Tampilkan postingan dengan label Konsultasi Fara`idh (Waris). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Konsultasi Fara`idh (Waris). Tampilkan semua postingan

Sabtu, 26 November 2011

Ahli Waris: Isteri Kedua & 4 Anak Dari Isteri Pertama


Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya mohon petunjuk jawabannya tentang pembagian warisan. Ayah Saya telah meninggal dunia dan memiliki 2 orang isteri. Isteri yang pertama sudah meninggal dunia sebelum ayah meninggal. Beliau mempunyai 4 orang anak (2 anak laki-laki & 2 anak perempuan). Anak yang pertama adalah perempuan dan sudah menikah, yang kedua juga perempuan tetapi belum menikah, yang ketiga adalah saya sendiri yang juga belum menikah, sementara yang keempat adalah adik saya laki-laki yang juga belum menikah.
Sedangkan melalui pernikahannya dengan isteri kedua, ayah tidak memiliki anak. Yang ingin saya tanyakan, berapa besar bagian warisan yang diterima oleh masing-masing ahli waris, dan bagaimana perhitungannya? Terima kasih atas jawaban yang diberikan.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
A-….
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara A yang saya hormati, dalam kasus di atas, yang menjadi ahli waris adalah isteri kedua dan 4 orang anak dari isteri pertama (yang terdiri dari 2 anak laki-laki & 2 anak perempuan. Karena ada anak, maka isteri mendapat 1/8 bagian atau 0.125; dan karena ada anak laki-laki, maka keempat anak tersebut menjadi ashabah (ahli waris yang mendapat sisa warisan setelah dibagi untuk ahli waris yang lain). Jadi keempat anak tersebut mendapat 7/8 bagian atau 0,875, dengan ketentuan bagian 1 anak laki-laki sama dengan bagian 2 anak perempuan (QS. An-Nisaa` [4]: 11).
Berdasarkan ketentuan tersebut, bila ada 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan, maka itu sama saja dengan 3 anak laki-laki. Dengan demikian, maka 7/8 (0,875) dibagi 3, hasilnya 0,291666667. Inilah bagian untuk 1 anak laki-laki. Sedangkan bagian untuk 1 anak perempuan adalah 0,291666667 dibagi 2, hasilnya 0,145833333.
Andaikata total nilai harta yang ditinggalkan ayah sebesar 3 Milyar, maka perhitungannya adalah sebagai berikut:

- Isteri : 0,125 x 3.000.000.000 = Rp. 375.000.000,-
- 1 anak laki-lak i : 0,291666667 x 3.000.000.000 = Rp. 875.000.000,-
- 1 anak perempuan : 0,145833333 x 3.000.000.000 = Rp. 437.500.000,-
Demikian jawaban yang bisa saya berikan, mudah-mudahan bermanfaat. Mohon maaf bila ada keterlambatan dalam memberikan jawaban. Wallaahu A’lam……
Fatkhurozi

Senin, 08 Agustus 2011

Wasiat Ataukah Hibah?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, saya mempunyai dua pertanyaan. Pertama: Bapak mertuaku wafat 1 tahun yang lalu. Beliau meninggalkan seorang isteri dan 3 orang anak, semuanya laki-laki. Beliau mewariskan beberapa bidang tanah. Ada tanah seluas 6000 m2 yang menjadi hak 3 orang (ibu, suamiku dan 1 orang adik), dengan aset usaha di atas tanah itu sekitar 300 juta, sementara adik yang satu lagi mendapat bagian tanah di tempat lain, yang luasnya sekitar 2000 m2 dengan aset usaha sebesar 2 Milyar.

Dulu sewaktu almarhum masih hidup, beliau berniat agar usaha itu untuk tiga orang bersaudara, termasuk suami saya. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, adik iparku tidak mau membagi usaha itu untuk bertiga. Dia menginginkan semuanya untuk dirinya. Dia pun mengeluarkan suamiku dari jabatan komisaris dan menggantikannya dengan isterinya. Akhirnya almarhum bapak membuat wasiat kalau tanah yang 6000 m2 tersebut untuk ibu, suamiku dan adik bungsu suamiku.

Sepeninggal almarhum, adik yang mendapat tanah di tempat lain itu meminta agar tanah yang menjadi hak bertiga dijual. Dia memang tidak ingin mengambil bagian suamiku, tapi dia mau mengambil bagian ibu, padahal ibu masih hidup. Saat ini, di atas tanah itu, adik iparku memasang spanduk bertuliskan “Tanah ini dijual”. Bagaimana hukumnya yah??
Kedua: Bagaimana cara pembagian tanah yang menjadi hak 3 orang itu? Berapa bagian masing-masing (isteri dan 2 orang anak)? Terima kasih sebelumnya atas penjelasan yang diberikan.
Demikian pertanyaan saya, Pak Ustadz. Terima kasih atas perhatian dan jawaban yang diberikan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
H-….
Jawaban:
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Saudari H yang saya hormati, mungkin ada sedikit kerancuan pada istilah yang Anda gunakan, terutama pada istilah yang berkaitan dengan akad yang menyebabkan berpindahnya hak kepemilikan dari Bapak Mertua Anda kepada anak-anak dan isterinya. Dari paparan Anda, saya dapat menangkap bahwa akad yang sebenarnya diinginkan dan digunakan oleh Bapak Mertua Anda pada kedua bidang tanah tersebut adalah hibah, bukan wasiat seperti yang Anda katakan dan bukan pula waris.
Sebelum saya menjawab pertanyaan Anda, ada baiknya saya jelaskan terlebih dahulu perbedaan antara hibah, wasiat dan waris. Bila akad yang digunakan adalah hibah, maka hak kepemilikan langsung berpindah tangan seiring dengan dikeluarkannya akad tersebut dan tidak harus menunggu orang yang memberinya meninggal dunia. Tetapi bila akad yang digunakan adalah wasiat, maka hak kepemilikan tidak langsung berpindah tangan walaupun akad sudah diucapkan, melainkan menunggu orang yang memberinya meninggal dunia. Namun dalam kasus yang Anda tanyakan, akad wasiat tidak berlaku karena wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris, sesuai sabda Baginda Rasulullah saw.: ““Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap pemiliknya, maka tidak ada (harta) wasiat bagi ahli waris.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Jadi pada kasus tersebut hanya ada dua kemungkinan, ada kemungkinan berpindahnya kepemilikan kedua bidang tanah tersebut melalui akad hibah dan ada kemungkinan melalui sistem waris. Namun setelah memperhatikan alur cerita yang Anda sampaikan, saya menangkap bahwa sebenarnya Bapak Mertua Anda ingin memberikan tanah-tanah itu kepada anak-anak dan isterinya melalui akad hibah. Hal ini dibuktikan dengan niatan beliau untuk memberikan tanah yang luasnya sekitar 2000 m2 untuk ketiga anaknya, termasuk suami Anda. Namun melihat sikap salah satu anaknya yang rakus, beliau pun memberikan tanah yang satunya lagi untuk isteri dan kedua anaknya yang tersingkirkan dari jatah pertama. Akad hibah atas harta orangtua untuk anak-anaknya biasanya dilakukan dengan maksud untuk menghindari terjadinya perselisihan di antara mereka pasca meninggalnya orangtua. Hal inilah yang nampaknya diinginkan oleh Bapak Mertua Anda, sehingga ketika melihat sikap anaknya yang ingin menguasai tanah pertama yang luasnya 2000 m2, beliau pun langsung mengambil kebijakan baru dengan memberikan tanah yang luasnya 6000 m2 untuk isteri dan kedua anaknya.
Dengan demikian, maka tanah yang luasnya 6000 m2 itu menjadi hak tiga orang, yaitu ibu dan kedua anaknya (termasuk suami Anda). Karena akadnya hibah, maka perhitungan yang berlaku bukan perhitungan waris, melainkan sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh si pemberi pada saat akad. Untuk mengetahui berapa bagian masing-masing, tanyakan kepada suami atau ibu mertua Anda, apakah waktu itu Bapak Mertua menyebutkan berapa bagian masing-masing ataukah tidak, atau bagaimana lafazh yang diucapkan beliau? Namun melihat kasus yang terjadi dan berdasarkan kebiasaan yang ada, menurut saya nampaknya Bapak Mertua Anda menginginkan agar tanah tersebut dibagi rata untuk tiga orang. Bila luasnya 6000 m2, maka masing-masing mendapat 2000 m2.
Adapun mengenai sikap adik suami Anda yang ingin menjual tanah bagian ibu, hal itu sangat tergantung pada kesediaan ibu untuk memberikan haknya ataukah tidak. Sebab tanah tersebut telah menjadi hak miliknya, maka hanya dia-lah yang berhak untuk menjualnya ataupun memberikannya kepada orang lain.
Saudari H yang saya hormati, jawaban saya ini hanyalah analisa dari apa yang Anda sampaikan di atas. Seperti yang saya katakan, ada kemungkinan Bapak Mertua Anda melakukan pembagian kedua bidang tanah tersebut melalui akad hibah, tapi ada kemungkinan pula tidak. Bila beliau tidak bermaksud seperti itu, maka yang berlaku adalah hukum waris, sehingga semua harta yang ditinggalkannya dibagi untuk semua ahli waris yang ada sesuai ketentuan yang berlaku. Karena itu, ada baiknya Anda tanyakan secara detail kepada suami atau ibu mertua Anda mengenai hal tersebut, terutama mengenai apa yang dikatakan oleh Bapak Mertua Anda saat itu, apakah bisa disebut hibah ataukah tidak. Wallaahu A’lam…. 
Fatkhurozi

Sabtu, 11 Juni 2011

Surat Rumah Warisan Ayah Atas Nama Ibu

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Begini Pak Ustadz, saya ingin menanyakan beberapa hal mengenai (harta) waris:

1. Apa definisi dari (harta) waris itu?
2. Apa sajakah yang termasuk (harta) waris itu?
3. Jika surat-surat rumah atau tanah peninggalan ayah semuanya atas nama ibu (ibu masih ada / belum meninggal), apakah juga termasuk (harta) waris ayah? Sebab, sampai sekarang ibu beranggapan bahwa jika surat-surat rumah dan tanah itu atas namanya, maka rumah dan tanah itu telah menjadi miliknya dan tidak termasuk (harta) waris.
4. Apakah hukumnya jika (harta) waris tersebut dijual tanpa sepengetahuan salah seorang anak, meskipun anak-anak yang lain mengetahuinya?

Mohon penjelasannya Ustadz, sebelumnya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
A-…..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara A yang saya hormati, saya akan mencoba menjawab pertanyaan Anda satu persatu:
  1. Definisi harta waris: Menurut bahasa, harta waris (atau dalam bahasa arabnya “al-miiraats”) berasal dari kata waratsa yaritsu irtsan miiraatsan, yang berarti “berpindahnya sesuai dari seseorang kepada orang lain, atau dari satu kaum kepada kaum yang lain”. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan waris atau miiraats adalah berpindahnya hak kepemilikan atas sesuatu dari orang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup.

  2. Berdasarkan pengertian di atas, maka yang termasuk katagori harta waris adalah segala sesuatu yang menjadi hak milik orang yang meninggal dunia, baik berupa materi seperti uang, rumah, tanah dan lain-lain, ataupun berupa hak dan manfaat seperti hak cipta dari suatu karya, manfaat dari rumah yang disewakan dan lain-lain. Khusus untuk harta yang berupa “hak dan manfaat” ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah ia bisa diwariskan ataukah tidak.

  3. Jawaban dari pertanyaan ketiga hampir sama dengan jawaban yang saya berikan pada konsultasi berjudul “Curhat Soal Warisan Orangtua”. Dalam konsultasi tersebut, saya menegaskan bahwa berdasarkan kaidah, “An-Naasu yahkumuuna bizh-zhawaahir wallaahu yahkumu bil-bawaathin” (Manusia menghukumi sesuatu berdasarkan hal-hal yang sifatnya lahiriah [bukti-bukti fisik], sedangkan Allah menghukumi sesuatu berdasarkan hal-hal yang sifatnya batiniyah), maka semestinya rumah dan tanah tersebut telah menjadi hak milik ibu, bukan ayah. Namun di kalangan masyarakat kita, terkadang pencantuman nama isteri dalam sertifikat tanah atau rumah suami hanya bersifat formalitas belaka, yang salah satu tujuannya untuk menghindari atau meminimalisir pajak. Jadi, pencantuman tersebut tidak berpengaruh terhadap pemindahan hak milik dari suami kepada isteri, karena pada saat pengurusan surat itu sebenarnya suami tidak berniat untuk menghibahkannya kepada sang isteri. Karenanya, perlu dicek kembali apakah ayah benar-benar telah menghibahkan rumah dan tanah tersebut kepada ibu dengan bukti pencantuman nama ibu dalam sertifikat tersebut, ataukah pencantuman itu hanya formalitas belaka? Kedua hal tersebut jelas memiliki implikasi yang sangat berbeda. Bila ayah benar-benar telah menghibahkannya kepada ibu, maka tanah tersebut telah menjadi milik ibu sehingga ia tidak menjadi harta warisan ayah saat ayah meninggal dunia. Ia hanya akan menjadi harta waris setelah ibu meninggal dunia. Namun, bila ternyata ayah belum menghibahkannya kepada ibu, maka ia termasuk harta waris dari sang ayah yang harus dibagikan kepada semua ahli waris yang ada, termasuk ibu (isteri ayah) dan anak-anaknya. Hal itu disebabkan karena pembicaraan mengenai harta (termasuk harta waris) tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai hak milik; siapa yang memiliki harta tersebut?

  4. Bila ada harta waris yang dijual oleh orangtua (ayah atau ibu yang masih hidup) tanpa sepengetahuan salah seorang anaknya (padahal anak tersebut sudah baligh dan dianggap mampu memanage sendiri harta miliknya), maka tindakan tersebut merupakan tindakan yang melanggar aturan Islam. Sebab dalam kondisi seperti itu, terutama bila masing-masing ahli waris belum mendapatkan kepastian bagiannya, maka semua ahli waris masih berserikat atas kepemilikan harta tersebut. Oleh karena itu, bila ada salah seorang ahli waris yang ingin menjualnya, dia harus memberitahukannya kepada semua ahli waris yang berserikat atas kepemilikan harta tersebut. Hal ini perlu diperhatikan karena persoalan warisan merupakan persoalan yang sangat sensitif, yang dapat merusak hubungan antara seseorang dengan kerabatnya, saudaranya atau bahkan dengan orangtuanya sendiri. Karena itu, hendaknya seorang Muslim mengikuti aturan-aturan waris yang telah ditetapkan oleh Islam. Saran saya, bicarakan baik-baik mengenai hal ini kepada ibu. Mudah-mudahan Anda akan mendapatkan solusi yang terbaik dan sesuai aturan syariat. Wallaahu A’lam….
Fatkhurozi

Minggu, 05 Juni 2011

Sengketa Tanah Warisan Ayah

Sengketa Tanah Warisan Ayah
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya punya surat tanah warisan orangtua (ayah). Di dalam surat tanah tersebut tertulis nama almarhum ayah saya sebagai pemiliknya. Sekarang di atas tanah tersebut didirikan pasar, dan selama ini saya yang ambil uang pasarnya.
Namun belum lama ini, kakak ayah saya datang kepada saya. Dia menyuruh saya untuk menyerahkan surat tanah tersebut kepadanya, karena –menurutnya- tanah itu adalah milik orangtuanya (kakek saya). Lalu dia akan mengusir saya bila saya tidak menyerahkan surat tanah tersebut kepadanya. Menurut Pak Ustadz, bagaimana solusi yang terbaik? Apakah kakak ayah saya itu memang berhak mendapat bagian? Lalu andaikata tanah itu benar milik orangtuanya (kakek saya), apakah saya juga berhak mendapat bagian. Mohon jawabannya, Pak Ustadz!
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Y-….
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara Y yang saya hormati, menurut hukum waris Islam, bila ada anak laki-laki maka paman (saudara ayah) akan menjadi mahjub (terhalang), alias dia tidak berhak menerima bagian dari harta waris yang ditinggalkan ayah Anda. Jadi, secara hukum, posisi Anda lebih kuat daripada paman Anda. Apalagi surat tanah tersebut atas nama ayah Anda. Artinya, bila masalah ini dibawa ke pengadilan agama, maka kemungkinan besar Anda bisa menang.
Namun, ada kebiasaan di masyarakat kita, dimana mereka biasa meminjam nama orang lain dalam surat-surat penting. Ada kemungkinan kakek Anda (sebelum meninggal), menghibahkan harta itu untuk anak-anaknya, hanya saja diatasnamakan satu orang (yaitu ayah Anda). Atau bisa jadi, setelah kakek Anda meninggal, ahli-ahli waris yang ada (termasuk ayah dan paman Anda) tidak langsung membagi tanah peninggalan kakek Anda itu. Mereka sepakat untuk berserikat atas tanah tersebut, namun hanya nama ayah Anda saja yang disebutkan dalam surat tanah tersebut. Menurut analisa saya, salah satu dari dua kemungkinan inilah yang dijadikan alasan paman Anda untuk merebut surat tanah tersebut dari Anda. Kemungkinan seperti itu bisa saja terjadi, walaupun secara hukum sangat tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan terjadinya perselisihan di kemudian hari.
Karena itu, ada baiknya Anda cari informasi terlebih dahulu, apakah ada wasiat dari ayah Anda mengenai status kepemilikan harta tersebut, atau adakah bukti-bukti atau saksi-saksi yang menyatakan bahwa sebenarnya harta itu adalah harta kakek Anda yang diwariskan kepada anak-anaknya, hanya saja menggunakan nama ayah Anda. Bila memang ada bukti-bukti yang memperkuat perkataan paman Anda, maka cobalah bicarakan masalah ini baik-baik dengan paman Anda. Walau bagaimana pun, Anda masih punya hak di sana, yaitu hak waris dari bagian waris yang seharusnya diterima ayah Anda dari sang kakek (tentunya ini sangat tergantung pada kondisi dan jumlah ahli waris dari kakek Anda).
Namun bila tidak ada wasiat mengenai status kepemilikan harta tersebut dan tidak ada pula bukti-bukti ataupun saksi-saksi, maka 100% Anda dan saudara-saudara Anda (kalau ada) berhak atas harta tersebut, dan sama sekali tidak ada hak sang paman. Bila memang demikian adanya, sebaiknya selesaikan masalah ini secara kekeluargaan terlebih dahulu. Jelaskan baik-baik kepada paman Anda mengenai status kepemilikan tanah tersebut dan mengenai hukum waris yang berkaitan dengannya (seperti yang telah saya jelaskan di atas). Bila perlu, hadirkan tokoh masyarakat atau tokoh agama yang disegani paman Anda. Namun bila dia masih bersikeras, maka Anda bisa saja mengajukan masalah ini ke pengadilan agama bila Anda tidak ridha terhadap apa yang dilakukan paman Anda. Wallaahu A'lam....
Fatkhurozi

Senin, 10 Januari 2011

Nazdar Haji

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz, saya mau tanya tentang harta almarhum bapak saya. Beliau pernah menginginkan bila sawahnya terjual akan digunakan untuk berangkat haji. Namun sebelum sawah itu terjual, beliau keburu meninggal dunia. Alhamdulillah, sekarang sawah itu telah terjual. Mamah menginginkan agar harta itu digunakan untuk menghajikan almarhum bapak, diwakili oleh anaknya. Sementara uwak tidak setuju. Dia menginginkan harta itu dibagikan saja.
Sebaiknya bagaimana yah, Pak Ustadz? Mohon arahannya karena masalah ini menjadi masalah yang cukup serius bagi keluarga kami. Perlu diketahui, anak bapak semuanya berjumlah 9 orang, dan semuanya perempuan. Terima kasih atas jawabannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
T-….

Jawaban:
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Saudari T yang saya hormati, keinginan ayah Anda untuk berangkat haji bila sawahnya terjual disebut dengan nadzar mu’allaq, yaitu suatu nadzar yang pelaksanaannya dikaitkan dengan sesuatu. Contoh nadzar mu’allaq adalah seperti dengan mengatakan: “Jika sawah saya laku, maka saya akan pergi haji”, atau “Jika saya sembuh, maka saya akan mensedekahkan separoh harta saya untuk fakir miskin.”

Hukum nadzar seperti ini wajib untuk dilaksanakan bila apa yang diinginkan itu benar-benar terwujud, tetapi dengan catatan nadzar tersebut tidak berkaitan dengan kemaksiatan kepada ALLAH swt.. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa bernadzar untuk menaati Allah, hendaknya ia menaati-Nya, dan barangsiapa bernadzar untuk bermaksiat kepada-Nya, maka janganlah ia perturutkan untuk bermaksiat kepada-Nya.” (HR. Bukhari Muslim)

Bila seseorang bernadzar tetapi dia keburu meninggal dunia sebelum melaksanakan nadzarnya, maka ahli warisnya-lah yang berkewajiban untuk melaksanakan nadzar tersebut. Bila nadzar itu berkaitan dengan harta seperti nadzar untuk bersedekah, maka pelaksanaannya diambilkan dari harta yang ditinggalkan si mayyit. Sedangkan bila berkaitan dengan pelaksanaan satu ibadah seperti haji atau puasa, maka keluarganya-lah yang harus melaksanakan. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang menemui Nabi saw.. Dia bertanya: ”Sesungguhnya ibuku nadzar untuk haji, namun nadzar itu belum terlaksana sampai beliau meninggal dunia, apakah saya harus melakukan haji untuknya?" Nabi saw. pun menjawab, "Ya, bagaimana pendapatmu bila ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar." (HR. Bukhari)

Dalam kasus yang Anda tanyakan, pelaksanaan ibadah haji itu dilakukan dengan menggunakan biaya yang diambilkan dari harta waris ayahanda. Karena pelaksanaan nadzar itu dianggap sebagai hutang (kepada ALLAH), maka pelaksanaannya harus didahulukan sebelum pembagian harta waris, sesuai firman ALLAH swt. : “Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya.” (QS. An-Nisaa [4]: 12) Bila masih ada sisa, baru boleh dibagikan kepada ahli waris. Wallaahu A’lam…. Fatkhurozi

Rabu, 10 November 2010

Siapa Yang Lebih Berhak Mengelola Harta Bapak?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak, saya mau nanya soal harta orangtua. Ibu saya baru saja meninggal, sementara bapak saya sudah sekitar lima tahun menderita sakita jantung (sudah dioperasi), namun masih harus cuci darah 2 kali seminggu. Kondisi bapak memprihatinkan, tidak bias berjalan, hanya bisa berjalan dengan bantuan kursi roda. Di sini, saya ingin bertanya tentang usaha bapak yaitu toko elektronik dan showroom motor yang masing-masing dikelola oleh orang-orang kepercayaan bapak yang sama sekali tidak ada hubungan persaudaraan.
Sementara saya sebagai anak kandung satu-satunya yang tinggal bersama bapak tidak boleh mencampuri dan mengurusi usaha bapak. Bapak dan saudara-saudara saya yang semuanya berjumlah 6 orang (mereka sudah berkeluarga dan sudah mapan, namun tinggal di luar kota) hanya meminta saya untuk merawat dan mengurusi bapak yang sedang sakit, tidak boleh mencampuri urusan bisnis bapak. Saya juga sudah berkeluarga dan mempunyai 2 anak, namun belum mapan seperti saudara-saudara saya yang lain. Saya hanya dijatah oleh orang kepercayaan bapak seminggu sekali. Yang ingin saya tanyakan, sebenarnya siapa yang lebih berhak mengurus dan mengelola usaha bapak?
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
A-…..

Jawaban:
Wa'alaikumusalam Wr. Wb.
Saudara A yang saya hormati, sebelumnya saya ingin mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya ibunda tercinta. Semoga amal baiknya diterima dan dosa-dosanya diampuni ALLAH swt., dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan, amin.
Saudaraku, sayang sekali pada pertanyaan Anda di atas tidak disebutkan secara jelas status kepemilikan harta (usaha) tersebut, apakah 100% milik bapak ataukah ada saham ibu yang bisa dibagi sebagai harta warisan ibunda. Hal ini perlu diketahui karena ia dapat menjawab pertanyaan Anda, siapa yang lebih berhak mengurusnya? Bila memang ada saham ibu dalam harta atau usaha tersebut, maka ia harus dibagi, ¼ untuk ayah (QS. An-Nisaa` [4]: 12) dan sisanya untuk Anda bertujuh, dengan catatan bila ada anak perempuan, maka anak perempuan mendapat ½ dari bagian anak laki-laki (QS. An-Nisaa’ [4]: 11).
Bila kondisinya memang seperti itu, maka menurut saya Anda masih berhak mengajukan pertanyaan seperti di atas. Sebab, dengan adanya warisan dari ibu, berarti Anda memiliki saham dalam harta atau usaha tersebut. Namun, bila ternyata harta tersebut adalah 100% milik bapak, maka sebenarnya bapak Anda-lah yang berhak mengelola dan mengendalikan usaha tersebut, dengan catatan bila bapak Anda memang masih bisa melakukan hal itu meskipun harus dengan memberi kuasa kepada orang-orang kepercayaannya.
Dari uraian Anda di atas, nampaknya bapak Anda termasuk ke dalam katagori ini. Artinya, dia masih mampu untuk mengelola usahanya meskipun hanya dengan memberi kuasa kepada orang lain. Mungkin kebijakan bapak Anda yang juga didukung oleh saudara-saudara Anda yang lain untuk tidak menyerahkan usaha itu kepada Anda, disebabkan karena faktor-faktor tertentu. Bisa jadi karena faktor profesionalisme, artinya menurut penilaian bapak Anda, orang-orang kepercayaannya itu dianggap lebih bisa untuk mengelola usahanya daripada diri Anda sendiri. Bila memang ini alasannya, maka menurut saya hal itu lebih baik daripada usaha tersebut harus diserahkan kepada Anda, karena Rasulullah saw. bersabda: “Bila urusan diserahkan kepada selain ahlinya, tunggulah kehancuran." (HR. Bukhori)
Atau, bisa jadi karena bapak dan juga saudara-saudara Anda yang lain ingin agar Anda lebih fokus untuk mengurus dan merawat bapak Anda yang sedang sakit, karena Anda-lah satu-satunya anak yang tinggal bersama bapak. Bila memang ini alasannya, maka menurut saya, hal ini juga lebih baik daripada Anda harus mengelola usaha itu. Wallaahu A’lam….Fatkhurozi

Kamis, 27 Mei 2010

Mengambil Hak Anak Yatim

Mengambil Hak Anak Yatim
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Bagaimana keadaan Pak Ustadz dan keluarga? Semoga dalam keadaan sehat wal’afiat, amin.
Pak Ustadz, saya mau bertanya. Sudah dua tahun ayah saya meninggal dunia. Beliau meninggalkan warisan untuk saya, serta adik-adik dan ibu saya. Tapi setelah 6 bulan kepergian ayah, pihak keluarga ayah saya (yaitu orangtua dan adik ayah saya) berebut untuk menjual warisan itu. Sampai saat ini, tidak ada 1 sen pun yang tersisa untuk kami.
Saya hanya ingin menanyakan, apa betul mereka berdosa karena telah mengambil hak anak yatim, Pak Ustadz? Bila kami sekeluarga ikhlas, apa perbuatan mereka bisa diampuni ALLAH swt.. Terima kasih, Pak Ustadz.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
D-....

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Alhamdulillah sampai saat ini, saya dan keluarga masih dikaruniai oleh ALLAH swt. dua nikmat besar yang tak ternilai harganya, yaitu nikmat hidup dan nikmat sehat. Mudah-mudahan kami bisa mensyukuri kedua nikmat tersebut dengan cara memanfaatkannya untuk melakukan hal-hal yang diridhai-Nya, dan semoga ukhti juga dalam keadaan yang sama, amin ya Robbal-‘alamiin....
Saudariku, berbicara mengenai harta warisan adalah berbicara mengenai hak, dimana masing-masing ahli waris harus mendapatkan haknya secara sempurna sesuai aturan yang telah ditetapkan oleh Islam, tidak boleh dikurangi, apalagi ditiadakan sama sekali. Dalam hal ini, Anda dan adik-adik berhak mendapatkan warisan dalam kedudukannya sebagai anak, sesuai firman ALLAH swt.: “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.” (QS. An-Nisaa’ [4]: 11)
Sedangkan ibu Anda berhak mendapatkan warisan karena dia adalah isteri dari ayah Anda, sesuai firman ALLAH swt.: “Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu.” (QS. An-Nisaa’ [4]: 12)
Islam sangat menghormati dan menjaga hak. Bahkan, Islam menuntut setiap Muslim untuk memberikan setiap hak kepada orang yang berhak menerimanya. Nabi saw. bersabda: “dan berikanlah hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya.”
Dalam masalah pembagian harta waris, upaya Islam untuk memberikan hak kepada pemiliknya dapat dilihat secara jelas dalam ayat-ayat yang berkaitan dengan warisan. Setelah menyebutkan bagian untuk masing-masing ahli waris, ayat tersebut ditutup dengan statemen yang menegaskan bahwa aturan waris ini merupakan ketentuan ALLAH swt. yang tidak boleh dilanggar. Pada QS. An-Nisaa` (4): 11, digunakan redaksi: “ini adalah ketetapan ALLAH”. Pada ayat ke-12, digunakan redaksi: “Demikianlah ketentuan ALLAH”. Kemudian pada ayat ke-13, ALLAH swt. berfirman: “Itulah batas-batas (hukum) ALLAH. Barangsiapa taat kepada ALLAH dan Rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.”
Saudariku, redaksi-redaksi seperti itu mengisyaratkan bahwa aturan waris yang disebutkan sebelumnya merupakan ketentuan ALLAH yang harus dipatuhi oleh setiap Muslim, sebagai sebuah kewajiban dari-Nya. Atau dapat difahami pula, hak-hak ahli waris yang telah ditetapkan dalam ayat-ayat tersebut harus dipenuhi. Bila ada orang yang mengambil hak ahli waris dengan cara yang batil, maka sudah barang tentu dia dianggap telah melakukan kezhaliman yang akan mendatangkan dosa baginya. Apalagi, bila hak yang diambil adalah hak anak yatim yang belum bisa mengelola sendiri hartanya. ALLAH swt. berfirman: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sungguh (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.” (QS. An-Nisaa` [4]: 2)
Pada ayat lain, ALLAH swt. berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya, dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-Nisaa` [4]: 10)
Tapi ingat Saudariku, meskipun Anda berhak untuk menuntut, tetapi sikap memaafkan adalah lebih mulia di mata ALLAH swt., bahkan lebih mendekatkan Anda kepada ketakwaan, sesuai firman-Nya: “dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 237) Hal serupa juga ditegaskan dalam firman-Nya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabb-mu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang menginfakkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 133-134)
Apalagi, ternyata orang yang mengambil hak Anda itu adalah orangtua dan adik ayah Anda, yang notabene masih termasuk orangtua Anda juga yang sudah seharusnya dimaafkan bila mereka melakukan kesalahan, maka sangatlah tepat bila Anda mau memaafkan mereka. Sebab, dosa seorang hamba yang disebabkan karena perbuatan menzhalimi orang lain, dapat dimaafkan ALLAH bila dia telah mendapatkan maaf dari orang yang dizhaliminya. Tentunya setelah dia juga bertaubat kepada ALLAH swt.. Setelah Anda memaafkan mereka, bantulah mereka dengan berdoa agar ALLAH benar-benar mengampuni mereka. Yakinlah bahwa ALLAH swt. adalah Maha Pengampun, dan yakinlah bahwa bila Anda bersikap ikhlas seperti itu, maka ALLAH akan membuka pintu-pintu rezeki-Nya untuk Anda. Wallaahu A’lam.....Fatkhurozi

Kamis, 13 Mei 2010

Bila Ayah Tiri Lepas Tanggung Jawab, Apa Dapat Warisan?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya mau menanyakan sesuatu. Begini ceritanya, ibu saya sudah meninggal sekitar 3 bulan yang lalu. Sekarang ayah tiri saya mengutak-atik harta warisan yang ditinggalkan ibu saya. Bahkan, sebenarnya hal itu sudah dia lakukan sebelum ibu meninggal dunia.
Sebenarnya pokok permasalahan bukan terletak pada tata cara bagi waris (fara’idh) yang sudah disepakati oleh semua ahli waris. Tapi pokok permasalahan terletak pada kewajiban dan tanggung jawab ayah tiri saya selama ibu masih hidup. Sebagai contoh, sejak dia menikah dengan ibu saya, ternyata ibu saya-lah yang menafkahi keluarga hingga punya berbagai macam harta. Ayah tiri saya hanya enak-enakan saja dan tidak kerja sama sekali.
Waktu ibu sakit, dia juga tidak mengambil alih fungsinya sebagai seorang suami. Akhirnya, saya bawa ibu ke rumah saya dan saya urus beliau hingga beliau dipanggil ALLAH swt.. Tidak hanya itu, setiap kali diajak berembug soal biaya pengobatan ibu yang sedang sakit, dia selalu mengatakan “tidak tahu” dan “tidak punya uang”. Padahal, semua harta yang diperoleh ibu saya melalui usahanya sendiri, telah dikuasai oleh ayah tiri saya. Saat kami minta untuk menjualnya guna membiayai pengobatan ibu, dia selalu melarang. Bahkan karena kami telah menjual harta bawaan ibu yang sudah dihibahkan kepada kami (anak-anaknya), dia pun menggugat kami ke Pengadilan Agama.
Anehnya lagi, setiap kali saya mengadakan pengajian di rumah guna mendoakan kesembuhan ibu, dia malah melarangnya. Begitu juga, saat ada dokter teraphist yang datang untuk mengobati ibu saya, dia malah menyuruhnya pulang lagi. Seakan-akan dia menginginkan agar ibu saya cepat meninggal.
Yang ingin saya tanyakan, bagaimana saya harus menghadapi masalah ini? Saya merasa tidak ada keadilan dalam masalah ini. Sebab menurut saya, ayah tiri saya telah meninggalkan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai suami, tapi mengapa dia mengejar-ngejar haknya untuk mendapatkan warisan dari ibu saya? Harta bawaan yang sudah dihibahkan kepada kami pun ikut dituntutnya. Malahan sebagian warisan tersebut sudah dia jual untuk kepentingan pribadinya tanpa seizin empat orang ahli waris lainnya, termasuk dua anaknya alias adik-adik saya lain ayah yang sekarang semuanya ikut saya. Mereka ikut saya karena tidak tahan melihat tingkah laku ayahnya yang kurang biadab. Terima kasih atas penjelasannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
E-.....

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Sebelumnya saya turut berbela sungkawa atas meninggalnya ibunda tercinta. Semoga seluruh amal baiknya semasa hidup diterima di sisi-Nya dan dosa-dosanya juga diampuni oleh-Nya.
Saudaraku yang terhormat, apa yang telah dilakukan oleh ayah tiri Anda memang tidak baik dan bertentangan dengan aturan-aturan Islam. Namun, hal itu belum bisa dianggap sebagai faktor yang dapat menyebabkan dirinya terhalang dari haknya sebagai ahli waris dari isterinya sendiri (ibu Anda). Sebab, walaupun terkesan dia menginginkan kematian ibunda, namun secara hukum dia tidak terbukti melakukan tindakan pembunuhan terhadap ibunda.
Perlu diketahui bahwa, ada dua faktor yang dapat menyebabkan hilangnya hak seseorang sebagai ahli waris:
1. Orang kafir: Orang kafir tidak dapat mewarisi harta orang Muslim, demikian pula sebaliknya, walaupun keduanya memiliki hubungan darah atau hubungan pernikahan. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw.: “Orang Muslim tidak dapat mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak dapat mewarisi orang Muslim.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Pembunuh: Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta orang yang dibunuhnya, sesuai sabda Nabi saw.: “Pembunuh tidak dapat mewarisi orang yang dibunuh sedikitpun.” (HR. Abu Daud)
Dalam kasus ayah tiri Anda, saya tidak melihat adanya salah satu dari kedua faktor tersebut. Karena itu, dia pun masih berhak untuk mendapatkan bagian dari harta waris, sesuai ketentuan syariah.
Adapun mengenai harta waris yang sudah diambil dan dijualnya, itu merupakan hak semua ahli waris. Selama harta itu belum dibagi secara sah sesuai ketentuan ilmu fara’idh, maka secara hukum harta itu masih milik bersama (semua ahli waris), sehingga ayah tiri Anda tidak berhak untuk menjualnya tanpa izin dari ahli waris yang lain. Bila hal itu dia lakukan, berarti dia telah menzhalimi orang lain. Dalam hal ini, dia dituntut untuk mengembalikan harta tersebut, atau -paling tidak- mengembalikan nilainya, atau bisa juga dikurangi dari bagiannya nanti.
Saudaraku yang terhormat, masalah sikap ayah tiri Anda yang terkesan melalaikan tanggung jawabnya sebagai suami dan terkesan menginginkan kematian ibunda, pasrahkan dan serahkan sepenuhnya kepada ALLAH swt.. Biarlah ALLAH yang memberi balasan yang setimpal untuknya. Yakinlah bahwa setiap keburukan, sekecil apapun, akan dibalas oleh-Nya. ALLAH swt. berfirman: “Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 8) Bahkan, bisa jadi balasan itu akan diberikan ALLAH di dunia, mungkin dalam bentuk kehidupannya yang sulit atau tidak berkah.
Jadi, Anda tidak perlu merasa risau dan bertanya-tanya mengapa dia tetap memperoleh bagian warisan. Sebab dalam masalah warisan ini, yang bisa diintervensi oleh hukum adalah bila seorang ahli waris beragama lain (kafir) atau terbukti melakukan pembunuhan terhadap si mayit. Bila kedua hal itu tidak ada, maka yang berlaku adalah ketentuan hukum waris (fara’idh) seperti biasa. Sekarang ikuti saja ketentuan tersebut dan pasrahkan sepenuhnya kepada ALLAH bila dia memang benar-benar ingin menggugat Anda dalam kaitannya dengan harta bawaan yang sudah dihibahkan ibunda kepada Anda dan adik-adik.
Saudaraku, terkadang sikap buruk seseorang terhadap kita atau terhadap orang yang kita cintai memang seringkali membuat kita emosi atau merasa kesal, dan itu sangat manusiawi. Namun sebagai umat Nabi MUHAMMAD saw., kita dituntut untuk mengikuti tauladan yang beliau contohkan kepada kita, termasuk dalam menyikapi sikap tidak menyenangkan dari orang lain. Lihatlah bagaimana beliau selalu legowo dan selalu memaafkan kesalahan orang lain, bahkan terhadap orang yang jelas-jelas akan membunuh beliau. Itulah puncak ketinggian akhlak seorang manusia yang dipilih oleh ALLAH swt. sebagai panutan bagi seluruh manusia.
Jadi, berusahalah untuk ikhlas terhadap apa yang telah terjadi, syukur-syukur Anda bisa sampai pada tahap memaafkan kesalahan ayah tiri Anda. Yakinlah bahwa bila Anda ikhlas, maka ALLAH akan membukakan untuk Anda pintu-pintu rezeki dan pintu-pintu keberkahan-Nya. Ingat, rezeki ALLAH tidak hanya memiliki satu pintu saja, tetapi memiliki pintu-pintu yang sangat banyak. Jangan sampai kita berusaha mati-matian untuk membuka pintu yang satu itu saja, sementara pintu-pintu yang lain tertutup. Padahal, bisa jadi pintu-pintu lain itulah yang justru mengandung banyak keberkahan. Wallaahu A’lam.....Fatkhurozi

Rabu, 30 Desember 2009

Curhat Soal Warisan Orangtua 2 (Ibu Marah-marah Saat Ditanya Soal Warisan)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Maaf Pak Ustadz, saya mau nanya. Saya mempunyai ayah yang sudah meninggal sekitar 10 bulan yang lalu. Beliau meninggalkan harta yang cukup banyak, antara lain 4 buah rumah. Salah satu di antaranya vila, sawah, kolam ikan serta rumah kontrakan sebanyak 36 kamar. Belum lagi warisan rumah, tanah dan sawah peninggalan ayahnya (kakek saya) di Jawa. Tetapi ibu saya tidak mau membagikannya dengan alasan untuk membiayai sekolah adik laki-laki saya yang bungsu. Bahkan, bila ibu ditanya tentang pembagian warisan tersebut, beliau malah marah-marah dan menganggap kami anak yang durhaka. Karena bingung, kami pun membiarkan sikap ibu. Kami 5 bersaudara, 2 laki-laki dan 3 perempuan. Bagaimana hukumnya Pak Ustadz, sedangkan ada salah satu anaknya yang membutuhkannya. Terima kasih atas waktunya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

D - …..

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Seperti yang pernah saya utarakan, persoalan warisan merupakan persoalan yang sangat sensitif karena dapat merusak hubungan antara seseorang dengan kerabatnya, saudaranya atau bahkan dengan orangtuanya sendiri. Karena itu, hendaknya seorang Muslim mengikuti aturan-aturan warisan yang telah ditetapkan oleh Islam. Seperti pada kasus yang Anda hadapi, bila salah satu pihak tidak hati-hati dalam mengambil sikap, maka hubungan antara dirinya dengan pihak yang lain dapat renggang. Dalam hal ini, hubungan antara anak dengan ibunya sendiri. Di sini dibutuhkan adanya sikap bijaksana orangtua dan pengertian dari anak-anaknya.

Orangtua harus bersikap bijaksana terhadap anak-anaknya termasuk dalam masalah warisan. Dia juga harus membuang jauh-jauh egonya, tentunya tidak lain dan tidak bukan hanya untuk kebaikan seluruh anaknya, bukan hanya untuk satu anak saja. Dalam kasus Anda, seharusnya ibu membagikan harta warisan sang ayah kepada anak-anaknya, apalagi anak-anaknya sudah dewasa hingga dapat mengelola hartanya sendiri. Atau paling tidak, ibu harus menentukan bagian masing-masing sesuai ketentuan hukum fara`idh meskipun pengelolaan atas harta tersebut masih di pegang dirinya. Sebab, berbicara soal warisan adalah berbicara soal hak, dan hak harus disampaikan kepada pemiliknya. Oleh karena itu, ibu harus bersikap legowo dan terbuka dalam masalah pembagian warisan. Dia tidak boleh marah bila ditanya oleh anak-anaknya yang sudah dewasa mengenai hal itu, apalagi sampai menganggap anaknya durhaka.

Menurut saya, andaikata ibu Anda memang ingin membiayai anak bungsunya dari harta warisan tersebut, maka ada dua alternatif solusi yang bisa dia lakukan dimana keduanya tetap sesuai dengan aturan Islam.

Pertama: Ibu membagikan kepada anak-anaknya haknya masing-masing tetapi dia meminta komitmen mereka (terutama yang sudah bekerja) untuk membantu pembiayaan sekolah adik bungsu mereka. Di sini, ibu tidak berperan sebagai pengelola seluruh harta karena sudah dibagikan kepada anak-anaknya kecuali bagiannya sendiri dan (bila ada) bagian anak yang belum mampu mengelola hartanya.

Kedua: Ibu menentukan bagian masing-masing ahli waris (termasuk dirinya) tanpa harus membagikannya langsung sehingga pengelolaan atas seluruh harta masih di tangan sang ibu. Dalam hal ini, yang berlaku adalah prinsip syirkah jabar (kepemilikan bersama akibat faktor warisan) seperti yang pernah saya jelaskan pada konsultasi sebelumnya. Tentunya bila kira-kira ada anak yang sangat membutuhkan, maka sebaiknya ibu memberikan jatah anak tersebut, sisanya dia kelola atas kesepakatan semua pihak. Ibu dapat menggunakan hasil pengelolaan harta tersebut untuk pembiayaan sekolah anak bungsunya, bila ada sisa maka dibagikan kepada anak-anaknya.

Selain membutuhkan adanya sikap bijaksana sang ibu, masalah yang Anda hadapi juga membutuhkan adanya pengertian atau kesadaran dari anak-anak untuk membantu orangtuanya. Apalagi sejak ditinggal sang ayah, mungkin ibu tidak memiliki penghasilan untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya termasuk pembiayaan sekolah anak bungsunya. Mungkin inilah yang menyebabkan kekhawatiran sang ibu sehingga dia tidak mau membagikan harta warisan suaminya kepada anak-anaknya. Bila memang kondisinya seperti itu, maka –menurut saya- alternatif solusi kedua lebih baik.

Saran saya, cobalah bicarakan masalah ini dengan saudara-saudara Anda yang lain, setelah itu bicarakan bersama-sama dengan ibu dengan penyampaian yang baik yang tidak menyinggung perasaannya. Pilihlah waktu yang tepat, terutama saat ibu sedang dalam keadaan nyaman untuk diajak berdiskusi. Sebab, walau bagaimana pun, dia adalah ibu Anda yang harus tetap dihormati dan diperlakukan dengan baik, sesuai firman Allah swt.: “maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.’” (QS. Al-Israa` [17]: 23) Di ayat lain, Allah swt. juga berfirman: “dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqmaan [31]: 15)

Sekedar informasi, cara pembagian warisan harta ayah Anda adalah sebagai berikut:

- Ibu (isteri ayah) mendapat 1/8

- Yang 7/8 dibagi untuk 2 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Karena bagian 1 anak laki-laki = bagian 2 anak perempuan, maka bila ada 2 anak laki-laki dan 3 anak perempuan, itu sama saja dengan 7 anak perempuan. Dengan demikian, maka 7/8 dibagi 7 = 1/8. Jadi bagian 1 anak perempuan = 1/8.

- Sedangkan bagian 1 anak laki-laki : 1/8 x 2 = 2/8.

Wallaahu A’lam Fatkhurozi

Rabu, 23 Desember 2009

Curhat Soal Warisan Orangtua

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, saya juga ada problem yang hampir sama dengan topik warisan. Begini ceritanya Pak Ustadz; Almarhum kakek (dari pihak ayah) mempunyai sebidang tanah (lahan) yang lumayan luas yang dibeli dari bapak mertua beliau. Beliau mempunyai 5 orang putera dan puteri, yaitu:

1. Almarhum ayah saya

2. Puteri (hilang akal sehat)

3. Puteri (bibi)

4. Putera (paman)

5. Puteri (anak pungut)

Sertifikat tanah tersebut dibuat atas nama orangtua perempuan (nenek) dari pihak ayah. Sebenarnya masih ada warisan lain, tapi kami tidak mau tahu. Kami pernah dengar bahwa anak-anak dari paman dan bibi sudah ditentukan bagiannya masing-masing. Demi Allah, kami tidak mempersoalkan hal itu. Bukankah langkah, rezeki, pertemuan dan maut datang dari Allah swt. selagi kita punya niat dan mau berusaha di jalan yang diridhai-Nya?

Di atas tanah tersebut, dulunya berdiri rumah lama almarhum kakek dan nenek. Saat menikah, paman membangun rumah huni keluarganya persis di samping rumah lama. Kemudian paman memugar rumahnya lebih besar lagi. Akhirnya, rumah lama pun dibongkar dan didirikanlah bangunan baru, rumah paman dan nenek. Dulu kami tinggal di luar daerah, tetapi entah kenapa tiba-tiba almarhum ayah mengajak almarhum ibu dan kami pindah ke lahan itu juga.

Almarhum ayah pernah berkata, hal itu beliau lakukan atas permintaan nenek. Ayah pun membangun rumah huni di sisi lahan yang masing kosong. Perbandingan rumah di lahan tersebut adalah sebagai berikut:

· ½ bagian dari lahan tersebut dibangun rumah paman.

· ¼ nya dibangun rumah nenek yang ditempatinya bersama bibi yang (hilang akal sehatnya) serta bibi janda (anak pungut) dan kedua anaknya.

· ¼ bagian lagi dibangun almarhum ayah untuk rumah huni kami sekeluarga.

· Bibi (no. 3) diberikan lahan beserta rumah 7 km dari lahan ini.

Perlu Pak Ustadz ketahui, almarhum ayah pernah menanyakan apakah itu sudah pembagian masing-masing ataukah hanya sementara. Eh malah almarhum ayah dimusuhi oleh paman-paman, bibi-bibi dan juga nenek. Nenek mengatakan “Warisan itu belum dibagi”. Sampai-sampai kami yang saat itu masih kecil dimusuhi juga. Ditegur pun tak pernah. Bahkan tetangga-tetangga kami juga ikut dihasut agar membenci kami. Bertahun-tahun kami sekeluarga menjalani hidup seperti itu tanpa ada pembelaan dari siapapun. Almarhum ayah seperti anak yang terbuang, selalu dikucilkan dari lingkungan keluarga. Bahkan yang paling sadis, saat ayah menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit, tidak satu orang pun dari mereka yang melihat. Setelah jasad almarhum sampai di rumah, dan setelah tetangga-tetangga lain di sekitar rumah berdatangan, barulah mereka datang ke rumah.

Tepat 4 tahun setelah almarhum ayah dikebumikan, tepatnya pada saat ganti rugi pembebasan tanah oleh Negara untuk pelebaran jalan, barulah diketahui bahwa tanpa sepengetahuan ayah semasa hidup, nenek dan adik-adik ayah telah membuat 3 sertifikat baru atas lahan yang kami huni bersama sesuai ukuran rumah masing-masing (rumah paman, rumah nenek dan rumah ayah). Namun ketiga sertifikat tersebut atas nama nenek. Ketiga sertifikat tersebut sampai detik ini masih disimpan paman.

Tujuh tahun setelah ayah wafat, ibu pun menyusul. Maka, tinggallah kami bertiga. Susah senang kami jalani bersama tanpa ada dukungan dari siapapun. Saya (perempuan 28 th) memiliki dua adik laki-laki (26 th dan 24 th). Kami semua sudah bekerja, namun belum ada yang menikah. Bukankah kami sudah dewasa untuk diajak bicara, baik atau buruk. Kami pernah bertanya kepada nenek, apa status rumah yang kami huni itu? Beliau menyuruh kami untuk bertanya kepada paman. Namun, sang paman selalu menghindar dengan 1000 cara. Yang ingin kami tanyakan adalah:

1. Apakah benar tindakan nenek, paman dan bibi yang membuat 3 sertifikat baru atas nama nenek tanpa sepengetahuan ayah semasa hidup? Jika salah, tolong jelaskan bagaimana tata cara pembagian yang seharusnya menurut aturan Islam?

2. Apakah anak pungut juga mempunyai hak waris yang sama seperti anak kandung?

3. Apakah isteri dari paman dibolehkan berlaku dominan dalam urusan hak waris saudara kandung dari suaminya?

4. Apakah status kami dalam masalah pembagian harta warisa ayah?

Sekian dan terima kasih Pak Ustadz.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

D - ……

Jawaban

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

1. Terus terang, setelah membaca cerita Anda, saya belum tahu persis apakah tanah yang Anda anggap sebagai warisan kakek tersebut masih berstatus hak milik kakek atau sudah menjadi hak milik nenek. Sebab, Anda mengatakan bahwa sertifikat tanah tersebut atas nama orangtua perempuan dari ayah alias nenek. Berdasarkan kaidah “An-Naasu yahkumuuna bizh-zhawaahir wallaahu yahkumu bil-bawaathin” (Manusia menghukumi sesuatu berdasarkan hal-hal yang sifatnya lahiriah [bukti-bukti fisik], sedangkan Allah menghukumi sesuatu berdasarkan hal-hal yang sifatnya batiniyah), maka tanah tersebut bukan termasuk harta kakek, melainkan harta nenek karena sertifikatnya atas nama nenek.

Tetapi di kalangan masyarakat kita, terkadang pencantuman nama isteri dalam sertifikat tanah atau rumah suami hanya bersifat formalitas belaka, yang salah satu tujuannya untuk menghindari atau meminimalisir pajak. Jadi, pencantuman tersebut tidak berpengaruh terhadap pemindahan hak milik dari suami kepada isteri. Karenanya, perlu dilihat kembali apakah kakek benar-benar telah menghibahkan tanah tersebut kepada nenek dengan bukti pencantuman nama nenek dalam sertifikat tersebut, ataukah pencantuman itu hanya formalitas belaka?

Kedua hal tersebut jelas memiliki implikasi yang sangat berbeda. Bila kakek telah menghibahkan kepada nenek, maka tanah tersebut bukan lagi milik kakek sehingga ia tidak menjadi harta warisan sang kakek saat dia meninggal dunia. Ingat, pembicaraan mengenai harta (termasuk harta waris) tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai hak milik; siapa yang memiliki harta tersebut? Jika memang kakek telah menghibahkan kepada nenek, maka apa yang telah dilakukan nenek dengan membuat 3 sertifikat baru atas nama dirinya tidak salah, karena nenek berhak atas hak miliknya sendiri. Tetapi tidak bisa dibenarkan sepenuhnya, karena nenek tidak memberitahukan hal itu kepada ayah Anda padahal dia telah memberitahukannya kepada anak-anak yang lain.

Lain halnya bila ternyata pencantuman nama tersebut hanya formalitas belaka sehingga tidak berpengaruh terhadap perpindahan hak kepemilikan atas tanah tersebut dari kakek kepada nenek. Karena kakek tidak menghibahkan tanah tersebut kepada nenek, maka ia pun menjadi harta warisan kakek yang harus dibagikan kepada ahli warisnya secara adil dan sesuai ketentuan yang berlaku dalam hukum fara`idh (warisan). Bila memang demikian adanya, maka apa yang dilakukan nenek jelas tidak benar karena dia telah membuat sertifikat baru tanpa sepengetahuan ayah Anda yang juga termasuk salah satu ahli warisnya. Yang seharusnya dilakukan oleh nenek adalah membagi tanah tersebut dengan perhitungan sebagai berikut:

- Nenek (isteri kakek) mendapat 1/8 atau 0,125 karena ada anak

- Yang 7/8 (0,875) dibagi untuk 2 anak laki-laki (almarhum ayah Anda dan paman Anda) dan 2 puteri kandung kakek. Karena 1 bagian anak laki-laki = 2 bagian anak perempuan, maka 7/8 dibagi 3 = 0,2916666667. Itulah bagian untuk 1 anak laki-laki (termasuk ayah Anda), sedangkan bagian untuk 1 anak perempuan adalah 0,2916666667 dibagi 2 = 0,1458333334.

2. Anak pungut atau anak angkat bukan mrupakan ahli waris karena ia tidak memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan darah dengan si mayyit. Karenanya, Islam memberikan alternatif, apabila seseorang menginginkan agar anak angkatnya mendapat bagian dari harta yang akan ditinggalkannya nanti, maka dia dapat memberikannya melalui akad wasiat. Bila tidak ada wasiat, maka anak angkat tidak mendapat bagian sama sekali dari harta yang ditinggalkan. Tetapi perlu diingat, wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 dan tidak boleh diberikan kepada ahli waris.

2. Jelas tidak boleh, karena dia tidak memiliki hak sama sekali atas harta warisan tersebut.

3. Status Anda dan saudara Anda adalah sebagai ashabah, yaitu ahli waris yang mendapat sisa harta waris setelah dibagi untuk ahli waris yang lain. Dalam hal ini, ibu Anda (isteri ayah) mendapat 1/8. Dalam keterangan Anda di atas, Anda tidak secara tegas menyebutkan apakah nenek meninggal setelah ayah Anda ataukah sebelumnya. Bila nenek meninggal setelah ayah, maka nenek mendapat 1/6, setelah itu sisanya baru dibagi untuk Anda bertiga (dengan ketentuan 1 bagian anak laki-laki = 2 bagian anak perempuan). Tetapi bila nenek meninggal sebelum ayah, maka hanya dibagi untuk ibu Anda yaitu 1/8, sisanya untuk Anda bertig.

Demikian penjelasan dari saya. Mudah-mudahn bisa difahami dan dapat bermanfaat. Wallaahu A’lam… Fatkhurozi

Rabu, 16 Desember 2009

Warisan Orangtua 3

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Maaf Pak, saya mau ikut nanya. Warisan itu harus segera dibagikan, tetapi bagaimana kalau ada salah satu ahli waris yang tidak setuju? Ibu saya sudah meninggal 1 tahun yang lalu. Beliau meninggalkan 1 buah rumah yang dulunya merupakan warisan dari orangtuanya (nenek saya). Sementara ayah saya ikut menyumbang pembangunan rumah tersebut. Bagaimana pembagian warisannya? (Ahli waris: ayah saya, 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan).

Saat ini, rumah itu ditempati oleh ayah saya, keluarga kakak saya yang perempuan dan keluarga adik saya. Kakak saya yang perempuan tersebut merasa keberatan bila rumah itu dibagikan, padahal semua keluarga sudah sepakat untuk membaginya termasuk ayah saya. Bagaimana solusinya Pak? Terima kasih atas jawabannya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

T - ……

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

1. Dari penjelasan Anda, nampaknya rumah itu memang hak milik ibu, karena ayah hanya sekedar membantu. Biasanya dalam hubungan antara suami isteri, kalau niatnya hanya sekedar membantu, maka hal itu tidak akan mempengaruhi kepemilikan kecuali bila ada perjanjian antara kedua belah pihak ketika hendak membangun rumah.

2. Solusi yang tepat dalam kasus yang Anda sampaikan ini sangat tergantung pada kondisi masing-masing ahli waris, terutama kebutuhan sang ayah akan tempat tinggal dan kebutuhan anak-anak akan bagian dari harta waris tersebut. Yang dimaksud dengan kebutuhan ayah akan tempat tinggal adalah, apakah setelah harta waris itu dibagi ada jaminan tempat tinggal untuk sang ayah ataukah tidak. Bila ada, maka sebaiknya harta waris itu dibagi secepatnya. Tetapi bila tidak ada, maka sebaiknya pembagian itu ditunda tetapi dengan catatan bagian masing-masing ahli waris sudah ditetapkan, bila perlu menggunakan bukti tertulis. Dalam hal ini, berlakulah prinsip syirkah jabar (perserikatan atas sesuatu secara paksa karena faktor warisan).

Adapun yang dimaksud dengan kebutuhan anak-anak akan bagian dari harta waris tersebut adalah, apakah kondisi anak-anak yang menjadi ahli waris itu sangat membutuhkan bagian tersebut, terutama untuk menunjang perokonomian keluarganya masing-masing? Bila memang ada yang membutuhkan, maka sebaiknya harta waris itu dibagi secepatnya. Tetapi bila tidak ada yang membutuhkan, maka bisa menggunakan prinsip syirkah jabar. Hanya saja melihat penjelasan Anda bahwa semua keluarga telah sepakat untuk membaginya termasuk ayah, kecuali kakak perempuan, maka menurut saya sebaiknya harta warisan itu dibagi secepatnya. Bicarakan kembali dengan ayah dan saudara-saudara Anda dengan mempertimbangkan hal-hal yang saya jelaskan di atas.

3. Bagian untuk masing-masing ahli waris adalah:

- Karena ada anak, maka ayah mendapat ¼ atau 0,25

- 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan mendapat ¾ atau 0,75

- Bagian 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan sama dengan bagian 3 anak laki-laki, karena 1 anak laki-laki sama dengan 2 anak perempuan. Jadi bagian untuk 1 anak laki-laki adalah: ¾ dibagi 3 = 0,25

- Sedangkan bagian 1 anak perempuan adalah 0,25 : 2 = 0,125

Wallaahu A’lam

Warisan Orangtua 2

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, ada seorang laki-laki meninggalkan warisan sebuah rumah. Ketika meninggal, dia meninggalkan seorang isteri, 5 orang anak (3 laki-laki dan 2 perempuan), 15 cucu dan 1 cicit. Sekarang anaknya yang perempuan dan cucunya yang perempuan sudah meninggal. Kini rumah itu hendak dijual. Yang ingin saya tanyakan adalah:

1. Bagaimana cara pembagian warisannya ketika rumah itu laku terjual dan sudah menjadi uang?

2. Apakah anaknya yang sudah meninggal tetap mendapatkan warisan?

3. Apakah cucunya juga mendapatkan warisan?

Saya minta penjelasan secara terperinci. Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

I - …..

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudara I, saya akan mencoba menjawab pertanyaan Anda satu persatu-satu. Mudah-mudahan dapat membantu:

1. Berdasarkan data yang Anda berikan, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah isteri dan 5 orang anak (3 laki-laki dan 2 perempuan). Karena ada anak, maka isteri mendapat 1/8 bagian atau 0.125; dan karena ada anak laki-laki, maka kelima anak tersebut menjadi ashabah (ahli waris yang mendapat sisa warisan setelah dibagi untuk ahli waris yang lain). Jadi kelima anak tersebut mendapat 7/8 bagian atau 0,875, dengan ketentuan bagian 1 anak laki-laki sama dengan bagian 2 anak perempuan (QS. An-Nisaa` [4]: 11). Berdasarkan ketentuan tersebut, bila ada 3 anak laki-laki dan 2 anak perempuan, maka itu sama saja dengan 4 anak laki-laki. Dengan demikian, maka 7/8 (0,875) dibagi 4, hasilnya 0,21875. Inilah bagian untuk 1 anak laki-laki. Sedangkan bagian untuk 1 anak perempuan adalah 0,21875 dibagi 2, hasilnya 0,109375.

Andaikata harga rumah tersebut 1 Milyar, maka perhitungannya adalah sebagai berikut:

- Isteri : 0,125 x 1.000.000.000 = Rp. 125.000.000,-

- 1 anak laki-laki : 0,21875 x 1.000.000.000 = Rp. 218.750.000,-

- 1 anak perempuan : 0,109375 x 1.000.000.000 = Rp. 109.375.000,-

2. Karena anak perempuan tersebut meninggal setelah meninggalnya sang ayah, hanya saja warisan sang ayah belum dibagi, maka dia berhak mendapat bagian yaitu 0,109375 atau Rp. 109.375.000,- (andaikata warisannya senilai 1 Milyar). Bila warisan itu sudah dibagi, maka bagian untuk anak tersebut diserahkan kepada ahli warisnya untuk dibagi.

3. Karena ada anak, maka cucu menjadi mahjub (tertutup) sehingga dia tidak berhak mendapat warisan.

Wallaahu A’lam….

Kamis, 10 Desember 2009

Warisan Orangtua

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Saya ingin bertanya tentang aturan warisan orangtua untuk anak-anaknya. Seandainya ada suatu keluarga besar, mereka mempunyai banyak anak perempuan dan anak laki-laki, dimana semuanya sudah menikah kecuali satu anak perempuan. Sang ayah mempunyai bisnis yang lancar dan dia meminta sang anak yang belum menikah untuk membantunya menjalankan usaha tersebut. Hingga akhirnya sang anak perempuan tersebut sudah cukup dipercaya untuk menjalankan usaha sang ayah sampai sang ayah meninggal dunia. Jadilah anak perempuan itu sebagai orang yang menjalankan usaha sang ayah hingga saat ini.

Suatu saat, salah seorang saudara laki-laki mereka yang sudah menikah mengalami kesulitan finansial. Dia terlilit hutang sana sini karena usahanya gagal, hingga anak laki-laki tersebut beserta isteri dan anak-anaknya diusir dari rumah kontrakan mereka karena tidak sanggup lagi membayar uang kontrakan. Akhirnya mereka menumpang di rumah salah satu saudaranya.

Yang ingin saya tanyakan, usaha yang dijalankan anak perempuan ini merupakan usaha sang ayah. Jadi, bukannya sudah menjadi kewajiban anak perempuan tersebut untuk menolong saudaranya yang sedang kesusahan? Karena setahu saya, orangtua tetap bertanggung jawab terhadap anak laki-lakinya sampai kapanpun, sementara usaha yang dijalankan itu adalah usaha sang ayah. Bagaimana jika anak perempuan itu tidak mau menolong karena dia menganggap penghasilan dari usaha itu merupakan miliknya dan hasil kerja kerasnya selama ini.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

N - …..

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Dari penjelasan Anda, nampaknya harta sang ayah (dalam hal ini adalah usaha yang dijalankan tersebut) belum dibagi hingga sekarang, bahkan nampaknya belum ada pembicaraan di antara anak-anak yang ditinggalkan untuk membaginya. Sebab, penekanan Anda hanya pada tuntutan anak lak-laki yang sedang kesulitan itu, apakah dia berhak mendapatkan bantuan dari saudara perempuannya yang menjalankan usaha tersebut ataukah tidak. Padahal yang seharusnya menjadi penekanan adalah masalah pembagian harta warisan sang ayah, dimana semua anak berhak mendapatkan bagian dari harta warisan tersebut, tentunya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam ilmu faraa`idh (ilmu waris).

Bila seseorang meninggal dunia, maka sebaiknya pembagian harta warisan yang ditinggalkan dilakukan secepatnya, tentunya setelah kewajiban-kewajiban terhadap si mayit sudah dijalankan terlebih dahulu, seperti pengurusan jenazahnya, penunaian wasiatnya serta pelunasan hutang-hutangnya (bila ada), sesuai firman Allah swt.: “(Pembagian-pembagian tersebut di atas dilakukan) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” (QS. An-Nisaa` [4]: 11) Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi perselisihan di antara ahli waris di kemudian hari, karena persoalan harta waris merupakan persoalan yang sangat sensitif yang dapat menimbulkan perpecahan dan putusnya tali silaturahim antara seseorang dengan saudaranya atau dengan anggota-anggota keluarga lainnya bila tidak dilakukan dengan baik dan sesuai ketentuan yang berlaku. Upaya untuk mempercepat pembagian harta waris itu juga dimaksudkan untuk menghindari terjadinya percampurbauran antara harta si mayit dengan harta-harta yang lain, termasuk harta orang yang mengelolanya.

Dalam kasus yang Anda ceritakan di atas, semua anak berhak mendapatkan bagian dari harta waris tersebut. Bila tidak ada isteri dan orangtua dari ayah, maka semua anak menjadi pewaris seluruh harta sang ayah, dengan ketentuan anak laki-laki memperoleh dua bagian anak perempuan, sesuai firman Allah swt.: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisaa` [4]: 11) Tetapi bila ada isteri (isteri ayah), maka isteri mendapatkan 1/8, sementara yang 7/8 menjadi bagian semua anak, dengan ketentuan anak laki-laki memperoleh 2 bagian anak perempuan.

Karena yang ditinggalkan sang ayah berbentuk usaha, maka masing-masing ahli waris akan memperoleh saham sesuai bagian warisannya. Jadi usaha tersebut bukan hanya milik anak perempuan yang mengelolanya saja, melainkan milik semua ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, kecuali bila sebelum meninggal dunia sang ayah telah memberikan usaha tersebut kepada anak perempuan yang mengelolanya itu dengan menggunakan akad hadiah. Dalam hal ini, yang menjadi ahli waris adalah semua anak (laki-laki dan perempuan), isteri ayah (bila ada) dan orangtua ayah (bila ada).

Mengenai keengganan saudara perempuan itu untuk menolong, sebenarnya hal itu tidak ada kaitannya dengan masalah pembagian harta waris. Ia lebih terkait dengan aspek sosial dalam Islam, dimana seorang Muslim (yang mampu) diwajibkan untuk menolong saudaranya sesama Muslim yang sedang kesusahan, apalagi bila orang yang memerlukan pertolongan tersebut masih merupakan kerabatnya. Wallaahu A’lam….