Tampilkan postingan dengan label Konsultasi Zakat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Konsultasi Zakat. Tampilkan semua postingan

Senin, 03 Oktober 2011

Bolehkah Zakat Fitrah Dibagikan Pasca Idul Fitri?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak, boleh saya konsultasi? Waktu puasa kemaren, di kampung saya terjadi perbedaan pendapat antara panitia zakat yang sudah bertahun-tahun mengurus zakat dengan orang yang baru keluar dari pesantren. Seperti tahun-tahun sebelumnya, panitia tersebut mengumpulkan zakat sekitar seminggu sebelum lebaran dan membagikannya 2 atau 3 hari sebelum lebaran. Sementara orang yang baru keluar dari pesantren itu menyuruh agar zakat dibagikan setelah shalat Idul Fitri.

Akhirnya, kekacauan pun terjadi saat pembagian zakat yang dilakukan setelah Idul Fitri tersebut, dan ini menyebabkan para panitia zakat tidak mau lagi mengurusi zakat untuk tahun-tahun berikutnya. Pertanyaan saya, pendapat mana yang benar? Terima kasih atas jawabannya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

J-….

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudara J yang saya hormati, memang ada sedikit perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai waktu pembagian zakat fitrah kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa zakat fitrah tidak boleh (bahkan haram hukumnya) dibagikan setelah shalat Idul Fitri.

Hal ini disebabkan karena di samping berfungsi untuk mensucikan jiwa setiap Muslim, zakat fitrah juga berfungsi untuk menutupi kebutuhan fakir miskin pada hari raya, sesuai dengan riwayat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan (jiwa) orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Ied), maka itu adalah zakat yang diterima, dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Ied), maka itu adalah salah satu (jenis) shadaqah”. (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Sementara itu, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pembagian zakat fitrah dapat dilakukan sepanjang masa. Mereka hanya menganggap makruh pembagian zakat fitrah yang dilakukan setelah Idul Fitri, berbeda dengan mayoritas ulama yang menganggapnya haram. Dalam hal ini, tidak ada salahnya dan tidak ada larangan untuk mengikuti pendapat ulama Hanafiyah tersebut bila ada kemasalahatan di dalamnya. Namun bila tidak ada, maka sebaiknya dihindari. Tapi perlu diingat, bila pembagian itu terpaksa dilakukan setelah Idul Fitri karena adanya program-program yang mengandung kemaslahatan, maka sebaiknya hal itu tidak diberlakukan untuk seluruh zakat fitrah yang terkumpul, sehingga fungsi zakat untuk memenuhi kebutuhan fakir miskin pada hari raya masih bisa terwujud.

Dalam kasus yang Anda tanyakan, saya tidak melihat adanya faktor kemaslahatan dalam penundaan pembagian zakat fitrah yang disarankan oleh lulusan pesantren tersebut. Sepertinya penundaan pembagian zakat fitrah itu sama sekali tidak disebabkan karena adanya program-program yang mengandung kemaslahatan bagi umat, terutama bagi kaum fuqara. Oleh karena itu, saya pribadi lebih sreg dengan apa yang bisa dipraktekkan oleh panitia zakat di kampung Anda. Wallaahu A’lam….

Minggu, 05 Juni 2011

Zakat Untuk Orangtua Yang Sudah Meninggal

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, saya mau tanya; Orang tua kami (ayah) sudah meninggal dunia sekitar 2 bulan yang lalu. Saya pribadi sebagai anak tertua, berkeinginan untuk mengeluarkan zakat harta ayahanda sebelum harta waris yang ditinggalkan dibagi kepada ahli waris yang berhak menerima. Hal itu saya lakukan karena saya khawatir barangkali ayahanda belum menunaikan kewajiban untuk mengeluarkan zakat hartanya itu, sementara beliau tidak meninggalkan pesan mengenai hal itu. Apakah yang ingin saya lakukan itu dibolehkan? Terima kasih sebelumnya atas jawaban dan penjelasan yang Ustadz berikan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

N-….



Jawaban:



Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudara N yang saya hormati, memang tidak ada dalil yang secara khusus menjelaskan tentang kewajiban membayar zakat bagi orang yang sudah meninggal dunia. Yang ada hanyalah dalil-dalil yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban lain, seperti kewajiban haji, kewajiban puasa, kewajiban membayar kaffarah dan kewajiban membayar hutang. Sementara di satu sisi, ada dalil yang menyatakan bahwa semua amal perbuatan manusia akan terputus bila dia telah meninggal dunia, yaitu sabda Nabi saw. : “Apabila seorang anak cucu Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakannya." (HR. Muslim) Dari sini, maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai permasalahan yang Anda tanyakan, ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan. Ulama yang tidak membolehkan lebih mendasarkan pendapatnya pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim tersebut.

Sementara ulama yang membolehkan berpendapat bahwa harta orang yang sudah meninggal harus dikeluarkan zakatnya apabila kewajiban untuk mengeluarkan zakat itu belum dilakukan olehnya, dan hal ini harus dilakukan sebelum pembagian harta waris. Dalam hal ini, kewajiban membayar zakat disamakan dengan kewajiban membayar hutang, karena pada hakekatnya bila seseorang belum membayar zakat, maka dia dianggap berhutang kepada ALLAH. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw. dan berkata: “Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia sementara masih ada kewajiban puasa yang belum ditunaikannya, apakah saya boleh menggantikan puasa untuknya?” Rasulullah saw. pun menjawab: “Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki hutang, apakah engkau akan membayarkannya?” Orang itu menjawab: “Ya, saya akan membayarnya.” Rasulullah saw. bersabda: “Hutang kepada ALLAH lebih berhak untuk dibayarkan.” (HR. Muslim)

Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama, baik dari kalangan madzhab Syafi’i, Maliki ataupun Hanbali. Pendapat ini juga dianut oleh Ibnu Qutaibah, menurutnya: “Jika seseorang meninggal dunia sementara ada kewajiban zakat yang belum ia tunaikan, maka hendaklah zakat itu diambil dari harta peninggalannya.” Saya pribadi lebih condong pada pendapat yang membolehkan, Wallaahu A’lam….

Source: www.ddtravel.co.id

Minggu, 20 Maret 2011

Zakat Tijarah

Assalamualaikum Wr. Wb.

Ustadz, saya mempunyai 2 pertanyaan:

1. Bagaimana cara menghitung zakat tijarah (zakat perdagangan)? Saya pernah mendengar, ada kawan yang mengatakan bahwa zakat tijarah dikeluarkan prosentasenya 2,5% dari keuntungan, sementara saya juga pernah mendapatkan pelajaran bahwa prosentase zakat tijarah adalah 2,5 dari seluruh barang yang dijual (asset dan untung). Mana yang benar?

2. Bagaimana hukumnya seorang wanita menjadi MC dalam acara keislaman yang dihadiri kaum laki-laki dan wanita, padahal sebenarnya ada laki-laki yang bisa jadi MC? Demikian pertanyaan saya. Syukron Ustadz.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

M-....

Jawaban:

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.

Saudara M yang saya hormati, berikut adalah jawaban untuk dua pertanyaan yang Anda ajukan:

1. Perhitungan zakat tijarah prosentasenya 2,5% dari seluruh modal tijaroh dan keuntungan jika sudah mencapai nishab (senilai 84 gram emas) dan mencapai haul (1 tahun). Termasuk dalam modal tijarah biaya sewa tempat. Jadi semuanya harus dihitung baik modal maupun keuntungan.
Dalam hal ini, ada perbedaan pendapat antara Imam Syafi'i dengan Imam Abu Hanifah. Imam Syafi'i berpendapat bahwa bila dalam perjalanan 1 tahun -terhitung sejak nilai total tersebut mencapai nishab- terjadi penurunan nilai total hingga di bawah nishab, maka barang dagangan itu tak wajib dizakati. Bila naik lagi, maka perhitungan itu dimulai kembali dari awal hingga genap 1 tahun.

Sementara menurut Imam Abu Hanifah, wajib tidaknya zakat tijarah itu sangat tergantung pada kondisi nilai total di akhir masa haul (1 tahun) sejak tercapainya nishab. Bila di akhir tahun, nilai totalnya di atas nishab, maka zakat tijarah wajib dikeluarkan walau dalam perjalanan 1 tahun sempat terjadi penurunan nilai total hingga di bawah nishab. Tetapi bila di akhir haul itu nilai totalnya di bawah nishab, maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Perhitungan akan dimulai kembali bila sudah mencapai nishab lagi dan ditunggu hingga mencapai haul.

2. Pertanyaan kedua Anda ini sebenarnya berkaitan dengan permasalahan apakah suara wanita itu aurat ataukah bukan. Memang di kalangan ulama ada perbedaan pendapat; ada yang menganggap aurat dan ada yang tidak menganggapnya sebagai aurat selama tidak disuarakan dengan cara yang melanggar syara’, misalnya dengan suara manja, merayu, mendesah dan sejenisnya. Kedua pendapat tersebut didukung oleh dua argumen dan dalil yang berbeda. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, menurut saya pribadi, bila ada laki-laki yang bisa menjadi MC, maka alangkah baiknya bila laki-laki tersebut yang menjadi MC. Wallaahu A'lam....(Amhar Maulana Harahap)

Sabtu, 12 Juni 2010

Cara Menghitung Zakat Profesi

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya mau tanya tentang hukum zakat penghasilan (profesi):
1) Apa benar setiap bulan kita harus mengeluarkan zakat penghasilan kita?
2) Bagaimana perhitungannya? Apakah 2,5% dihitung dari penghasilan kotor/bersih.
3) Kepada siapa harus diberikan?
4) Apakah harus dibayarkan setiap bulan ataukah boleh dikumpulkan dulu? Bagaimana sebaiknya dan apa hukumnya?
Terima kasih atas perhatian dan jawabannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
H-…..

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudaraku yang terhormat, kajian mengenai zakat profesi atau penghasilan merupakan kajian baru yang muncul seiring dengan perkembangan sistem perekonomian masyarakat. Baik dalam Al-Qur’an ataupun hadits, tidak ada nash (teks) yang secara spesifik menjelaskan tentang zakat profesi ini, tidak seperti zakat pertanian, peternakan dan perdagangan. Mengenai zakat profesi ini, yang ada hanyalah isyarat yang terkandung dalam beberapa ayat ataupun hadits, seperti dalam firman ALLAH swt.: ”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 267)
Kemudian dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda: “Setiap orang muslim wajib mengeluarkan zakat.” Para sahabat pun bertanya: “Hai Nabiyullah, apa yang dapat kami lakukan bila kami tidak mampu?” Nabi saw. menjawab: “Bekerjalah untuk sesuatu yang bermanfaat bagi dirimu, kemudian bersedekahlah.” Mereka bertanya lagi: “Apa yang dapat kami lakukan bila kami tidak mampu?” Nabi saw. menjawab: “Berilah pertolongan kepada orang-orang yang memerlukan bantuanmu.”
Dari sini, maka para ulama pun berpendapat bahwa penghasilan seseorang yang diperoleh dari profesi yang ditekuninya wajib dikeluarkan zakatnya, sama seperti penghasilan yang diperoleh dari pertanian, perkebunan, perdagangan dan lain-lain. Secara umum, ada dua penghasilan atau pendapatan yang termasuk dalam kategori zakat profesi ini:
a) Pendapatan dari hasil kerja pada sebuah instansi, baik pemerintah (pegawai negeri sipil) maupun swasta (perusahaan swasta). Pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan seperti ini biasanya bersifat aktif atau dengan kata lain relatif ada pemasukan/pendapatan pasti dengan jumlah yang relatif sama diterima secara periodik (biasanya perbulan).
b) Pendapatan dari hasil kerja profesional pada bidang pendidikan, keterampilan dan kejuruan tertentu, dimana si pekerja mengandalkan kemampuan/keterampilan pribadinya, seperti: dokter, pengacara, tukang cukur, artis, perancang busana, tukang jahit, presenter, musisi dan sebagainya. Pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan seperti ini biasanya bersifat pasif, tidak ada ketentuan pasti penerimaan pendapatan pada setiap periode tertentu. Pendapatan dari hasil kerja profesi adalah buah dari hasil kerja menguras otak dan keringat yang dilakukan oleh setiap orang.

Adapun mengenai teknis atau cara mengeluarkan zakat profesi ini, saya akan mencoba menjawab pertanyaan Anda satu persatu:
1. Pertanyaan pertama Anda ini berkaitan dengan waktu pengeluaran zakat profesi. Dalam hal ini, ada beberapa pendapat:
a) Imam Syafi'i dan Imam Ahmad mensyaratkan haul (sudah cukup setahun) terhitung dari kekayaan itu didapat.
b) Imam Hanafi, Imam Malik dan sejumlah ulama modern, seperti Muh Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf mensyaratkah haul tetapi terhitung dari awal dan akhir harta itu diperoleh, kemudian pada masa setahun tersebut harta dijumlahkan dan kalau sudah sampai nisabnya maka wajib mengeluarkan zakat.
c) Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, dan Umar bin Abdul Aziz tidak mensyaratkan haul, tetapi zakat dikeluarkan langsung ketika mendapatkan harta tersebut. Mereka mengqiyaskan dengan Zakat Pertanian yang dibayar pada setiap waktu panen.
Saya pribadi lebih cenderung pada pendapat yang mensyaratkan haul. Artinya –menurut saya-, seorang pekerja atau pegawai pada akhir masa haul harus menghitung sisa dari seluruh penghasilannya. Apabila jumlahnya telah melampaui nisab (85 gram emas atau 200 dirham perak), maka ia wajib menunaikan zakat sebanyak 2,5%. Sebagai contoh, penghasilan Ahmad sebagai karyawan adalah Rp. 1.500.000,- per bulan. Karena tinggal di daerah yang biaya hidupnya tidak mahal, uang yang dikeluarkan Ahmad setiap bulan untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan keluarganya kurang lebih Rp. 625.000. Jadi, saldo rata-rata perbulan= Rp. 1.500.000 - Rp. 625.000 = Rp. 975.00,- Dengan demikian, maka, harta yang dikumpulkan Ahmad dalam kurun waktu satu tahun adalah Rp. 11.700.00,- Jumlah ini sudah melebihi nisab. Karena itu, di akhir tahun, Ahmad harus mengeluarkan zakat sebesar 2,5% dari jumlah tersebut.
Namun karena alasan kehati-hatian agar tidak lupa ataupun karena alasan-alasan lainnya, Ahmad boleh saja mengeluarkan zakat penghasilannya pada saat menerima penghasilan tersebut setiap bulannya. Atau dengan kata lain, dia boleh mencicil atau mempercepat waktu pembayaran zakatnya, dengan membayar 2,5% dari saldo bulanan. Bila hal ini dilakukan, maka dia tidak perlu lagi membayarkan zakatnya pada akhir masa haul, agar tidak terjadi duoble pembayaran dalam mengeluarkan zakat.

2. Secara umum, cara perhitungan zakat profesi yang didasarkan pada pendapat yang saya pilih tersebut adalah sebagai berikut:
a) Untuk zakat pendapatan aktif (pendapatan tetap), volume prosentase zakat yang dikeluarkan adalah 2,5% dari sisa aset simpanan dan telah mencapai nisab pada akhir masa haul.
b) Untuk zakat pendapatan pasif (penghasilan tidak tetap) dari hasil kerja profesi, prosentase zakat yang dikeluarkan adalah 2.5% dari hasil total pendapatan setelah dipotong pengeluaran untuk kebutuhan primer & oprasional.
3. Pertanyaan ketiga Anda berkaitan dengan delapan golongan penerima zakat yang disebutkan Allah swt. dalam firman-Nya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya,
untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 60)
4. Sesuai penjelasan untuk pertanyaan no. 1, maka Anda dapat membayarnya setiap bulan, tetapi dengan catatan 2,5% dari saldo bulanan, dan tentunya bila saldo tahunannya telah mencapai nisab. Artinya, bila ternyata saldo tahunannya tidak mencapai nisab, maka Anda belum dikenai kewajiban membayar zakat profesi. Sedangkan bila Anda ingin membayarnya di akhir tahun, maka 2,5% itu diambil dari saldo tahunan.
Demikian yang bisa saya jelaskan. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallaahu A’lam…..