Dulu sebagian masyarakat kita, terutama di daerah Jawa, sangat memegang erat prinsip: “Mangan ora mangan sing penting kumpul (Makan ga makan yang penting kumpul).” Maksud prinsip itu adalah bahwa mereka lebih mengutamakan kebersamaan daripada mereka harus ngoyo untuk mencari kehidupan yang lebih baik daripada sebelumnya, tetapi mereka harus berpisah. Ini tidak berarti bahwa ketika mereka tetap mempertahankan untuk hidup bersama-sama, mereka tidak bisa makan. Sama sekali tidak, karena kalau hanya untuk menutupi kebutuhan makan, cukuplah mudah bagi mereka sehingga mereka tidak perlu bersusah payah untuk merantau keluar daerah. Ini sangatlah wajar, karena pertanian saat itu lebih baik daripada sekarang. Mereka dapat mengandalkan hidup dari padi atau palawija yang mereka tanam, atau bahkan dari biji-bijian yang dilemparkan dengan tidak sengaja hingga tumbuh menjadi pohon yang dapat dipetik buahnya, karena negeri kita adalah negeri yang sangat subur. Tetapi apakah prinsip itu masih berlaku hingga sekarang?? Di sini, saya tidak berbicara tentang kebutuhan lain yang sifatnya sekunder seperti pendidikan ataupun yang lainnya. Jawabannya, tentu tidak bisa, karena bila mereka masih mempertahankan prinsip tersebut, maka mereka akan mati kelaparan. Sebab, sawah yang menjadi sumber penghasilan utama mereka tidak lagi berfungsi secara optimal karena begitu sulitnya pengairan pada masa sekarang ini. Atau, palawija yang dulu bisa mereka nikmati, kini sudah sangat jarang karena banyak tanah yang mulai gersang. Mau ga mau, mereka pun harus membuang jauh-jauh idealisme mereka (mempertahankan prinsip tersebut) dan mereka pun harus pergi merantau ke mana saja, bahkan ke luar negeri, asalkan mereka dapat pulang dengan membawa uang untuk menghidupi keluarga mereka. Mungkin faktor inilah yang menyebabkan makin banyak warga negara kita yang terpaksa mencari sesuap nasi di negeri jiran (Malaysia), atau bahkan ke negara-negara Arab. Padahal, bagi kebanyakan orang di antara mereka, apa yang mereka alami di sana tidaklah seindah seperti yang mereka bayangkan saat mereka akan pergi merantau ke sana, karena tidak sedikit di antara mereka yang mengalami perlakuan tidak manusiawi, persis seperti perlakuan terhadap binatang.
Ya Allah, sampai kapankah kondisi seperti ini akan terus berlangsung?? Akankah kondisi seperti ini semakin parah dari tahun ke tahun?? Apa yang akan dialami oleh anak cucu kita nanti? Ya Allah, maafkanlah kami yang hanya bisa diam dan bungkam menghadapi situasi dan kondisi seperti ini! Ya Allah, ampunilah kami yang tidak bisa berbuat apa-apa dan belum bisa merubah apa yang semestinya dirubah! Begitu banyak saudara-saudara kita yang menjerit, ya Allah, karena kelaparan, karena kesusahan untuk menghidupi anak-anak mereka. Ya Allah, sebentar lagi kami, bangsa Indonesia, akan memilih wakil-wakil rakyat kami. Tapi kami masih cemas, ya Allah, apakah wakil-wakil rakyat yang terpilih nanti bisa memperjuangkan nasib kami dan apakah mereka mau memikirkan nasib anak cucu-anak cucu kami. Ataukah, mereka hanyalah wakil-wakil rakyat yang akan menguras kekayaan negara untuk mensejahterakan diri dan keluarga mereka saja, ya Allah? Harap-harap cemas, itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan perasaan yang sekarang bersemayam di benak kami, ya Allah. Tabahkanlah hati kami dan berilah kemampuan kepada kami untuk ikut melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Sekecil apapun kemampuan itu, ya Allah, sangatlah berarti bagi kami. Dengarkanlah jeritan hati kami dan saudara-saudara kami! Kabulkanlah permohonan kami dan wujudkanlah harapan kami!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar Anda