Kamis, 24 Februari 2011

Forum Mediasilaturahim.com

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Dalam waktu dekat, insya ALLAH Mediasilaturahim.com akan membuat forum diskusi. Bagi Anda yang berminat untuk bergabung, silahkan daftarkan diri Anda sebagai anggota. Untuk mendaftar silahkan kunjungi website Mediasilaturahim.com atau klik di sini! Selain dapat berdiskusi, dengan menjadi anggota, Anda juga bisa menerima tulisan dan informasi penting yang diupdate di Mediasilaturahim.com. Terima kasih atas perhatiannya.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Rabu, 23 Februari 2011

Hukum Wanita Yang Dipaksa Berzina

|Cetak Halaman|


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, saya mau tanya. Saya punya saudara perempuan yang dipaksa untuk melakukan perzinaan dengan seorang lelaki yang telah beristri. Apakah dia harus menikah dengan orang yang menzinainya? Sementara saudara saya itu tidak ingin menyakiti hati anak dan isteri lelaki tersebut.

Saudara perempuan saya itu sekarang sedang bekerja di luar negeri. Bila memang dia wajib menikah dengan lelaki tersebut, bagaimana dengan perwaliannya? Apakah dia boleh menikah di sana sementara seluruh walinya ada di Indonesia, dengan kemampuan finansial yang pas-pasan. Wajibkah mereka menikah? Terima kasih atas jawabannya.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

A-…

Jawaban:

Saudara A yang saya hormati, jawaban untuk pertanyaan Anda sebenarnya pernah saya singgung pada konsultasi berjudul “Hukum Menikahi Wanita Hamil dan Status Anak Di Luar Nikah”. Di sini, sengaja saya kutipkan kembali poin-poin yang berkaitan dengan permasalahan yang Anda tanyakan:

“Mengenai hukum menikahi wanita yang pernah berzina itu, sedikitnya ada 3 pendapat:

Pertama: Sebagian ulama termasuk sebagian sahabat seperti Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra` dan Ibnu Mas’ud, berpendapat bahwa wanita yang pernah berzina tidak boleh dinikahkan baik dengan laki-laki yang menzinahinya ataupun laki-laki yang baik (bukan pezina). Mereka mendasarkan pendapatnya itu pada firman Allah swt.: “Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.” (QS. An-Nuur [24]: 3) Berdasarkan dalil tersebut pula, Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa seorang isteri yang berzina harus diceraikan oleh suaminya.

Kedua: Jumhur (mayoritas) ulama termasuk Abu Bakar dan Umar bin Khathab berpendapat bahwa wanita tersebut boleh dinikahkan, baik dengan orang yang menzinahinya ataupun dengan orang lain. Pendapat kedua ini didasarkan pada firman Allah swt. “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya yang lelaki dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur [24]: 32) Dalam hal ini, bila wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki yang menzinahi atau menghamilinya, maka tidak perlu ada istibra`. Istibra` adalah upaya untuk memastikan bahwa rahim seorang wanita telah benar-benar bersih dari air mani laki-laki yang telah menggaulinya. Masa istibra` ini adalah 6 bulan. Tujuan istibra` ini adalah untuk mendapat kepastian nasab. Untuk tujuan ini pula, maka Islam mensyariatkan adanya masa iddah. Oleh karena itu, menurut jumhur ulama, bila wanita yang hamil itu dinikahi oleh laki-laki yang benar-benar menghamilinya, maka hal itu dibolehkan dan tidak perlu menunggu hingga melahirkan. Lain halnya bila wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki lain, bukan laki-laki yang menghamilinya, maka pernikahan itu haram dilakukan kecuali setelah wanita itu melahirkan bayi yang dikandungnya dan telah melewati masa nifas. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi saw.: “Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk menuangkan air (maninya) pada tanaman milik orang lain.” (HR. Abu Daud) Memang ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa meskipun dinikahi oleh laki-laki yang menzinahinya, sang wanita tetap harus menunggu hingga melahirkan, dengan dalil: “sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, masa ‘iddah mereka itu sampai melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Thalaaq [64]: 4)

Ketiga: Pendapat ketiga adalah pendapat Imam Ahmad. Beliau mengharamkan seorang laki-laki menikahi wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Tapi bila sudah bertaubat, maka pernikahan itu dibolehkan.”

Saudara A yang saya hormati, dari ketiga pendapat yang saya sebutkan di atas, tidak ada satupun yang mewajibkan pernikahan antara wanita yang berzina dengan lelaki yang menzinahinya. Jumhur ulama hanya sebatas “membolehkan” saja, tidak sampai pada tahap mewajibkan. Oleh karena itu, meskipun –sesuai penuturan Anda- saudara perempuan Anda dipaksa untuk melakukan perzinahan, dia tidak serta merta harus dinikahkan dengan lelaki tersebut, karena memang tidak ada ketentuan yang mewajibkan seperti itu. Andaikata dia harus dinikahkan, menurut saya, itu karena faktor/pertimbangan lain yang lebih menekankan aspek “mashlahah”. Artinya, dia harus dinikahkan dengan laki-laki tersebut karena hal itu lebih baik daripada bila dia tidak dinikahkan dengannya. Sebagai contoh, lebih baik dia dinikahkan, karena bila tidak, maka mereka berdua akan terus larut dalam perzinaan.

Dengan demikian, wajib atau tidaknya saudara perempuan Anda dinikahkan dengan laki-laki tersebut sangat kondisional dan harus memperhatikan kondisi-kondisi yang ada, termasuk kondisi laki-laki tersebut yang sudah beristeri dan beranak. Namun, andaikata sesuai pertimbangan “kemashlahatan” yang telah dilakukan, keduanya memang sebaiknya dinikahkan, maka Anda tidak perlu bingung dengan masalah perwalian. Sebab, saudara perempuan Anda itu berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan baginya untuk menghadirkan orang-orang yang berhak menjadi wali dalam pernikahannya. Dalam kondisi adanya halangan seperti, maka dia dibolehkan menikah dengan menggunakan wali hakim, sesuai sabda Nabi saw.: “Penguasa (as-sulthan) adalah wali bagi orang (perempuan) yang tidak punya wali.” (HR. Al-Arba'ah, kecuali Nasa'i) Wallahu A'lam...

Minggu, 06 Februari 2011

Salahkah Bila Saya Menuntut Cerai

|Cetak Halaman|


Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Suami saya sampai sekarang masih menjalin hubungan dengan mantan pacarnya. Yang saya tahu, mereka intensif komunikasi lewat inbox,sms maupun telpon. Hal itu sudah dimulai sejak kami menikah 12 tahun yang lalu. Suami saya sendiri pernah mengaku bahwa dirinya tidak bisa melupakan wanita itu. Awalnya, saya kuat untuk menahan perasaan, dan saya hanya berharap suatu saat suami saya akan sadar dan bisa melupakan wanita itu sehingga dia bisa lebih fokus kepada kami, anak isterinya (Alhamdulillah kami sudah dikaruniai 2 orang anak).

Tetapi ternyata sampai detik ini, mereka masih tetap berhubungan. Hal itu membuat saya sangat down. Hingga saya pun merasa sudah tidak sanggup lagi untuk hidup bersama suami. Suatu ketika, saya pernah meminta cerai kepadanya, tetapi dia malah marah dan menampar saya. Dia menuduh saya telah mempermainkan perasaannya. Saya bingung harus bagaimana? Selama 12 tahun ini saya sudah cukup menderita, lahir maupun batin. Salahkah bila saya meminta cerai?? Mohon arahannya, Pak Ustadz.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
X-…..


Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudari X yang saya hormati, rasanya sudah berapa kali saya memberikan jawaban terhadap konsultasi serupa yang diajukan oleh saudari-saudari kita yang lain. Agar lebih gamblang, saya sarankan sebaiknya Anda melihat kembali konsultasi-konsultasi serupa yang pernah saya bahas, seperti konsultasi berjudul “Suamiku Selingkuh Dengan Wanita Lain (Part 1)” dan “Suami Selingkuh Dengan Wanita Lain (Part 2)".

Di sini, saya hanya ingin menekankan bahwa sekarang di hadapan Anda ada beberapa kemungkinan yang dapat Anda pilih. Tentunya saya berharap Anda akan memilih kemungkinan yang terbaik.

1. Anda tetap meneruskan pernikahan Anda dengan membiarkan kondisi seperti yang ada sekarang. Anda tidak bisa menerima kehadiran wanita lain yang mungkin menurut Anda telah merusak keharmonisan rumah tangga Anda, namun Anda tidak mau berusaha untuk merubah keadaan. Tentunya hal ini bukanlah pilihan yang terbaik buat Anda karena Anda harus mengarungi bahtera rumah tangga dalam keadaan batin tersiksa terus, dan mungkin akan banyak dosa yang Anda dan suami lakukan (terutama karena tidak bisa menahan emosi). Hal ini juga tidak baik bagi anak-anak Anda karena pasti akan mempengaruhi kejiwaan mereka. Bahkan menurut saya, hal ini juga tidak baik bagi suami Anda, karena Anda terus membiarkannya terus larut dalam kemaksiatan.

2. Anda tetap meneruskan pernikahan Anda namun Anda sedikit membuka hati untuk menerima kehadiran wanita lain sebagai isteri yang sah bagi suami Anda. Mungkin pilihan ini akan terasa pahit bagi Anda, namun bila Anda mengambil pilihan ini, berarti Anda telah membuka sedikit peluang kebajikan, paling tidak Anda telah menyelamatkan suami dari kemaksiatan yang dia lakukan dengan wanita lain (walaupun –maaf- tidak sampai berhubungan badan). Namun, baik tidaknya pilihan ini sangat tergantung pada keikhlasan Anda. Melihat uraian Anda di atas, nampaknya pilihan ini tidak cocok untuk Anda, karena –nampaknya- Anda termasuk wanita yang tidak bisa menerima kehadiran wanita lain sebagai isteri kedua suami Anda.

3. Anda tetap meneruskan pernikahan dengan suami dalam keadaan Anda tidak mau menerima kehadiran wanita tersebut, namun Anda mau berusaha keras untuk memperbaiki keadaan, sehingga suami Anda benar-benar mau melupakan wanita tersebut dan lebih fokus kepada Anda dan anak-anak. Nampaknya Anda pernah mengharapkan hal itu terjadi, walaupun akhirnya sekarang harapan itu hampir pupus. Saudariku, bila Anda masih mengharapkan hal itu terjadi, saya sarankan sebaiknya Anda berusaha lebih keras. Tunjukkan kepadanya bahwa Anda benar-benar mencintainya, kemudian lakukanlah hal-hal yang disukainya dan hindarilah hal-hal yang tidak disukainya. Berusahalah semampu mungkin agar Anda benar-benar menjadi “tambatan hatinya” sehingga dia tidak berpindah ke lain hati. Yakinlah bahwa perubahan tidak akan datang dengan sendirinya, tapi harus diupayakan, sesuai firman ALLAH swt.: “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka merubah diri-diri mereka." (QS. ar-Ra'du [13]: 11) Salah satu upaya untuk merubahnya, Anda juga harus bersikap tegas. Jangan Anda terkesan sebagai wanita yang lemah yang bisa dipermainkan begitu saja oleh suami. Namun tegas bukan berarti harus menggunakan emosi, hindari semaksimal mungkin penggunaan emosi. Jangan lupa, berdoalah kepada ALLAH dengan serius, kalau bisa setelah shalat tahajjud. Memohonlah kepada ALLAH agar Dia memberi hidayah kepada suami Anda. Yakinlah bila Anda berdoa dengan serius, maka ALLAH akan mengabulkan doa Anda seperti disebutkan dalam firman-Nya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. al-Baqarah [2]: 186).

4. Kemungkinan terakhir adalah Anda tidak mau meneruskan pernikahan dengan suami alias Anda menuntut cerai darinya, seperti yang sekarang terfikir dalam benak Anda. Seperti yang pernah saya jelaskan pada konsultasi-konsultasi sebelumnya, hal itu boleh saja Anda lakukan, karena itu hak Anda. Apalagi Anda merasa sangat tertekan hidup bersama dengannya, terutama di saat dia terkadang bersikap kasar terhadap Anda padahal dialah yang telah melakukan kesalahan. Walaupun secara sekilas, pilihan ini nampaknya terbaik bagi Anda agar Anda dapat cepat terbebas dari masalah yang sedang Anda hadapi sekarang, namun hal itu belum tentu menjadi pilihan yang terbaik buat Anda, apalagi buat anak-anak Anda. Karena itu, janganlah Anda menuruti emosi sesaat saja. Pikirkanlah matang-matang bila Anda ingin mengambil pilihan ini. Untuk itu, sebaiknya Anda memohon petunjuk kepada ALLAH swt. langsung, karena hanya Dia-lah Dzat Yang Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya. Wallaahu A’lam….