Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Senin, 23 November 2009

Budaya Sumpah dan Kesaksian Palsu

Kemarin malam, saya mengkaji tafsir Surah Yusuf di salah satu pengajian tafsir Al-Qur`an. Saya sangat tertarik dengan kisah Nabi Yusuf yang disampaikan dalam surah tersebut, karena ada beberapa kemiripan dengan sejumlah kasus yang akhir-akhir ini menjadi topik utama di sejumlah media massa di Indonesia, baik media cetak maupun elektronik, dari mulai kasus Antasari, kasus Bibit-Chandra, maupun kasus Bank Century.

Ada dua kisah yang saya jelaskan dalam pengajian tersebut:

1. Kisah Nabi Yusuf as. dengan saudara-saudaranya yang ingin mencelakai beliau. Seperti yang digambarkan Al-Qur`an dalam Surah Yusuf, dari ayat 8 hingga 15, Yusuf merupakan anak yang paling disayang oleh ayahnya, Nabi Ya’qub as.. Hal itu menyebabkan saudara-saudara Yusuf merasa iri kepadanya. Karena itu, mereka pun merekayasa satu skenario yang bertujuan untuk melenyapkan Yusuf. Skenario itu berakhir dengan dimasukkannya Yusuf ke dalam sebuah sumur. Guna menutupi kejahatan yang telah mereka lakukan, mereka pun mulai berakting di hadapan ayah mereka dengan cara menangis (ayat 16), lalu mereka memberikan keterangan dan bukti palsu (ayat 17 dan 18).

2. Kisah Nabi Yusuf dengan Zulaikha (isteri Raja Mesir) yang sangat berhasrat ingin menundukkan hati Yusuf. Ayat 23 dan 24 menggambarkan bagaimana Zulaikha berusaha menggoda dan merayu Yusuf (yang saat itu masih muda) agar mau berbuat mesum dengannya, tetapi rayuan dan ajakan Zulaikha itu ditolak keras oleh Yusuf. Yusuf pun lari ke arah pintu untuk keluar, yang segera dikejar oleh Zulaikha. Saat Yusuf membuka pintu, ternyata suami Zulaikha sudah berada di depan pintu tersebut karena ingin masuk ke dalam kamar. Dia memergoki Zulaikha sedang menarik baju Yusuf hingga robek. Karena tidak mau dianggap sebagai pihak yang bersalah, Zulaikha pun memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya terjadi. Dia langsung berkata kepada suaminya: “Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan isterimu selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?” (ayat 25).

Dari kedua potongan kisah tersebut, saya menarik satu kesimpulan yaitu bahwa bila orang yang bersalah tidak ingin kesalahannya terbongkar atau diketahui oleh orang lain, maka dia akan memberikan keterangan atau kesaksian yang tidak benar. Dia juga akan membuat bukti-bukti palsu yang dianggap dapat memperkuat keterangan dan kesaksiannya itu. Bahkan dia berani untuk bersumpah atas nama Tuhannya di depan pengadilan. Budaya memberikan keterangan, kesaksian dan bukti palsu ini bukan merupakan hal baru, tetapi sudah ada sejak zaman dulu, bahkan dapat dijumpai pada kisah nabi-nabi terdahulu.

Dalam kaitannya dengan kasus-kasus yang sedang marak sekarang ini, di sini saya tidak ingin memberikan penilaian mana yang benar ataupun mana yang salah, baik pada kasus Antasari, kasus Bibit-Chandra, ataupun kasus Bank Century. Sebab, bukan kapasitas saya untuk memberikan penilaian seperti itu, meskipun dengan hati nurani yang saya miliki, saya dapat memberikan penilaian. Yang ingin saya soroti hanyalah masalah budaya memberikan keterangan, kesaksian dan bukti palsu di pengadilan, seperti yang terjadi pada kedua kisah yang saya sebutkan di atas. Lihatlah bagaimana Ary Muladi mencabut kembali BAP-nya dan memberikan keterangan yang berbeda dengan keterangan yang diberikan sebelumnya. Mana yang benar? Tentunya, hanya satu keterangan yang benar. Ini artinya Ari Muladi telah memberikan keterangan yang tidak benar atau palsu. Hal serupa juga terjadi pada kasus Antasari, dimana Wiliardi mencabut BAP-nya. Kesaksian yang diberikannya saat persidangan berbeda dengan apa yang tertulis dalam BAP. Lagi-lagi muncul pertanyaan: Mana yang benar? Di sini, kita belum bisa memastikan mana yang benar, tapi kita bisa memastikan bahwa tidak mungkin dua keterangan (kesaksian) yang saling bertentangan itu sama-sama benar. Pasti salah satunya salah atau palsu.

Belum lagi ada beberapa orang yang diduga terlibat dalam kasus-kasus tersebut secara terang-terangan bersumpah atas nama Allah bahwa dirinya tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya. Padahal, di sisi lain ada orang yang juga bersumpah atau bersaksi di depan pengadilan (dengan di sumpah terlebih dahulu sebelum memberikan kesaksian) bahwa apa yang dituduhkan kepada orang tersebut adalah benar. Sumpah mana yang benar dan sumpah mana yang palsu? Betigu mudahnyakah orang mengucapkan sumpah palsu, padahal dalam Islam sumpah palsu seperti itu termasuk dosa besar. Bahkan menurut sebagian besar ulama, tidak ada kaffarah (amalan penebus dosa) bagi sumpah palsu tersebut. Hal ini disebabkan karena sumpah seperti itu dapat merugikan orang lain atau dapat merusak hak-hak orang lain. Kaffarah hanya berlaku bagi sumpah yang tidak menyebabkan rusaknya hak orang lain, seperti sumpah seseorang atas dirinya sendiri seperti dengan mengatakan “Aku bersumpah, sejak sekarang aku tidak akan….”.

Rasulullah saw. bersabda:

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْكَبَائِرُ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَالْيَمِينُ الْغَمُوسُ

“Diriwayatkan dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda: ‘(Di antara) dosa besar adalah menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orangtua, membunuh orang lain (tanpa sebab yang dibenarkan) dan sumpah palsu.” (HR. Bukhari)

Sumpah dan kesaksian palsu ini jelas dapat merugikan orang lain. Bahkan bila telah membudaya di kalangan masyarakat, maka kebenaran dan keadilan rasanya sulit diwujudkan. Karenanya, bila kita menginginkan tegaknya kebenaran dan keadilan di tengah-tengah masyarakat kita, maka kita harus berusaha untuk memberantas budaya yang buruk tersebut. Kemudian setiap orang di antara kita harus memikirkan kepentingan orang banyak (rakyat) dan harus berani mengatakan yang benar, meskipun pahit hasilnya: “Katakanlah yang benar meskipun pahit akibatnya.” Wallaahu A’lam…….

Jumat, 17 Juli 2009

Akhlak, Faktor Penentu Masa Depan Umat

Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِمَّ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ

“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk membenahi akhlak yang mulia.”

Seperti disebutkan pada hadits tersebut, tujuan diutusnya Rasulullah saw. ke bumi ini adalah untuk membenahi akhlak masyarakat pada saat itu, bukan untuk tujuan lain. Memang sejak awal munculnya, Islam telah mengajak manusia untuk berbudi pekerti yang baik dan mulia. Selain disampaikan secara eksplisit, ajakan itu juga tercermin pada ibadah-ibadah yang disyariatkan Islam seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Ibadah-ibadah tersebut mengandung nilai-nilai akhlak yang tinggi, yang bertujuan untuk membersihkan jiwa manusia. Sebagai contoh, puasa mengajarkan seseorang untuk bersikap jujur. Sebab saat berpuasa, seseorang dilarang untuk makan dan minum meskipun tidak ada seorangpun yang melihatnya.

Dengan ajarannya yang memperkenalkan budi pekerti yang baik dan dengan sosok Rasulullah yang selalu memperlihatkan perilaku yang baik, Islam berhasil mengubah bangsa Arab Jahiliyyah. Islam berhasil mengubah mereka dari umat yang bermoral bejat menjadi umat yang berakhlak mulia; dari umat yang suka melakukan perbuatan keji dan kezhaliman menjadi umat yang suka melakukan kebajikan dan mencintai sesama. Bahkan, hal ini telah diakui oleh musuh-musuh Islam sendiri. Mereka pernah berkata: “Andaikata ajaran yang dibawa Muhammad itu bukan merupakan agama, niscaya akhlak para penganutnya akan tetap mulia.”

Sungguh indah ajaran Rasulullah dan Rasul-Nya yang memerintahkan kita untuk berbudi pekerti yang baik. Jika kita mau melaksanakan perintah tersebut, yaitu dengan cara menghiasi diri kita dengan akhlak yang baik, maka kita akan menjadi hamba-hamba yang dicintai Allah. Pada saat itulah, semua angan-angan dan cita-cita yang kita inginkan akan terwujud. Kemudian kita akan menjadi masyarakat terbaik di muka bumi. Tidak ada lagi orang lemah yang dizhalimi, tidak ada lagi orang kuat yang dibela, dan tidak ada lagi hak-hak yang disia-siakan. Semua orang pun akan bersatu padu dan saling menghormati satu sama lain, sehingga mereka akan memiliki kekuatan yang ditakuti umat-umat lain.

Dari sini, maka tidaklah heran bila umat Islam pada zaman Nabi saw. dan juga pada masa Khulafaur Rasyidin menjadi umat yang terbaik dan terkuat. Mereka begitu disegani oleh umat-umat lain, dan karenanya mereka pun berhasil memperluas wilayah Islam ke sejumlah daerah, bahkan sampai ke benua Eropa. Ini menunjukkan betapa pentingnya akhlak bagi suatu masyarakat (bangsa). Kemajuan atau kemunduran suatu masyarakat sangat ditentukan oleh akhlak mereka. Atau dengan kata lain, maka depan mereka sangat tergantung pada akhlak mereka sendiri. Lalu, apakah umat Islam pada masa sekarang ini dan juga pada masa-masa mendatang akan seperti umat Islam pada generasi pertama itu? Jawabannya ada di tangan kita semua. Wallaahu A’lam….

Kamis, 09 Juli 2009

Baiti Jannati: Mimpi dan Harapan Di Balik Pilpres

Hari ini, insya Allah rakyat Indonesia akan melaksanakan pemilihan presiden yang merupakan bagian dari proses demokrasi. Mereka akan menyalurkan hak pilih mereka guna menentukan siapa yang akan menjadi orang nomer satu di negeri tercinta ini.

Jantung ketiga pasangan capres yang ikut dalam pilpres tahun 2009 pun mulai berdebar-debar. Mereka akan bertarung guna menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin bagi 250 juta lebih penduduk negeri yang terletak di garis katulistiwa ini.

Sebagai warga negara yang ingin memiliki andil dalam menentukan arah negara ini, sekecil apapun andil tersebut, saya akan menyalurkan aspirasi saya. Tentunya sesuai dengan hati nurani dan penilaian obyektif saya. Hal itu akan saya lakukan meskipun saya sadar bahwa ketiga pasangan capres yang ada belum memenuhi kriteria pemimpin ideal dalam kaca mata saya, yaitu kriteria yang didasarkan pada pengetahuan saya tentang hukum-hukum Islam.

Terus terang, saya pribadi kurang setuju bila ada orang yang tidak ikut menentukan pilihan dalam pilpres ini dengan alasan-alasan tertentu. Apalagi dengan alasan capres-capres yang ada tidak memenuhi kriteria ideal menurutnya. Sebab, walaupun pasangan capres yang ada belum memenuhi kriteria ideal, tapi itulah kenyataan yang ada. Sehingga menurut saya, kuranglah bijak bila umat Islam hanya menyerah begitu saja dan menyerahkan nasib bangsa ini kepada orang-orang yang ikut melakukan pemilihan. Dengan mengambil sikap seperti itu, berarti seseorang telah siap bila negeri ini dipimpin oleh orang yang mungkin kurang memperhatikan kepentingan umat Islam.

Apa yang saya lontarkan ini cukup beralasan, karena ketika Rasulullah saw. sendiri dihadapkan pada dua pilihan, dimana keduanya sama-sama kurang baik dalam pandangan beliau, maka beliau akan memilih yang paling ringan dampaknya. Inilah kaidah yang harus kita fahami dan kita amalkan dalam setiap aspek kehidupan kita, termasuk dalam masalah politik.

Berdasarkan kaidah tersebut, bila memang capres-capres yang ada kurang berkenan di hati kita, karena mungkin adanya hal-hal minus yang telah mereka lakukan, maka paling tidak kita harus memilih mana yang terbaik menurut kita. Tentunya sesuai penilaian dan ijtihad kita masing-masing. Semua itu tidak lepas dari harapan kita agar negara yang penduduknya mayoritas Muslim ini dapat bergerak menuju ke arah yang lebih baik. Apapun hasilnya nanti, kita serahkan sepenuhnya kepada Dzat Yang Maha Kuasa, Allah swt.. Yang terpenting bagi kita hanyalah berusaha, berharap dan banyak berdoa.

Saya yakin, setiap orang di antara kita terutama yang beragama Islam pasti mengharapkan pemerintahan yang lebih baik, yaitu pemerintahan yang lebih memperhatikan kepentingan rakyat, terutama kepentingan umat Islam. Tetapi apakah harapan seperti itu akan terwujud bila kita hanya bersikap abstain, alias tidak menentukan pilihan?

Ya, kita harus berusaha dan berdoa, semoga capres yang terpilih nanti -siapapun dia- akan menjadi pemimpin yang lebih berpihak kepada rakyat. Pemimpin yang memperhatikan kepentingan rakyat dan pemimpin yang siap bekerja keras demi kesejahteraan rakyat. Saya pribadi selalu berharap dan berdoa, semoga bangsa Indonesia ini memiliki pemimpin seperti Baginda Rasulullah saw. dan Umar bin Khathab ra.. Meskipun tidak mirip persis, paling tidak sikap dan kebijakan pemimpin tersebut menauladani kedua pemimpin terbaik sepanjang sejarah Islam itu.

Saya juga berharap, siapapun yang terpilih nanti, tidak ada kekecewaan dalam hati capres-capres yang kalah, yang dapat berujung pada kekacauan dan dapat mengganggu stabilitas nasional. Mereka harus legowo menerima hasil pilpres nanti. Sikap seperti itu akan mendukung tercapainya harapan kita, yaitu terwujudnya negara yang aman, sentosa, sejahtera dan diridhai Allah swt..

Siapapun capres yang akan terpilih nanti, hendaknya konsep “Baiti jannati” (Rumahku Surgaku) harus ditanamkan dalam benaknya. Sebab, negara ini ibarat rumah yang kita tempati. Bila nyaman, maka kehidupan kita pun akan terasa di surga. Sebaliknya, bila tidak, maka kehidupan kita akan terasa seperti di neraka. Menurut saya, konsep “Baiti jannati” hendaknya tidak hanya diterapkan dalam keluarga yang merupakan institusi terkecil dalam masyarakat, tetapi juga dalam kehidupan bernegara.

Akankah semua itu terwujud? Wallaahu A’lam…Hanya Allah yang lebih mengetahui. Sebagai manusia yang lemah, kita hanya bisa berusaha dan berharap…

Rabu, 15 April 2009

Sebuah Dilema....

Saya teringat saat-saat ketika saya menunaikan ibadah haji, tepatnya pada tahun 2000. Saat itu, saya masih berstatus sebagai mahasiswa di Mesir. Seperti mahasiswa-mahasiswa lainnya, di samping menunaikan ibadah haji, saya juga mencari tambahan uang saku dengan cara bekerja. Alhamdulillah, meskipun baru pertama kali haji, saya langsung mendapat job. Saya dipercaya untuk menjadi guide para TKI yang ada di sana. Selama beberapa hari bersama para TKI (TKW) itu, saya mendengar banyak cerita yang memilukan. Kebanyakan dari mereka mengalami hal yang tidak menyenangkan. Bahkan, ada sebagian dari mereka yang menceritakan kisah yang dialaminya sambil menangis. Mungkin, saya tidak perlu menjelaskan apa yang mereka alami. Mudah-mudahan saudara-saudara sekalian dapat menafsirkannya sendiri. Belum lagi, banyak di antara mereka yang akhirnya menjadi TKI ilegal, karena sudah tidak memiliki izin tinggal. Berkaitan dengan masalah ini, ada beberapa pertanyaan yang menggelitik hati saya: Mengapa tiap tahun makin banyak TKI yang di-ekspor ke luar negeri (terutama ke Timur Tengah), yang notabene mereka memiliki pendidikan yang rendah, padahal apa yang dialami sebagian besar di antara mereka tidaklah seindah yang mereka bayangkan. Mungkin apa yang dialami oleh TKI-TKI kita tidak akan terjadi bila yang dikirim ke sana adalah tenaga-tenaga profesional, karena mereka lebih dihormati. Mengapa tidak tenaga-tenaga profesional saja yang dikirim??

Memang bagi TKI-TKI yang bernasib baik, kehidupan mereka dan juga keluarga mereka akan lebih baik ketimbang mereka harus mengais rezeki di negeri sendiri. Tetapi bagaimana dengan mereka yang bernasib malang?? Di satu sisi, mereka harus berusaha demi meningkatkan kesejahteraan keluarga mereka, hingga mereka pun rela untuk berpisah dengan sanak saudara. Hal itu mereka lakukan dengan harapan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik, apalagi di saat tuntutan dan biaya hidup semakin tinggi. Tetapi ternyata apa yang mereka alami di negeri tempat mereka bekerja tidaklah seindah apa yang mereka bayangkan. Di sisi lain, bila mereka masih tetap tinggal di tanah airnya, maka kemungkinan bagi mereka untuk merubah nasib sangatlah kecil, mengingat begitu sulitnya lapangan pekerjaan dan begitu ketatnya persaingan hidup. Sungguh sebuah dilema yang sangat membingungkan….! Di akhir tulisan ini, saya ingin menyebutkan hadits Nabi saw. yang berkaitan dengan masalah tersebut, mudah-mudahan dapat menjadi bahan renungan bagi kita semua. Rasulullah saw. bersabda: “Perumpamaan orang-orang Mukmin, dalam hal cinta dan kasih sayang di antara mereka, adalah seperti satu tubuh. Bila salah satu anggota tubuh sakit, maka anggota-anggota tubuh yang lain, akan ikut merasakannya, dengan cara tidak bisa tidur dan mengalami demam.” Adakah kita ikut merasakan penderitaan saudara-saudara kita itu???

Kamis, 09 April 2009

Gerakan Perbaikan Moral

Menanggapi komentar Saudara Rully dalam emailnya, yang menganggap perlu adanya gerakan perbaikan akhlak, saya sangat setuju. Memang harus ada gerakan “perbaikan moral (akhlak)”, sebagai bagian dari amar makruf nahi mungkar. Kita tidak mungkin diam dan bungkam selamanya melihat kenyataan yang ada. Kita harus berjuang, dan inilah yang sedang saya usahakan. Apa yang saya lakukan ini semata-mata karena panggilan hati nurani dan dakwah Islamiyah…dan mudah-mudahan semata-mata hanya mengharap ridha Allah swt.. Mudah-mudahan apa yang saya lakukan merupakan titik awal dari gerakan akhlak yang saudara maksud. Saya akan melakukan apa yang bisa saya perbuat, sesuai kemampuan saya. Sekarang saya sedang mengumpulkan daftar email-email para pengguna internet, barangkali di antara saudara-saudara sekalian ada yang mau menyumbangkan daftar email saudara-saudara yang lain yang belum masuk ke daftar saya, bisa dikirimkan ke saya dan saya akan menerimanya dengan senang hati. Di samping melalui email (alhamdulillah sekarang sudah sekitar 250-an email yang masuk ke data saya), saya juga melalui media facebook, freindster dan blogspot….Terima kasih atas apreciate dan dukungan yang diberikan kepada saya.
Di akhir email saya ini, marilah kita bersama-sama merenungi firman Allah swt. dalam Al-Qur`an: “Wattaquu fitnatal laa tushibannalladzi zhalamuu minkum khaashshah, wa’lamuu anallaaha syadiidul ‘iqaab (Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaannya).” (QS. Al-Anfaal [8]: 25) Artinya, bila ada hal buruk yang menimpa masyarakat kita (bangsa Indonesia) akibat rusaknya akhlak mereka, maka ia tidak hanya akan menimpa orang-orang yang akhlaknya rusak saja, tetapi juga akan menimpa semua orang di antara mereka. Na’uudzu billaahi min dzaalik…

Senin, 06 April 2009

Terima Kasih Atas Tanggapannya

Terimakasih sebelumnya saya ucapkan atas tanggapan yang diberikan saudara-saudara sekalian mengenai tema yang saya lontarkan dengan judul “Apa Yang Salah….”. Memang, banyak faktor yang bisa menyebabkan munculnya fenomena tawuran antar pelajar atau mahasiswa yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Dengan didasari atas keprihatinan kita terhadap fenomena seperti itu, maka sebagai orangtua yang peduli terhadap masa depan anak-anak kita, marilah kita berusaha untuk meminimalisir hal-hal yang kita anggap sebagai faktor-faktor penyebab munculnya fenomena tersebut. Dalam pandangan saya, faktor yang paling dominan adalah kurangnya penanaman nilai-nilai akhlak dalam diri generasi muda kita. Bila kita merujuk ke sejarah Nabi, maka kita akan mengetahui bahwa ketika masyarakat Arab sudah sampai pada tingkat ke-jahiliyah-an yang paling tinggi, Allah swt. mengutus Nabi Muhammad saw. dengan tujuan untuk menyempurnakan kembali akhlak mereka, seperti yang disebutkan dalam sabda beliau: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Dari sini, maka saya menyimpulkan bahwa bila kita menginginkan agar fenomena tawuran (dan kenakalan remaja lainnya) tidak lagi terjadi di kalangan generasi muda kita, maka mau ga mau kita harus menjadikan penanaman nilai-nilai akhlak dalam diri mereka sebagai prioritas utama. Secara garis besar, ada dua hal yang bisa kita lakukan. Pertama, kita harus memberikan masukan kepada pemerintah (dalam hal ini Depdiknas dan Depag) agar lebih serius dalam menangani masalah ini, dengan harapan agar apa yang didapatkan oleh anak-anak kita di sekolah adalah benar-benar pendidikan (tarbiyah) dan bukan hanya sekedar pengajaran (ta’lim). Bila hal itu belum mungkin kita lakukan, maka paling tidak kita tidak melupakan hal kedua, yaitu bahwa kita harus memulai dari diri kita sendiri, seperti yang dikatakan dalam pepatah Arab: “Ibda` binafsik” (Mulailah dari diri Anda sendiri). Artinya, kita harus meningkatkan perhatian kita terhadap anak-anak kita. Bukan hanya perhatian yang bersifat maaliyah (harta), tetapi juga perhatian yang bersifat ruhaniyah (spiritual). Kita harus berusaha keras untuk menanamkan nilai-nilai akhlak ke dalam diri anak-anak kita, baik dengan cara meningkatkan pemahaman keagamaan mereka ataupun dengan memberikan suri tauladan yang baik. Saya yakin betul bahwa agama adalah ibarat akar pohon. Bila akar itu kuat, maka pohon yang ditopangnya tidak mudah tumbang oleh terpaan angin yang kencang sekalipun. Wallaahu A’lam.

Kamis, 02 April 2009

Harap-harap Cemas…..

Dulu sebagian masyarakat kita, terutama di daerah Jawa, sangat memegang erat prinsip: “Mangan ora mangan sing penting kumpul (Makan ga makan yang penting kumpul).” Maksud prinsip itu adalah bahwa mereka lebih mengutamakan kebersamaan daripada mereka harus ngoyo untuk mencari kehidupan yang lebih baik daripada sebelumnya, tetapi mereka harus berpisah. Ini tidak berarti bahwa ketika mereka tetap mempertahankan untuk hidup bersama-sama, mereka tidak bisa makan. Sama sekali tidak, karena kalau hanya untuk menutupi kebutuhan makan, cukuplah mudah bagi mereka sehingga mereka tidak perlu bersusah payah untuk merantau keluar daerah. Ini sangatlah wajar, karena pertanian saat itu lebih baik daripada sekarang. Mereka dapat mengandalkan hidup dari padi atau palawija yang mereka tanam, atau bahkan dari biji-bijian yang dilemparkan dengan tidak sengaja hingga tumbuh menjadi pohon yang dapat dipetik buahnya, karena negeri kita adalah negeri yang sangat subur. Tetapi apakah prinsip itu masih berlaku hingga sekarang?? Di sini, saya tidak berbicara tentang kebutuhan lain yang sifatnya sekunder seperti pendidikan ataupun yang lainnya. Jawabannya, tentu tidak bisa, karena bila mereka masih mempertahankan prinsip tersebut, maka mereka akan mati kelaparan. Sebab, sawah yang menjadi sumber penghasilan utama mereka tidak lagi berfungsi secara optimal karena begitu sulitnya pengairan pada masa sekarang ini. Atau, palawija yang dulu bisa mereka nikmati, kini sudah sangat jarang karena banyak tanah yang mulai gersang. Mau ga mau, mereka pun harus membuang jauh-jauh idealisme mereka (mempertahankan prinsip tersebut) dan mereka pun harus pergi merantau ke mana saja, bahkan ke luar negeri, asalkan mereka dapat pulang dengan membawa uang untuk menghidupi keluarga mereka. Mungkin faktor inilah yang menyebabkan makin banyak warga negara kita yang terpaksa mencari sesuap nasi di negeri jiran (Malaysia), atau bahkan ke negara-negara Arab. Padahal, bagi kebanyakan orang di antara mereka, apa yang mereka alami di sana tidaklah seindah seperti yang mereka bayangkan saat mereka akan pergi merantau ke sana, karena tidak sedikit di antara mereka yang mengalami perlakuan tidak manusiawi, persis seperti perlakuan terhadap binatang.
Ya Allah, sampai kapankah kondisi seperti ini akan terus berlangsung?? Akankah kondisi seperti ini semakin parah dari tahun ke tahun?? Apa yang akan dialami oleh anak cucu kita nanti? Ya Allah, maafkanlah kami yang hanya bisa diam dan bungkam menghadapi situasi dan kondisi seperti ini! Ya Allah, ampunilah kami yang tidak bisa berbuat apa-apa dan belum bisa merubah apa yang semestinya dirubah! Begitu banyak saudara-saudara kita yang menjerit, ya Allah, karena kelaparan, karena kesusahan untuk menghidupi anak-anak mereka. Ya Allah, sebentar lagi kami, bangsa Indonesia, akan memilih wakil-wakil rakyat kami. Tapi kami masih cemas, ya Allah, apakah wakil-wakil rakyat yang terpilih nanti bisa memperjuangkan nasib kami dan apakah mereka mau memikirkan nasib anak cucu-anak cucu kami. Ataukah, mereka hanyalah wakil-wakil rakyat yang akan menguras kekayaan negara untuk mensejahterakan diri dan keluarga mereka saja, ya Allah? Harap-harap cemas, itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan perasaan yang sekarang bersemayam di benak kami, ya Allah. Tabahkanlah hati kami dan berilah kemampuan kepada kami untuk ikut melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Sekecil apapun kemampuan itu, ya Allah, sangatlah berarti bagi kami. Dengarkanlah jeritan hati kami dan saudara-saudara kami! Kabulkanlah permohonan kami dan wujudkanlah harapan kami!

Rabu, 01 April 2009

Berhentilah merusak milik Allah

Pd Jum'at kejadian Situ Gintung memilukan itu Khatib dlm khotbahnya, setelah menyinggung perlunya umat berbuat baik dst dst beliau sebagai ustadz dan pemuka di kel itu merasa sedih namun juga risau krn ajakannya bersama para ulama lainnya untuk berbuat baik pd mereka yang menggunakan Situ sbg tempat rekreasi + (maksiat) tidak digubris. Saya jadi teringat QS 30:41. Wallahualam.

Sabtu, 28 Maret 2009

Apa Yang Salah....?

Beberapa pekan yang lalu, ketika saya sedang makan bersama teman di sekitar Blok-M Plaza, tiba-tiba saya melihat sekitar 50 pelajar berjalan bersama-sama ke arah Bulungan. Awalnya, saya kira mereka adalah pelajar-pelajar yang sedang melakukan kegiatan (semisal pramuka) karena mereka membawa tongkat. Tetapi ketika saya melihat ada sejumlah pelajar yang membawa pedang, saya langsung menyimpulkan bahwa mereka akan melakukan tawuran. Dugaan saya ternyata benar, karena tidak lama kemudian datang sejumlah pelajar lainnya yang ikut bergabung dengan kelompok pertama. Melihat jumlah mereka sangat banyak, para pelajar yang menjadi lawannya langsung kabur. Saat itu pula, muncul sejumlah pertanyaan dalam benak saya: "Apa yang sebenarnya mereka cari? Ilmu atau apa? Sudah serusak inikah moral remaja-remaja kita? Apa yang mereka dapatkan di sekolah?", serta sejumlah pertanyaan lainnya. Pertanyaan yang sampai saat ini masih tersimpan dalam benak saya, adalah: "Apa yang salah pada sistem pendidikan kita?" Tentunya, ini merupakan masalah yang harus kita jawab bersama bila kita menginginkan masa depan yang gemilang untuk anak-anak kita.

Jumat, 27 Maret 2009

Masa depan anak cucu kita???

Saat ini, saya merasakan bahwa secara umum, kondisi umat Islam di Indonesia semakin memprihatinkan. Saya tidak tahu, apakah yang saya rasakan juga dirasakan oleh orang-orang lain. Saya teringat akan cara berfikir orang-orang tua kita....Mereka dengan senang hati menanam pohon kelapa meskipun mereka sadar bahwa mereka tidak mungkin bisa menikmati hasilnya. Itu disebabkan karena mereka sayang kepada anak-anak cucu mereka. Artinya, apapun yang kita tanam sekarang ini, hasilnya akan dinikmati oleh anak-anak cucu kita. Pertanyaannya, apa yang sudah kita tanam untuk mereka??? Pohon yang baikkah ataukah yang buruk??

Prihatin....

Akhir-akhir ini, saya sering gelisah memikirkan nasib umat Islam di Indonesia yang semakin hari semakin memprihatinkan. Sebab, hari demi hari tingkat dekadensi moral di kalangan mereka semakin meningkat. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya tindak kriminal yang terjadi di mana-mana, penggunaan narkoba yang sudah masuk ke seluruh lapisan masyarakat baik tua, muda atau –bahkan- anak-anak, korupsi dan kolusi yang sudah membudaya, dan lain sebagainya. Padahal, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Ini merupakan permasalahan umat yang sangat besar yang harus kita pikirkan bersama. Saya sendiri belum tahu apa yang bisa saya lakukan, karena untuk saat ini saya bukanlah siapa-siapa……(: