Rabu, 28 Oktober 2009

Hak dan Kewajiban Isteri Yang Dipoligami

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ustadz, saya adalah seorang isteri yang sekarang dimadu (dipoligami). Saya ingin tahu hak dan kewajiban isteri yang dipoligami serta hak dan kewajiban suami. Terima kasih Ustadz.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Hamba Allah - …….

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Sebelum menjawab pertanyaan ukhti, terlebih dahulu saya ingin mengucapkan kekaguman dan rasa salut saya kepada ukhti yang nampaknya telah rela menerima keputusan suami untuk menikah lagi, meskipun mungkin pada mulanya hal itu begitu mengejutkan dan menyakitkan hati ukhti. Mudah-mudahan ketulusan hati dan kesabaran ukhti dalam menerima keputusan suami itu dapat menjadi amal shaleh yang diridhai Allah swt., dan semoga ukhti dapat meraih kebahagiaan dalam berumah tangga meskipun harus dipoligami. Aamiin….

Secara umum, hak dan kewajiban isteri yang dipoligami tidaklah berbeda dengan hak dan kewajiban isteri yang tidak dipoligami, demikian pula dengan hak dan kewajiban suami yang berpoligami. Hanya saja, ada hak tambahan bagi isteri tersebut yang juga menjadi kewajiban bagi suaminya. Hak yang dimaksud adalah hak diperlakukan secara adil. Artinya, suami Anda harus bersikap adil terhadap isteri-isterinya. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt.:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa` [4]:3)

Yang dimaksud perlakuan yang adil di sini adalah perlakuan yang adil dalam pengertian lahiriyah, yaitu meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Adil dalam pengertian seperti inilah yang ditetapkan ulama sebagai syarat poligami, dan inilah yang telah dipraktekkan oleh Baginda Rasulullah saw., seperti disebutkan dalam riwayat Muslim yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah membagikan kepada setiap isterinya satu hari satu malam sebagai jatah gilirannya, kemudian Saudah binti Zam’ah memberikan jatah gilirannya itu kepada Aisyah ra. dengan tujuan untuk memperoleh keridhaan Rasulullah saw..

Berbicara mengenai konsep adil dalam berpoligami ini, memang ada sebagian orang yang berpendapat bahwa tidak ada seorang pun yang bisa adil, apalagi orang-orang pada masa sekarang ini. Karenanya poligami pun tidak dibolehkan. Mereka mendasarkan pendapat tersebut pada firman Allah swt.:

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa` [4]: 129)

Saya pribadi tidak setuju dengan pendapat tersebut, karena berdasarkan tafsir-tafsir yang ada, yang dimaksud adil dalam QS. An-Nisaa` (4): 129 tersebut adalah adil dalam pengertian batiniyah (hati atau cinta), bukan adil dalam pengertian lahiriyah seperti yang dijelaskan di atas. Karena ayat tersebut berkaitan dengan pribadi Rasulullah saw. yang lebih mencintai Aisyah daripada isteri-isteri beliau yang lain. Meskipun demikian, beliau berusaha keras untuk bisa bersikap adil dalam pengertian lahiriyah, termasuk dalam masalah jatah giliran, seperti yang disebutkan dalam riwayat Muslim di atas. Hal ini diperkuat oleh sebuah hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Wahai Allah, inilah pembagianku atas apa yang aku miliki. Maka, janganlah Engkau mencelaku atas apa yang Engkau miliki tetapi aku tidak memilikinya.” (HR. Abu Dawud [2/610] dan Nasa`i [7/64]) Hadits ini mengisyaratkan bahwa Rasulullah saw. telah berusaha untuk bersikap adil dalam masalah-masalah yang sifatnya lahiriyah, dan beliau mengaku bahwa dirinya tidak bisa bersikap adil dalam masalah batiniyah (hati).

Satu hal lagi yang ingin saya tekankan di sini, sebagai isteri yang dipoligami, Anda harus berusaha untuk menjalin silaturahim dengan isteri yang lain. Anda juga harus saling memahami dan saling berkoordinasi, bukan saling mencaci ataupun mencurigai. Walaahu A’lam….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda