siksaan yang pedih juga akan diterima oleh orang yang bermalas-malasan dalam mengerjakan shalat dan mengakhirkan pelaksanaan shalat hingga waktunya habis, dan juga orang yang shalat dengan niat agar dirinya dipandang sebagai orang yang rajin shalat. Orang seperti ini adalah orang munafik.

Hal serupa juga akan dialami oleh orang yang bakhil, yang tidak mau memberikan bantuan atau pertolongan kepada orang lain, baik bantuan berupa tenaga maupun barang-barang yang bermanfaat.

Surah ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa keimanan tidak hanya berhubungan dengan aspek ibadah semata, tetapi juga berkaitan dengan aspek sosial. Atau dengan kata lain, di samping berhubungan dengan hablun minallaah (hubungan vertikal/hubungan dengan Allah), keimanan juga berkaitan dengan hablun minan-naas (hubungan horizontal/hubungan dengan sesama manusia). Keimanan seseorang tidak dianggap sempurna bila dia tidak menjaga hubungan yang baik dengan sesama manusia, salah satunya dengan cara menyantuni yatim piatu dan menolong fakir misikin atau orang yang membutuhkan.

Panduan Zakat

وأقيموا الصلاة وآتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين

Dan dirikanlah shlat dan tunaikanlah zakat dan rukuklah bersama orang yang rukuk (Qs. Al-baqarah [2]: 43)

Makna Zakat: Zakat artinya kesucian dan kebersihan. Menurut syara’, zakat adalah mengeluarkan sebahagian harta atau bahan makanan utama menurut ketentuan dan ukuran yang ditentukan syari’at. Zakat disyari’atkan pada tahun ke II H. Bagi yang tidak mengeluarkan zakat, maka akan diseterika dengan seterika api neraka di akhirat kelak, sesuai hadis Abu Hurairah ra dalam riwayat Bukhari dan Muslim.


Orang-orang yang tidak berhak menerima zakat:

a. Orang kaya yang punya harta benda atau uang banyak

b. Budak/hamba yang ditanggung majikannya (Qin dan Mudabbir)

c. Keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthallib

d. Orang kafir (non Muslim)

e. Orang yang kuat berusaha, dan usahanya telah mencukupinya

f. Orang-orang yang berada dalam tanggungan.



Orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik/ashnaf):

a. Fakir : Orang yang tidak punya harta, tidak punya usaha, tidak punya penanggung belanjanya dan tidak tercukupi kebutuhannya. (al-baqarah : 273)

b. Miskin : Orang yang punya harta atau usaha, tapi belum mencukupi kebutuhan. (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

c. ‘Amil : Orang yang mengurusi zakat dan tidak menerima upah selain dari kepengurusan zakat. (HR Bukhari dari Abu Hamid as-Saidi)

d. Muallaf : Orang yang baru masuk Islam dan mengalami masalah dalam pembiayaan kebutuhannya. (HR Muslim dari Rafi’ ibn Khadij)

e. Hamba : Budak yang dijanjikan majikannya merdeka, tetapi tidak punya biaya untuk menebusnya.

f. Gharim : Orang yang berhutang di atas kemampuan yang hutangnya bukan dalam maksiat. (HR Ahmad dan Abu Daud dari Anas)

g. Fi sabilillah : Orang yang sedang berjuang di jalan Allah (perang atau menuntut ilmu) dan dia sendiri tidak punya gaji atau bayaran tertentu.

h. Ibn sabil : Orang yang sedang dalam perjalanan untuk kebaikan meninggalkan tanah airnya (perjalanan ke medan peperangan atau perjalanan menuntut ilmu), diberikan zakat sebagai bekal dalam perjalanannya.


Jenis-jenis zakat: Zakat terbagi 2, yaitu : Zakat maal (harta) dan zakat fitrah.



Zakat Maal (Harta)

Zakat maal (harta) hanya wajib atas orang yang kaya saja, sesuai keterangan rasulullah saw dalam hadis Abdullah Ibn Abbs, ketika rasul saw mengutus Mu’az ibn Jabal ke Yaman riwayat Bukhari dan Muslim yaitu,


إن الله فرض عليهم صدقة تؤخذ من أغنيائهم وترد على فقرائهم

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan zakat atas mereka (penduduk Yaman), yang dipungut dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin mereka.”


Harta-harta yang wajib dikeluarkan zakatnya:

1. Ternak (unta, sapi/lembu/kerbau, kambing/domba): Syarat-syaratnya : a. Orangnya muslim b. Merdeka bukan hamba c. Milik sendiri secara sempurna, bukan titipan atau sewaan d. Cukup nisabnya e. Dimiliki selama setahun f. Digembalakan di tempat yang mubah

2. Emas dan Perak: Syarat-syaratnya : a. Muslim b. Merdeka c. Milik sempurna d. Sampai nisabnya (emas : 93,6 gram/2,5 %. Perak : 624 gram/2,5 %) e. Sampai setahun disimpan

3. Tanam-tanaman dan buah-buahan: Syarat-syaratnya : a. Muslim b. Merdeka c. Milik sempurna d. Tanaman atau buahan tersebut mengenyangkan e. Tanaman atau buahan tersebut dapat disimpan lama f. Sampai nisabnya (yang diirigasi : 5 %, non irigasi : 10 %) g. Telah panen

4. Harta perniagaan: Syarat-syaratnya sama dengan syarat-syarat pada emas dan perak

5. Harta Rikaz (harta terpendam): Syaratnya dikeluarkan zakat saat ditemukan dengan hitungan 20 %

6. Benda yang ditambang: Syaratnya sama dengan zakat emas dan perak, yaitu telah sampai setahun dan nisabnya 93,6 gram, persentase zakatnya 2,5 %.

Selain benda-benda tersebut, ternyata dalam kehidupan sekarang telah lahir berbagai jenis usaha/pekerjaan/profesi dan jasa yang zakatnya perlu dikeluarkan. Sebab nilai dari pekerjaan/usaha/profesi/jasa tersebut telah mencukupi kebutuhan dan bahkan berlebihan. Untuk itu dibutuhkan ijtihad, karena tidak ditemukan aturannya dalam nas-nas Al-Quran atau Hadis. Selain itu difahami dari keumuman (‘Am) ayat yang terkandung dalam surat al-Baqarah : 267.

Mengenai segala usaha (tambak, kebun teh, karet, sawit, kopi, peternakan ayam, bebek, kelinci, dsb), industri-industi yang tidak membutuhkan peralatan permanen, jasa, real estate, gaji, komisi, pendapatan diqiyaskan dengan zakat harta perniagaan (perdagangan), karena sama-sama menjual (yang satu menjual barang yang lain menjual jasa) dan sama-sama mengandung resiko (untung/rugi). Untuk itu dikeluarkan zakatnya 2,5 %.

Adapun segala industri-industri yang membutuhkan peralatan permanen (seperti pabrik dan perhotelan), maka zakatnya diqiyaskan dengan zakat pertanian yang diirigasi yaitu sebesar 5 %.

Untuk memudahkan penghitungan ada sebuah rumus yang dapat diterapkan :

Ph – (Kp + U + P) = H x Nz (dengan syarat perhatikan Nz & H) Keterangan : Ph : Penghasilan H : Hasil pengurangan Kp : Kebutuhan Pokok Nz : Nisab zakat U : Utang yang mesti dibayar H : Haul (masa setahun/panen) P : Pajak

Contoh kasus : Ahmad seorang pegawai berpangkat lector IV b, berkeluarga suami-istri dan 3 anak. Penghasilannya adalah :

a. Gaji PNS Rp. 300.000/bln x 12 bln = Rp. 3.600.000,-

b. Honor mengajar dari bbrp Universitas = Rp. 2.400.000,- Rp. 200.000/bln x 12 bln

c. Royalty sebagai penulis = Rp. 1.500.000,-

d. Deposito di bank dan bunganya = Rp. 1.500.000,-

Jumlah Rp. 9.000.000,-

Pengeluarannya (riil setahun) adalah :

a. Kebutuhan pokok keluarga Rp. 300.000/bln = Rp. 3.600.000,- x 12 bulan

b. PBB, Telepon, Listrik dll = Rp. 250.000,-

c. Angsuran kredit kereta Rp. 75.000/bln x 12 bln = Rp. 900.000,-

d. Angsuran rumah Perumnas Rp. 100.000/bln x 12 bl = Rp. 1.200.000,-

e. Membayar hutang = Rp. 50.000,-

Jumlah Rp. 6.200.000,-

Zakatnya adalah : 2,5 % x (Rp. 9.000.000,- dikurangi Rp. 6.200.000,-) = Rp. 70.000,- (Tujuh Puluh Ribu Rupiah).



Zakat Fithrah

Zakat fithrah gunanya untuk menyucikan hati dan jiwa, sebab orang yang berpuasa terkadang terlanjur berkata yang sia-sia atau juga berbohong. Oleh sebab itu, zakat fithrah hadir untuk menyucikannya, sehingga zakat fithrah disebut juga zakat an-nafs, sebagaimana dalam hadis Ibn Abbas riwayat Abu Daud dan Ibn Majah.

Berdasarkan hadis Abdullah ibn umar riwayat Bukhari dan Muslim, zakat fithrah diwajibkan atas setiap orang merdeka, budak, laki-laki atau perempuan, yang mendapati matahari terbenam di akhir ramadhan. Diwajibkan zakat fithrah dikeluarkan untuk dirinya sendiri terlebih dahulu, baru kemudian orang-orang yang ditanggungnya, seperti istri dan anak.

Adapun ukuran zakat fithrah berdasarkan hadis Ibn Umar adalah 1 sha’ (gantang) = 3,5 liter = 2,5 kg dari bahan-bahan makanan pokok yang utama, seperti beras, sagu, jagung, gandum dsb. Ukuran tersebut dapat juga diuangkan dengan melihat kualitas bahan makanan pokok yang dijadikan standart nilai zakat.

1. Waktu mengeluarkan zakat fithrah: Berdasarkan hadis Ibn Umar riwayat Bukhari dan Muslim, sebagian ulama fiqh menetapkan ada 5 waktu penunaian zakat fithrah, yaitu :

a. Waktu jawaz (harus) : sejak awal ramadhan hingga akhir ramadhan

b. Waktu wajib : bila matahari telah terbenam di akhir ramadhan hingga terbit fajar

c. Waktu afdhal : sebelum orang-orang keluar pada pagi hari itu, untuk melaksanakan shalat hari raya.

d. Waktu makruh : setelah selesai shalat hari raya, baru dibayarkan

e. Waktu haram : setelah selesai berhari raya (keesokan harinya).


2. Orang-orang yang tidak wajib dibayarkan fithrahnya:

a. Istri yang durhaka, sebab gugur nafkahnya dan wajib bagi dirinya sendiri mengeluarkan zakat fithrahnya

b. Istri yang kaya, walaupun tidak durhaka, maka wajib dia menunaikan fithrahnya sendiri. Dan suaminya tidak wajib difithrahinya, sebab dirinya telah diserahkannya kepada suaminya.

c. Anak kecil yang kaya, maka wajib dikeluarkan zakat fithrahnya adri harta kekayaannya, ayahnya juga boleh mengeluarkannya.

d. Anak yang sudah besar dan sudah punya usaha

e. Budak yang kafir

f. Murtad (keluar dari agama islam)


3. Kepada siapa zakat fithrah diberikan?: Berdasarkan surat at-taubah : 60, maka jelas zakat fithrah diberikan kepada 8 mustahiq/ashnaf. Tetapi untuk lebih afdhalnya (lebih utama) maka hendaknya diberikan kepada keluarga yang lebih dekat, yang bukan tanggungan atau ditanggung dan memenuhi syarat salah satu dari ashnaf yg 8. Ini difahami dari kandungan surat al-Baqarah : 177.

4. Hikmah zakat:

a. Menolong orang yang lemah dan orang yang susah agar ia dapat menunaikna kewajibannya kepada Allah

b. Membersihkan diri dari kikir dan akhlak tercela serta mendidik diri agar bersifat mulia dan pemurah

c. Sebagai ucapan syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah

d. Menjaga kejahatan-kejahatan yang akan ditimbulkan oleh orang faqir atau miskin

e. Menciptakan kesetiakawanan antara yang kaya dan yang miskin

Source: http://www.ponpesalhusna.wordpress.com
Download artikel ini, klik: http://www.ziddu.com/download/6301005/ZAKAT.doc.html

Cara Bertaubat

Allah Swt telah berfirman dalam surat at-tahrim : 8 yaitu,

يَـاأَيُّـهَـا الَّذِيْـنَ آمَـنُـوْا تُـوْبُوْا إِلَى اللهِ تَـوْبَـةً نَـصُـوْحًـا

Artinya : “Hai Orang-orang yang beriman taubatlah kamu semua kepada Allah dengan taubat nasuha, yaitu taubat yang sejati”.

Selanjutnya, Nabi Muhammad saw telah bersabda,

كُـلُّ بَـنِى آدَمَ خَـطَّـآءٌ وَخَـيْـرُ الْخَـطَّـائِــيْـنَ التَّـوَّابُـوْنَ

Artinya : “Setiap anak Adam (manusia) itu pernah salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang-orang yang bertaubat.” (HR. Ibn Majah)

Cara bertaubat :

A) Bila kesalahan itu berhubungan dengan Allah Ta’ala, maka cara taubatnya adalah :
Berhenti dari berbuat dosa serta berjanji dalam hati tidak mengulangi lagi.
Menyesal atas perbuatan yang lalu, dan mohon ampun kepada Allah Ta’ala.
Memperbanyak amal kebajikan agar dapat menutupi kesalahan-kesalahan yang lalu.

Bila kesalahan itu berhubungan dengan manusia, maka ditambah satu lagi , yaitu meminta maaf atau dimaafkan. Bila berkaitan dengan harta, maka harta yang menjadi tanggungan harus dibayar atau dikembalikan dan minta maaf.

Cara Shalat Taubat:

Untuk memohon ampun dan memperbanyak kebajikan, maka disyari’atkanlah Sholat Taubat, sebagai usaha nyata kita dan tanda kesungguhan dalam bertaubat. Sebaiknya sebelum sholat taubat, pada sore harinya mandi taubat terlebih dahulu. Waktu sholat taubat yang baik pada malam hari, namun yang sangat baik setelah tengah malam. Shalat taubat dilakukan mulai dari 2 rakaat hingga 8 raka’at.

1. Lafadz niat sholat taubat:

أُصَـلِّى سُــنَّـة التَّـوْبَـةِ رَكْـعَـتَـيْـنِ لِـلّـهِ تَـعَـالَى : الله اَكْـبَـرُ

Artinya : “Sengaja saya sholat taubat dua raka’at karena Allah Ta’ala.”

2. Ayat yang dibaca pada raka’at pertama setelah Al-Fatihah ialah: (kalau tidak hafal boleh surah Al-Kafirun).

وَالَّذِيْـنَ إِذَا فَـعَـلُوا فَـاحِـشَـةً اَوْ ظَـلَـمُوا اَنْـفُـسَـهُـمْ ذَكَـرُوا اللهَ . فَـاسْـتَـغْـفَـرُوْا لِـذُنُـوْبِـهِـمْ وَمَـنْ يَـغْـفِرُ الذُّنُـوْبَ إِلاَّ اللهُ وَلَـمْ يُـصِـرُّوا عَـلَى مَـا فَـعَـلُوْا وَهُـمْ يَـعْـلَـمُـوْنَ. أُولـئِـكَ جَـزَآؤُهُـمْ مَـغْـفِرَةٌ مِـنْ رَبِّـهِـمْ وَجَـنّـتٍ تَـجْـرِى مِـنْ تَـحْـتِـهَـا الأَنْـهَـارُ خَـالِـدِيْـنَ فِـيْـهَـا. وَنِـعْـمَ اَجْـرُ الْعــمِـلِـيْنَ

Artinya : “Dan orang-orang yang apabila (terlanjur) mengerjakan perbuatan keji ( dosa besar) atau zhalim (berbuat salah) lalu cepat ingat kepada Allah ( taubat ) lantas memohon ampunan dosa-dosanya. Tidak seorangpun yang dapat memberi ampunan , kecuali Allah dan mereka tidak meneruskan (mengulangi) perbuatan keji itu, padahal mereka tahu.” (QS. Ali Imran : 135-136).

3. Ayat yang dibaca pada raka’at kedua ialah: (kalau tidak hafal boleh membaca surat al-ikhlas)

وَمَـنْ يَـعْـمَـلْ سُـوْءًا اَوْ يَـظْلِـمْ نَـفْـسَـهُ ثُـمَّ يَـسْـتَـغْـفِـرِ اللهَ يَـجِـدِ اللهَ غَـفُورًا رَحِـيْـمًـا

Artinya: “Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan (dosa) atau zhalim – menganiaya diri sendiri (dengan kejahatan) kemudian memohon ampun kepada Allah Ta’ala, niscaya ia mendapati Allah Ta’ala Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa : 11)

4. Mohon ampun dengan istighfar:

a. Istighfar 100 kali :

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ, الَّذِي لاَإِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ

b. Istighfar “ Rinci “ 10 kali :

اَسْـتَـغْـفِـرُ اللهَ الْعَـظِيْـمَ . وَمِـنْ كُـلِّ ذَنْـبٍ عَـظِيْـمٍ مِـنْ كُـلِّ مَـعْـصِـيَـةٍ صَـاغِـرًا وَكَـابِـرًا . ظَـاهِـرًا وَ بَـاطِـنًـا . قَـوْلاً وَفِـعْـلاً . عَـمْدًا وَخَـطَـاءً . سِـرًّا وَجَـهَـرًا وَعَـلاَنِـيَـةً يـَااللهُ ٢x يَـا غَـفُـوْرٌ رَحِـيْـمٌ

c. Ditutup dengan do’a sayyidul Istighfar, “penghulu istighfar“ sebanyak 10 kali :

اَللّهُـمَّ اَنْـتَ رَبِّـى لاَ إِلـهَ إِلاَّ اَنْـتَ خَـلَقْـتَـنِـى وَاَنَـا عَـبْـدُكَ وَاَنَـا عَـلَى عَـهْـدِكَ وَوَعْـدِكَ مَـا اسْـتَـطَـعْـتُ اَعُـوْذُ بِـكَ مِـنْ شَـرٍّ مَـاصَـنَـعْـتُ اَبُـؤُ لَـكَ بِـنِـعْـمَـتِـكَ عَـلَىَّ وَاَبُـؤُ بِـذَنْـبِى فَـاغْـفِـرْلِى فَـإِنَّـهُ لاَ يَـغْـفِـرُ الذُّنُـوْبَ إِلاَّ اَنْـتَ

Artinya: “Ya Allah !! Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau yang telah menciptakan aku, aku ini hambaMU dan aku terikat pada janji dan ikatan padaMU sejauh kemampuanku. Aku berlindung pada MU dari kejahatan yang telah kuperbuat, aku akui segala nikmat dariMU kepada ku dan aku akui dosaku, maka ampunilah aku, sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau sendiri ya Allah !!!!”.

5. Membaca do’a Sakaratul Maut, dibaca 25 kali setiap hari

اَللّهُـمَّ هَـوِّنْ عَـلَيَّ فِى سَـكَـرَاتِ الْمَـوْتِ وَبَـارِكْ لِى فِى الْمَـوْتِ وَفِـيْـمَـا بَــعْدَ الْمَـوْتِ

Artinya: “Ya Allah !! Mudahkanlah atasku di ketika “sakaratul maut” berilah berkat padaku ketika kematianku dan sesudahnya.”

(Ditulis oleh: Ust. M. Najmil Husna - Pimpinan Ponpes Al-Husna)

Download artikel ini, klik:
http://www.ziddu.com/download/6279239/CARABERTAUBAT.doc.html