Rabu, 28 Oktober 2009

Hak dan Kewajiban Isteri Yang Dipoligami

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ustadz, saya adalah seorang isteri yang sekarang dimadu (dipoligami). Saya ingin tahu hak dan kewajiban isteri yang dipoligami serta hak dan kewajiban suami. Terima kasih Ustadz.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Hamba Allah - …….

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Sebelum menjawab pertanyaan ukhti, terlebih dahulu saya ingin mengucapkan kekaguman dan rasa salut saya kepada ukhti yang nampaknya telah rela menerima keputusan suami untuk menikah lagi, meskipun mungkin pada mulanya hal itu begitu mengejutkan dan menyakitkan hati ukhti. Mudah-mudahan ketulusan hati dan kesabaran ukhti dalam menerima keputusan suami itu dapat menjadi amal shaleh yang diridhai Allah swt., dan semoga ukhti dapat meraih kebahagiaan dalam berumah tangga meskipun harus dipoligami. Aamiin….

Secara umum, hak dan kewajiban isteri yang dipoligami tidaklah berbeda dengan hak dan kewajiban isteri yang tidak dipoligami, demikian pula dengan hak dan kewajiban suami yang berpoligami. Hanya saja, ada hak tambahan bagi isteri tersebut yang juga menjadi kewajiban bagi suaminya. Hak yang dimaksud adalah hak diperlakukan secara adil. Artinya, suami Anda harus bersikap adil terhadap isteri-isterinya. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt.:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa` [4]:3)

Yang dimaksud perlakuan yang adil di sini adalah perlakuan yang adil dalam pengertian lahiriyah, yaitu meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Adil dalam pengertian seperti inilah yang ditetapkan ulama sebagai syarat poligami, dan inilah yang telah dipraktekkan oleh Baginda Rasulullah saw., seperti disebutkan dalam riwayat Muslim yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah membagikan kepada setiap isterinya satu hari satu malam sebagai jatah gilirannya, kemudian Saudah binti Zam’ah memberikan jatah gilirannya itu kepada Aisyah ra. dengan tujuan untuk memperoleh keridhaan Rasulullah saw..

Berbicara mengenai konsep adil dalam berpoligami ini, memang ada sebagian orang yang berpendapat bahwa tidak ada seorang pun yang bisa adil, apalagi orang-orang pada masa sekarang ini. Karenanya poligami pun tidak dibolehkan. Mereka mendasarkan pendapat tersebut pada firman Allah swt.:

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa` [4]: 129)

Saya pribadi tidak setuju dengan pendapat tersebut, karena berdasarkan tafsir-tafsir yang ada, yang dimaksud adil dalam QS. An-Nisaa` (4): 129 tersebut adalah adil dalam pengertian batiniyah (hati atau cinta), bukan adil dalam pengertian lahiriyah seperti yang dijelaskan di atas. Karena ayat tersebut berkaitan dengan pribadi Rasulullah saw. yang lebih mencintai Aisyah daripada isteri-isteri beliau yang lain. Meskipun demikian, beliau berusaha keras untuk bisa bersikap adil dalam pengertian lahiriyah, termasuk dalam masalah jatah giliran, seperti yang disebutkan dalam riwayat Muslim di atas. Hal ini diperkuat oleh sebuah hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Wahai Allah, inilah pembagianku atas apa yang aku miliki. Maka, janganlah Engkau mencelaku atas apa yang Engkau miliki tetapi aku tidak memilikinya.” (HR. Abu Dawud [2/610] dan Nasa`i [7/64]) Hadits ini mengisyaratkan bahwa Rasulullah saw. telah berusaha untuk bersikap adil dalam masalah-masalah yang sifatnya lahiriyah, dan beliau mengaku bahwa dirinya tidak bisa bersikap adil dalam masalah batiniyah (hati).

Satu hal lagi yang ingin saya tekankan di sini, sebagai isteri yang dipoligami, Anda harus berusaha untuk menjalin silaturahim dengan isteri yang lain. Anda juga harus saling memahami dan saling berkoordinasi, bukan saling mencaci ataupun mencurigai. Walaahu A’lam….

Posisi A’isyah Di Hati Rasulullah

A’isyah ra. telah memperoleh posisi yang besar dan agung di hati Rasulullah saw.. Beliau suka bersenda-gurau, bermain, dan bercumbu-rayu dengannya, bahkan terkadang beliau menahan diri atas beberapa perlakuan “tidak menyenangkan” yang bersumber dari A’isyah sebagai bentuk kemurahan hati beliau. Semua itu dilakukannya untuk memberikan teladan dan contoh tentang bagaimana berinteraksi dan berbagi kasih dengan keluarga (isteri). A’isyah ra. adalah isteri yang manja dan mampu meraih hati Rasulullah saw.. Ketika ditanya tentang siapa isteri yang paling beliau cintai, Rasulullah saw. menjawab: “A’isyah.”

Berikut ini kami paparkan beberapa bukti dan indikasi yang menunjukkan posisi dan kedudukan A’isyah di mata Nabi kita, Muhammad saw..

A’isyah RA bercerita: “Aku biasa bermain boneka di tempat Nabi saw. bersama kawan-kawan sepermainanku. Jika Rasulullah saw. masuk, mereka lari bersembunyi, namun beliau mengirimkan lagi mereka kepadaku, kemudian mereka pun bermain-main denganku.” (HR Bukhari).

Diriwayatkan juga dari A’isyah ra., ia bercerita: “Suatu hari aku lihat Nabi saw. di depan pintu kamarku selagi orang-orang Habasyah bermain di masjid. Beliau lantas menutupiku dengan bajunya, lalu aku melihat (menonton) permainan mereka.” (HR Ahmad.)

Dalam riwayat lain, ia bercerita: “Orang-orang Habsyah masuk masjid dan bermain-main di sana. Rasulullah saw. lalu bersabda kepadaku: “Hai gadis yang kemerah-merahan pipinya (humairah-panggilan sayang Nabi saw. untuk A’isyah ra.), apakah kau ingin menonton mereka?” Aku jawab: “Ya.” Beliau lantas berdiri di depan pintu, lalu aku letakkan daguku di pundak beliau dan aku sandarkan wajahku di pipi beliau. Rasulullah saw. lantas berseru: “Cukup!” Aku balas: “Wahai Rasulullah, jangan terburu-buru.” Beliau lantas berdiri, kemudian berkata: “Cukup.” Aku jawab lagi: “Jangan terburu-buru, Rasulullah.” A’isyah berkomentar: “Sesungguhnya aku tidak suka menonton mereka, akan tetapi aku hanya ingin agar wanita-wanita mengetahui posisi dan kedudukanku di sisi Rasulullah.” (HR Nasa`i).

Diriwayatkan lagi darinya, ia bercerita: “Rasulullah saw. masuk ke kamarku ketika dua orang budak wanita kecil tengah mendendangkan nyanyian heroik (bu’aats) di tempatku. Beliau lantas berbaring di ranjang dan menutup rapat wajah (tubuhnya dengan baju beliau). Tiba-tiba Abu Bakar masuk dan langsung membentakku. Ia berkata: “Nyanyian syetan di tempat Nabi saw.!” Rasulullah saw. langsung (membuka selimut) beliau dan menunjukkan diri di hadapan Abu Bakar dan bersabda: “Biarkan mereka.” Ketika ia lengah, aku kedipi mereka berdua (agar keluar), lalu mereka pun keluar.” (HR Bukhari).

Dalam peristiwa yang lain, Rasulullah saw. sekali lagi menunjukkan gurau-sayang dan cumbu-rayunya bersama isterinya. A’isyah ra. bercerita: “Rasulullah saw. pulang dari Perang Tabuk atau Khaibar, dan mendapati kotak mainan milik A’isyah ra. yang tersingkap ujung penutupnya oleh angin yang bertiup lumayan kencang sehingga terlihatlah boneka-boneka mainannya.

Beliau pun bertanya: “Apa ini, hai A’isyah?”

Ia menjawab: “Boneka-boneka mainanku.”

Di antara boneka-boneka mainan tersebut beliau melihat boneka kuda yang bersayap dua terbuat dari kain rombeng. Beliau bertanya: “Apa yang aku lihat di tengah-tengah mainan-mainan ini?”

Ia menjawab: “Kuda.”

Beliau bertanya lagi: “Lalu apa itu yang ada pada kuda itu?”

Ia menjawab: “Kuda bersayap.”

A’isyah ra. berkata: Beliau pun tertawa hingga aku lihat gigi-gigi geraham beliau. (HR Abu Dawud).

Betapa indahnya perilaku Rasulullah saw. ini. Sungguh perilaku yang sangat berbeda dengan perilaku sebagian orang di antara kita, karena biasanya bila salah seorang di antara kita melihat isterinya bermain-main, maka dia akan menyindirnya dengan sinis, bahkan mencemoohnya dengan keras. Dalam hal ini, Rasulullah saw. telah menunjukkan diri sebagai seorang teladan yang baik dan panutan yang ideal.

Bukti lain yang menunjukkan ketinggian posisi ibunda kita, A’isyah ra., di hati Nabi kita, Muhammad saw. adalah cerita Anas ra.. Ia berkata: Seorang tetangga yang beretnis Persia dan pandai memasak membuat masakan spesial untuk Rasulullah saw.. Ia lalu datang mengundang beliau. Beliau bertanya: “Dan ini?” (Apakah aku boleh mengajak isteriku ini?) Ia menjawab: “Tidak.” Rasulullah saw. pun menjawab: “Kalau begitu, tidak usah saja.” Orang itu datang lagi mengundang beliau dan beliau bertanya lagi: “Dan ini?” (Apakah aku boleh mengajak isteriku ini?) Ia menjawab: “Tidak.” Rasulullah saw. pun menjawab: “Kalau begitu, tidak usah saja.” Kemudian ia datang lagi untuk yang ketiga kalinya, dan beliau tetap bertanya: “Dan ini?” (Apakah aku boleh mengajak isteriku ini?) Pada kali ketiga ia menjawab: “Ya.” Mereka berdua (Rasulullah saw. dan A’isyah ra.) lantas bangkit dan saling berkejaran hingga sampai ke rumah si pengundang. (HR Muslim).

Ad-Dars Al-Awwal (Pelajaran Kesatu)-Level Tiga

v Pada bagian conversation pelajaran kesatu level tiga ini, kita akan belajar tentang percakapan antara seorang laki-laki Indonesia yang bertemu dengan temannya yang berasal dari Arab Saudi. Sedangkan pada bagian grammer dan translation, kita akan belajar tentang al-jumlah al-fi’liyyah (sebuah kalimat yang diawali dengan kata kerja).

v Bila sebuah kalimat diawali dengan subyek kata benda, maka kata kerja yang menjadi predikatnya harus disesuaikan. Bila subyeknya tunggal, maka predikatnya pun tunggal. Bila dual (dua orang), maka predikatnya pun dual. Bila jamak, maka predikatnya pun jamak, seperti yang dapat dilihat pada kolom sebelah kanan. (Perhatikan kata-kata yang diberi tanda merah)

v Tetapi bila kata kerjanya yang berada di awal kalimat (al-jumlah al-fi’liyyah), maka kata kerja tersebut tidak perlu menyesuaikan dengan subyeknya, tetap dalam bentuk tunggal meskipun subyeknya dual ataupun jamak, seperti dapat dilihat pada kolom sebelah kiri.

Untuk mendownload pelajaran kesatu ini, klik di sini!

Rabu, 21 Oktober 2009

Hukum Bunga Bank

* Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, ana punya teman, membangun rumah dengan cara pinjam uang di bank, pengembaliannya itu dengan cicilan yang berbunga. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana hukumnya menurut Islam, halal atau haram? Syukron.

* Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

* Mm….

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Pembahasan mengenai hukum bunga bank sangat berkaitan dengan pembahasan tentang riba dalam Islam. Pada prinsipnya, para ulama sepakat bahwa hukum riba adalah haram, sesuai dengan firman Allah swt. dalam QS. Al-Baqarah (2): 275: ”Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Hanya saja, para ulama berbeda pendapat apakah bunga bank termasuk riba yang diharamkan tersebut ataukah tidak? Munculnya perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena sistem perekonomian perbankan belum ada pada zaman dulu, apalagi pada zaman Rasulullah saw.. Bahkan, pembahasan tentang bunga bank itu sendiri baru dapat ditemukan dalam literatur-literatur fiqih kontemporer.

Wahbah az-Zuhali, seorang pakar fiqih asal Syria, berpendapat bahwa bunga bank termasuk riba yang diharamkan oleh Islam. Wahbah az-Zuhaili mengatagorikan bunga bank sebagai riba an-nasii`ah karena –menurutnya- bunga bank itu mengandung unsur kelebihan uang tanpa imbalan dari pihak penerima, dengan menggunakan tenggang waktu.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, Kairo. Para ulama yang tergabung dalam lembaga ini berpendapat bahwa meskipun sistem perekonomian suatu negara tidak bisa maju tanpa bank, namun karena sifat bunga itu merupakan kelebihan dari pokok utang yang tidak ada imbalan bagi orang yang berpiutang dan sering menjurus kepada sifat adh’aafan mudhaa’afatan (berlipat ganda) apabila utang tidak dibayar tepat waktu, maka lembaga ini pun menetapkan bahwa bunga bank termasuk riba yang diharamkan syara’.

Tetapi ada sebagian ulama yang mengaitkan keharaman riba tersebut dengan unsur azh-zhulm (penganiayaan atau penindasan). Artinya, bila pinjaman yang diberikan itu tidak menyebabkan orang lain merasa teraniaya atau tertindas maka ia tidak dikatagorikan sebagai riba yang diharamkan, meskipun dilakukan dengan sistem bunga. Di antara ulama yang berpendapat seperti itu adalah Muhammad Rasyid Ridha, seorang mufasir dari Mesir. Menurutnya, tidaklah termasuk ke dalam pengertian riba bila seseorang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk diinvestasikan sambil menetapkan kadar tertentu baginya dari hasil usaha tersebut. Hal ini disebabkan karena transaksi seperti itu menguntungkan kedua belah pihak.

Sementara itu, Muhammad Quraish Shihab –mufasir Indonesia-, setelah menganalisa ayat-ayat yang berkaitan dengan riba, asbab an-nuzulnya, dan pendapat berbagai mufasir, menyimpulkan bahwa ’illat (sebab) dari keharaman riba itu adalah sifat azh-zhulm (aniaya), seperti yang disebutkan di akhir ayat 279 dari Surah Al-Baqarah. Oleh sebab itu, yang diharamkan itu adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekedar kelebihan atau penambahan jumlah utang.


Saya pribadi lebih cenderung pada pendapat pertama yang mengharamkan bunga bank. Karenanya, saya berharap sistem perbankan Islam dapat berkembang pesat di Indonesia dan benar-benar dapat berjalan sesuai aturan syariat. Wallaahu A’lam….

(Referensi Utama: Fiqh Muamalah, Dr. H. Nasrun Haroen, MA; Penerbit Gaya Media Pratama, Jakarta)

Tadriibaat (Latihan) 2 – Level Dua

Pada pertemuan kali ini, kita akan mengadakan latihan kedua untuk level dua. Seperti biasanya, latihan ini terdiri dari tiga bagian, yaitu pilihan (multiple choise), percakapan (conversation) dan terjemah (translation). Khusus untuk conversation, bila Anda memiliki lawan bicara, maka sebaiknya salah satunya membaca pertanyaan yang ada, sementara yang lain menjawabnya. Bila Anda menemukan kesulitan dalam mengerjakan latihan ini, Anda dapat menghubungi saya melalui email atau facebook fatkhurozi@gmail.com

Bagi rekan-rekan kita yang baru bergabung, sebaiknya saya sarankan agar mengikuti pelajaran bahasa Arab ini dari awal, atau dari level satu (Tutorial Bahasa Arab I). Untuk mendownload file tadriibaat kedua ini, klik judul tulisan!

Jumat, 16 Oktober 2009

Wanita Terbaik

Rasulullah saw. bersabda:

خَيْرُ النِّسَاءِ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلاَ تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَلاَ مَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

“Sebaik-baik wanita (isteri) adalah yang menyenangkan suaminya jika sang suami memandangnya, menaatinya jika sang suami memberikan perintah, dan tidak menyalahi kebaikan suaminya baik dalam urusan dirinya maupun hartanya, yang dengan melakukan hal-hal yang tidak disukai suaminya.” (HR. Nasa`i dan Ahmad)
Hadits di atas menjelaskan bahwa wanita muslimah yang terbaik adalah wanita yang mampu memikat hati suaminya, baik dengan cara menjaga diri dan rumah tangganya ataupun dengan menaati perintah-perintahnya. Ia adalah wanita yang selalu memperbarui hidupnya agar hati suami terus bergantung kepadanya. Ia adalah wanita yang mampu menjadi seorang ratu kecantikan yang memakai mahkota di kepalanya saat berada di hadapan sang suami.

Hal itu dapat diwujudkan dengan cara menghiasi dan mempercantik dirinya, selalu mengganti baju yang dipakainya atau merubah tata letak perabotan rumah tangganya, agar ketika sang suami pulang, dia akan mendapati hal-hal baru di dalam rumahnya. Akan lebih baik bila pada suatu hari seorang isteri memberikan kepada suaminya setangkai bunga yang indah, lalu di hari selanjutnya ia memberikan kepada suaminya sebuah baju baru, kemudian di hari ketiga ia memasakkan makanan kegemaran suami, lalu di hari keempat ia menyambut kedatangan suaminya dengan sambutan yang lain dari biasanya atau dengan memberikan kejutan-kejutan yang lain. Dengan cara seperti itu, maka setiap hari sang suami akan merasakan adanya hal-hal baru dalam hidupnya. Pada akhirnya, sang suami pun akan semakin mencintai isterinya dan tidak berpaling kepada wanita-wanita jalanan. Hal itu disebabkan karena ia merasa bahwa di rumahnya masih ada sosok wanita yang lebih bersih, suci, bertakwa, cantik, lembut dan baik hati daripada wanita-wanita lain.

Sayangnya pada masa sekarang ini, banyak wanita yang tidak memperhatikan hal tersebut. Buktinya, banyak wanita yang lebih senang berdandan saat akan keluar rumah, baik untuk berbelanja ataupun untuk keperluan-keperluan lainnya. Bahkan tidak jarang yang berdandan secara berlebihan hingga terkesan menor atau seksi. Sementara saat berada di rumah atau saat berada di hadapan sang suami, mereka tidak mau berdandan. Alhasil, yang menikmati kecantikan wajahnya, keindahan dirinya dan bau wangi parfumnya justru orang lain, bukan suaminya sendiri. Suaminya hanya kebagian bau bawang atau bau jengkol yang dimakannya….Wallaahu A’lam….

Bila Orangtua Tidak Menyetujui Calon Isteri Pilihan Kita

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, ada satu pertanyaan yang selama ini mengganjal di benak saya. Saya adalah seorang laki-laki yang sedang dalam tahap pencarian calon isteri. Sebenarnya, saya sudah memiliki pilihan, namun orangtua saya tidak setuju dengan wanita pilihan saya itu. Padahal menurut saya, dari segi agama, wanita pilihan saya lebih baik daripada wanita yang diajukan oleh orangtua saya.

Selama ini, orangtua saya masih terpaku pada pertimbangan paras kecantikan, sementara saya tidak mempersalahkan itu. Saya lebih mempertimbangkan segi agamanya. Jadi, di antara kami masih ada silang pendapat.

Saya sudah seringkali berbicara kepada orangtua saya, khususnya ibu saya. Saya menjelaskan kepadanya bahwa pemikirannya selama ini adalah salah dan terlalu sempit. Namun, sampai sekarang beliau belum bisa menerima pendapat saya. Bahkan, beliau memaksa saya untuk tetap menikah dengan wanita yang beliau pilih. Kalau seperti itu kondisinya, bagaimana Ustadz? Mohon bimbingannya. Terima kasih. Semoga Allah swt. senantiasa memberikan kemudahan dalam semua urusan kita. Amin…..

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

N….


Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Akhi, dilihat dari segi hukum, sebagai laki-laki sebenarnya Anda memiliki hak penuh dalam menentukan wanita yang akan menjadi pendamping hidup Anda. Bahkan, Anda dapat menikah tanpa harus meminta izin terlebih dahulu kepada kedua orangtua atau wali Anda. Karena, keharusan untuk meminta izin kepada wali bagi seseorang yang akan melangsungkan pernikahan hanyalah bagi wanita, tidak bagi laki-laki.

Hanya saja, karena saya melihat bahwa masalah yang Anda hadapi dapat berbahaya karena dapat merusak hubungan silaturahim antara orangtua dengan anak, maka ada satu hal penting yang ingin saya sampaikan kepada Anda. Yaitu bahwa, dilihat dari segi akhlak, Anda dituntut untuk tetap berbakti kepada kedua orangtua. Karena itu, dalam masalah yang Anda hadapi, sebaiknya berusahalah terus untuk membicarakan hal itu dengan kedua orangtua secara baik-baik. Bila perlu, cari waktu dan alasan yang tepat.

Memang tidak sepatutnya orangtua memaksakan anaknya untuk menikah dengan wanita pilihannya, namun bila kenyataan yang terjadi seperti itu sementara usaha yang Anda lakukan untuk memberikan pemahaman kepada kedua orangtua ternyata tidak berhasil, maka –menurut saya- sebaiknya Anda ikuti saja saran kedua orangtua Anda, meskipun dari segi agama calon yang Anda ajukan lebih baik daripada calon yang diajukan orangtua. Sebab walau bagaimanapun, berbakti kepada kedua orangtua lebih tinggi tingkatannya daripada amalan-amalan yang lain. Bahkan dalam beberapa ayat Al-Qur`an, nama kedua orangtua disebutkan bersandingan dengan nama Allah. Ini menunjukkan betapa mulia dan terhormatnya kedua orangtua di sisi Allah. Kecuali, bila keduanya mengajak kepada kemusyrikan atau kekufuran. Dalam kasus yang Anda hadapi, saya tidak melihat adanya faktor perkecualian tersebut. Karena saya yakin, orang tua Anda pasti akan memilihkan calon isteri yang masih seiman, bukan dari kalangan non-Muslim.

Selain itu, dalam bukunya yang berjudul Sa’âdah al-Abnâ` fi Birr al-Ummahât wa al-`Abâ` (Berbakti Kepada kedua Orangtua, Pangkal Kebahagiaan Anak), Syeikh Muhammad Al-Fahham menjelaskan bahwa perbuatan seorang anak yang menyebabkan kedua orangtuanya bersedih dikatagorikan sebagai perbuatan durhaka kepada keduanya, meskipun sang anak berhak melakukannya. Hal ini disebabkan karena hak kedua orangtua adalah lebih besar daripada hak si anak. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda: “Barangsiapa yang membuat sedih kedua orangtuanya, maka sesungguhnya dia telah durhaka kepada keduanya.” (Diriwayatkan oleh al-Khatib dalam kitab al-Jâmi’. Lihat Kanz al-‘Ummâl, 16/480.)

Muhammad Al-Fahham juga menyebutkan kisah Juraij, seorang ahli ibadah yang telah diuji oleh Allah swt. karena dirinya tidak memenuhi panggilan ibunya saat dia sedang shalat. Diriwayatkan bahwa ketika Juraij sedang beribadah di kuil (tempat ibadah)nya, tiba-tiba datanglah ibunya.

Sang ibu berseru: “Wahai Juraij, aku ibumu, bicaralah padaku.” Kebetulan saat itu Juraij sedang melaksanakan shalat.

Juraij berkata (dalam hatinya): “Ya Allah, apakah aku harus memenuhi panggilan ibuku ataukah meneruskan shalatku?” Juraij pun, akhirnya, memilih untuk tetap meneruskan shalatnya.

Sang ibu pun pulang, kemudian dia kembali lagi untuk kedua kalinya. Dia berkata lagi: “Wahai Juraij, aku adalah ibumu, maka berbicaralah kepadaku!” Juraij kembali berkata (dalam hatinya): “Ya Allah, ibuku ataukah shalatku?” Juraij pun, akhirnya, memilih untuk tetap meneruskan shalatnya.

Ibu Juraij berkata: “Ya Allah, sesungguhnya anak ini adalah Juraij, dan dia adalah puteraku. Sesungguhnya aku sedang berbicara kepadanya, (namun) dia enggan berbicara denganku. Ya Allah, janganlah Engkau mematikan dia sampai Engkau memperlihatkan wanita jalang kepadanya.”

Humaid (periwayat hadits) berkata: “Seandainya sang ibu mendoakan agar Juraij terkena fitnah, niscaya Juraij pun akan terkena fitnah.”

Humaid berkata: “Seorang penggembala domba kemudian singgah ke kuil Juraij. Maka keluarlah seorang wanita dari sebuah perkampungan, kemudian penggembala itu menyetubuhinya hingga wanita itupun hamil dan melahirkan seorang anak lelaki. Ketika wanita itu ditanya: ‘Anak siapa ini?’ Dia menjawab: ‘Anak ini adalah anak dari pemilik kuil ini.’”

Humaid berkata: “Orang-orang kampung pun mendatangi Juraij dengan membawa kapak-kapak dan senjata-senjata mereka. Lalu, mereka memanggil Juraij, (namun) kebetulan dia sedang shalat sehingga dia tidak bisa menjawab panggilan mereka.”

Humaid berkata lagi: “Mereka pun menghancurkan kuilnya. Ketika Juraij melihat perbuatan mereka itu, dia pun turun untuk menemui mereka. Mereka berkata kepadanya: ‘Bertanyalah kepada wanita (yang membawa bayi) ini!’ Juraij tersenyum kemudian mengelus kepala anak itu dan bertanya: ‘Siapa bapakmu?’ Anak itu menjawab: ‘Bapakku adalah seorang penggembala domba.’ Ketika orang-orang mendengar hal itu, mereka pun berkata: ‘Kami akan membangun kembali kuilmu yang telah kami hancurkan itu dengan menggunakan emas dan perak.’ Juraij menjawab: ‘Tidak, tetapi bangunlah ia dengan menggunakan tanah seperti sediakala.’ Maka, mereka pun membangun kuil itu kembali.

Kisah di atas sengaja saya sebutkan agar kita dapat mengambil pelajaran darinya, yaitu bahwa doa seorang ibu yang merasa bersedih akibat ulah anaknya sangat didengar Allah swt..

Terakhir, demi kebaikan Anda dan agar Anda benar-benar mendapatkan pilihan yang tepat, sering-seringlah melakukan shalat istikharah guna meminta petunjuk kepada Allah swt.. Karena, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui mana yang lebih baik. Manusia hanya bisa menebak-nebak saja. Wallaahu A’lam…

Pentingnya Silaturahim

Allah berfirman yang artinya:

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (Q.S. al-Isra`: 26)

Dalam firman lain menyatakan:

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu. Dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat ibn sabil…” (Q.S. an-Nisa`: 36)

Di sini kedudukan berbuat baik pada kerabat dekat berada pada urutan setelah berbakti kepada orang tua. Al-Quran telah menentukannya secara berurutan dimulai dari yang paling tinggi sampai paling rendah dalam tahapan hubungan kemanusian. Setelah kerabat dekat, lalu meluas cakupannya sampai kepada setiap orang yang membutuhkannya dalam masyarakat. Ini sesuai dengan sifat manusia yang lebih cenderung berbuat baik kepada kerabat dekat. Ini juga sesuai dengan metode umum Islam dalam mengatur masyarakat muslim. Dimana tanggung jawab sosial dimulai dari lingkup keluarga, lalu meluas kepada kerabat dekat. Akhirnya mencakup semua kelompok manusia. Semuanya dilaksanakan dengan penuh kasih sayang dan ketulusan. Sehingga, hidup ini terasa manis, indah, dan layak di nikmati oleh manusia.

Silaturrahim termasuk metode dan asas Islami utama yang dibawa Islam ke dunia semenjak hari pertama Rasulullah memulai dakwah secara terbuka. Rasulullah telah menerangkan dasar-dasar Islam dan tanda-tandanya. Ternyata, silaturrahim termasuk tanda yang sangat jelas dalam sariat Islam. Sebagai bukti, adalah pembicaraan panjang Abu Sufyan r.a dengan Heraclius ketika ia bertanya kepadanya “apa yang diperintahkan oleh Nabi kalian?” Abu Sufyan menjawab: “Sembahlah Allah, jangan kalian menyekutukanNya dengan sesuatupun, tinggalkan apa yang dikatakan nenek monyangmu, menyuruh kami untuk melaksanakan shalat, jujur, meninggalkan perbuatan yang buruk, dan menyambung silaturrahim.” (H.R. Muttafaqun alaihi)

Silaturrahim merupakan bagian dari tanda-tanda yang agung dari agama Islam; (yaitu) mentauhidkan Allah, mendirikan shalat, berpegang teguh pada sifat jujur, dan menjauhkan diri dari perbuatan buruk. Karena itu, silaturrahim merupakan keistimewaan nyata yang ditampakkan kepada orang-orang yang untuk pertama kalinya bertanya tentang Islam.

Dalam sebuah hadis yang menerangkan asas-asas dan prilaku Islami, Amr ibn `anbasah r.a berkata:

“Saya datang kepada Rasulullah Saw, di Mekkah pada awal keNabian. Aku berkata kepada beliau: “Siapa kamu?” beliau berkata: “Nabi.” saya bertanya: “Apa Nabi itu?” beliau bersabda: “saya diutus oleh Allah” aku bertanya lagi: “Dengan apa kamu diutus?” beliau bersabda: “Allah mengutusku dengan silaturrahim, menghancurkan berhala, mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu.” (H.R. Muslim)

Dalam hadis di atas, jelas sekali bahwa Rasulullah Saw, mengedepankan silaturrahim dalam memberikan penjelasan singkat tentang dasar-dasar Islam. Ini merupakan sebuah isyarat bahwa silaturrahim memiliki kedudukan penting dalam Islam, agama yang diturunkan sebagai rahmat untuk alam semesta.

Banyak nash-nash yang menganjurkan silaturrahim dan sekaligus mengancam orang yang memutuskannya. Diriwatkan oleh Abu Ayyub Al-Anshari. Bahwa seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah Saw:

“Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku sebuah amal perbuatan yang bisa memasukkan aku kesurga?” Nabi bersabda: “Hendaklah kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya, melaksanakan shalat, membayar zakat, dan menyambung silaturrahim.” (H.R. Muttafaqun alaihi)

Silaturrahim disebutkan bersamaan dengan ibadah dan mentauhidkan Allah, pelaksanaan shalat, dan membayar zakat. Dengan demikian, silaturrahim termasuk amal shaleh yang menjamin seseorang masuk surga dan melindunginya dari api neraka. Diriwayatkan dari Anas r.a, bahwa Rasulullah Saw, bersabda: “Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah ia menyambung silaturrahim.” (H.R. Muttafaqun alaihi)

Ternyata, silaturrahim membawa keberkahan dalam rezeki dan umur seseorang yang suka menyambungnya. Ibnu Umar r.a berkata: “Barang siapa yang bertaqwa kepada Tuhannya dan menyambung silaturrahim, akan dipanjangkan umurnya, diperluas rezekinya, dan dicintai oleh keluarganya.” (H.R. Bukhari)

Orang yang suka menyambung silaturrahim akan mendapatkan keberkahan dalam rezeki dan bertambah umurnya. Rahmat Allah akan senantiasa tercurah kepadanya di dunia dan di akhirat. Ia akan dicintai oleh manusia dan dihormati. Sebaliknya, orang yang suka memutuskan tali silaturrahim akan mendapatkan kesengsaraan, bencana, dan kebencian dari Allah dan manusia. Di akhirat nanti, ia akan dijauhkan dari surga.

Cukuplah bagi orang yang memutuskan tali silaturrahim merasakan kesengsaraan dan bencana apabila mendengar sabda Rasulullah Saw: “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturrahim.” (H.R. Muttafaqun alaihi)

Rahmat Allah tidak akan tercurahkan kepada sebuah kaum yang di dalamnya ada orang yang suka memutuskan tali silaturrahim. Seperti disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitabnya Syu`abu al-Iman: “Sesungguhnya rahmat Allah tidak akan dicurahkan pada sebuah kaum yang di dalamnya ada orang yang memutuskan tali silaturrahim”

Oleh karena itu, Abu Hurairah r.a, tidak mau berdo`a disebuah tempat yang didalamnya ada orang yang memutuskan tali silaturrahim. Karena akan menjadi penghalang turunnya rahmat dan dikabulkannya do`a. Abu Hurairah berkata di sebuah tempat pada malam jumat: “Saya dengan paksa menyuruh orang yang memutuskan tali silaturrahim untuk meninggalkan kami.”

Tidak seorangpun berdiri sampai beliau mengatakan itu tiga kali. Setelah itu, ada seorang pemuda datang pada bibinya yang sudah dua tahun tidak pernah dikunjungi. Bibinya berkata kepadanya:

“Wahai keponakanku, apa yang membawa kamu kesini?” Ia berkata: “ Saya mendengar Abu Hurairah r.a berkata begini-begini.” Bibinya berkata, “saya mendengar Rasulullah Saw, bersabda: “Sesungguhnya amal perbuatan anak adam itu diperlihatkan kepada Allah setiap malam jumat, dan amal perbuatan orang yang memutuskan tali silaturrahim tidak diterima oleh Allah.” (H.R. Bukhari)

Seorang muslim memiliki perasaan halus dan senantisa mencari keridhaan Tuhan dan keselamatan diakhirat. Ia akan tergugah hatinya apabila mengetahui bahwa memutuskan silaturrahim akan menutupi turunnya rahmat, doa tidak dikabulkan, dan menggagalkan pahala sebuah pekerjaan. Sungguh suatu bencana besar bagi orang yang berdoa kemudian tidak dikabulkan. Beramal tetapi tidak diterima disisi Allah. Dan, mengharap rahmat Tuhan tapi rahmat itu menjauhinya. Karena itu tidak terbayang sama sekali bahwa suatu saat seorang muslim sejati akan memutuskan tali silaturrahim.

Minggu, 11 Oktober 2009

Ad-Dars Al-‘Aasyir (Pelajaran Kesepuluh)-Level Dua

Pada bagian conversation pelajaran kesepuluh ini, kita akan belajar tentang cara bertanya kepada pelayan hotel apakah ada kamar yang kosong ataukah tidak. Sedangkan pada bagian grammer dan translation, kita akan belajar tentang isim al-mutsannaa dan ism’ al-jam’.

v Isim al-mutsannaa adalah kata benda yang mengandung arti dua (dual). Cara membuatnya dengan menambahkan huruf alif dan nuun di belakang kata tunggal (lihat tanda merah pada kolom kedua).

v Isim al-jam’ adalah kata benda yang mengandung arti banyak (tiga atau lebih). Kata ini terbagi menjadi dua: jam’ul-mudzakkar (jamak untuk laki-laki) dan jam’ul-mu’annats (jamak untuk perempuan).

v Khusus untuk jam’ul-mudzakkar, cara pembuatan dan contoh-contoh yang disebutkan di atas hanya untuk kata-kata benda yang beraturan (reguler). Sedangkan untuk kata benda-kata benda yang jamaknya tidak beraturan (jam’ut-taksiir/ireguler) akan dijelaskan pada pembahasan tersendiri, insya Allah.

Untuk mendownload pelajaran kesepuluh ini, klik judul tulisan!

Mengajari Anak Shalat

Pembicaraan mengenai perintah shalat merupakan pembicaraan tentang salah satu aspek spiritual terpenting dalam kehidupan sang anak. Sebab membiasakan anak untuk mengerjakan shalat dalam masa kanak-kanak ini akan memberikan sejumlah hal besar yang bermanfaat baginya.

Hal pertama dan yang terpenting adalah menjelaskan tentang hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya secara praktis.

Kedua adalah mengajarkan kepada si anak untuk bersuci [thaharah] dan membersihkan diri pada saat akal mereka masih jernih dan perangai mereka masih steril, yaitu dengan cara mengajarkan kepadanya untuk membasuh anggota-anggota badannya yang mudah terkena kotoran dan faktor-faktor lingkungan lainnya seraya memanjatkan dzikir dan doa. Dengan demikian, maka sang anak pun akan terbiasa untuk melakukan sesuatu yang dapat menerangi hati dan melapangkan dadanya, sehingga sejak kecil ia pun menjadi orang yang bersinar baik lahir maupun batinnya.

Ketiga adalah mendidik anak untuk belajar disiplin dalam memelihara waktu dan menjaga berbagai aturan yang terkait dengan waktu, dengan cara-cara yang tidak mungkin baginya untuk melakukan kesalahan atau kekeliruan. Maksud dari semua itu adalah agar anak dapat mengetahui bahwa waktu merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan seorang muslim yang berjalan seiring dengan pergantian malam dan siang, dan bahwa dia merupakan bagian dari waktu yang ada.

Lebih jauh, hal itu juga dimaksudkan agar si anak dapat mengetahui bahwa Allah telah menentukan aturan-aturan waktu yang bertujuan agar ia mau berusaha untuk memanfaatkannya dengan baik, dengan metode dan cara-cara yang baik.

Karena begitu pentingnya shalat, dan agar sang anak lebih terdorong untuk selalu melaksanakannya, maka Rasulullah saw pun bersabda,

“Perintahlah anak-anakmu untuk (mengerjakan) shalat ketika mereka (berusia) tujuh tahun, dan pukullah mereka jika mereka meninggalkan shalat, padahal mereka sudah (berusia) sepuluh tahun. Lalu, pisahkanlah tempat tidur mereka (antara laki-laki dan perempuan).” (HR al-Hakim dan Abu Dawud )

Mengapa mereka sudah diperintah untuk shalat padahal mereka masih berusia tujuh tahun? Jawabannya adalah agar mereka terbiasa untuk melakukan shalat. Perintah tersebut dimaksudkan agar mereka selalu mengerjakan shalat selama tiga tahun, yaitu dari usia tujuh sampai sepuluh tahun. Tidak diragukan lagi bahwa waktu tiga tahun merupakan waktu yang cukup untuk membiasakan diri seseorang dalam mengerjakan shalat, apalagi jika pelajaran-pelajaran tentang shalat itu dapat diterimanya dengan baik, baik melalui perkataan maupun perbuatan.

Kemudian Rasulullah saw juga telah mengisyaratkan tentang pentingnya hukuman pukulan bagi seorang anak dengan maksud agar ia tidak meninggalkan shalat. Akan tetapi sebagimana telah disinggung oleh para ulama, pukulan ini harus dilakukan dengan tangan dan bukan dengan kayu, pukulan tersebut tidak boleh menyakitkan, dan tidak boleh dilakukan pada anggota-anggota tubuh yang dapat membuat si anak menjadi mati seperti wajah, kepala, tengkuk dan dada.

Selain itu, pukulan tersebut tidak boleh lebih dari tiga kali, dan tidak boleh dilakukan kecuali bertujuan untuk mendidik atau untuk menegakkan hukum-hukum Islam. Oleh karena itu pukulan tersebut tidak boleh dilakukan atas dasar dendam atau karena kebencian orang tua kepada anaknya. Sebab, pukulan tersebut akan dimintai pertanggung-jawabannya pada hari kiamat nanti.

Dalam kitabnya, Ibn ‘Abidin menjelaskan:

“Seorang anak boleh dipukul supaya dia mau melaksanakan shalat ketika dia telah genap berusia sepuluh tahun. Namun pukulan itu harus dilakukan dengan tangan dan bukan dengan kayu, dan pukulan itu pun tidak boleh lebih dari tiga kali.”

Ibn ‘Abidin menambahkan, “Zhahir perkataan tersebut menunjukkan bahwa dalam masalah lain selain shalat, seorang anak juga tidak boleh dipukul dengan tongkat.”

Ketika menjelaskan hadits Nabi saw yang berbunyi, “perintahkanlah anak-anak kalian untuk (mengerjakan) shalat ketika mereka (berusia) tujuh (tahun)”, penulis kitab ad-Dur al-Mukhtâr menjelaskan, “Menurut pendapat yang benar dalam masalah ini, ibadah puasa tidaklah berbeda dengan ibadah shalat”.

Ibn ‘Abidin berkata, “Maksud dari kedua riwayat tersebut adalah bahwa seorang anak harus diperintahkan untuk melaksanakan semua hal yang telah diperintahkan Allah dan menghindari semua yang dilarang-Nya.”

Ibn Abidin menjelaskan, “Dalam pembahasan tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan anak kecil telah dijelaskan bahwa seorang anak kecil telah diperintahkan untuk mandi dan mengulangi shalat yang dilakukan tanpa berwudhu. Namun ia tidak diperintahkan untuk mengulangi puasa, karena hal itu akan memberatkannya.”

Rabu, 07 Oktober 2009

Bila Ada Keponakan Laki-laki, Apakah Isteri Harus Pakai Jilbab?

Assalamu’laikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, saya mau tanya nih; di rumah ada keponakan laki-laki (anak kakak saya), pertanyaannya apakah isteri saya harus tetap pakai jilbab di depan dia? Syukran atas jawabannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Keharusan memakai jilbab (menutup aurat) dalam Islam sangat terkait dengan pembahasan tentang mahram. Masyarakat kita terbiasa menyebutnya dengan istilah muhrim, padahal yang benar adalah mahram. Mahram adalah wanita yang haram dinikahi oleh seorang laki-laki, baik karena faktor nasab (keturunan), radhaa’ah (sesusuan) ataupun mushaharah (pernikahan).


Seorang laki-laki dibolehkan melihat sebagian aurat wanita yang menjadi mahram. Sedangkan terhadap wanita yang bukan mahram, dia hanya dibolehkan untuk melihat wajah dan kedua tapak tangannya saja.


Penjelasan mengenai wanita-wanita yang menjadi mahram bagi seorang laki-laki, telah dijelaskan oleh Allah swt. dalam firman-Nya:


“Diharamkan atas kamu menikahi ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesuan, ibu-Ibu isterimu (mertua), anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu menikahinya, dan diharamkan bagimu isteri-isteri anak kandungmu (menantu) dan diharamkan mengumpulkan dalam pernikahan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan diharamkan juga kamu menikahi perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu……” (QS. An-Nisaa` [4]: 23-24)


Berdasarkan ayat di atas, para ulama menyimpulkan bahwa secara garis besar, mahram terbagi menjadi dua, yaitu mahram muabbad (mahram yang bersifat abadi) dan mahram ghairu muabbad (mahram yang bersifat sementara).


Mahram muabbad terbagi menjadi 3 kelompok:

a. Mahram karena faktor nasab (keturunan), mereka adalah:

- Ibu kandung, nenek dan seterusnya.

- Anak perempuan, cucuk perempuan dan seterusnya.

- Saudara perempuan, baik sekandung, seayah ataupun seibu.

- Saudara perempuan ayah.

- Saudara perempuan ibu.

- Puteri dari saudara perempuan

- Puteri dari saudara laki-laki


b. Mahram karena faktor mushaharah (pernikahan), mereka adalah:

- Ibu dari isteri (ibu mertua).

- Anak perempuan dari isteri (anak tiri).

- Isteri dari anak laki-laki (menantu peremuan).

- Isteri dari ayah (ibu tiri).


C. Mahram karena faktor radhaa’ah (susuan), mereka adalah:


- Ibu yang menyusui.

- Ibu dari wanita yang menyusui (nenek).

- Ibu dari suami yang isterinya menyusuinya.

- Anak perempuan dari ibu yang menyusui (saudara perempuan sesusuan).

- Saudara perempuan dari suami wanita yang menyusui.

- Saudara perempuan dari ibu yang menyusui.


Adapun yang termasuk katagori mahram ghairu muabbad (mahram sementara) adalah saudara perempuan dari isteri atau bibi isteri. Artinya, saudara perempuan isteri sudah tidak lagi menjadi mahram bagi seorang laki-laki bila sudah tidak ada lagi hubungan pernikahan antara dirinya dengan isterinya.


Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa isteri paman tidak termasuk ke dalam katagori mahram. Dari sini, maka keponakan laki-laki Anda tidaklah termasuk mahram bagi isteri Anda. Karenanya, isteri Anda pun harus selalu menutup seluruh auratnya (kecuali wajah dan tangan) di hadapan keponakan laki-laki Anda tersebut. Wallaahu A’lam….

14 Kiat Mendidik Anak Secara Islami

1. Buatlah sebuah perpustakaan Islam di dalam rumah yang berisikan buku-buku dan kisah-kisah yang Islami.

2. Memberikah perhatian mengenai kondisi rumah tangga dengan cermat dan berusaha mengenal teman-teman anak Anda.

3. Hendaknya Anda selalu membiasakan adanya musyawarah keluarga bersama anak-anak menyangkut persoalan yang berkaitan dengan anak. Anda boleh menyerahkan keuangan rumah kepada anak-anak Anda agar mereka melatih diri mengenai cara mengatur keuangan rumah tangga, sehingga akan membantu mereka setelah berumah tangga kelak. Sikap seperti itu terkadang dapat membuat anak berusaha untuk tidak mementingkan permintaan-permintaannya dan lebih memilih untuk mendahulukan kepentingan (kebutuhan) saudara laki-laki atau saudara perempuannya, atau bahkan sikapnya itu dilakukannya agar kehidupan keluarga tampak lebih baik.

4. Tanyakanlah kepada anak-anak Anda tentang keadaan sekolah dan para guru mereka. Jika terdapat cara berpikir mereka yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam maka berusahalah untuk memberikan pemahaman yang benar kepada mereka.

5. Jika salah seorang anak Anda meminta uang untuk memberi buku atau pakaian, maka Anda harus menanyakan kepadanya tentang sejauh mana kebutuhannya itu. Peringatkanlah mereka untuk menghindari sikap taklid buta, bid’ah, dan perbuatan-perbuatan munkar.

6. Biasakanlah anak-anak Anda untuk pergi ke pasar, dan ajarilah mereka cara memilih barang dan cara melakukan tawar menawar harga dengan para penjual. Kemudian, beritahukan pula kecurangan yang terkadang dilakukan oleh para pedagang menyangkut barang dagangan mereka atau menyangkut harga barang tersebut.

7. Belikanlah celengan untuk anak Anda yang masih kecil agar dia terbiasa menabung. Jika tidak dibiasakan sejak dini maka dia akan menemukan kesulitan nantinya untuk membiasakan dirinya dalam menabung ketika besar nanti.

8. Hendaknya Anda memberikan pengawasan kepada Anak Anda secara lembut, tidak dengan menakut-nakutinya. Jangan membuat anak-anak Anda kehilangan rasa percaya diri mereka. Berhati-hatilah dari sikap yang dapat mempersempit ruang nafas (gerak) anak dan bersikap terlalu mendetail dalam segala urusan anak, sehingga dapat berakibat negatif. Rumah tangga bukanlah sebuah perusahaan, dan seorang ayah juga bukan sosok malaikat yang diberikan tugas untuk mencatat segala keburukan anak. Selain itu, hendaknya Anda juga berhati-hati terhadap sikap menyepelekan pengawasan anak-anak dan sikap tidak memberikan pengawasan terhadap mereka. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah akan menanyakan kepada setiap pemimpin tentang apa yang dipimpinnya, apakah dia menjaga ataukah menyia-nyiakannya. Sampai-sampai seorang laki-laki pun akan ditanyakan tentang (kepemimpinannya) atas keluarganya.”

9. Berikanlah ciuman kepada anak-anak Anda. Sikap seperti itu tidak membuat wibawa Anda menjadi hilang. Rasulullah sendiri mencium Hasan bin Ali. Suatu ketika Al Aqra’ bin Habis At-Tamimi duduk-duduk bersama Rasulullah. Dia (Al Aqra’) bertanya: “Apakah kalian mencium anak-anak kalian? Aku memiliki sepuluh orang anak, akan tetapi aku tidak pernah mencium satu pun dari mereka.” Rasulullah memandang Al Aqra’ dan bersabda: “Siapa saja yang tidak menyayangi (orang lain) maka dia tidak akan disayangi.”

10. Hendaknya Anda selalu berusaha menghalangi (melawan) segala bentuk perilaku yang tercela yang dilakukan oleh anggota keluarga Anda. Ada sebuah hadits yang menyatakan: “Jika Rasulullah mendapatkan ada salah seorang dari anggota keluarga beliau yang berdusta maka beliau akan terus melawan sikap tersebut hingga dia (orang itu) bertaubat.” (HR. Ahmad)

11. Bermainlah bersama anak-anak Anda. Sebagian sahabat berkata: “Kami pergi bersama Rasulullah. Beliau mengundang kami untuk makan. Saat itu Husain terlihat sedang bermain di jalanan. Rasulullah lantas bergegas berdiri di hadapan orang-orang (kami) dan membentangkan kedua tangan beliau. Anak itu (Hasan) kemudian berlari ke sana dan kemari. Beliau membuat Hasan tertawa-tawa hingga akhirnya beliau meraih tangan Husain. Belialu lalu meletakkan salah satu tangan beliau pada bagian dagu Husain, sedangkan tangan beliau yang lain pada bagian tengkuk kepalanya.”

12. Hendaknya Anda mencari solusi pengganti yang Islami dari hal-hal yang biasa dilakukan oleh anak yang dilarang oleh syariat Islam. Tidak cukup hanya dengan mengatakan bahwa sesuatu itu haram atau merusak. Mintalah pertolongan kepada Allah. Kemudian berikanlah buku-buku Islami, majalah, cerita-cerita, kaset tape dan vcd, permainan-permainan menghibur yang Islami, dan olahraga yang bermanfaat bagi anak.

13. Sangat memungkinkan untuk membuat adanya kerjasama di antara keluarga-keluarga muslim yang terdapat dalam satu kawasan untuk saling bertukar ilmu dan pengetahuan yang Islami. Demikian pula, berusaha mendirikan pusat kebudayaan Islam yang memberikan pelayanan untuk orang lain dengan biaya yang sangat murah demi kepentingan anak-anak Anda. Hendaknya Anda ikut serta secara aktif dalam kesempatan-kesempatan kegiatan sosial dan kegiatan Islam. Juga, hendaknya Anda saling bertukar hadiah berupa sesuatu yang memiliki tujuan yang positif bersama kerabat, tetangga, dan para sahabat. Selain itu, berusahalah untuk memperbaiki hubungan yang sebelumnya sempat terganggu, dan ajarkanlah anak-anak Anda sikap seperti itu.

14. Hendaknya Anda dan isteri (suami) Anda menjadi suri tauladan bagi anak-anak Anda. Tidak diperbolehkan bagi Anda untuk berdusta, dan hendaknya Anda meminta anak-anak Anda untuk tidak berdusta.


(Dikutip dari buku “Kaifa Tus’id Zaujatak” karya Yasir Abdurrahman)

Minggu, 04 Oktober 2009

Ad-Dars At-Taasi’ (Pelajaran Kesembilan)-Level Dua

Pada bagian conversation pelajaran kesembilan ini, kita akan belajar tentang cara bertanya kepada teman yang sedang berada di bandara dan akan bepergian ke luar negeri. Sedangkan pada bagian grammer dan translation, kita akan belajar tentang isim maf’uul.

v Isim maf’uul adalah kata benda yang menunjukkan sesuatu yang menjadi obyek (penderita), seperti kata maktuub yang artinya (sesuatu yang ditulis), mafhuum (sesuatu yang bisa difahami) dan maftuuh (sesuatu yang dibuka).

v Cara membuat isim maf’uul adalah dengan menambahkan huruf miim (yang berharakat fathah) di depan huruf pertama (pada kata kerja past tense) dan huruf wawu (yang berharakat mati) setelah huruf kedua (pada kata kerja past tense), seperti yang ditandai dengan warna merah.

v Sama seperti isim faa’il, bila feminim (mu`annats), maka di bagian akhirnya ditambah huruf taa` marbuuthoh.

Untuk mendownload pelajaran kesembilan ini, klik judul tulisan!

Tafsir Surah Al-Fajr

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

وَالْفَجْرِ (١) وَلَيَالٍ عَشْرٍ (٢) وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ (٣) وَاللَّيْلِ إِذَا يَسْرِ (٤) هَلْ فِي ذَلِكَ قَسَمٌ لِذِي حِجْرٍ (٥) أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ (٦) إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ (٧) الَّتِي لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلَادِ (٨) وَثَمُودَ الَّذِينَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ (٩) وَفِرْعَوْنَ ذِي الْأَوْتَادِ (١٠) الَّذِينَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ (١١) فَأَكْثَرُوا فِيهَا الْفَسَادَ (١٢) فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ (١٣) إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ (١٤) فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (١٥) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (١٦) كَلَّا بَل لَا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ (١٧) وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (١٨) وَتَأْكُلُونَ التُّرَاثَ أَكْلًا لَمًّا (١٩) وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا (٢٠) كَلَّا إِذَا دُكَّتِ الْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا (٢١) وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا (٢٢) وَجِيءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ وَأَنَّى لَهُ الذِّكْرَى (٢٣) يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي (٢٤) فَيَوْمَئِذٍ لَا يُعَذِّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ (٢٥) وَلَا يُوثِقُ وَثَاقَهُ أَحَدٌ (٢٦) يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (٢٧) ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (٢٨) فَادْخُلِي فِي عِبَادِي (٢٩) وَادْخُلِي جَنَّتِي (٣٠)

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Demi fajar, dan malam yang sepuluh, dan yang genap dan yang ganjil, dan malam bila berlalu. Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal. Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Aad? (yaitu?) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab, sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi. Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: “Tuhanku telah memuliakanmu“. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku“. Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur-baurkan (yang halal dan yang bathil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan. Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turun, dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris, dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia mengatakan: “Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.” Maka pada hari itu tiada seorangpun yang menyiksa seperti siksa-Nya, dan tiada seorangpun yang mengikat seperti ikatan-Nya. Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surgaku. (QS. Al-Fajr [89]: 1-30)


Makna kosakata:

Layaalin ‘asyr (dan malam yang sepuluh), maksudnya sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah.

Dzaatil-’imaad (yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi), maksudnya yang memiliki rumah-rumah.

Asy-syaf’u (yang genap), maksudnya adalah hari raya Kurban (Idul Adha).

Al-witr (yang ganjil), maksudnya adalah hari ‘Arafah (hari ke-9 dari bulan Dzulhijjah).

Hijr, maksudnya akal (orang-orang yang berakal).

A’ad, maksudnya adalah kaumnya Nabi Hud as.

Tsamuud, maksudnya adalah kaumnya Nabi Shaleh as.

Sautha ‘adzaab (cemeti adzab), maksudnya salah satu jenis adzab atau siksaan dari Allah.

Ibtalaahu, maksudnya mengujinya.

At-turaatsa (harta pusaka), maksudnya harta warisan.

Jamman (yang berlebihan), maksudnya kecintaan yang banyak.

Yuutsiqu, maksudnya mengikat.


Allah swt. bersumpah dengan nama waktu-waktu yang diberkahi seperti waktu shalat Fajar dan sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah (termasuk hari Kurban yang ada di dalamnya), bahwa orang-orang kafir akan disiksa karena kekufuran mereka sebagaimana umat-umat selain mereka yang kafir juga telah disiksa oleh Allah seperti kaum ‘Aad (kaumnya Nabi Hud as.), kaum Tsamud (Kaum Nabi Shaleh as.) dan kaum Fir’aun (penguasa Mesir yang zhalim). Mereka semua dan juga kaum-kaum lainnya (yang juga kafir) telah dibinasakan oleh Allah swt. setelah sebelumnya Dia memberikan berbagai macam kenikmatan kepada mereka.

Kemudian Allah swt. menjelaskan kepada manusia bahwa kekayaan, kemiskinan, kebaikan, keburukan dan setiap musibah yang menimpa manusia merupakan ujian dari Allah swt. yang diberikan kepada manusia. Oleh karena itu, jika Allah swt. menganugerahkan kepadanya kebaikan dan rezeki, maka hendaklah dia bersyukur kepada Allah dan memuji-Nya. Sebaliknya, jika Allah menimpakan kepadanya penyakit, kemiskinan atau yang lainnya, maka hendaklah dia bersabar, tidak berputus asa dari rahmat Allah dan tidak bersikap seperti orang kafir yang tidak memiliki perhatian lain di dunia ini kecuali pada upaya untuk mengumpulkan harta, lalu dia tidak menyayangi anak yatim atau memberi makan orang miskin.

Setelah itu, Allah swt. mengingatkan manusia agar waspada terhadap datangnya hari Kiamat yang akan menggoncangkan bumi secara berturut-turut, dimana pada hari itu para malaikat akan berbaris di hadapan Allah, lalu seluruh manusia melihat neraka telah berada di depan mata mereka sehingga setiap orang pun akan mengingat apa yang telah dilakukannya. Penyesalan pada hari itu sama sekali tidak bermanfaat bagi orang kafir, dan neraka Jahannam-lah tempat kembalinya. Sedangkan orang Mukmin yang berjiwa tenang karena pengaruh amal perbuatannya, akan berada di surga dan dapat merasakan berbagai kenikmatan di dalamnya.