Rabu, 25 November 2009

Amal Terbaik Untuk Arwah Orangtua

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, perbuatan atau amalan apa yang dapat dilakukan seorang anak guna memohon ampunan kepada Allah swt. untuk arwah orangtua (bapak)nya yang semasa hidupnya banyak meninggalkan shalat, walaupun menjelang wafatnya beliau sudah ada niat untuk menunaikan shalat dengan mempelajari buku tuntunan shalat. Atas informasinya kami sampaikan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Tp - …..

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Sungguh sebuah kebanggaan bagi orangtua yang sudah meninggal dunia bila dia meninggalkan seorang anak shaleh yang selalu mendoakannya dan memohonkan ampunan kepada Allah untuknya. Anak shaleh seperti ini akan menjadi perbendaharaan yang sangat berharga bagi orangtuanya. Bahkan dalam sebuah Hadits, Rasulullah saw. mengatagorikan anak shaleh seperti ini sebagai amal perbuatan manusia yang tidak akan terputus meskipun dia sudah meninggal dunia, di saat amal-amal yang lain terputus. Beliau bersabda:

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ، صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ

“Jika anak cucu Adam meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga (perkara), yaitu: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakannya.” (HR. Tirmidzi)a

Anak shaleh seperti inilah yang mampu mengangkat derajat orangtuanya yang sudah meninggal dunia, seperti disabdakan oleh Baginda Rasulullah saw.:

تُرْفَعُ لِلْمَيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ دَرَجَتُهُ فَيَقُوْلُ أَيْ رَبِّ أَيُّ شَيْءٍ هَذِهِ فَيُقَالُ وَلَدُكَ اِسْتَغْفَرَ لَكَ

“Setelah seseorang meninggal dunia, derajatnya akan ditinggikan, dia pun bertanya: ‘Wahai Tuhanku, kenapa derajatku ditinggikan?’ maka dijawablah: ‘Anakmu telah memohonkan ampunan untukmu.’” (HR. Bukhari)

Mudah-mudahan Anda termasuk ke dalam golongan anak shaleh tersebut, dan mudah-mudahan doa dan permohonan ampunan Anda untuk orangtua Anda dikabulkan Allah swt.. Berdasarkan kedua Hadits tersebut – dan masih banyak lagi Hadits-Hadits lainnya-, maka tidak ada amal yang terbaik yang dapat dilakukan oleh seorang anak untuk orangtuanya yang sudah meninggal dunia kecuali doa dan permohonan ampunan untuknya. Dengan demikian, maka pertanyaan yang mungkin lebih tepat adalah: bagaimana agar doa dan permohonan ampunan saya kepada Allah swt. dapat dikabulkan?

Jawabannya adalah dengan cara mendekatkan diri kepada Allah swt. dengan cara bertakwa kepada-Nya. Sebab, bila seseorang telah dekat dengan Allah, maka Allah akan mencintainya. Bila Allah telah mencintainya, maka apa yang dimintanya insya Allah akan dikabulkan, seperti difirmankan Allah dalam sebuah Hadits Qudsi: “Jika Aku (Allah) telah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengaran baginya yang digunakannya untuk mendengar, penglihatan baginya yang digunakannya untuk melihat, tangannya yang akan digunakannya untuk berbuat dan kakinya yang digunakannya untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberikan kepadanya (apa yang dia minta); dan jika dia memohon perlindungan kepada-Ku, maka Aku akan memberikan perlindungan itu kepadanya.“

Selain itu, perbanyaklah shadaqah dengan niat untuk orangtua Anda, karena dalam sebuah Hadits, Rasulullah saw. bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian hendak mengeluarkan shadaqah, maka bila kedua orangtuanya Muslim, hendaklah dia niatkan shadaqah itu untuk kedua orangtuanya, niscaya kedua orangtuanya itu akan mendapatkan pahala shadaqah tersebut tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang bershadaqah.”

Pada riwayat lain yang bersumber dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa Ibu Sa’ad bin Ubadah meninggal dunia saat Sa’ad bin Ubadah tidak berada di sampingnya. Sa’ad pun bertanya kepada Rasulullah saw.: “Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia saat aku sedang tidak berada di dekatnya. Manfaatkah untuknya jika aku mensedekahkan sesuatu (yang pahalanya) diperuntukkan baginya?” Beliau menjawab: “Ya.” Mendengar jawaban itu, Sa’ad berkata: “Aku memintamu menjadi saksi bahwa kebunku ini sudah aku sedekahkan (dengan niat) untuknya (ibuku).”

Demikian penjelasan dari saya, mudah-mudahan dapat bermanfaat. Wallaahu A’lam….

Akhlak Adalah Dasar (Standar Utama) Untuk Memilih Suami

Dikisahkan bahwa ada seorang wanita badui yang dilamar oleh seorang pemuda. Dia sangat kagum terhadap ketampanan pemuda tersebut. Karena itu, dia pun tidak peduli lagi terhadap akhlak dan perilaku pemuda tersebut. Ketika ayahnya menasehatinya dengan mengatakan bahwa pemuda itu bukanlah orang yang shaleh (baik), dia pun tidak senang dengan nasehat itu. Bahkan, dia memastikan bahwa dirinya tidak mau menerima dan menolak nasehat ayahnya itu. Akhirnya, dia menikah dengan pemuda tersebut.

Sebulan setelah pernikahannya, sang ayah berkunjung ke rumahnya. Ketika itu, sang ayah melihat pada tubuh wanita itu terdapat tanda-tanda bekas pukulan yang dilakukan oleh suaminya. Sang ayah pura-pura tidak tahu, lalu dia bertanya kepadanya: “Bagaimana kabarmu, wahai puteriku?” Sang anak pun pura-pura memperlihatkan perasaan senang (bahagia). Tetapi kemudian sang ayah bertanya kepadanya: “Lalu tanda-tanda bekas pukulan apa yang ada di tubuhmu itu?” Mendengar itu, sang anak langsung menangis dan meratap dalam waktu yang cukup lama, kemudian dia berkata: “Wahai ayahku, apa yang harus aku katakan kepadamu? Sungguh aku tidak mematuhi perkataanmu dan aku telah memilih dia (suamiku) tanpa memperhatikan akhlak dan sikap baiknya terlebih dahulu.” (Footnote: Tuhfah Al-‘Aruus, hal. 77.)

Senin, 23 November 2009

Ad-Dars Al-Khaamis (Pelajaran Kelima) - Level Tiga

v Untuk bilangan 3-10, kata benda yang digandengkan dengannya harus dalam bentuk jamak, seperti dapat dilihat pada contoh di atas.

v Bila kata benda tersebut maskulin (mudzakkar), maka kata bilangannya harus feminim (mu`annats), seperti pada kolom sebelah kanan. Sedangkan bila kata bendanya feminim, maka kata bilangannya harus maskulin, seperti pada kolom sebelah kiri. Jadi, harus berlawanan.

v Kata benda tersebut harus dalam bentuk jamak. Karena itu, sebaiknya pelajari kembali cara membuat jamak, baik jamak mudzakkar, jamak mu`annats ataupun jamak taksiir.

Untuk mendownload file pelajaran kelima ini, klik judul tulisan!

Budaya Sumpah dan Kesaksian Palsu

Kemarin malam, saya mengkaji tafsir Surah Yusuf di salah satu pengajian tafsir Al-Qur`an. Saya sangat tertarik dengan kisah Nabi Yusuf yang disampaikan dalam surah tersebut, karena ada beberapa kemiripan dengan sejumlah kasus yang akhir-akhir ini menjadi topik utama di sejumlah media massa di Indonesia, baik media cetak maupun elektronik, dari mulai kasus Antasari, kasus Bibit-Chandra, maupun kasus Bank Century.

Ada dua kisah yang saya jelaskan dalam pengajian tersebut:

1. Kisah Nabi Yusuf as. dengan saudara-saudaranya yang ingin mencelakai beliau. Seperti yang digambarkan Al-Qur`an dalam Surah Yusuf, dari ayat 8 hingga 15, Yusuf merupakan anak yang paling disayang oleh ayahnya, Nabi Ya’qub as.. Hal itu menyebabkan saudara-saudara Yusuf merasa iri kepadanya. Karena itu, mereka pun merekayasa satu skenario yang bertujuan untuk melenyapkan Yusuf. Skenario itu berakhir dengan dimasukkannya Yusuf ke dalam sebuah sumur. Guna menutupi kejahatan yang telah mereka lakukan, mereka pun mulai berakting di hadapan ayah mereka dengan cara menangis (ayat 16), lalu mereka memberikan keterangan dan bukti palsu (ayat 17 dan 18).

2. Kisah Nabi Yusuf dengan Zulaikha (isteri Raja Mesir) yang sangat berhasrat ingin menundukkan hati Yusuf. Ayat 23 dan 24 menggambarkan bagaimana Zulaikha berusaha menggoda dan merayu Yusuf (yang saat itu masih muda) agar mau berbuat mesum dengannya, tetapi rayuan dan ajakan Zulaikha itu ditolak keras oleh Yusuf. Yusuf pun lari ke arah pintu untuk keluar, yang segera dikejar oleh Zulaikha. Saat Yusuf membuka pintu, ternyata suami Zulaikha sudah berada di depan pintu tersebut karena ingin masuk ke dalam kamar. Dia memergoki Zulaikha sedang menarik baju Yusuf hingga robek. Karena tidak mau dianggap sebagai pihak yang bersalah, Zulaikha pun memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya terjadi. Dia langsung berkata kepada suaminya: “Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan isterimu selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?” (ayat 25).

Dari kedua potongan kisah tersebut, saya menarik satu kesimpulan yaitu bahwa bila orang yang bersalah tidak ingin kesalahannya terbongkar atau diketahui oleh orang lain, maka dia akan memberikan keterangan atau kesaksian yang tidak benar. Dia juga akan membuat bukti-bukti palsu yang dianggap dapat memperkuat keterangan dan kesaksiannya itu. Bahkan dia berani untuk bersumpah atas nama Tuhannya di depan pengadilan. Budaya memberikan keterangan, kesaksian dan bukti palsu ini bukan merupakan hal baru, tetapi sudah ada sejak zaman dulu, bahkan dapat dijumpai pada kisah nabi-nabi terdahulu.

Dalam kaitannya dengan kasus-kasus yang sedang marak sekarang ini, di sini saya tidak ingin memberikan penilaian mana yang benar ataupun mana yang salah, baik pada kasus Antasari, kasus Bibit-Chandra, ataupun kasus Bank Century. Sebab, bukan kapasitas saya untuk memberikan penilaian seperti itu, meskipun dengan hati nurani yang saya miliki, saya dapat memberikan penilaian. Yang ingin saya soroti hanyalah masalah budaya memberikan keterangan, kesaksian dan bukti palsu di pengadilan, seperti yang terjadi pada kedua kisah yang saya sebutkan di atas. Lihatlah bagaimana Ary Muladi mencabut kembali BAP-nya dan memberikan keterangan yang berbeda dengan keterangan yang diberikan sebelumnya. Mana yang benar? Tentunya, hanya satu keterangan yang benar. Ini artinya Ari Muladi telah memberikan keterangan yang tidak benar atau palsu. Hal serupa juga terjadi pada kasus Antasari, dimana Wiliardi mencabut BAP-nya. Kesaksian yang diberikannya saat persidangan berbeda dengan apa yang tertulis dalam BAP. Lagi-lagi muncul pertanyaan: Mana yang benar? Di sini, kita belum bisa memastikan mana yang benar, tapi kita bisa memastikan bahwa tidak mungkin dua keterangan (kesaksian) yang saling bertentangan itu sama-sama benar. Pasti salah satunya salah atau palsu.

Belum lagi ada beberapa orang yang diduga terlibat dalam kasus-kasus tersebut secara terang-terangan bersumpah atas nama Allah bahwa dirinya tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya. Padahal, di sisi lain ada orang yang juga bersumpah atau bersaksi di depan pengadilan (dengan di sumpah terlebih dahulu sebelum memberikan kesaksian) bahwa apa yang dituduhkan kepada orang tersebut adalah benar. Sumpah mana yang benar dan sumpah mana yang palsu? Betigu mudahnyakah orang mengucapkan sumpah palsu, padahal dalam Islam sumpah palsu seperti itu termasuk dosa besar. Bahkan menurut sebagian besar ulama, tidak ada kaffarah (amalan penebus dosa) bagi sumpah palsu tersebut. Hal ini disebabkan karena sumpah seperti itu dapat merugikan orang lain atau dapat merusak hak-hak orang lain. Kaffarah hanya berlaku bagi sumpah yang tidak menyebabkan rusaknya hak orang lain, seperti sumpah seseorang atas dirinya sendiri seperti dengan mengatakan “Aku bersumpah, sejak sekarang aku tidak akan….”.

Rasulullah saw. bersabda:

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْكَبَائِرُ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَالْيَمِينُ الْغَمُوسُ

“Diriwayatkan dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda: ‘(Di antara) dosa besar adalah menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orangtua, membunuh orang lain (tanpa sebab yang dibenarkan) dan sumpah palsu.” (HR. Bukhari)

Sumpah dan kesaksian palsu ini jelas dapat merugikan orang lain. Bahkan bila telah membudaya di kalangan masyarakat, maka kebenaran dan keadilan rasanya sulit diwujudkan. Karenanya, bila kita menginginkan tegaknya kebenaran dan keadilan di tengah-tengah masyarakat kita, maka kita harus berusaha untuk memberantas budaya yang buruk tersebut. Kemudian setiap orang di antara kita harus memikirkan kepentingan orang banyak (rakyat) dan harus berani mengatakan yang benar, meskipun pahit hasilnya: “Katakanlah yang benar meskipun pahit akibatnya.” Wallaahu A’lam…….

Rabu, 18 November 2009

Ditelantarkan Suami, Apakah Jatuh Thalak?

* Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Saya memiliki suami yang alhamdulillah taat luar biasa kepada ibunya. Bagi suami saya, ibunya adalah segala-galanya. Perkataannya adalah perintahnya. Bahkan saat ini, suami telah meninggalkan saya dan bayi kami (yang kini berusia 21 bulan) tanpa ada berita apapun selama dua bulan. Hal itu dia lakukan agar dia dapat menikah dengan wanita pilihan ibunya. Sebab dengan pilihan ibunya itu, kondisi ekonomi keluarganya di kampung bisa meningkat. Bagaimana seharusnya tindakan saya? Apa tindakan suami saya itu bisa dibenarkan?

Apakah nanti setelah 3 bulan 10 hari setelah kepergian suami saya itu, bisa dikatakan bahwa saya telah menjalani masa ‘iddah? Salahkah saya jika setelah itu saya mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan, dengan alasan suami telah menelantarkan saya dan juga anak kami. Perlu diketahui, sampai sekarang suami tidak pernah peduli dengan kabar kami, bahkan untuk mengirim SMS guna menanyakan kabar kami saja tidak pernah. Mohon penjelasannya, terima kasih.

* Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

* D - ……

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Menuruti perintah kedua orangtua -termasuk ibu- adalah kewajiban seorang anak dan merupakan wujud baktinya kepada mereka. Sebagaimana pernah saya jelaskan pada konsultasi yang berjudul “Hukum Mendoakan Orangtua Yang Non-Muslim”, berbakti kepada kedua orangtua merupakan satu amaliah yang sangat mulia, dan hal ini didasarkan pada firman Allah swt.: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Israa` [17]: 23)

Bahkan dalam kaitannya dengan masalah berbakti kepada ibu, telah diriwayatkan sebuah Hadits dari Abu Hurairah, bahwa dia berkata, “Seorang lelaki pernah mendatangi Rasulullah, lalu dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu.’ Lelaki itu bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu.’ Lelaki itu bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu.’ Lelaki itu bertanya (lagi), ‘Kemudian siapa lagi?’ Lelaki itu menjawab, ‘Bapakmu.’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hanya saja perlu diingat, menuruti perintah orangtua ini dibolehkan (bahkan diwajibkan) selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam. Dalam kasus yang sedang ibu hadapi, saya melihat adanya pelanggaran terhadap syariat yang telah dilakukan suami, karena dia telah menelantarkan isteri dan anaknya. Jadi menurut saya, apa yang telah dilakukan suami ibu itu salah, karena dengan menelantarkan isteri dan anaknya, berarti dia telah melanggar perintah Allah untuk memperlakukan isteri dengan baik seperti yang difirmankan Allah dalam QS. An-Nisaa` (4): 19: “dan bergaullah dengan mereka secara patut.”

Tapi dengan kepergian suami begitu saja tidak serta merta jatuh thalak, karena sesaat setelah Anda dan suami melakukan akad nikah, suami telah mengucapkan shighat taklik (ikrar atau janji) yang berbunyi: “Saya membaca shighat taklik atas isteri saya sebagai berikut: Sewaktu-waktu saya:

Meninggalkan isteri saya dua tahun berturut-turut,

Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,

Atau saya menyakiti badan / jasmani isteri saya,

Atau saya membiarkan (tidak mempedulikan) isteri saya enam bulan lamanya,

kemudian isteri saya tidak ridha dan mengadukan halnya ke Pengadilan Agama, dan pengaduannya itu dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan tersebut, dan isteri saya membayar sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sebagai ‘iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah thalak saya satu kepadanya.” (Dikutip dari Buku Nikah)

Berdasarkan hal tersebut, sebaiknya ibu hubungi dulu suami ibu dan ingatkan kepadanya akan janji atau ikrarnya tersebut. Bila dia tidak menggubris, kemudian ibu tidak ridha (tidak menerima) sikapnya itu, maka ibu berhak mengadukan masalah ini ke Pengadilan Agama, dengan menggunakan salah satu alasan yang tertera pada shighat taklik di atas. Dalam hal ini, ibu bisa menggunakan alasan kedua (tidak memberi nafkah wajib selama tiga bulan) bila ibu tidak ridha atas perlakuan suami tersebut. Menurut saya, alasan ini sangat tepat karena dengannya ibu tidak perlu menunggu dalam waktu lama guna mendapatkan kepastian hukum, sehingga status ibu pun tidak terkatung-katung dalam waktu yang lama. Tetapi sekali lagi, semua ini tergantung apakah ibu ridha atau tidak terhadap perlakuan suami ibu.

Sebelum saya tutup, ada satu pernyataan ibu yang ingin saya koreksi, yaitu pernyataan mengenai masa ‘iddah. Dalam pertanyaan, ibu menyebutkan bahwa masa ‘iddah adalah 3 bulan 10 hari. Padahal, tidak ada masa ‘iddah seperti yang ibu sebutkan. Yang ada adalah sebagai berikut:

Tiga kali quru` (masa suci), bagi wanita yang diceraikan suaminya.

4 bulan 10 hari, bagi wanita yang ditinggal mati suaminya.

Sampai melahirkan, bagi wanita yang hamil.

Masa ‘iddah ini terhitung sejak jatuhnya thalak atau sejak hari kematian suami, dan bukan sejak kepergian suami pada kasus dimana seorang wanita ditinggal pergi oleh suaminya. Demikian penjelasan dari saya, mudah-mudahan bermanfaat. Wallaahu A’lam….

Ad-Dars Ar-Raabi’ (Pelajaran Keempat) – Level Tiga

v Sekedar mengingatkan kembali, bila dalam metode pembalajaran bahasa Arab ini ada istilah-istilah yang sulit dihafal, maka Anda tidak perlu menghafalnya dalam bahasa Arab. Cukup Anda memahaminya dalam bahasa Indonesia, seperti al-‘adad, cukup mengingatnya dengan istilah bilangan.

v Pembahasan tentang al-’adad (bilangan) merupakan pembahasan yang cukup rumit, karena bilangan 1 – 2 memiliki pola yang berbeda dengan bilangan 3 – 10. Bilangan 3 – 10 memiliki pola yang berbeda dengan bilangan 11 – 12. Bilangan 11 – 12 memiliki pola yang berbeda dengan bilangan 13-99, dan demikian pula seterusnya. Oleh karena itu, untuk lebih mempermudah, pembahasan tentang bilangan tersebut disampaikan dalam beberapa bab.

v Untuk bilangan 1-2, kata yang menunjukkan bilangan (satu atau dua) diletakkan di belakang kata benda dan harus menyesuaikan dengan kata benda tersebut. Bila kata benda tersebut maskulin, maka bilangannya juga maskulin, dan demikian pula sebaliknya, seperti yang dapat dilihat pada tabel (Perhatikan kata yang berwarna merah).

v Khusus untuk bilangan 2, kata yang menunjukkan bilangan boleh disebutkan dan boleh juga tidak, yang penting kata benda yang berada di depannya di tambah huruf alif dan nuun seperti yang pernah kita pelajari pada pelajaran kesepuluh-level dua. Oleh karena itu, pada contoh di atas kata tersebut diberi tanda kurung.

Untuk mendownload file keempat ini, klik judul tulisan!

Pemimpin Yang Bertanggung Jawab

Pada waktu malam, Umar melihat nyala api dari kejauhan. Dia pun pergi menuju ke arah api tersebut. Ternyata, dia menjumpai seorang wanita yang dikelilingi oleh anak-anaknya. Sementara di atas api, ada sebuah periuk yang di dalamnya terdapat batu dan air. Wanita ini memegang sebuah tongkat guna membolak-balikkan batu yang ada di dalam periuk tersebut, sementara anak-anaknya menangis karena kelaparan.

Umar pun berkata, “Assalamu’alaikum, wahai orang yang sedang menyalakan api.”

Wanita itu menjawab, “Wa’alaikumsalam.”

“Apakah aku boleh mendekat?” tanya Umar.

“Mendekatlah dengan cara yang baik,” jawab perempuan itu.

“Apa yang sedang kalian alami?” tanya Umar lagi.

“Kami tidak mempunyai rumah yang dapat melindungi kami dari malam dan dingin,” jawab sang wanita.

“Kenapa anak-anak kecil itu menangis?” tanya Umar.

“Sesungguhnya mereka sedang lapar,” tukas wanita itu.

“Apa yang ada di dalam periuk ini?” tanya Umar.

“Batu-batu yang aku panaskan dengan maksud untuk membuat mereka terdiam hingga akhirnya mereka tertidur. Demi Allah, kami merasa kesal kepada Umar,” keluh wanita itu.

Wanita tersebut tidak mengetahui bahwa yang berbicara dengannya adalah Umar. Maka, Umar berkata, “Ada apa dengan Umar?”

Sang wanita menjawab, “Dia telah menjadi pemimpin kami, tetapi kemudian dia melalaikan kami!”

Umar pun segera pergi menuju Baitul Maal. Sesampainya di sana, dia mengambil satu karung tepung dan beberapa lemak. Umar berkata kepada pembantunya, “Angkatlah barang-barang ini ke pundakku!”

“Biar aku yang membawanya, wahai Amirul Mukminin,” kata pembantu itu.

“Apakah kamu siap untuk menanggung dosa-dosaku pada hari kiamat nanti?” tukas Umar.

Umar pun, akhirnya, sampai di tempat wanita itu setelah membawa sendiri tepung tersebut. Sesampainya di sana, dia melempar tepung itu, lalu dia berkata kepadanya, “Tuangkanlah tepung itu, biar aku yang membolak-balikkannya.”

Umar meniup api hingga asap keluar dari sela-sela jenggotnya yang lebat. Umar memasak makanan untuk wanita tersebut dan anak-anaknya, kemudian dia meletakkan makanan itu di sebuah piring besar untuk diberikan kepada anak-anak kecil itu. Umar memberi langsung makanan itu kepada mereka hingga tangisan mereka tidak terdengar lagi, dan setelah itu mereka pun tertidur.

Wanita itu, kemudian, berkata kepada Umar dalam keadaan dia tidak mengetahui bahwa orang yang diajaknya berbicara adalah Umar, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Sungguh, kamu lebih berhak memegang kepemimpinan ini daripada Umar.”

Umar pun meninggalkan wanita itu, lalu dia berkata kepada pembantunya, Aslam, “Sesungguhnya kelaparan telah membuat mereka tidak dapat tidur. Maka, aku tidak mau meninggalkan mereka sampai mereka benar-benar merasa kenyang.”

Rabu, 11 November 2009

Haruskah Wanita Pakai Gamis?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, saya mau menanyakan tentang pakaian wanita:

1. Bagaimanakah menurut Islam cara berpakaian wanita; Apakah harus memakai gamis ataukah boleh menggunakan model lain asal longgar dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh?

2. Apa yang dimaksud dengan “pakaian luar” dalam QS. An-Nuur ayat 60? Mohon penjelasannya. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Petri Yanti

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

1. Baik dalam Al-Qur`an ataupun Hadits, tidak ada nash yang secara tegas menyebutkan ketentuan model pakaian yang harus dikenakan oleh seorang wanita Muslimah, apakah harus model gamis ataukah boleh model-model lain. Yang ada hanyalah ketentuan agar wanita Muslimah mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya, seperti disebutkan pada firman Allah swt.: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzaab [33]: 59)

Pada ayat lain, Allah swt. berfirman: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka…..” (QS. An-Nuur [24]: 31)

Pada kedua ayat yang sering dijadikan dalil kewajiban berjilbab tersebut, tidak disebutkan jenis atau model pakaian yang harus digunakan wanita Muslimah. Yang disebutkan hanyalah sifatnya saja, yaitu pada firman Allah: “mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya” dan firman-Nya: “menutupkan kain kudung ke dadanya”. Kedua lafazh tersebut mengisyaratkan bahwa pakaian yang harus dikenakan oleh wanita Muslimah adalah pakaian yang memiliki sifat dapat menutupi lekak-lekuk tubuhnya, termasuk bagian dada. Tujuannya jelas, yaitu untuk menutupi lekak-lekuk tubuh wanita yang dikhawatirkan dapat membangkitkan hasrat laki-laki yang melihatnya sehingga akan terjadi fitnah, atau dengan kata lain agar wanita Muslimah terhindar dari fitnah (hal buruk) yang dapat menimpanya. Tujuan ini terkandung pada firman Allah: “Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu”. Jadi menurut saya, apapun jenis atau model pakaiannya dibolehkan, asalkan memiliki sifat yang dapat mewujudkan tujuan tersebut.

Sayangnya, tidak sedikit wanita Muslimah yang kurang memperhatikan hal ini. Banyak di antara mereka yang tidak memakai jilbab, bahkan bangga dengan pakaian yang serba terbuka, baik di bagian atas ataupun bawahnya. Tidak sedikit pula wanita yang mengenakan jilbab tetapi jilbabnya itu terkesan hanya formalitas semata, karena hanya menutupi kepalanya saja, sementara pakaiannya begitu ketat hingga terlihat dengan jelas lekak-lekuk tubuhnya. Karenanya, terkadang mata laki-laki lebih melotot saat melihat wanita berjilbab seperti itu ketimbang melihat wanita yang tidak berjilbab tapi mengenakan pakaian yang tidak ketat. Di sini, bukan berarti saya menganggap bahwa wanita yang tidak berjilbab itu lebih baik, akan tetapi alangkah lebih baiknya bila setiap wanita yang berjilbab juga memperhatikan hal ini, sehingga niatannya untuk mengenakan jilbab benar-benar selaras dengan tujuan disyariatkannya jilbab, seperti yang telah dijelaskan di atas. Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan Hadits Nabi saw. yang berbunyi:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ

“Ada dua jenis penghuni neraka yang belum pernah aku lihat sebelumnya; (1) Satu kaum yang memegang cemeti yang berbentuk seperti ekor sapi lalu digunakan untuk memukul manusia lain, (2) Wanita-wanita yang berpakaian tetapi mereka terlihat seperti telanjang, mereka berlenggak-lenggok, dan kepala-kepala mereka seperti punuk unta.” (HR. Muslim)

2. Pada QS. An-Nuur (24): 60, sebenarnya tidak ada lafazh “pakaian luar”, itu hanya penafsiran. Lafazh sebenarnya adalah “tsiyaabahunna” (pakaian-pakaian mereka). Lengkapnya, ayat tersebut berbunyi: “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (pakaian luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan….” Para mufassir menafsirkan bahwa pakaian yang boleh ditanggalkan oleh wanita tersebut adalah pakaian yang jika dibuka, maka aurat wanita yang memakainya tidak ikut terbuka (masih tertutup). Yang termasuk katagori pakaian ini adalah mantel, jilbab dan sejenisnya. Jadi, yang dimaksud dengan pakaian tersebut bukanlah pakaian yang biasa kita istilahkan dengan “pakaian luar” (lawan pakaian dalam). Wallaahu A’lam….

Keluhan Seorang Wanita

Seorang wanita pernah menghadap Umar ra. dan berkata: “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya suamiku selalu berpuasa pada waktu siang dan melakukan qiyamul-lail di malam harinya. Sungguh aku tidak suka dan mengadukan kepadamu sikapnya itu. Dia menghabiskan waktunya untuk melakukan ketaatan kepada Allah.” Umar berkata kepada wanita itu: “Sungguh suamimu adalah suami yang terbaik!” Wanita itu pun mengulangi lagi perkataannya, tetapi Umar tetap memberikan jawaban yang sama.

Mendengar itu, Ka’ab bin Suwar Al-Asadi berkata kepada Umar: “Wahai Amirul Mukminin, wanita ini mengadukan kepadamu sikap suaminya yang tidak pernah menggaulinya.” Umar bin Khathab ra. pun berkata kepada Ka’ab: “Seperti yang telah engkau fahami dari perkataannya, maka putuskanlah perkara mereka berdua itu!”

Ka’ab berkata: “Aku harus memanggil suaminya terlebih dahulu.” Suami wanita itu pun didatangkan kepada Ka’ab, lalu Ka’ab berkata kepadanya: “Sesungguhnya isterimu ini mengeluhkan sikapmu!” Suami wanita itu berkata: “Apakah ada kaitannya dengan makanan (yang dia makan) atau minuman (yang dia minum)?” Ka’ab menjawab: “Tidak ada kaitannya dengan kedua-duanya?”

Kemudian wanita itu berkata:

“Wahai Sang Hakim yang keputusannya sungguh bijaksana,

Sungguh urusan masjid (maksudnya, ibadah) suamiku ini telah melupakannya dari kasurku (menggauliku).

Ibadahnya (kepada Allah) telah menyebabkannya tidak suka untuk menggauliku,

Siang dan malam dia tidak pernah tidur.

Aku sama sekali tidak memuji (tidak senang kepada) sikapnya itu,

Maka, berilah keputusan (di antara kami), wahai Ka’ab! Dan janganlah engkau menyuruhnya pulang (sebelum ada keputusan)!”

Sang suami berkata:

“Yang membuatku tidak suka kepada kasurnya (menggaulinya) dan kamar mempelai,

Adalah karena pikiranku dibuat kacau (tidak tenang) oleh apa yang diturunkan (Allah),

Dalam surah An-Nahl dan dalam As-Sab’i Ath-Thiwaal (tujuh surah panjang),

Dan sungguh dalam Kitabullah banyak sekali terdapat peringatan yang keras.”

Ka’ab berkata kepada laki-laki itu:

“Sesungguhnya dia memiliki hak yang harus kamu penuhi, wahai laki-laki,

Bagiannya adalah seperempat dari waktumu, bagi orang yang mengerti.

Maka, berikanlah kepadanya (bagiannya itu) dan tinggalkanlah perasaan cemasmu itu!”

Kemudian Ka’ab berkata: “Sesungguhnya Allah telah menghalalkan untukmu (untuk menikahi) wanita-wanita lain dua, tiga, atau empat. (Karena kamu hanya menikah dengan satu wanita saja, maka jatah untuk ketiga wanita itu) yaitu 3 hari 3 malam dapat kamu gunakan untuk beribadah kepada Tuhanmu, sementara yang satu hari satu malam untuk isterimu.”

Mendengar penjelasan Ka’ab tersebut, Umar ra. berkata kepadanya: “Demi Allah, aku tidak tahu, mana di antara dua hal berikut ini yang aku kagumi? Apakah aku kagum terhadap pemahamanmu tentang masalah kedua orang itu ataukah terhadap keputusan yang engkau berikan? Sekarang pergilah (ke Bashrah) karena sesungguhnya aku telah mengangkatmu sebagai qadhi (hakim) di sana!” (Dikutip dari buku Al-Ahkaam As-Sulthaaniyyah, karya Al-Mawardi.)

Ad-Dars Ats-Tsaalits (Pelajaran Ketiga) - Level Tiga

v Pada bagian conversation pelajaran ketiga ini, disebutkan pembicaraan antara seorang guru dengan murid-muridnya. Sementara pada bagian grammer dan translation, kita akan belajar tentang isim maushuul (kata sambung).

v Dalam menyusun sebuah kalimat, terkadang kita membutuhkan satu kata yang digunakan untuk menyambungkan satu kalimat dengan kalimat yang lain. Dalam bahasa Arab, kata sambung seperti itu disebut dengan istilah isim maushuul.Biasanya kata ini digunakan di belakang kata benda yang membutuhkan penjelasan.

v Bila kata benda yang ingin dijelaskan itu termasuk kata benda jenis maskulin (laki-laki), maka kata sambung yang digunakan adalah al-ladzii, seperti yang dapat dilihat pada kolom sebelah kanan.

v Tetapi bila kata benda yang ingin dijelaskan adalah kata benda jenis feminim (perempuan), maka kata sambung yang digunakan adalah al-latii, seperti yang dapat dilihat pada kolom sebelah kiri.

Untuk mendownload file ketiga dari level tiga ini, klik di sini!

Kamis, 05 November 2009

Bila Suami Mengatakan “Pisah”, Apakah Jatuh Thalak?

* Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya ajukan:

1. Langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan bila suami hendak menceraikan isterinya?

2. Apabila suami berkata “pisah” kepada isterinya, apakah sama dengan artinya kata “cerai”? Dan apakah jatuh thalak?

3. Mohon penjelasannya tentang apa yang dimaksud thalak 1, thalak 2 dan thalak 3. Terima kasih sebelum dan sesudahnya.

* Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

* Yaddi R

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

1. Karena pernikahan merupakan sebuah ikatan suci, maka setiap Muslim harus berusaha untuk menjaganya semaksimal mungkin dan tidak mudah memutuskan ikatan tersebut, kecuali bila ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan ikatan suci tersebut tidak bisa dipertahankan lagi. Oleh karena itu, bila ada satu masalah rumah tangga, maka seorang suami yang ingin menceraikan isterinya atau isteri yang ingin menuntut cerai sebaiknya berfikir matang-matang atau mempertimbangkannya berulang-ulang, lebih dianjurkan untuk beristikharah terlebih dahulu. Sebab, bisa jadi keinginannya untuk bercerai itu hanya didasari oleh emosi sesaat saja, tanpa mempertimbangkan sisi-sisi positif dan sisi-sisi negatifnya. Hal itu terkadang akan menyebabkan penyesalan yang selalu datang di akhir.

Bila ternyata masalah itu tidak dapat diatasi oleh suami isteri, maka sebaiknya dipanggil juru pendamai, satu dari pihak laki-laki dan satu dari pihak perempuan. Ini sesuai dengan firman Allah swt.: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisaa` [4]: 35)

Tetapi bila kedua belah pihak sulit untuk didamaikan lagi, maka sebaiknya suami mengajukan permohonan cerai ke pengadilan agama, biar hakim yang memutuskan, meskipun menurut agama, suami berhak menjatuhkan thalak sendiri. Atau, bila isteri yang menginginkan perceraian, maka dia berhak mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama.

2. Ada beberapa macam lafazh yang digunakan oleh seorang laki-laki dalam menceraikan isterinya:

- Lafazh yang secara tegas mengandung pengertian thalak (cerai), seperti dengan mengatakan: “Aku thalak (cerai) kamu” atau “Kamu aku thalak”. Bila lafazh ini yang digunakan, maka thalak langsung jatuh meskipun tidak ada niat.

- Bila lafazh yang digunakan adalah lafazh yang dikaitkan dengan satu syarat (perbuatan atau kondisi tertentu), seperti dengan mengatakan: “Aku thalak (cerai) kamu bila kamu melakukan perbuatan….atau mengucapkan perkataan….” Lafazh seperti ini sangat tergantung kepada niat orang yang mengucapkannya. Bila dia benar-benar bermaksud menceraikan isterinya bila sang isteri melakukan perbuatan atau mengucapkan perkataan yang disyaratkan itu, maka thalak akan jatuh bila perbuatan tersebut dilakukan atau bila perkataan tersebut diucapkan. Tetapi bila suami hanya bermaksud mengancam atau menakut-nakuti isterinya, maka thalak tidak jatuh meskipun perbuatan tersebut dilakukan atau perkataan tersebut diucapkan. Dalam hal ini, suami hanya dikenai kewajiban membayar kaffarah (denda) sumpah, yaitu dengan memberi makan 10 orang miskin atau berpuasa selama tiga hari.

- Tetapi bila lafazh yang digunakan adalah lafazh yang mengandung unsur kinayah (kiasan) atau lafazh yang multitafsir, seperti dengan mengatakan: “Pulanglah kamu ke rumah orangtuamu!”, maka lafazh tersebut membutuhkan adanya niat. Jadi, kalau tidak ada niat dari suami untuk menceraikan isterinya, maka tidak jatuh thalak. Menurut hemat saya, kata “pisah” termasuk ke dalam katagori ini, karena lafazh tersebut bisa jadi maksudnya: “Kita pisah dulu untuk sementara waktu” atau “Aku pisah-ranjangkan kamu”.

3. Dalam Islam, secara garis besar, thalak terbagi menjadi dua:

- Thalak yang di dalamnya suami masih dapat rujuk (kembali) kepada isterinya selama masih dalam masa ‘iddah (masa menunggu) atau masih dibolehkan untuk menikahinya kembali bila masa ‘iddahnya telah habis. Yang termasuk dalam thalak jenis ini adalah thalak ke-1 dan thalak ke-2. Artinya, bila suami menceraikan isterinya untuk pertama kali atau untuk kedua kalinya, maka dia masih dapat kembali (rujuk) kepada isterinya tanpa melalui akad nikah baru, dengan syarat masih dalam masa ‘iddah. Tetapi bila masa ‘iddah-nya sudah habis, kemudian suami ingin kembali lagi, maka harus ada akad nikah baru (Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 229).

- Thalak yang di dalamnya suami tidak boleh kembali lagi kepada isteri yang diceraikannya kecuali setelah isterinya itu dinikahi oleh laki-laki lain dengan akad nikah yang sah, bukan dengan akad pura-pura atau yang biasa diistilahkan dengan akad nikah tahlil. Thalak jenis ini disebut dengan thalak ke-3 atau thalak bain kubro. Bila thalak ini terjadi, maka seorang wanita sudah tidak halal lagi bagi suaminya kecuali bila dia telah dinikahi oleh laki-laki lain dengan akad nikah yang sah (Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 230).

Wallaahu A’lam….

Surah An-Naas

“Katakanlah: ‘Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia, Raja manusia, Sembahan manusia; dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia, dari (golongan) jin dan manusia.’” (QS. An-Naas [114]: 1-6)

Makna Kata:

قُلْ : Katakanlah. Berasal dari kata qaala yaquulu. Perintah ini merupakan perintah kepada Nabi Muhammad saw. yang juga ditujukan kepada umatnya.

أَعُوْذُ : Aku berlindung. Maksudnya meminta pertolongan kepada Allah agar dijauhkan dari hal-hal yang buruk. Dari kata ini, terbentuklah kata ta’awwudz dan isti’adzah.

رَبِّ النَّاسِ : Tuhan manusia. Kata “Rabb” berasal dari kata rabba yarubbu yang berarti mendidik, memelihara. Jadi, Rabbun-naas artinya Dzat Yang Memelihara, Mendidik dan Membimbing manusia.

مَلِكِ النَّاسِ : Raja manusia; Dzat Yang Merajai dan Menguasai manusia.

إِلَهِ النَّاسِ : Sembahan manusia; Dzat yang patut disembah oleh manusia. Kata ini mengandung unsur kesempurnaan Allah dan penghambaan manusia terhadap-Nya.

شَرِّ : Kejahatan (bisikan)

الْوَسْوَاسِ : Syaitan. Berasal dari kata waswasa yuwaswisu yang artinya membisik-bisiki. Ini menunjukkan bahwa syaitan selalu berusaha untuk membisik-bisiki manusia.

الْخَنَّاسِ : yang biasa bersembunyi, hingga tidak terlihat oleh manusia.

يُوَسْوِسُ : membisikkan; Mendorong manusia secara sembunyi-sembunyi untuk melakukan perbuatan-perbuatan maksiat.

الْجِنَّةِ : Jin

Tafsir Surah:

v Surah ini mengandung perintah kepada manusia untuk selalu memohon pertolongan kepada Allah dalam semua urusan mereka karena Dialah Dzat yang telah mendidik, memelihara dan membimbing mereka dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan mereka.

v Surah ini juga memerintahkan manusia untuk memohon perlindungan kepada Allah dari hal-hal yang buruk, termasuk dari godaan (bisikan) syaitan yang selalu membisik-bisiki manusia untuk melakukan berbagai macam keburukan atau perbuatan dosa serta menjadikannya selalu terlihat indah dalam pandangannya.

v Bila seorang muslim menyebut nama Allah swt., maka syeitan akan lari dan bersembunyi hingga tidak mampu lagi menggoda orang tersebut untuk berbuat maksiat. Tetapi bila seorang muslim jarang berdzikir (mengingat) Allah, maka syaitan akan datang kepadanya, akan membisik-bisikinya dan akan membimbingnya ke jalan yang sesat.

v Di antara manusia ada orang yang memiliki kemampuan membujuk orang lain untuk melakukan perbuatan maksiat. Orang-orang seperti ini diumpamakan seperti syaitan, bahkan diistilahkan dengan syayaatiin al-insi (syaitan-syaitan manusia). Oleh karena itu, setiap muslim diperintahkan untuk berhati-hati dalam memilih teman. Dia harus berteman dengan orang-orang yang shaleh dan bertakwa, yang dapat membantu dan mendorongnya untuk melakukan amal-amal shaleh. Dia juga diperintahkan untuk menjauhi teman-teman yang tidak baik, yang akan mengajaknya kepada keburukan dan perbuatan dosa. Rasulullah saw. bersabda:

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ وَكِيرِ الْحَدَّادِ لَا يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

“Perumpamaan teman yang baik dengan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dengan tukang las (patri). Bila kamu dekat dengan penjual minyak wangi, ada kemungkinan akan membeli (minyak itu) darinya atau kamu akan mendapatkan bau wanginya. Tetapi bila dengan dengan tukang las, (percikan api) akan mengenai tubuhmu atau bajumu, atau kamu akan mencium bau yang tidak sedap.”

Ad-Dars Ats-Tsani (Pelajaran Kedua)-Level Tiga

v Pada bagian conversation, kita akan mempelajari percakapan antara seseorang dengan pelayan toko buku. Sementara pada bagian grammer kita akan belajar tentang jamak taksiir (kata jamak irregular).

v Tidak semua kata benda (isim) memiliki bentuk jamak yang beraturan, yaitu dengan menambahkan huruf wawu dan nuun bila maskulin (mudzakkar) atau huruf alif dan taa` bila feminim (mu`annats) – seperti yang telah dijelaskan pada pelajaran kesepuluh level dua. Bahkan banyak sekali kata benda yang bentuk jamaknya tidak beraturan atau tidak memiliki bentuk baku.

v Kata jamak seperti ini dalam bahasa Arab disebut dengan jamak taksiir (irreguler). Bentuk jamak seperti ini lebih sering dijumpai pada kata-kata yang digunakan untuk benda-benda yang tidak berakal.

v Karena tidak memiliki bentuk yang baku, maka sebaiknya bentuk jamak untuk kata-kata tersebut dihapal.

Untuk mendownload pelajaran ini, klik di sini!

Mengapa Laki-Laki Bisa Berpoligami Sedangkan Wanita Tidak?

(Tulisan ini dikutip dari buku berjudul “Zaujaat An-Nabiy” (Isteri-isteri Nabi) karya Prof. Dr. Jasim Muhammad Al-Muthawwa’.)

Seorang wanita pernah menghadang langkahku, kemudian dia berkata kepadaku, “Mengapa laki-laki bisa menikah dengan banyak wanita sedangkan wanita tidak dapat menikah dengan banyak laki-laki?” Saya berkata kepadanya, “Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa wanita tidak dapat menikah dengan banyak laki-laki?” Dia sangat terkejut dengan pertanyaanku itu, dan saya dapat merasakan bahwa dia sangat shock. Tetapi kemudian, dia dapat mengendalikan dirinya, lalu dia berkata, “Dari perkataanmu itu, aku dapat memahami bahwa aku dapat menikah dengan banyak laki-laki?”

Saya menjawab, “Ya.”

Dia berkata, “Sungguh, tidak ada seorangpun sebelummu yang pernah mengucapkan perkataan seperti ini!”

Saya berkata, “Perkataanmu itu tidak benar, bahkan para ahli fikih telah mengatakan hal itu.”

Dia berkata, “Apakah kamu masih tetap pada pendapatmu itu?”

Saya menjawab, “Ya.”

Dia berkata lagi, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”

Saya menjawab, “Dalam syariat Islam, jika hati seorang wanita telah terpikat kepada laki-laki lain, kemudian dia ingin menikah dengannya, maka dia berhak meminta kepada suaminya untuk menceraikannya, atau dia dapat mengadukan masalah itu ke pengadilan sehingga pengadilan-lah yang akan memisahkan mereka berdua dengan cara-cara perceraian yang telah diatur oleh syariat Islam.”

Dia berkata, “Apakah perkataanmu itu benar?”

Saya menjawab, “Ya.”

Dia berkata lagi, “Akan tetapi, saya ingin menikah dengan beberapa orang laki-laki dalam waktu yang bersamaan.”

Saya berkata, “Jika kamu hamil, kemudian kamu melahirkan seorang anak, maka tahukah kamu dari suami yang manakah anakmu itu?”

Wanita itu terdiam sejenak, kemudian dia berkata, “Demi Allah, perkataanmu itu benar.”

Saya berkata lagi kepadanya, “Hal itu adalah disebabkan karena tiang garis keturunan itu adalah milik laki-laki. Seandainya syariat Islam membolehkan seorang wanita untuk berpoliandri, niscaya dalam masyarakat kita, akan terjadi kekacauan dalam menentukan garis keturunan.”

Dia berkata, “Jika demikian, maka berarti kita membolehkan wanita-wanita yang telah mencapai usia menopouse (tidak dapat melahirkan lagi) atau wanita-wanita yang telah melakukan operasi pengikatan leher rahimnya untuk berpoliandri!”

Saya berkata, “Perkataanmu memang benar, akan tetapi bagaimana kita dapat menerapkan sistem qawâmah (kepemimpinan laki-laki atas wanita) jika seorang wanita memiliki dua atau tiga suami?”

Dia berkata, “Wahai Abu Muhammad, sungguh setiap kali aku membuka satu pintu masalah, maka kamu pun akan menutupnya!”

Saya berkata, “Wahai Saudariku yang terhormat, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah adalah Maha Adil, dan Dia tidak pernah menzhalimi manusia dengan sesuatu apapun. Ketika Dia mensyariatkan (menetapkan) satu agama untuk kita, maka dalam pensyariatan-Nya itu terdapat keadilan yang bersifat absolut, meski dalam masalah poligami sekalipun. Meskipun demikian, Allah telah memberikan sejumlah cara kepada wanita dalam menyikapi aturan tentang poligami ini, di antaranya adalah:

1- Dalam Islam, sebuah pernikahan tidak dapat dilakukan dengan menggunakan paksaan. Oleh karena itu, bagi seorang wanita yang tidak mau dimadu, dia dibolehkan untuk menolak poligami yang dilakukan oleh suaminya itu yaitu dengan cara menuntut cerai. Dia berhak melakukan hal itu, karena Islam tidak pernah memaksanya agar mau dimadu.

2- Bagi wanita yang merasa khawatir jika suaminya akan berpoligami, maka Islam telah memberikan kepadanya hak untuk mengajukan syarat agar dia tidak dimadu ketika hendak melakukan akad nikah.

3- Ketika telah terjadi hubungan percintaan yang diharamkan antara seorang wanita dengan laki-laki lain selain suaminya, maka dia dibolehkan untuk menuntut cerai meskipun suaminya menolak. Dalam pengadilan agama, wanita itu akan mendapat dukungan untuk bercerai (Hal ini adalah seperti telah dijelaskan di atas).

4- Selain itu, disyariatkannya poligami adalah karena adanya kebutuhan masyarakat ataupun individu terhadapnya. Ketahuilah bahwa ada aturan-aturan dan syarat-syarat tertentu dalam poligami. Jadi, pintu poligami tidaklah terbuka lebar bagi orang-orang yang ingin memanfaatkan ‘fasilitas’ poligami tersebut. Barangsiapa yang ingin menikah lagi dengan isteri kedua, maka dia diwajibkan untuk bertindak adil, lalu dia juga diharuskan untuk memberi nafkah, memberikan jaminan tempat tinggal, serta memenuhi hak-hak lainnya yang telah ditentukan oleh syariat.”

Wanita itu berkata lagi, “Demi Allah, perkataanmu sangatlah indah. Akan tetapi, apa dosa isteri pertama ketika suaminya menikah lagi dengan isteri kedua? Mengapa Islam tidak memperhatikan perasaannya?”

Saya pun balik bertanya, “Apa dosa isteri kedua ketika dia tidak dinikahi oleh laki-laki tersebut? Bukankah termasuk hal yang indah jika Islam juga memperhatikan kebutuhan dan perasaan wanita tersebut? Apakah kamu tidak ingat tentang realitas yang terjadi di masyarakat Barat dimana di dalamnya terdapat kekacauan dan kebiasaan berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan sejumlah aturan dan syarat-syarat tertentu serta tidak memperhatikan hak-hak tertentu, sehingga prosentase anak yang dilahirkan di luar pernikahan di sebagian negara Barat pun mencapai 60%. Bahkan setiap hari, jumlah penderita AIDS akibat pergaulan bebas yang baru masuk ke dalam panti rehabilitasi penderita AIDS mencapai 7500 orang.”

Wanita itu berkata, “Akan tetapi, aku sama sekali tidak mengatakan bahwa sistem kehidupan masyarakat Barat merupakan sistem yang benar.”

Saya berkata, “Sesungguhnya kamu telah mengkritik aturan poligami dalam Islam, dan sungguh aku telah menjelaskan kepadamu tentang aturan tersebut dan tentang sistem sosial kemasyarakatan di Barat. Inilah dua pandangan yang berasal dari dua peradaban yang berbeda. Jika kamu memiliki pandangan lain tentang solusi bagi sejumlah problematika sosial, maka kemukakanlah sehingga kita dapat mendiskusikannya. Kemudian kita dapat melihat apakah proyek yang kamu kemukakan itu adalah lebih baik daripada proyek Islam dan Barat itu? Ketahuilah bahwa di antara aturan yang harus diperhatikan dalam menyampaikan sebuah kritikan adalah bahwa orang yang menyampaikan kritikan itu harus memberikan alternatif solusi lain.”

Dia berkata, “Aku tidak memiliki satu solusi atau satu alternatif pun. Aku hanyalah seorang kritikus saja.”

Saya berkata, “Jadi, bagaimana pendapatmu tentang angka-angka berikut ini? Di Amerika, perbandingan antara laki-laki dengan perempuan adalah 1:4, demikian pula di Swedia dan Rusia. Sedangkan di Afrika dan negara-negara Khalij, perbandingannya adalah 1:3; di China 1:10; dan di Jepang 1:6. Lalu, bagaimana pendapatmu tentang hal tersebut?”

Kemudian saya berkata, “Pasca perang dunia ke-2, Jerman telah meminta kepada pihak al-Azhar di Mesir untuk menjelaskan tentang aturan poligami sehingga aturan itu dapat diterapkan di sana. Akan tetapi, pihak Vatikan berusaha untuk menghalangi proyek ini. Lalu, apa pendapatmu tentang hal itu?”

Wanita itu menjawab, “Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan kepadamu. Akan tetapi, aku dapat mengatakan kepadamu bahwa aturan poligami dalam Islam merupakan aturan yang bagus dan benar-benar adil. Meskipun demikian, aku tidak rela jika aturan itu diterapkan pada diriku.”

Saya berkata, “Inilah yang seharusnya kamu katakan di awal pertemuan kita, sehingga kamu tidak akan menghukumi aturan poligami itu hanya berdasarkan hawa nafsu dan keingananmu saja. Aku ingin menambahkan penjelasan kepadamu bahwa perasaan yang ada dalam dirimu itu telah diperhatikan oleh Islam, dan sebagaimana telah kami sebutkan tadi, Islam telah memberikan kebebasan kepadamu untuk menentukan pilihan.”