Minggu, 20 Maret 2011

Zakat Tijarah

Assalamualaikum Wr. Wb.

Ustadz, saya mempunyai 2 pertanyaan:

1. Bagaimana cara menghitung zakat tijarah (zakat perdagangan)? Saya pernah mendengar, ada kawan yang mengatakan bahwa zakat tijarah dikeluarkan prosentasenya 2,5% dari keuntungan, sementara saya juga pernah mendapatkan pelajaran bahwa prosentase zakat tijarah adalah 2,5 dari seluruh barang yang dijual (asset dan untung). Mana yang benar?

2. Bagaimana hukumnya seorang wanita menjadi MC dalam acara keislaman yang dihadiri kaum laki-laki dan wanita, padahal sebenarnya ada laki-laki yang bisa jadi MC? Demikian pertanyaan saya. Syukron Ustadz.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

M-....

Jawaban:

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.

Saudara M yang saya hormati, berikut adalah jawaban untuk dua pertanyaan yang Anda ajukan:

1. Perhitungan zakat tijarah prosentasenya 2,5% dari seluruh modal tijaroh dan keuntungan jika sudah mencapai nishab (senilai 84 gram emas) dan mencapai haul (1 tahun). Termasuk dalam modal tijarah biaya sewa tempat. Jadi semuanya harus dihitung baik modal maupun keuntungan.
Dalam hal ini, ada perbedaan pendapat antara Imam Syafi'i dengan Imam Abu Hanifah. Imam Syafi'i berpendapat bahwa bila dalam perjalanan 1 tahun -terhitung sejak nilai total tersebut mencapai nishab- terjadi penurunan nilai total hingga di bawah nishab, maka barang dagangan itu tak wajib dizakati. Bila naik lagi, maka perhitungan itu dimulai kembali dari awal hingga genap 1 tahun.

Sementara menurut Imam Abu Hanifah, wajib tidaknya zakat tijarah itu sangat tergantung pada kondisi nilai total di akhir masa haul (1 tahun) sejak tercapainya nishab. Bila di akhir tahun, nilai totalnya di atas nishab, maka zakat tijarah wajib dikeluarkan walau dalam perjalanan 1 tahun sempat terjadi penurunan nilai total hingga di bawah nishab. Tetapi bila di akhir haul itu nilai totalnya di bawah nishab, maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Perhitungan akan dimulai kembali bila sudah mencapai nishab lagi dan ditunggu hingga mencapai haul.

2. Pertanyaan kedua Anda ini sebenarnya berkaitan dengan permasalahan apakah suara wanita itu aurat ataukah bukan. Memang di kalangan ulama ada perbedaan pendapat; ada yang menganggap aurat dan ada yang tidak menganggapnya sebagai aurat selama tidak disuarakan dengan cara yang melanggar syara’, misalnya dengan suara manja, merayu, mendesah dan sejenisnya. Kedua pendapat tersebut didukung oleh dua argumen dan dalil yang berbeda. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, menurut saya pribadi, bila ada laki-laki yang bisa menjadi MC, maka alangkah baiknya bila laki-laki tersebut yang menjadi MC. Wallaahu A'lam....(Amhar Maulana Harahap)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda