Kamis, 19 Mei 2011

Nikah Dengan Syarat Yang Memberatkan

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ustadz, saya mau bertanya tentang hukum pernikahan. Ada seorang teman wanita yang Alhamdulillah sudah seperti keluarga saya sendiri. Kebetulan sekarang dia sedang ada masalah. Dia menikah sudah sekitar satu tahun lebih, dan sekarang sudah dikaruniai seorang putera.

Beberapa minggu terakhir ini dia dan suaminya meninggalkan rumah ibunya karena ada perselisihan antara suaminya dengan ibunya. Awalnya dia dan ibunya tinggal di Bekasi, sementara suaminya tinggal dan bekerja di daerah Bogor. Si suami ingin agar anak istrinya ikut tinggal di Bogor, karena suami merasa sudah capek harus pulang setiap akhir bulan. Namun sang ibu melarang dengan dalih bahwa sudah ada perjanjian sebelum menikah, yang menyatakan bahwa si isteri harus tinggal bersama ibunya meski suami bekerja dan tinggal di luar kota.

Adapun alasan mengapa suami ingin mengajak isterinya tinggal bersamanya, antara lain sebagai berikut:

1. Karena kebutuhan nafkah bathin.

2. Kerinduannya kepada sang anak yang sering mengganggu konsentrasinya dalam bekerja.

3. Merasa sudah tidak mampu menahan godaan dari luar (kebutuhan bathin).

4. Jarak yang jauh, sehingga menambah biaya hidup untuk ongkos pulang.

Yang saya tanyakan, apakah dibenarkan adanya perjanjian seperti yang dikemukakan oleh si ibu sebelum menikah? Saya mohon bimbingannya, ya Ustadz. Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

R-….

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudara R yang saya hormati, model pernikahan dengan perjanjian seperti itu memang ada dalam kajian Ilmu Fikih. Bahkan sebagian ulama membolehkannya selama syarat yang ditetapkan tidak bertentangan dengan ketentuan syariat. Di antara ulama yang membolehkan pernikahan dengan syarat setelah pernikahan si isteri tidak diajak pindah ke negeri lain atau pindah rumah adalah Syaikh Muhammad bin Ibrahim.

Menurutnya, bila seorang wanita dan walinya sepakat untuk tidak melangsungkan pernikahan kecuali dengan syarat seperti itu, maka syarat tersebut sah dan harus dipenuhi. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Uqbah bin Amr bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya syarat-syarat yang paling berhak dipenuhi adalah syarat yang telah kamu sepakati dalam pernikahan."

Dalam sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Atsram disebutkan bahwa ada seorang laki-laki yang menikah dengan seorang wanita, dimana wali wanita tersebut mensyaratkan puterinya tetap tinggal bersama keluarganya. Tetapi suatu saat, sang suami ingin mengajak isterinya pindah. Melihat itu, keluarga si isteri pun melaporkan hal tersebut kepada Umar bin Khathab. Beliau pun membenarkan syarat tersebut. Namun bila si isteri rela diajak untuk pindah, maka sang suami boleh membawa pindah. [(Fatawa wa Rasail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Juz 10/143)

Namun Imam Hanafi dan Imam Syafi’i tidak membolehkan syarat seperti itu, karena menurut mereka berdua syarat yang dibolehkan dalam akad pernikahan hanyalah syarat yang memang pada dasarnya merupakan bagian dari akad nikah, seperti syarat agar suami menafkahi isterinya, syarat agar memperlakukannya dengan baik dan lain sebagainya. Sedangkan syarat-syarat yang tidak termasuk bagian dalam akad nikah, meskipun di dalamnya terdapat manfaat bagi salah satu pihak, seperti syarat agar isteri tidak dimadu, syarat agar isteri tidak dibawa keluar rumah (pindah rumah), serta syarat-syarat lainnya yang sejenis, dianggap sebagai syarat yang batil, tidak harus dipenuhi dan tidak mempengaruhi sah tidaknya akad nikah yang dilakukan.

Letak perbedaan antara kedua pendapat tersebut sebenarnya lebih pada batasan mana syarat yang dianggap sah dan mana syarat yang dianggap batil. Menurut saya, pendapat kedua lebih tepat dan lebih cocok dengan kondisi kehidupan sekarang yang lebih kompleks. Pernikahan dengan syarat agar si isteri tidak boleh pindah rumah (padahal terkadang suami harus tinggal di luar kota atau -bahkan- di luar negeri) dapat menyebabkan berbagai masalah dalam rumah tangga, yang pada akhirnya dapat menyebabkan retaknya hubungan rumah tangga dan juga terdorongnya seseorang untuk melakukan perbuatan yang tidak diridhai ALLAH swt.. Masalah-masalah yang dimaksud di antaranya adalah seperti yang Anda pada poin alasan mengapa suami isterinya tinggal bersamanya.

Namun meskipun saya lebih menyarankan kepada teman Anda untuk mengikuti pendapat kedua, ada baiknya masalah ini diselesaikan secara baik-baik (secara kekeluargaan) sehingga tidak menimbulkan perselisihan antara orangtua dengan anaknya. Sebab walau bagaimanapun, teman Anda itu harus tetap menghormati orangtuanya, meskipun dia sudah menjadi isteri orang lain. Saya yakin, selalu ada solusi yang terbaik bila kita mau berusaha menyelesaikan masalah dengan akal yang jernih tanpa dibarengi dengan emosi. Wallaahu A’lam….(Fz)

Source: www.ddtravel.co.id

Senin, 09 Mei 2011

Sebuah Dilema: Ibu Atau Suami?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ustadz, ada sepasang suami isteri yang awalnya begitu bahagia, meskipun suami belum memiliki pekerjaan yang mapan. Melihat kondisi pekerjaan suami yang masih serabutan, sang isteri terus menyemangati suaminya agar lebih giat dalam mencari nafkah. Namun akhir-akhir ini kebahagiaan sepasang suami isteri itu mulai pudar akibat campur tangan orangtua si isteri yang kebetulan secara materi lebih mapan.

Awalnya orangtua isteri begitu prihatin melihat kondisi kehidupan anak dan menantunya yang tergolong belum mapan dan masih sering kekurangan, sehingga setiap bulan dia masih memberikan subsidi kepada keduanya. Namun saat ada masalah antara suami isteri tersebut, orangtua si isteri membela anaknya dan mengungkit-ungkit semua pemberian (subsidi) yang selama ini dia berikan, padahal sebenarnya masalahnya tidak terlalu besar dan bisa diselesaikan dengan baik. Sekarang orangtua isteri sudah membenci menantunya sendiri karena –menurutnya- menantunya itu tidak bisa apa-apa dan hanya bisa numpang hidup kepadanya. Dia pun selalu menjelek-jelekkan menantunya di depan anaknya sendiri. Karena sikap orangtua si isteri itulah, sang suami jadi tersinggung dan merasa dihina.

Pak Ustadz, sekarang si isteri sedang dalam dilema, apakah dia harus berada pada pihak orangtua (ibu)nya ataukah suaminya? Setiap malam, dia selalu menangis karena bingung memikirkan apa yang harus dia lakukan. Bila membela sang ibu, dia khawatir dicap durhaka kepada suami, demikian pula sebaliknya. Menurut Ustadz, bagaimana sebaiknya sikap si isteri?? Terima kasih Ustadz.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

T-….

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudari T yang saya hormati, masalah dalam rumah tangga memang akan bertambah rumit dengan adanya campur tangan pihak ketiga yang kurang bijaksana. Bukannya solusi yang didapat, melainkan bertambah runyamnya masalah yang dihadapi, bahkan dapat berujung pada perceraian.

Sebenarnya masalah seperti itu tidak akan terjadi bila orangtua si isteri lebih bijaksana dan benar-benar menginginkan kebahagiaan untuk anaknya. Idealnya saat membantu anak dan menantunya, seharusnya dia melakukannya dengan ikhlas, sehingga itu akan menjadi amal kebaikan yang dapat mendatangkan pahala baginya meskipun bantuan itu diberikan kepada anak dan menantunya sendiri. Tidak sepatutnya dia mengungkit-ungkit kembali pemberian yang telah dilakukan karena hal itu justru akan menggugurkan pahala kebaikan tersebut, sesuai firman ALLAH swt.: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).(QS. Al-Baqarah [2]: 264)

Hal itu juga dapat menjadi pemicu retaknya hubungan rumah tangga anaknya, apalagi bila hal itu dilakukan di saat sedang ada masalah antara anaknya dengan menantunya sendiri.

Masalah seperti itu juga tidak akan terjadi bila masing-masing pihak -terutama suami dan isteri- lebih dewasa dalam menghadapi masalah yang terjadi dalam hubungan rumah tangga mereka. Dalam kasus di atas, semestinya mereka menyelesaikan sendiri masalah yang mereka hadapi, tanpa harus melibatkan pihak ketiga. Tentunya hal itu bisa terwujud bila keduanya tetap menjaga kerahasiaan masalah di antara mereka, termasuk kepada orangtua mereka masing-masing, kecuali bila sudah bisa diselesaikan dengan baik. Saya yakin, masalah apapun bisa terselesaikan secara damai selama kedua belah pihak (suami-isteri) tidak mempertahankan egonya masing-masing dan tidak menggunakan emosi ataupun perasaannya secara berlebihan.

Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan tadi bisa dijadikan acuan bagi siapa saja yang menginginkan keutuhan rumah tangganya termasuk sepasang suami isteri yang Anda ceritakan di atas, tentunya bila nantinya ALLAH menghendaki mereka berdua bisa ishlah kembali dan berhasil melewati masalah tersebut dengan baik.

Saudari T yang saya hormati, kunci solusi dari masalah yang Anda tanyakan sebenarnya ada pada diri si isteri. Dia harus bisa memainkan peran sebagai mediator atau penengah yang baik. Tentunya hal itu akan terwujud bila dia tidak terus larut dalam perasaan dan kebingungannya. Menurut saya, tidak ada yang perlu dibingungkan atau dianggap sebagai dilema, karena dua-duanya baik ibu ataupun suami merupakan dua orang yang harus dihormati dan ditaati olehnya. Jadi permasalahan yang sesungguhnya bukan terletak pada siapa yang harus dibela dan diikuti perkataannya, tetapi lebih pada bagaimana cara untuk mendamaikan keduanya?

Menurut saya, cara yang terbaik adalah dengan melakukan pendekatan emosional, baik dengan suami maupun dengan ibu. Sebelum si isteri mendamaikan antara suaminya dengan ibunya, dia harus berbicara dari hati ke hati dengan suaminya terlebih dahulu. Dia harus melakukannya secara dewasa dengan mengenyampingkan emosi dan perasaannya. Pada saat itu, dia harus menunjukkan komitmennya untuk tetap mempertahankan bahtera rumah tangganya (terutama demi anak bila sudah ada anak) dan untuk merajut kembali “benang” kebahagiaan yang saat ini sedikit terurai. Bila suami mau menerima ishlah dengan ibu mertuanya, bila perlu suami dan isteri tersebut membuat komitmen-komitmen baru yang tujuannya untuk meminimalisir terjadinya hal serupa di masa-masa mendatang.

Si isteri juga harus berbicara dari hati ke hati dengan ibunya. Dia harus berusaha mengambil hati sang ibu sehingga beliau mau menerima menantunya apa adanya, sebagaimana beliau dulu mau menerimanya sebagai menantu. Saya yakin, hati seorang ibu lebih mudah untuk ditaklukkan karena pada hakekatnya semua ibu menginginkan hal yang terbaik untuk anaknya (termasuk kebahagiaan). Tentunya jangan lupa untuk senantiasa memohon pertolongan ALLAH swt..

Belum lama ini, ada yang konsultasi kepada saya dengan masalah yang hampir sama dengan masalah di atas, namun lebih rumit dan tinggal selangkah lagi menuju gerbang perceraian. Kebetulan yang tersinggung adalah pihak isteri dan ibunya sehingga terjadi konflik antara si isteri dan ibunya dengan orangtua (ayah dan ibu) suaminya. Alhamdulillah dengan izin ALLAH, dengan saran yang intinya tidak jauh berbeda dengan apa yang saya sampaikan di atas, sepasang suami isteri itu kembali hidup rukun. Konflik antara si isteri dengan orangtua suaminya pun sudah terselesaikan dengan baik. Wallaahu A’lam….
Source: www.ddtravel.co.id

Jumat, 06 Mei 2011

Bolehkah Umrah Berkali-kali Dalam Setahun?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, masyarakat Indonesia banyak sekali yang pergi umrah berkali-kali, bahkan ada yang setahun lebih dari sekali. Belum lagi saat berada di Mekkah, banyak jama’ah Indonesia yang pergi ke Tan’im atau Ji’ranah untuk mengambil miqat guna melakukan umrah kedua, ketiga, dan seterusnya. Bukankah hal itu termasuk perbuatan bid’ah yang tidak pernah diajarkan Rasulullah saw., karena beliau tidak pernah umrah lebih dari sekali dalam setahun? Terima kasih atas penjelasannya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

H-…..

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudara H yang saya hormati, apa yang Anda katakan memang benar. Rasulullah saw. dan juga mayoritas sahabat tidak pernah melakukan umrah lebih dari sekali dalam setahun. Ibrahim An-Nakha’i berkata: “Nabi dan para sahabat tidak melakukan umrah kecuali sekali dalam setahun. Mereka tidak melakukannya dua kali dalam setahun. Menambah apa yang tidak mereka lakukan adalah sesuatu yang tidak disukai.”

Pendapat ini juga didasarkan pada surat Rasulullah yang ditujukan kepada Umar bin Hazm, yang di dalamnya disebutkan kalimat “Sesungguhnya umrah adalah haji kecil.” Di sini, Rasulullah saw. menyebut ibadah umrah dengan istilah al-hajj al-ashghar (haji kecil), sementara dalam Al-Qur`an ibadah haji diistilahkan dengan “al-hajj al-akbar” (haji besar) (Lihat QS. At-Taubah [9]: 3). Bila ibadah haji atau haji besar disyariatkan hanya sekali dalam setahun, maka demikian pula dengan ibadah umrah atau haji kecil. Berdasarkan hal itu, maka Imam Malik berpendapat bahwa hukum mengulang-ulang umrah lebih dari sekali dalam setahun adalah makruh.

Namun, pendapat ini bukan satu-satunya pendapat yang ada dalam masalah tersebut. Sejumlah ulama termasuk Imam Syafi’i dan dan Imam Hanbali membolehkan hal itu. Mereka menganggapnya sebagai amalan yang sunah hukumnya, dan bagi orang yang melakukannya tidak dikenai dam. Pendapat ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, Ibnu Umar dan Anas bin Malik. Mereka mendasarkan pendapat tersebut pada amalan Aisyah ra. yang pernah menunaikan ibadah umrah dua kali dalam sebulan atas perintah Nabi saw., umrah pertama dilakukan bersamaan dengan haji qirannya dan umrah kedua dilakukan setelah haji.

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum melakukan umrah berkali-kali dalam setahun. Seperti yang biasa saya tekankan, perbedaan seperti ini hanyalah perbedaan pendapat (ikhtilaf) pada masalah-masalah furu’iyyah (cabang) yang semestinya tidak menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Apalagi masing-masing pendapat merupakan hasil ijtihad para ulama yang didasarkan pada dalil-dalil tertentu. Wallaahu A’lam….(Fz)

Bolehkah Haji Tanpa Mahram?

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Ustadz saya mau tanya. Sudah lama saya ingin menunaikan ibadah haji, alhamdulillah sekarang saya sudah memiliki kemampuan dari segi finansial. Namun masih ada ganjalan, karena sebenarnya saya ingin pergi bersama suami, tapi kondisi suami tidak memungkinkan karena dia sakit-sakitan. Yang ingin saya tanyakan, bolehkah saya pergi haji tanpa didampingi suami? Sebab saya pernah dengar bahwa haji seorang wanita tidak sah bila tidak didampingi oleh mahramnya. Mohon penjelasannya, terima kasih.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

B-....

Jawaban:

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.

Saudari B yang saya hormati, semua ulama sepakat bahwa seorang wanita juga dikenai kewajiban menunaikan ibadah haji bila telah memiliki kemampuan /istitha'ah, sebagaimana firman Allah swt.:

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.(QS. Ali Imran [3] : 97)

Hanya saja terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai persyaratan adanya mahram. Sebagian ulama mensyaratkan adanya mahram bagi wanita, sementara sebagian yang lain hanya mensyaratkan adanya faktor keamanan atas diri wanita tersebut, dan hal itu bisa terwujud dengan adanya beberapa wanita yang bisa dipercaya.

Berikut adalah pendapat ulama mengenai hal tersebut:

1. Imam Malik dan Imam Syafi'i berpendapat bahwa adanya mahram bagi wanita tidak menjadi syarat haji. Pendapat ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Aisyah, Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Atha', Ibnu Sirin dan Al-Auza'i. Suatu ketika Aisyah ra. pernah ditanya: "Apakah seorang wanita harus bepergian (untuk haji) bersama mahramnya?", beliau pun menjawab: "Tidak semua wanita memiliki mahram."

Pendapat ini juga didasarkan pada sebuah Hadits Shahih yang diriwayatkan Bukhari:

فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لَتَرَيْنَ الظَّعِيْنَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الْحِيْرَةَ حَتَّى تَطُوْفَ بِالْكَعْبَةِ لاَ تَخَافُ أَحَدًا إِلاَّ اللهَ

"Jika kamu berumur panjang niscaya kamu akan melihat seorang perempuan melakukan perjalanan sendiri dari Hira (saat ini di wilayah Irak) hingga (sampai di Mekah dan) melakukan thawaf di sekeliling Ka’bah. Dia tidak takut kepada seorang pun kecuali dari Allah.(HR. Bukhari)

Saat ditanya mengenai wanita yang tidak memiliki mahram, beberapa ulama terkenal memberikan jawaban sebagai berikut:

- Imam Malik: Ia boleh keluar (pergi haji) bersama sekelompok wanita.

- Imam Hammad: Ia boleh bepergian bersama orang-orang yang shaleh.

- Al-Auza'i: Ia boleh bepergian bersama sekelompok orang yang bisa dipercaya.

- Imam Syafi'i: Ia boleh keluar bersama seorang wanita lainnya yang bisa dipercaya.

2. Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat bahwa adanya mahram merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang wanita yang akan menunaikan ibadah haji. Pendapat ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Hasan, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha'i, Thawus, Asy-Sya'bi, Ishaq, Ats-Tsauri dan Ibnu Mundzir. Pendapat ini didasarkan pada Hadits Shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَاذُوْ مَحْرَمٍ, وَلاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

"Seorang laki-laki tidak boleh berdua-duaan (di suatu tempat) bersama seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya, dan seorang wanita tidak boleh bepergian kecuali bersama mahramnya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari penjelasan di atas, maka bila memungkinkan, sebaiknya Anda pergi bersama mahram lain selain suami, seperti ayah, ayah mertua, anak laki-laki, saudara laki-laki dan lain sebagainya. Namun bila tidak memungkinkan baik karena faktor biaya ataupun faktor-faktor lainnya, maka yakinlah dengan pendapat pertama. Namun jangan lupa harus tetap meminta izin dari suami terlebih dahulu. Wallaahu A'lam....(Fz)
Source: www.ddtravel.co.id

Bolehkah Haji Tanpa Mahram?

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Ustadz saya mau tanya. Sudah lama saya ingin menunaikan ibadah haji, alhamdulillah sekarang saya sudah memiliki kemampuan dari segi finansial. Namun masih ada ganjalan, karena sebenarnya saya ingin pergi bersama suami, tapi kondisi suami tidak memungkinkan karena dia sakit-sakitan. Yang ingin saya tanyakan, bolehkah saya pergi haji tanpa didampingi suami? Sebab saya pernah dengar bahwa haji seorang wanita tidak sah bila tidak didampingi oleh mahramnya. Mohon penjelasannya, terima kasih.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

B-....

Jawaban:

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.

Saudari B yang saya hormati, semua ulama sepakat bahwa seorang wanita juga dikenai kewajiban menunaikan ibadah haji bila telah memiliki kemampuan /istitha'ah, sebagaimana firman Allah swt.:

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.(QS. Ali Imran [3] : 97)

Hanya saja terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai persyaratan adanya mahram. Sebagian ulama mensyaratkan adanya mahram bagi wanita, sementara sebagian yang lain hanya mensyaratkan adanya faktor keamanan atas diri wanita tersebut, dan hal itu bisa terwujud dengan adanya beberapa wanita yang bisa dipercaya.

Berikut adalah pendapat ulama mengenai hal tersebut:

1. Imam Malik dan Imam Syafi'i berpendapat bahwa adanya mahram bagi wanita tidak menjadi syarat haji. Pendapat ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Aisyah, Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Atha', Ibnu Sirin dan Al-Auza'i. Suatu ketika Aisyah ra. pernah ditanya: "Apakah seorang wanita harus bepergian (untuk haji) bersama mahramnya?", beliau pun menjawab: "Tidak semua wanita memiliki mahram."

Pendapat ini juga didasarkan pada sebuah Hadits Shahih yang diriwayatkan Bukhari:

فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لَتَرَيْنَ الظَّعِيْنَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الْحِيْرَةَ حَتَّى تَطُوْفَ بِالْكَعْبَةِ لاَ تَخَافُ أَحَدًا إِلاَّ اللهَ

"Jika kamu berumur panjang niscaya kamu akan melihat seorang perempuan melakukan perjalanan sendiri dari Hira (saat ini di wilayah Irak) hingga (sampai di Mekah dan) melakukan thawaf di sekeliling Ka’bah. Dia tidak takut kepada seorang pun kecuali dari Allah.(HR. Bukhari)

Saat ditanya mengenai wanita yang tidak memiliki mahram, beberapa ulama terkenal memberikan jawaban sebagai berikut:

- Imam Malik: Ia boleh keluar (pergi haji) bersama sekelompok wanita.

- Imam Hammad: Ia boleh bepergian bersama orang-orang yang shaleh.

- Al-Auza'i: Ia boleh bepergian bersama sekelompok orang yang bisa dipercaya.

- Imam Syafi'i: Ia boleh keluar bersama seorang wanita lainnya yang bisa dipercaya.

2. Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat bahwa adanya mahram merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang wanita yang akan menunaikan ibadah haji. Pendapat ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Hasan, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha'i, Thawus, Asy-Sya'bi, Ishaq, Ats-Tsauri dan Ibnu Mundzir. Pendapat ini didasarkan pada Hadits Shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَاذُوْ مَحْرَمٍ, وَلاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

"Seorang laki-laki tidak boleh berdua-duaan (di suatu tempat) bersama seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya, dan seorang wanita tidak boleh bepergian kecuali bersama mahramnya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari penjelasan di atas, maka bila memungkinkan, sebaiknya Anda pergi bersama mahram lain selain suami, seperti ayah, ayah mertua, anak laki-laki, saudara laki-laki dan lain sebagainya. Namun bila tidak memungkinkan baik karena faktor biaya ataupun faktor-faktor lainnya, maka yakinlah dengan pendapat pertama. Namun jangan lupa harus tetap meminta izin dari suami terlebih dahulu. Wallaahu A'lam....(Fz)
Source: www.ddtravel.co.id