Senin, 23 November 2009
Budaya Sumpah dan Kesaksian Palsu
Ada dua kisah yang saya jelaskan dalam pengajian tersebut:
1. Kisah Nabi Yusuf as. dengan saudara-saudaranya yang ingin mencelakai beliau. Seperti yang digambarkan Al-Qur`an dalam Surah Yusuf, dari ayat 8 hingga 15, Yusuf merupakan anak yang paling disayang oleh ayahnya, Nabi Ya’qub as.. Hal itu menyebabkan saudara-saudara Yusuf merasa iri kepadanya. Karena itu, mereka pun merekayasa satu skenario yang bertujuan untuk melenyapkan Yusuf. Skenario itu berakhir dengan dimasukkannya Yusuf ke dalam sebuah sumur. Guna menutupi kejahatan yang telah mereka lakukan, mereka pun mulai berakting di hadapan ayah mereka dengan cara menangis (ayat 16), lalu mereka memberikan keterangan dan bukti palsu (ayat 17 dan 18).
2. Kisah Nabi Yusuf dengan Zulaikha (isteri Raja Mesir) yang sangat berhasrat ingin menundukkan hati Yusuf. Ayat 23 dan 24 menggambarkan bagaimana Zulaikha berusaha menggoda dan merayu Yusuf (yang saat itu masih muda) agar mau berbuat mesum dengannya, tetapi rayuan dan ajakan Zulaikha itu ditolak keras oleh Yusuf. Yusuf pun lari ke arah pintu untuk keluar, yang segera dikejar oleh Zulaikha. Saat Yusuf membuka pintu, ternyata suami Zulaikha sudah berada di depan pintu tersebut karena ingin masuk ke dalam kamar. Dia memergoki Zulaikha sedang menarik baju Yusuf hingga robek. Karena tidak mau dianggap sebagai pihak yang bersalah, Zulaikha pun memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya terjadi. Dia langsung berkata kepada suaminya: “Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan isterimu selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?” (ayat 25).
Dari kedua potongan kisah tersebut, saya menarik satu kesimpulan yaitu bahwa bila orang yang bersalah tidak ingin kesalahannya terbongkar atau diketahui oleh orang lain, maka dia akan memberikan keterangan atau kesaksian yang tidak benar. Dia juga akan membuat bukti-bukti palsu yang dianggap dapat memperkuat keterangan dan kesaksiannya itu. Bahkan dia berani untuk bersumpah atas nama Tuhannya di depan pengadilan. Budaya memberikan keterangan, kesaksian dan bukti palsu ini bukan merupakan hal baru, tetapi sudah ada sejak zaman dulu, bahkan dapat dijumpai pada kisah nabi-nabi terdahulu.
Dalam kaitannya dengan kasus-kasus yang sedang marak sekarang ini, di sini saya tidak ingin memberikan penilaian mana yang benar ataupun mana yang salah, baik pada kasus Antasari, kasus Bibit-Chandra, ataupun kasus Bank Century. Sebab, bukan kapasitas saya untuk memberikan penilaian seperti itu, meskipun dengan hati nurani yang saya miliki, saya dapat memberikan penilaian. Yang ingin saya soroti hanyalah masalah budaya memberikan keterangan, kesaksian dan bukti palsu di pengadilan, seperti yang terjadi pada kedua kisah yang saya sebutkan di atas. Lihatlah bagaimana Ary Muladi mencabut kembali BAP-nya dan memberikan keterangan yang berbeda dengan keterangan yang diberikan sebelumnya. Mana yang benar? Tentunya, hanya satu keterangan yang benar. Ini artinya Ari Muladi telah memberikan keterangan yang tidak benar atau palsu. Hal serupa juga terjadi pada kasus Antasari, dimana Wiliardi mencabut BAP-nya. Kesaksian yang diberikannya saat persidangan berbeda dengan apa yang tertulis dalam BAP. Lagi-lagi muncul pertanyaan: Mana yang benar? Di sini, kita belum bisa memastikan mana yang benar, tapi kita bisa memastikan bahwa tidak mungkin dua keterangan (kesaksian) yang saling bertentangan itu sama-sama benar. Pasti salah satunya salah atau palsu.
Belum lagi ada beberapa orang yang diduga terlibat dalam kasus-kasus tersebut secara terang-terangan bersumpah atas nama Allah bahwa dirinya tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya. Padahal, di sisi lain ada orang yang juga bersumpah atau bersaksi di depan pengadilan (dengan di sumpah terlebih dahulu sebelum memberikan kesaksian) bahwa apa yang dituduhkan kepada orang tersebut adalah benar. Sumpah mana yang benar dan sumpah mana yang palsu? Betigu mudahnyakah orang mengucapkan sumpah palsu, padahal dalam Islam sumpah palsu seperti itu termasuk dosa besar. Bahkan menurut sebagian besar ulama, tidak ada kaffarah (amalan penebus dosa) bagi sumpah palsu tersebut. Hal ini disebabkan karena sumpah seperti itu dapat merugikan orang lain atau dapat merusak hak-hak orang lain. Kaffarah hanya berlaku bagi sumpah yang tidak menyebabkan rusaknya hak orang lain, seperti sumpah seseorang atas dirinya sendiri seperti dengan mengatakan “Aku bersumpah, sejak sekarang aku tidak akan….”.
Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْكَبَائِرُ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَالْيَمِينُ الْغَمُوسُ
“Diriwayatkan dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda: ‘(Di antara) dosa besar adalah menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orangtua, membunuh orang lain (tanpa sebab yang dibenarkan) dan sumpah palsu.” (HR. Bukhari)
Sumpah dan kesaksian palsu ini jelas dapat merugikan orang lain. Bahkan bila telah membudaya di kalangan masyarakat, maka kebenaran dan keadilan rasanya sulit diwujudkan. Karenanya, bila kita menginginkan tegaknya kebenaran dan keadilan di tengah-tengah masyarakat kita, maka kita harus berusaha untuk memberantas budaya yang buruk tersebut. Kemudian setiap orang di antara kita harus memikirkan kepentingan orang banyak (rakyat) dan harus berani mengatakan yang benar, meskipun pahit hasilnya: “Katakanlah yang benar meskipun pahit akibatnya.” Wallaahu A’lam…….
Jumat, 17 Juli 2009
Akhlak, Faktor Penentu Masa Depan Umat
إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِمَّ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk membenahi akhlak yang mulia.”
Seperti disebutkan pada hadits tersebut, tujuan diutusnya Rasulullah saw. ke bumi ini adalah untuk membenahi akhlak masyarakat pada saat itu, bukan untuk tujuan lain. Memang sejak awal munculnya, Islam telah mengajak manusia untuk berbudi pekerti yang baik dan mulia. Selain disampaikan secara eksplisit, ajakan itu juga tercermin pada ibadah-ibadah yang disyariatkan Islam seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Ibadah-ibadah tersebut mengandung nilai-nilai akhlak yang tinggi, yang bertujuan untuk membersihkan jiwa manusia. Sebagai contoh, puasa mengajarkan seseorang untuk bersikap jujur. Sebab saat berpuasa, seseorang dilarang untuk makan dan minum meskipun tidak ada seorangpun yang melihatnya.
Dengan ajarannya yang memperkenalkan budi pekerti yang baik dan dengan sosok Rasulullah yang selalu memperlihatkan perilaku yang baik, Islam berhasil mengubah bangsa Arab Jahiliyyah. Islam berhasil mengubah mereka dari umat yang bermoral bejat menjadi umat yang berakhlak mulia; dari umat yang suka melakukan perbuatan keji dan kezhaliman menjadi umat yang suka melakukan kebajikan dan mencintai sesama. Bahkan, hal ini telah diakui oleh musuh-musuh Islam sendiri. Mereka pernah berkata: “Andaikata ajaran yang dibawa Muhammad itu bukan merupakan agama, niscaya akhlak para penganutnya akan tetap mulia.”
Sungguh indah ajaran Rasulullah dan Rasul-Nya yang memerintahkan kita untuk berbudi pekerti yang baik. Jika kita mau melaksanakan perintah tersebut, yaitu dengan cara menghiasi diri kita dengan akhlak yang baik, maka kita akan menjadi hamba-hamba yang dicintai Allah. Pada saat itulah, semua angan-angan dan cita-cita yang kita inginkan akan terwujud. Kemudian kita akan menjadi masyarakat terbaik di muka bumi. Tidak ada lagi orang lemah yang dizhalimi, tidak ada lagi orang kuat yang dibela, dan tidak ada lagi hak-hak yang disia-siakan. Semua orang pun akan bersatu padu dan saling menghormati satu sama lain, sehingga mereka akan memiliki kekuatan yang ditakuti umat-umat lain.
Dari sini, maka tidaklah heran bila umat Islam pada zaman Nabi saw. dan juga pada masa Khulafaur Rasyidin menjadi umat yang terbaik dan terkuat. Mereka begitu disegani oleh umat-umat lain, dan karenanya mereka pun berhasil memperluas wilayah Islam ke sejumlah daerah, bahkan sampai ke benua Eropa. Ini menunjukkan betapa pentingnya akhlak bagi suatu masyarakat (bangsa). Kemajuan atau kemunduran suatu masyarakat sangat ditentukan oleh akhlak mereka. Atau dengan kata lain, maka depan mereka sangat tergantung pada akhlak mereka sendiri. Lalu, apakah umat Islam pada masa sekarang ini dan juga pada masa-masa mendatang akan seperti umat Islam pada generasi pertama itu? Jawabannya ada di tangan kita semua. Wallaahu A’lam….
Kamis, 09 Juli 2009
Baiti Jannati: Mimpi dan Harapan Di Balik Pilpres
Jantung ketiga pasangan capres yang ikut dalam pilpres tahun 2009 pun mulai berdebar-debar. Mereka akan bertarung guna menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin bagi 250 juta lebih penduduk negeri yang terletak di garis katulistiwa ini.
Sebagai warga negara yang ingin memiliki andil dalam menentukan arah negara ini, sekecil apapun andil tersebut, saya akan menyalurkan aspirasi saya. Tentunya sesuai dengan hati nurani dan penilaian obyektif saya. Hal itu akan saya lakukan meskipun saya sadar bahwa ketiga pasangan capres yang ada belum memenuhi kriteria pemimpin ideal dalam kaca mata saya, yaitu kriteria yang didasarkan pada pengetahuan saya tentang hukum-hukum Islam.
Terus terang, saya pribadi kurang setuju bila ada orang yang tidak ikut menentukan pilihan dalam pilpres ini dengan alasan-alasan tertentu. Apalagi dengan alasan capres-capres yang ada tidak memenuhi kriteria ideal menurutnya. Sebab, walaupun pasangan capres yang ada belum memenuhi kriteria ideal, tapi itulah kenyataan yang ada. Sehingga menurut saya, kuranglah bijak bila umat Islam hanya menyerah begitu saja dan menyerahkan nasib bangsa ini kepada orang-orang yang ikut melakukan pemilihan. Dengan mengambil sikap seperti itu, berarti seseorang telah siap bila negeri ini dipimpin oleh orang yang mungkin kurang memperhatikan kepentingan umat Islam.
Apa yang saya lontarkan ini cukup beralasan, karena ketika Rasulullah saw. sendiri dihadapkan pada dua pilihan, dimana keduanya sama-sama kurang baik dalam pandangan beliau, maka beliau akan memilih yang paling ringan dampaknya. Inilah kaidah yang harus kita fahami dan kita amalkan dalam setiap aspek kehidupan kita, termasuk dalam masalah politik.
Berdasarkan kaidah tersebut, bila memang capres-capres yang ada kurang berkenan di hati kita, karena mungkin adanya hal-hal minus yang telah mereka lakukan, maka paling tidak kita harus memilih mana yang terbaik menurut kita. Tentunya sesuai penilaian dan ijtihad kita masing-masing. Semua itu tidak lepas dari harapan kita agar negara yang penduduknya mayoritas Muslim ini dapat bergerak menuju ke arah yang lebih baik. Apapun hasilnya nanti, kita serahkan sepenuhnya kepada Dzat Yang Maha Kuasa, Allah swt.. Yang terpenting bagi kita hanyalah berusaha, berharap dan banyak berdoa.
Saya yakin, setiap orang di antara kita terutama yang beragama Islam pasti mengharapkan pemerintahan yang lebih baik, yaitu pemerintahan yang lebih memperhatikan kepentingan rakyat, terutama kepentingan umat Islam. Tetapi apakah harapan seperti itu akan terwujud bila kita hanya bersikap abstain, alias tidak menentukan pilihan?
Ya, kita harus berusaha dan berdoa, semoga capres yang terpilih nanti -siapapun dia- akan menjadi pemimpin yang lebih berpihak kepada rakyat. Pemimpin yang memperhatikan kepentingan rakyat dan pemimpin yang siap bekerja keras demi kesejahteraan rakyat. Saya pribadi selalu berharap dan berdoa, semoga bangsa Indonesia ini memiliki pemimpin seperti Baginda Rasulullah saw. dan Umar bin Khathab ra.. Meskipun tidak mirip persis, paling tidak sikap dan kebijakan pemimpin tersebut menauladani kedua pemimpin terbaik sepanjang sejarah Islam itu.
Saya juga berharap, siapapun yang terpilih nanti, tidak ada kekecewaan dalam hati capres-capres yang kalah, yang dapat berujung pada kekacauan dan dapat mengganggu stabilitas nasional. Mereka harus legowo menerima hasil pilpres nanti. Sikap seperti itu akan mendukung tercapainya harapan kita, yaitu terwujudnya negara yang aman, sentosa, sejahtera dan diridhai Allah swt..
Siapapun capres yang akan terpilih nanti, hendaknya konsep “Baiti jannati” (Rumahku Surgaku) harus ditanamkan dalam benaknya. Sebab, negara ini ibarat rumah yang kita tempati. Bila nyaman, maka kehidupan kita pun akan terasa di surga. Sebaliknya, bila tidak, maka kehidupan kita akan terasa seperti di neraka. Menurut saya, konsep “Baiti jannati” hendaknya tidak hanya diterapkan dalam keluarga yang merupakan institusi terkecil dalam masyarakat, tetapi juga dalam kehidupan bernegara.
Akankah semua itu terwujud? Wallaahu A’lam…Hanya Allah yang lebih mengetahui. Sebagai manusia yang lemah, kita hanya bisa berusaha dan berharap…
Rabu, 15 April 2009
Sebuah Dilema....
Saya teringat saat-saat ketika saya menunaikan ibadah haji, tepatnya pada tahun 2000. Saat itu, saya masih berstatus sebagai mahasiswa di Mesir. Seperti mahasiswa-mahasiswa lainnya, di samping menunaikan ibadah haji, saya juga mencari tambahan uang saku dengan cara bekerja. Alhamdulillah, meskipun baru pertama kali haji, saya langsung mendapat job. Saya dipercaya untuk menjadi guide para TKI yang ada di
Memang bagi TKI-TKI yang bernasib baik, kehidupan mereka dan juga keluarga mereka akan lebih baik ketimbang mereka harus mengais rezeki di negeri sendiri. Tetapi bagaimana dengan mereka yang bernasib
Kamis, 09 April 2009
Gerakan Perbaikan Moral
Di akhir email saya ini, marilah kita bersama-sama merenungi firman Allah swt. dalam Al-Qur`an: “Wattaquu fitnatal laa tushibannalladzi zhalamuu minkum khaashshah, wa’lamuu anallaaha syadiidul ‘iqaab (Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaannya).” (QS. Al-Anfaal [8]: 25) Artinya, bila ada hal buruk yang menimpa masyarakat kita (bangsa Indonesia) akibat rusaknya akhlak mereka, maka ia tidak hanya akan menimpa orang-orang yang akhlaknya rusak saja, tetapi juga akan menimpa semua orang di antara mereka. Na’uudzu billaahi min dzaalik…
Senin, 06 April 2009
Terima Kasih Atas Tanggapannya
Kamis, 02 April 2009
Harap-harap Cemas…..
Ya Allah, sampai kapankah kondisi seperti ini akan terus berlangsung?? Akankah kondisi seperti ini semakin parah dari tahun ke tahun?? Apa yang akan dialami oleh anak cucu kita nanti? Ya Allah, maafkanlah kami yang hanya bisa diam dan bungkam menghadapi situasi dan kondisi seperti ini! Ya Allah, ampunilah kami yang tidak bisa berbuat apa-apa dan belum bisa merubah apa yang semestinya dirubah! Begitu banyak saudara-saudara kita yang menjerit, ya Allah, karena kelaparan, karena kesusahan untuk menghidupi anak-anak mereka. Ya Allah, sebentar lagi kami, bangsa Indonesia, akan memilih wakil-wakil rakyat kami. Tapi kami masih cemas, ya Allah, apakah wakil-wakil rakyat yang terpilih nanti bisa memperjuangkan nasib kami dan apakah mereka mau memikirkan nasib anak cucu-anak cucu kami. Ataukah, mereka hanyalah wakil-wakil rakyat yang akan menguras kekayaan negara untuk mensejahterakan diri dan keluarga mereka saja, ya Allah? Harap-harap cemas, itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan perasaan yang sekarang bersemayam di benak kami, ya Allah. Tabahkanlah hati kami dan berilah kemampuan kepada kami untuk ikut melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Sekecil apapun kemampuan itu, ya Allah, sangatlah berarti bagi kami. Dengarkanlah jeritan hati kami dan saudara-saudara kami! Kabulkanlah permohonan kami dan wujudkanlah harapan kami!