Minggu, 30 Agustus 2009

Ad-Dars Al-Khaamis (Pelajaran Kelima) – Level Dua

Ad-Dars Al-Khaamis (Pelajaran Kelima) – Level Dua

v Pada pelajaran kali ini, kita akan belajar tentang lafazh فِي أَيِّ . Seperti halnya dengan kata أَيُّ , lafazh فِي أَيِّ juga digunakan untuk menanyakan jenis. Hanya saja, karena ada tambahan kata فِي yang berarti di atau pada, maka lafazh فِي أَيِّ berkaitan dengan tempat atau waktu, seperti pada kalimat-kalimat berikut:

1. فِي أَيِّ سَاعَة (Fii ayyi saa’ah / Pada jam berapa?)

2. فِي أَيِّ مَدْرَسَة (Fii ayyi madrasah / Di sekolah mana?)

3. فِي أَيِّ مَكْتَب (Fii ayyi maktab / Di kantor apa?)

v Pada bagian conversation, di samping dilatih menggunakan lafazh فِي أَيِّ , Anda kembali dilatih untuk menggunakan kata kerja pasif (fi’il maadhi), yaitu pada kata صَلَّيْتِ (shollaiti / kamu sudah shalat) dan تَسَحَّرْتِ (tasahharti / kamu sudah sahur). Baca kembali pelajaran tentang kata kerja pasif tersebut.

v Untuk mendownload pelajaran kelima ini, klik judul tulisan!

Suami Menikah Lagi Tanpa Izin Isteri

Assalamualaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, saya seorang istri telah menikah 14 tahun dan belum dikaruniai anak. Setelah diperiksa, ternyata kami berdua mempunyai kekurangan. Saya telah menjalani pengobatan sampai selesai dan telah dilaparascopy. Menurut dokter, alhamdulillah saya sehat. Sekarang tinggal suami saya yang harus menjalani pengobatan selama 3 bulan dan harus disuntik hormon 2x sebulan. Karena beliau takut disuntik, maka pengobatan ini pun diabaikan. Saya akhirnya pasrah saja. Ini terjadi pada tahun 2004. Pada tahun 2008, suami meminta untuk menikah lagi dengan alasan ingin punya anak. Saya ajukan syarat harus berobat dulu selama 2 tahun. Saat itu, suami menyetujui syarat yang saya ajukan. Tetapi ternyata, bulan kemarin suami telah menikah tanpa sepengetahuan saya. Beliau membohongi saya dengan alasan pergi melihat keponakannya. Bagaimana hukumnya suami menikah tanpa izin isteri pertama? Dan bagaimana pendapat Ustadz mengenai sikap dia yang telah melanggar janjinya? Bolehkah saya meminta cerai dari suami dengan alasan suami telah melanggar janji dan membohongi saya? Saya terpaksa menanyakan hal itu meskipun saya tahu bahwa tidak akan masuk surga seorang isteri yang meminta pisah dari suaminya. Mohon penjelasannya pak Ustadz. Terima kasih
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Hamba Allah….

Jawaban:

Sebelumnya, saya mohon maaf bila jawaban yang saya berikan cukup lama. Hal itu semata-mata karena beberapa minggu terakhir saya sangat sibuk, bahkan terkadang harus keluar kota. Apalagi dengan melihat permasalahan yang ibu lontarkan cukup rumit, sehingga saya harus berhati-hati dalam menjawabnya. Terus terang, saya pribadi ikut prihatin atas apa yang telah ibu alami. Tetapi saya berharap mudah-mudahan Allah memberikan jalan yang terbaik untuk ibu. Aamiin…

Permasalahan ibu dapat dilihat dari dua sisi: Pertama, dari segi hukum Islam, sebenarnya seorang laki-laki tidak perlu meminta izin kepada siapapun untuk melakukan pernikahan, baik pernikahan pertama, kedua, ketiga ataupun keempat. Keharusan meminta izin dari pihak lain dalam hal pernikahan hanya diberlakukan bagi wanita. Dalam hal ini, adalah izin dari pihak walinya, seperti ayah kandungnya yang merupakan wali mujbir baginya.

Berdasarkan hukum di atas, sah-sah saja bila suami ibu menikah lagi tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada ibu yang masih resmi sebagai isterinya. Hanya saja, dalam kasus yang menimpa ibu, saya melihat ada kesalahan yang telah dilakukan oleh suami ibu. Bahkan -menurut saya- kesalahan tersebut bisa dikatagorikan sebagai tindakan yang bertentangan dengan konsep al-mu’aasyarah bil-ma’ruuf (memperlakukan isteri dengan baik), seperti yang disinyalir oleh Allah swt. dalam QS. An-Nisaa` (4): 19. Hal itu disebabkan karena di samping suami telah membohongi ibu, dia juga tidak komitmen dengan tujuannya menikah lagi. Sebab, suami ibu mengatakan bahwa dia ingin menikah lagi karena sampai sekarang belum dikaruniai keturunan, sementara dia sendiri tidak mau berusaha untuk menjalani pengobatan rutin. Bahkan, dia telah melanggar janjinya.

Dalam kajian fikih munakahat (pernikahan), memang terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kebolehan gugat cerai oleh isteri karena suami tidak memperlakukannya dengan baik. Menurut Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, hal itu tidak dibolehkan karena mungkin ada solusi selain cerai. Sedangkan menurut Imam Malik, hal itu dibolehkan berdasarkan hadits Nabi saw.: “Tidak boleh membahayakan (menyakiti) diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan (menyakiti) orang lain.” Dalam hal ini, isteri boleh mengadukan perlakuan suami kepada qadhi (hakim). Bila dalam pengaduannya itu, isteri memiliki bukti-bukti yang kuat, maka hakim harus memaksa suami untuk menceraikan isterinya. Tetapi bila tidak, maka tuntutan isteri tidak bisa dilanjutkan. (Lihat Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah Zuhaili, jilid 9, hal. 7060) Saya pribadi, lebih cenderung kepada pendapat Imam Malik ini.

Kedua, dari sisi hukum perkawinan: Dalam aturan hukum yang berlaku di Indonesia, ketentuan poligami telah diatur dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 4 undang-undang tersebut disebutkan bahwa seorang suami yang akan berpoligami diwajibkan mengajukan permohonan ke pengadilan agama dengan syarat-syarat secara alternatif, yaitu : a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Dalam Pasal 5 menentukan syarat-syarat yang secara kumulatif harus dipenuhi seorang laki-laki yang akan mengajukan izin poligami, yaitu : a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri, b. adanya kepastian mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya, dan c. adanya jaminan berlaku adil. Ketentuan tersebut berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia.

Berdasarkan undang-undang tersebut, maka ibu boleh mengajukan gugatan cerai kepada pengadilan agama. Wallahu A’lam…. (Deli Serdang, 28/9/2009)

Rabu, 26 Agustus 2009

Utsman bin Affan, Sang Dzun Nurain

Abu Lahab adalah orang yang paling memusuhi Nabi dan isterinya, Khadijah binti Khuwailid. Isteri Abu Lahab, Ummu Jamil binti Harb, juga merupakan seorang wanita yang buruk akhlaknya. Al-Qur`an menjulukinya dengan nama Hammaalah Al-Hathab (pembawa kayu bakar), karena dia sangat memusuhi dan membenci beliau. Abu Lahab dan isterinya ingin menyakiti hati Rasulullah. Keduanya memerintahkan kepada kedua anaknya, ‘Utbah dan ‘Utaibah, untuk menceraikan Ruqayyah dan Ummu Kultsum yang kedua-duanya adalah puteri Rasulullah saw..

Utsman ingin sekali menikah dengan Ruqayyah. Maka, setelah Ruqayyah dicerai oleh suaminya, Utsman pergi kepada Rasulullah saw. untuk meminang Ruqayyah. Rasulullah saw. pun menikahkan Ruqayyah dengan Utsman. Utsman adalah seorang pemuda yang berparas tampan dan berpenampilan menarik. Demikian pula dengan Ruqayyah, dia juga seorang wanita yang berparas cantik dan berpenampilan menarik.

Pernikahan Utsman dengan Ruqayyah merupakan pernikahan yang sangat indah, sehingga para pemudi Mekkah bernyanyi dengan mengatakan:
Sungguh, pasangan terindah yang pernah dilihat oleh manusia #
(Mereka berdua adalah) Ruqayyah dan suaminya, Utsman.

Kebencian orang-orang Quraisy kepada Utsman semakin bertambah setelah pernikahan Utsman dengan Ruqayyah itu. Mereka telah mengetahui betapa besar rasa cinta Utsman kepada Rasulullah saw. dan juga rasa cinta Rasulullah saw. kepada Utsman. Maka, siksaan yang ditujukan kepada Utsman dan isterinya itu pun semakin bertambah. Orang-orang Quraisy memerangi Utsman dengan menghancurkan perdagangannya, hingga akhirnya kota Mekkah terasa semakin sempit bagi Utsman dan Ruqayyah. Maka, Utsman berhijrah ke Habasyah dengan ditemani oleh Ruqayyah.

Nabi saw. melihat kepergiaan Utsman dan Ruqayyah saat mereka berdua hendak berhijrah. Maka beliau bersabda, “Semoga Allah menemani Utsman dan Ruqayyah. Sesungguhnya Utsman adalah orang yang pertama kali berhijrah bersama keluarganya setelah Nabi Luth.”

Akan tetapi, kerinduan Ruqayyah kepada kota Mekkah telah mempercepat kepulangan Utsman dari Habasyah. Sesampainya di Mekkah, mereka berdua mengetahui bahwa Khadijah telah meninggal dunia. Ruqayyah pun bersedih atas kematian ibunya itu. Utsman juga demikian, dia sangat terpengaruh dengan kematian Khadijah. Namun, Allah memberikan ganti kepada keduanya berupa seorang anak kecil yang diberi nama oleh Rasulullah saw dengan nama Abdullah.

Setelah itu, Utsman berhijrah ke Madinah bersama kaum muslimin lainnya. Saat orang yang bertugas untuk mengajak kaum muslimin berjihad berseru, “Wahai kuda Allah, naiklah (ke atas untamu)!”, Utsman sedang berada di samping Ruqayyah yang sedang mengalami sakit parah setelah anaknya, Abdullah, meninggal dunia. Maka, Utsman pun meminta izin kepada Nabi saw. agar dia dapat mendampingi isterinya yang sedang sakit. Rasulullah pun mengizinkannya. Oleh sebab itu, maka Utsman tidak ikut serta dalam peperangan Badar. Akan tetapi, Nabi saw. tetap memberikan kepadanya harta rampasan yang diperoleh dalam peperangan ini, sehingga dia menjadi seperti orang yang ikut serta dalam peperangan tersebut.

Kaum Muslimin kembali dari perang Badar dengan membawa kemenangan. Namun, luapan kegembiraan karena kemenangan ini bercampur dengan air mata kesedihan. Sebab, Ruqayyah binti Rasulullah telah meninggal dunia. Utsman pun kini hidup seorang diri tanpa ada isteri yang mendampinginya. Dulu, dia merupakan menantu Rasulullah saw.. Akan tetapi sekarang, hubungan nasab antara dirinya dengan Rasulullah telah terputus.

Umar pun berkeinginan untuk menikahkan puterinya, Hafshah, dengan Utsman. Tetapi Utsman tidak menerima keinginan Umar itu. Maka, Umar mengadu kepada Nabi saw. Beliau pun bersabda kepada Umar, “Hafshah akan dinikahi oleh orang yang lebih baik daripada Utsman, sementara Utsman akan menikah dengan orang yang lebih baik daripada Hafshah.”

Rasulullah saw. pun, akhirnya, menikahi Hafshah. Sedangkan Utsman dinikahkan oleh Rasulullah saw. dengan Ummu Kultsum yang telah menjadi janda setelah dicerai oleh putera Abu Lahab. Seolah-olah Allah telah menyimpan Ummu Kultsum untuk Utsman hingga dia dapat menjadi isteri Utsman.

Sejak pernikahan Utsman dengan Ummu Kultsum, Utsman pun menjadi Dzu An-Nuurain (orang yang mempunyai dua cahaya). Sebab, dia telah menikah dengan dua puteri Rasulullah saw., dimana tidak ada seorang pun yang menikahi dua puteri Rasulullah saw kecuali Utsman ra.. Ummu Kultsum tetap menjadi isteri Utsman hingga dia meninggal dunia pada tahun ke-9 Hijriyah. Ketika Ummu Kultsum meninggal dunia, Utsman sangat bersedih karena dia tahu bahwa Rasulullah tidak lagi memiliki seorang anak perempuan yang dapat dinikahinya. Maka, Rasulullah saw. bersabda, “Andaikan aku mempunyai puteri yang ketiga, niscaya aku akan menikahkannya dengan Utsman.”

Senin, 24 Agustus 2009

Ad-Dars Ar-Raabi’ (Pelajaran Keempat)-Level Dua

Pada pelajaran keempat ini, kita akan belajar tentang kata أَيُّ. Dalam bahasa Arab, kata أَيُّ (ayyu) biasa digunakan untuk menanyakan jenis, seperti pada lafazh-lafazh berikut ini:

1. أَيُّ يَوْم هَذَا (Ayyu yaum haadzaa / Hari apa sekarang?)
2. أَيُّ شَهْر هَذَا (Ayyu syahr haadzaa / Bulan apa sekarang?)
3. أَيُّ كِتَاب (Ayyu kitaab / Buku apa?)
4. أَيُّ بَرْنَامِج (Ayyu barnaamij / Acara apa?)

Untuk mendownload pelajaran keempat ini, klik judul tulisan!

Lupa Membayar Mahar

* Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Bismillah…Ana ada sedikit pertanyaan mengenai hal mahar. Jadi ana punya saudara, dia cerita dia menikah dengan biaya sendiri sampai uangnya habis sama sekali. Karena istrinya berasal dari Bali dan dia dari Jawa, tepatnya malang. Ana salut sama dia karena dia berusaha membiayai semua sendiri. Permasalahannya dia lupa membayar maharnya, dan sekarang dia punya niatan membayarnya. Bagaimana hukum dan dalilnya?? Mohon pencerahan.
Jazakumullah

* Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

* Hari al-Jannah

* Jawaban:

* Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Terima kasih atas pertanyaan dan perhatiannya. Pertanyaan Anda sangat menarik karena pengalaman saudara Anda cukup unik dan boleh dikatakan jarang terjadi di negeri kita, Indonesia. Sebab, mayoritas pernikahan yang ada di Indonesia dilakukan dengan menyebutkan kadar mahar dan kebanyakan dibayar secara kontan, dengan kadar dan jenis mahar yang berbeda-beda sesuai kemampuan pengantin laki-laki. Tetapi sayangnya, Anda tidak menyebutkan apakah saat dilakukan akad nikah, saudara Anda menyebutkan waktu pembayaran sisa mahar ataukah tidak. Ada perbedaan hukum antara keduanya, seperti yang akan dijelaskan di bawah nanti.

Mahar atau mas kawin adalah harta atau pekerjaan yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan sebagai pengganti dalam sebuah pernikahan menurut kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak, atau berdasarkan ketetapan dari si hakim. Dalam bahasa Arab, mas kawin sering disebut dengan istilah mahar, shadaq, faridhah dan ajr.

Mahar merupakan salah satu syarat sahnya sebuah akad nikah. Dalam hal ini, al-Qur’an memerintahkan kepada calon suami untuk membayar mahar: “Berikanlah maskawin mahar kepada perempuan (yang kau nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan, kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa` [4]: 4).

Berdasarkan ayat tersebut, para ulama sepakat bahwa mahar hukumnya wajib bagi seorang laki-laki yang hendak menikah, baik mahar tersebut disebutkan atau tidak disebutkan. Bila sebuah pernikahan dilakukan tanpa memakai mahar, maka pernikahan tersebut tidak sah karena mahar termasuk salah satu syarat sahnya sebuah pernikahan.

Pembayaran mahar boleh dilakukan secara tunai (kontan) dan boleh juga dicicil. Hal ini didasarkan pada firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” QS. Al-Maidah [5]: 1] Memenuhi pembayaran mahar adalah termasuk bagian dari memenuhi akad, sebab segala jenis yang menjadi persyaratan dalam akad termasuk bagian dari akad tersebut. Pembayaran mahar boleh dicicil bila sudah ada kesepakatan sebelumnya.

Bila pembayaran mahar itu dilakukan tidak secara tunai, maka pembayaran sisa maharnya dilakukan tergantung kesiapan pengantin laki-laki saat melakukan akad nikah atau sebelum akad nikah dilakukan. Bila pengantin laki-laki menyebutkan waktu tertentu, misalnya satu tahun setelah pernikahan, maka sisa mahar tersebut harus dibayar persis setelah waktu setahun pernikahan. Tetapi bila dia tidak menyebutkan waktu tertentu untuk membayar sisa maharnya itu, misalnya dengan mengatakan: “Sisa maharnya akan saya bayar sampai saya betul-betul ada cukup uang“, maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama:

* Imam Syafi’i berpendapat bahwa mahar tersebut batal karena dipandang majhul, tidak jelas waktu pembayaran sisanya. Maharnya dianggap batal, karenanya pengantin laki-laki harus membayar mahar mitsil. Misalnya, apabila si suami dan si wanita sepakat dengan mahar satu juta, kemudian si suami membayar setengahnya yakni 500 ribu ketika akad dan sisanya ia tangguhkan, namun, tidak menyebutkan waktu tertentu pembayarannya, maka menurut Imam Syafi’i, mahar yang disepakati tadi tidak sah dan harus dibatalkan. Sebagai gantinya, si suami harus membayar mahar mitsil. Mahar Mitsil adalah mahar yang sebanding atau yang sama dengan mahar orang lain. Maksudnya, calon suami harus melihat berapa besar mas kawin yang diterima oleh bibi atau tante calon pengantin wanita dari pihak ayahnya, atau berapa mas kawin yang diterima oleh bibi bapak wanita tersebut. Apabila misalnya tante dari pihak bapaknya ketika menikah dahulu menerima mas kawin sebesar tujuh ratus lima puluh ribu rupiah, maka si calon suami pun harus membayar mas kawin untuk wanita tersebut minimal tujuh ratus lima puluh ribu rupiah.
* Imam Maliki berpendapat, bila pengantin laki-laki tidak menyebutkan waktu tertentu untuk membayar sisa maharnya itu, atau menyebutkan waktu tertentu tapi ia mengatakan: “sampai isteri saya meninggal atau sampai terjadi perceraian“, maka akadnya menjadi tidak sah. Namun, apabila si suami tersebut telah menyetubuhi isterinya, maka si suaminya harus membayar mahar mitsil.
* Sedangkan Imam Hanbali dan Imam Hanafi berpendapat, bila pengantin laki-laki tidak menyebutkan waktu tertentu untuk membayar sisa maharnya itu, maka hal itu sah-sah saja. Waktu pembayaran sisanya boleh ditangguhkan sampai salah satunya meninggal dunia atau terjadi perceraian.

Meskipun dibolehkan penundaan, tentunya sesuai kesepakatan pada saat akad pernikahan, akan tetapi Rasulullah saw. sangat mewanti-wanti agar kita tidak lupa atau tidak membayar mahar sama sekali. Beliau bersabda: “Syarat-syarat yang paling berhak kalian sempurnakan ialah kalian menyempurnakan mahar yang dengannya kalian telah menghalalkan kehormatan isteri kalian.” (Muttafaqun ‘alaih) Wallaahu A’lam…..

Untuk download buku tentang fikih pernikahan yang membahas secara khusus tentang permasalahan mahar, klik:

http://www.ziddu.com/download/6155290/fiqhM04_mahar.pdf.html

Jumat, 21 Agustus 2009

MLM, Halal atau Haram

Semua bisnis termasuk yang menggunakan sistem MLM dalam literatur syari’ah Islam pada dasarnya termasuk kategori mu’amalat yang dibahas dalam bab Al-Buyu’ (Jual-beli) yang hukum asalnya dari aspek hukum jual-belinya secara prinsip boleh berdasarkan kaidah fiqih sebagaimana dikemukakan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah “Pada dasarnya semua ibadah hukumnya haram kecuali kalau ada dalil yang memerintahkannya, sedangkan asal dari hukum transaksi dan mu’amalah adalah halal kecuali kalau ada dalil yang melarangnya”. (Lihat I’lamul Muwaqi’in 1/344). Hal itu tentunya selama bisnis yang dilakukan memenuhi unsur syariah yaitu bebas dari unsur-unsur haram diantaranya;
Riba (Transaksi Keuangan Berbasis Bunga); Dari Abdullah bin Mas’ud ra. berkata : “Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam bersabda: “Riba itu memiliki tujuh puluh tiga pintu yang paling ringan adalah semacam dosa seseorang yang berzina dengan ibunya sendiri” (HR. Ahmad 15/69/230, lihat Shahihul Jami 3375)
Gharar (Kontrak yang tidak Lengkap dan Jelas); Dari Abu Hurairah ra. berkata : “Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam melarang jual beli gharar”. (HR. Muslim)
Penipuan (Tadlis/Ghisy); Dari Abu Hurairah ra. berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam melewati seseorang yang menjual makanan, maka beliau memasukkan tangannya pada makanan tersebut, ternyata beliau tertipu. Maka beliau bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang menipu”. (HR. Muslim 1/99/102, Abu Dawud 3435, Ibnu Majah 2224)
Perjudian (Maysir atau Transaksi Spekulatif Tinggi yang tidak terkait dengan Produktifitas Riil); Firman Allah Ta’ala: “Hai orang-orang beriman, sesungguhnya meminum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib, adalah perbuatan syaithan maka jauhilah.” (QS. Al-Maidah: 90)
Kedhaliman dan Eksploitatif (Dzulm). Firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil…” (QS. An-Nisaa:29)

Barang/Jasa yang dijual adalah berunsur atau mengandung hal yang haram. Dari Ibnu ‘Abbas ra. berkata :”Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia pasti mengharamkan harganya”. (HR. Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad shahih)

(Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Zadul Ma’ad Imam Ibnul Qayyim 5/746, Al-Burnu, Al-Wajiz fi Idhah Qawa’id Al-Fiqh, hal. 191, 197, Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal. 286, As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, hal.60).

Allah SWT. berfirman: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS.Al-Baaqarah:275), “Tolong menolonglah atas kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong atas dosa dan permusuhan.” (QS.Al-Maidah:2) Sabda Rasulullah saw: “Perdagangan itu atas dasar sama-sama ridha.” (HR.al-Baihaqi dan Ibnu Majah), “Umat Islam terikat dengan persyaratan yang mereka buka.” (HR.Ahmad, Abu Dawud, Hakim).

Persoalan bisnis MLM yang ditanyakan mengenai status hukum halal-haram maupun status syubhatnya tidak bisa dipukul rata. Tidak dapat ditentukan oleh masuk tidaknya perusahaan itu dalam keanggotaan APLI (Asosiasi Penjual Langsung Indonesia) termasuk oleh klaim sepihak sebagai Perusahaan MLM Syari’ah karena harus ada penjamin syariah dan bukti atau sertifikat syariah atau kehalalannya yang dapat diperftanggungjawabkan seperti dari MUI, melainkan tergantung sejauh mana dalam praktek manajemen, sistem marketing, kegiatan operasionalnya serta barang/jasa yang dijualnya setelah melalui kajian dan penelitian sesuai syariah. Menurut catatan APLI, saat ini terdapat lebih dari 200-an perusahaan yang menggunakan sistem MLM dan masing-masing memiliki karakteristik, spesifikasi, pola, sistem dan model tersendiri yang menjadi dasar secara individual perusahaan MLM itu dinilai halal atau haram.

Sejak masuk ke Indonesia pada sekitar tahun 80-an, jaringan bisnis Penjualan Langsung (Direct Selling) MLM, terus marak dan subur menjamur dan bertambah merebak lagi setelah adanya badai krisis moneter dan ekonomi. Pemain yang terjun di dunia MLM yang memanfaatkan momentum dan situasi krisis untuk menawarakan solusi bisnis pemain asing maupun lokal. Yang sering disebut masyarakat diantaranya CNI, Amway, Avon, Tupperware, Sun Chlorella, DXN, Propolis Gold, Kamyabi-Net, Persada Network, termasuk yang Saudara tanyakan Tianshi bahkan juga yang berkedok MLM padahal bisnis money game (penggandaan uang) yang akhirnya bangkrut seperti Gee Cosmos. Hal itu menunjukkan bahwa bisnis MLM banyak diminati banyak kalangan diantaranya mengingat jumlah populasi penduduk Indonesia yang sangat besar mencapai 200 juta jiwa. Bayangkan kalau rata-rata minimal belanja perbulan Rp 10 ribu per jiwa, akan terjadi transaksi dan perputaran uang sejumlah Rp.2 trilyun perbulan.

Bisnis MLM ini dalam kajian fiqih kontemporer dapat ditinjau dari dua aspek; produk barang atau jasa yang dijual dan cara ataupun sistem penjualan dan pemasarannya (trading/marketing). Mengenai produk barang yang dijual, apakah halal atau haram tergantung kandungannya apakah terdapat unsur maupun komposisi yang diharamkan secara syariah ataukah tidak, demikian halnya jasa yang dijual. Sebagai contoh adakah di dalamnya terkandung unsur babi, khamr, bangkai, darah, pornografi dan pornoaksi, kemaksiatan, perjudian. Lebih mudahnya sebagian produk barang dapat dirujuk pada sertivikasi halal dari LP-POM MUI, maupun sertifikat dari Lembaga Sertifikasi Halal dari Negara Lain yang diakreditasi oleh LP-POM MUI seperti The Islamic Food and Nutrition of America (IFANCA), meskipun produk yang belum disertivikasi halal memang belum tentu haram tergantung pada kandungannya.

Perusahaan yang menjalankan bisnisnya dengan sistem MLM tidak hanya sekedar menjalankan penjualan produk barang tetapi juga produk jasa yaitu jasa marketing yang berlevel-level (bertingkat-tingkat) dengan imbalan berupa marketing fee, bonus dan sebagainya tergantung level, prestasi penjualan dan status keanggotaan distributor. Jasa perantara penjualan ini (makelar) dalam terminologi fiqih disebut “Samsarah/simsar” ialah perantara perdagangan (orang yang menjualkan barang atau mencarikan pembeli) atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli. (Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, vol. III/159)

Kemunculan trend strategi pemasaran di dunia bisnis modern berupa multi level marketing memang sangat menguntungkan pengusaha dengan adanya penghematan biaya (minimizing cots) dalam iklan, promosi dan lainnya. Di samping menguntungkan para distributor sebagai simsar (makelar/broker/mitrakerja/agen/distributor) yang ingin bekerja secara mandiri dan bebas.

Pekerjaan samsarah/simsar berupa makelar, distributor, agen dan sebagainya dalam fiqih Islam adalah termasuk akad ijarah, yaitu suatu transaksi memanfaatkan jasa orang dengan imbalan. Pada dasarnya, para ulama seperti Ibnu ‘Abbas, Imam Bukhari, Ibnu Sirin, ‘Atha, Ibrahim, memandang boleh jasa ini. (Fiqh As-Sunnah, III/159). Namun untuk sahnya pekerjaan makelar ini harus memenuhi beberapa syarat disamping persyaratan diatas, antara lain sebagai berikut: 1. Perjanjian jelas kedua belah pihak (QS. An-Nisa: 29) 2. Obyek akad bisa diketahui manfaatnya secara nyata dan dapat diserahkan. 3. Obyek akad bukan hal-hal yang maksiat atau haram.

Distributor dan perusahaan harus jujur, ikhlas, transparan, tidak menipu dan tidak menjalankan bisnis yang haram dan syubhat (yang tidak jelas halal/haramnya). Distributor dalam hal ini berhak menerima imbalan setelah berhasil memenuhi akadnya, sedangkan pihak perusahaan yang menggunakan jasa marketing harus segera memberikan imbalan para distributor dan tidak boleh menghanguskan atau menghilangkannya. (QS. Al-A’raf: 85), sesuai dengan hadits Nabi: “Berilah para pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah, Abu Ya’la dan Tabrani). Tiga orang yang menjadi musuh Rasulullah di hari Qiyamat diantaranya “seseorang yang memakai jasa orang, kemudian menunaikan tugas pekerjaannya tetapi orang itu tidak menepati pembayaran upahnya.” (HR. Bukhari).

Jumlah upah atau imbalan jasa yang harus diberikan kepada makelar atau distributor adalah menurut perjanjian, sesuai dengan firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian) itu.” (QS. Al-Maidah:1) dan juga hadits Nabi: “orang-orang Islam itu terikat dengan perjanjian-perjanjian mereka.” (HR.Ahmad, Abu Dawud, Hakim dari Abu Hurairah). Bila terdapat unsur dzulm (kezaliman) dalam pemenuhan hak dan kewajiban, seperti seseorang yang belum mendapatkan target dalam batas waktu tertentu maka ia tidak mendapat imbalan yang sesuai dengan kerja yang telah ia lakukan maka bisnis MLM tersebut tidak benar.

Dalam menjalankan bisnis dengan sistem MLM perlu mewaspadai dampak negatif psikologis yang mungkin timbul sehingga membahayakan kepribadian diantaranya: obsesi yang berlebihan untuk mencapai target penjualan tertentu karena terpacu oleh sistem ini, suasana tidak kondusif yang kadang mengarah pada pola hidup hedonis ketika mengadakan acara rapat dan pertemuan bisnis, banyak yang keluar dari tugas dan pekerjaan tetapnya karena terobsesi akan mendapat harta yang banyak dengan waktu singkat, sistem ini akan memperlakukan seseorang (mitranya) berdasarkan target-target penjualan kuantitatif material yang mereka capai yang pada akhirnya dapat mengkndisikan seseorang berjiwa materialis dan melupakan tujuan asasinya untuk dekat kepada Allah didunia dan akherat. (QS. Al-Qashash: 77 dan Al-Muthaffifin: 26).

IFANCA telah mengeluarkan edaran tentang produk MLM halal dan dibenarkan oleh agama. Dalam edarannya IFANCA mengingatkan umat Islam untuk meneliti dahulu kehalalan suatu bisnis MLM sebelum bergabung ataupun menggunakannya yaitu dengan mengkaji aspek:
Marketing Plan-nya, apakah ada unssur skema piramida atau tidak. Kalau ada unsur piamida yaitu distributor yang lebih duluan masuk selalu diuntungkan dengan mengurangi hak distributor belakangan sehingga merugikan down line dibawahnya, maka hukumnya haram.
Apakah perusahaan MLM, memiliki track record positif dan baik ataukah tiba-tiba muncul dan misterius, apalagi yang banyak kontriversinya.
Apakah produknya mengandung zat-zat haram ataukah tidak, dan apakah produknya memiliki jaminan untuk dikembalikan atau tidak.
Apabila perusahaan lebih menekankan aspek targeting penghimpunan dana dan menganggap bahwa produk tidak penting ataupun hanya sebagai kedok atau kamuflase, apalagi uang pendaftarannya cukup besar nilainya, maka patut dicurigai sebagai arisan berantai (money game) yang menyerupai judi.
Apakah perusahaan MLM menjanjikan kaya mendadak tanpa bekerja ataukah tidak demikian.Selain kriteria penilaian di atas perlu diperhatikan pula hal-hal berikut:
Transparansi penjualan dan pembagian bonus serta komisi penjualan, disamping pembukuan yang menyangkut perpajakan dan perkembangan networking atau jaringan dan level, melalui laporan otomatis secara periodik.
Penegasan niat dan tujuan bisnis MLM sebagai sarana penjualan langsung produk barang ataupun jasa yang bermanfaat, dan bukan permainan uang (money game).
Meyakinkan kehalalan produk yang menjadi objek transaksi riil (underlying transaction) dan tidak mendorong kepada kehidupan boros, hedonis, dan membahayakan eksistensi produk domestik terutama MLM produk asing.
Tidak adanya excessive mark up (ghubn fakhisy) atas harga produk yang dijeluabelikan di atas covering biaya promosi dan marketing konvensional.
Harga barang dan bonus (komisi) penjualan diketahui secara jelas sejak awal dan dipastikan kebenarannya saat transaksi.
Tidak adanya eksploitasi pada jenjang manapun antar distributor aataupun antara produsen dan distributor, terutama dalam pembagian bonus yang merupakan cerminan hasil usaha masing-masing anggota.Mengenai beberapa bisnis yang memakai sistem MLM atau hanya berkedok MLM yang masih meragukan (syubhat) ataupun yang sudah jelas ketahuan tidak sehatnya bisnis tersebut baik dari segi kehalalan produknya, sistem marketing fee, legalitas formal, pertanggung jawaban, tidak terbebasnya dari unsur-unsur haram seperti; riba (permainan bunga ataupun penggandaan uang), dzulm dan ghoror (merugikan nasabah dengan money game), maysir (perjudian), seperti kasus New Era 21, BMA, Solusi Centre, PT BUS (Republika, 25/7/1999, Adil, No.42 21-27 Juli 1999) sebaiknya ditinggalkan mengingat pesan Rasulullah saw: “Janganlah kalian membuat bahaya pada diri sendiri dan orang lain.” (HR. Ibnu Majah dan Daruquthni), “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas dan diantara keduanya ada hal-hal yang syubhat di mana sebagian besar manusia tidak tahu. Barangsiapa menjaga dari syubhat maka telah menjaga agama dan kehormatannya dan barangsiapa yang jatuh pada syubhat berarti telah jatuh pada yang haram.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dan sebagaimana pesan Ali bin Abi Thalib ra.: “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan untuk melakukan pada sesuatu yang tidak meragukan.” HR Tirmidzi dan Nasai).Untuk lebih memudahkan dalam mengetahui status kehalalan atau kesyariahan perusahaan MLM, dapat diketahui bahwa sampai posisi sekarang ini (Oktober 2008), perusahaan yang telah terdaftar sebagai MLM syariah dan mendapatkan sertifikat bisnis syariah dari Dewan Syariah Nasional MUI sekaligus mendapatkan jaminan kesesuaian syariah dalam produk dan kegiatan operasional bisnisnya dari MUI yang diwajibkan memiliki Dewan Pengawas Syariah baru tiga perusahaan, yaitu; 1. PT Ahad-Net Internasional, 2. PT Usahajaya Ficooprasional (UFO), 3. PT Exer Indonesia.

Selain itu perlu kiranya dicermati beberapa isu syariah pada bisinis MLM diantaranya sebagaimana yang disoroti oleh MUI DKI dalam Fiqh Indonesia Himpunan Fatwa MUI DKI Jakarta (hal: 288) adalah;
Barang-barang yang diperjualbelikan dalam sistem MLM menggunakan harga yang jauh lebih tinggi dari harga wajar, maka hukumnya haram karena secara tidak langsung pihak perusahaan telah menambahkan harga yang dibebankan kepada pihak pembeli sebagi sharing modal dalam akad syirkah (kemitraan) mengingat pembeli sekaligus akan menjadi member perusahaan yang apabila ia ikut memasarkan akan mendapat keuntungan estafet. Dengan demikian praktek perdagangan MLM juga mengandung unsur kesamaran atau penipuan karena terjadi kekaburan antara akad jual beli, syirkah dan mudharabah, karena pihak pembeli sesudah menjadi member juga berfungsi sebagai pekerja yang memasarkan produk perusahaan kepada calon pembeli atau member baru.
Jika calon anggota mendaftar ke perusahaan MLM dengan membayar uang tertentu, dengan ketentuan dia harus membeli produk perusahaan baik untuk dijual lagi atau tidak dengan ketentuan yang telah ditetapkan untuk bisa mendapatkan point atau bonus. Dan apabila tidak bisa mencapai target tersebut maka keanggotaannya akan dicabut dan uangnya pun hangus. Hal ini diharamkan karena mengandung unsur gharar yang sangat jelas dan kedzaliman terhadap anggota.
Jika calon anggota mendaftar dengan membayar uang tertentu, tapi tidak ada keharusan untuk membeli atau menjual produk perusahaan, dia hanya berkewajiban mencari anggota baru dengan cara seperti diatas, yakni membayar uang pendaftaran. Semakin banyak anggota maka akan semakin banyak bonusnya. Ini merupakan salah satu transkasi berbasis riba karena menaruh uang diperusahaan tersebut kemudian mendapatkan hasil yang lebih banyak semacam money game. Sebagaimana kasus perusahaan MLM yang melakukan kegiatan menjaring dana dari masyarakat untuk menanamkan modal disitu dengan janji akan diberikan bunga dan bonus dari modalnya dengan memutarnya diantaranya pada investasi ribawi seperti deposito perbankan konvenisonal. Ini jelas hukumnya haram karena mengandung unsur riba.

Sebagai catatan akhir dalam rangka pertimbangan memasuki bisnis MLM sekaligus sebagai filter teknis agar tidak terjebak kepada pola MLM konvensional yang tidak meneerapkan system syariah sebagian kadang melakukan praktik eksploitatif yang tidak adil melalui skema sistem piramida marketing, saya merasa perlu menyampikan fenomena penyesatan intelektual kalau tidak dikatakan sebagai kebohongan dalam kampanye dan propaganda MLM konvensional sebagaimana 10 catatan yang ditulis oleh Robert L. Fitzpatrick dan Joyce K. Reynolds dalam bukunya False Profits: Seeking Financial and Spiritual Deliverance in Multi-Level Marketing and Pyramid Schemes, Herald Press Charlotte) sebagai berikut:

Pertama: MLM dikenalkan sebagai bisnis yang menawarkan kesempatan yang lebih baik untuk mendapatkan banyak uang dibandingkan dengan bisnis lain maupun pekerjaan lain. Perlu dipelajari lebih lanjut bahwa bagi hampir semua orang yang menanamkan uang, MLM berakhir dengan hilangnya uang. Kurang dari 1% distributor MLM mendapatkan laba dan mereka yang mendapatkan pendapatan seumur hidup dalam bisnis ini persentasenya jauh lebih kecil lagi. Cara pemasaran dan penjualan yang tidak lazim menjadi penyebab utama kegagalan ini. Namun, kalau toh bisnis ini lebih berkelayakan, perhitungan matematis pasti akan membatasi terjadinya peluang sukses tersebut. Tipe struktur bisnis MLM hanya dapat menopang sejumlah kecil pemenang. Jika seseorang memerlukan downline sejumlah 1000 orang agar dia memperoleh pendapatan seumur hidup, maka 1000 orang downline tadi akan memerlukan sejuta orang untuk bisa memperoleh kesempatan yang sama. Jadi, berapa orang yang secara realistis bisa diajak bergabung? Banyak hal yang tampak sebagai pertumbuhan pada kenyataannya adalah pengorbanan distributor baru secara terus-menerus. Uang yang masuk ke kantong elite pemenang berasal dari pendaftaran para pecundang. Dengan tidak adanya batasan jumlah distributor di suatu daerah dan tidak ada evaluasi tentang potensi pasar, sistem ini dari dalamnya sudah tidak stabil.

Kedua: Jejaring (network) marketing (pemasaran mengandalkan jaringan) dikenalkan sebagai cara baru yang paling populer dan efektif untuk membawa produk ke pasar. Konsumen menyukai membeli produk dengan cara door-to-door. Perlu diperhatikan jika anda mengikuti aktivitas andalan MLM berupa penjualan keanggotaan secara terus-menerus dan mengamati hukum dasarnya, yakni penjualan eceran satu-satu ke konsumen, anda akan menemukan sistem penjualan yang tidak produktif dan tidak praktis. Penjualan eceran satu-satu ke konsumen merupakan cara kuno, bukan trend masa depan. Penjualan secara langsung satu-satu ke teman atau saudara menuntut seseorang untuk mengubah kebiasaan belanjanya secara drastis. Dengan demikian, seseorang mendapatkan pilihan terbatas, kerap kali membayar lebih mahal untuk sebuah produk, membeli dengan tidak nyaman, dan dengan kagok mengadakan transaksi bisnis dengan teman dekat atau saudara. Ketidak-layakan penjualan door-to-door inilah yang menjadi alasan kenapa pada kenyataannya MLM merupakan bisnis yang terus-terusan menjual kesempatan menjadi distributor.

Ketiga: Di suatu saat kelak, semua produk diklaim akan dijual dengan model MLM. Para pengecer, mall, katalog, dan sebagian besar pengiklanan akan mati karena MLM. Perlu dicamkan bahwa kurang dari 1% dari keseluruhan penjualan dilakukan melalui MLM dan banyak volume dari penjualan ini terjadi karena pembelian oleh para distributor baru yang sebenarnya membayar biaya pendaftaran untuk sebuah bisnis yang selanjutnya akan dia tinggalkan. MLM tidak akan menggantikan cara-cara pemasaran yang sekarang ada. MLM sama sekali tidak bias menyaingi cara-cara pemasaran yang lain. Namun yang lebih pasti, MLM melambangkan program investasi baru yang meminjam istilah pemasaran dan produk. Produk MLM yang sesungguhnya adalah keanggotaan (menjadi distributor) yang dijual dengan cara menyesatkan dan membesar-besarkan janji mengenai pendapatan. Orang membeli produk guna menjaga posisinya pada sebuah piramid penjualan. Pendukung MLM senantiasa menekankan bahwa anda dapat menjadi kaya, jika bukan karena usaha keras anda sendiri maka kekayaan itu berasal dari seseorang yang tidak anda kenal yang mungkin akan bergabung dengan downline anda, atau istilah orang MLM “big fish”. Pertumbuhan MLM adalah perwujudan bukan dari nilai tambahnya terhadap ekonomi, konsumen, maupun distributor, namun lebih merupakan perwujudan dari tingginya ketakutan ekonomi dan perasaan tidak aman serta meningkatnya impian untuk menjadi kaya dengan mudah dan cepat. MLM tumbuh dengan cara yang sama dengan tumbuhnya perjudian dan lotere.

Keempat: MLM dinilai sebagai gaya hidup baru yang menawarkan kebahagiaan dan kepuasan. MLM merupakan cara untuk mendapatkan segala kebaikan dalam hidup. Perlu diperhatikan lagi bahwa daya tarik paling menyolok dari industri MLM sebagaimana yang disampaikan lewat iklan dan presentasi penarikan anggota baru adalah ciri materialismenya. Perusahaan-perusahaan besar Fortune 100 akan tumbang sebagai akibat dari janji-janji kekayaan dan kemewahan yang disodorkan oleh penjaja MLM. Janji-janji ini disajikan sebagai tiket menuju kepuasan diri. Pesona MLM yang berlebihan mengenai kekayaan dan kemewahan bertentangan dengan aspirasi sebagian besar manusia berkaitan dengan karya yang bernilai dan memberikan kepuasan untuk sesuatu yang menjadi bakat dan minatnya. Singkatnya, budaya bisnis MLM membelokkan banyak orang dari nilai-nilai pribadinya dan membelokkan aspirasi seseorang untuk mengekspresikan bakatnya.

Kelima: MLM sering mendeklarasikan dirinya sebagai adalah gerakan spiritual dalam bisnis. Perlu mendapatkan pencerahan lebih lanjut bahwa peminjaman konsep spiritual (kerohanian) maupun emosional seperti kesadaran akan kemakmuran dan visualisasi kreatif untuk mengiklankan keanggotaan MLM, penggunaan kata-kata seperti “komunitas” dan “kekeluargaan” untuk menggambarkan kelompok penjualan, dan klaim bahwa MLM merupakan pelaksanaan prinsip-prinsip agama adalah penyesatan besar dari ajaran-ajaran rohani sekalipun menurut penulis buku ini dikaitkan dengan kristiani dan injil. Mereka yang memusatkan harapan dan impiannya pada kekayaan dalam doa-doanya jelas kehilangan pandangan akan spiritualitas murni sebagaimana yang diajarkan oleh semua agama yang dianut umat manusia. Penyalahgunaan ajaran-ajaran spiritual ini pastilah pertanda bahwa penawaran investasi MLM merupakan penyesatan. Jika sebuah produk dikemas dengan bendera atau agama tertentu, waspadalah! “Komunitas”, ”kekeluargaan” dan “dukungan” yang ditawarkan oleh organisasi MLM kepada anggota baru semata-mata didasarkan pada belanjanya. Jika pembelanjaan dan pendaftarannya menurun, maka menurun pula tingkat keterlibatannya dalam “komunitas” tersebut.

Keenam: Sukses dalam MLM itu diklaim mudah dan semua teman dan saudara harus dijadikan prospek. Mereka yang mencintai dan mendukung anda akan menjadi konsumen anda seumur hidup. Perlu dicamkan kembali bahwa komersialisasi ikatan keluarga dan persahabatan yang diperlukan bagi jalannya MLM adalah unsur penghancur dalam masyarakat dan sangat tidak sehat bagi mereka yang terlibat. Mencari keuntungan dengan memanfaatkan ikatan keluarga dan kesetiakawanan sahabat akan menghancurkan jiwa sosial seseorang. Kegiatan MLM menekankan pada hubungan yang mungkin tidak akan bisa mengembalikan pertalian yang didasarkan atas cinta, kesetiaan, dan dukungan. Selain dari sifatnya yang menghancurkan, pengalaman menunjukkan bahwa hanya sedikit sekali orang yang menyukai atau menghargai suasana dirayu oleh teman atau saudara untuk membeli produk.

Ketujuh: Anda dimotivasi untuk dapat melakukan MLM di waktu luang sesuai kontrol anda sendiri karena sebagai sebuah bisnis, MLM menawarkan fleksibilitas dan kebebasan mengatur waktu. Beberapa jam seminggu dapat menghasilkan tambahan pendapatan yang besar dan dapat berkembang menjadi sangat besar sehingga kita tidak perlu lagi bekerja yang lain. Perlu dipikirkan kembali bahwa pengalaman puluhan tahun yang melibatkan jutaan manusia telah menunjukkan bahwa mencari uang lewat MLM menuntut pengorbanan waktu yang luar biasa serta ketrampilan dan ketabahan yang tinggi. Selain dari kerja keras dan bakat, MLM juga jelas-jelas menggerogoti lebih banyak wilayah kehidupan pribadi dan lebih banyak waktu. Dalam MLM, semua orang dianggap prospek. Setiap waktu di luar tidur adalah potensi untuk memasarkan. Tidak ada batas untuk tempat, orang, maupun waktu. Akibatnya, tidak ada lagi tempat bebas atau waktu luang begitu seseorang bergabung dengan MLM. Dibalik selubung mendapatkan uang secara mandiri dan dilakukan di waktu luang, sistem MLM akhirnya mengendalikan dan mendominasi kehidupan seseorang dan menuntut penyesuaian yang ketat pada program-programnya. Inilah yang menjadi penyebab utama mengapa begitu banyak orang tenggelam begitu dalam dan akhirnya menjadi tergantung sepenuhnya kepada MLM. Mereka menjadi terasing dan meninggalkan cara interaksi yang lain.

Kedelapan: MLM dianggap bisnis baru yang positif dan suportif mendukung yang memperkuat jiwa manusia dan kebebasan pribadi. Perlu dicamkan kembali bahwa MLM sebagian besar berjalan karena adanya ketakutan. Cara perekrutan selalu menyebutkan ramalan akan runtuhnya model-model distribusi yang lain, runtuhnya kekokohan ekonomi Amerika, dan sedikitnya kesempatan di bidang lain (profesi atau jasa). Profesi, perdagangan, dan usaha konvensional terus-menerus dikecilkan artinya dan diremehkan karena tidak menjanjikan “penghasilan tak terbatas”. Menjadi karyawan adalah sama dengan perbudakan bagi mereka yang “kalah”. MLM dinyatakan sebagai tumpuan terbaik terakhir bagi banyak orang. Pendekatan ini, selain menyesatkan kerapkali juga menimbulkan dampak menurunkan semangat bagi orang yang ingin meraih kesuksesan sesuai visinya sendiri tentang sukses dan kebahagiaan. Sebuah bisnis yang sehat tidak akan menunjukkan keunggulannya dengan menyajikan ramalan-ramalan buruk dan peringatan-peringatan menakutkan.

Kesembilan: MLM merupakan pilihan terbaik untuk memiliki bisnis sendiri dan mendapatkan kemandirian ekonomi yang nyata. Perlu dipertimbangkan kembali secara masak bahwa MLM bukanlah self-employment (usaha mempekerjakan sendiri) yang sejati. “Memiliki” keanggotaan distributor MLM hanyalah ilusi. Beberapa perusahaan MLM melarang anggotanya memiliki keanggotaan MLM lain. Hampir semua kontrak MLM memungkinkan dilakukannya pemutusan keanggotaan dengan gampang dan cepat. Selain dari putus kontrak, downline dapat diambil alih dengan berbagai alasan. Keikutsertaan dalam MLM menuntut orang untuk meniru model yang ada secara ketat, bukannya kemandirian dan individualitas. Distributor MLM bukanlah pengusaha (enterpreneur), namun hanya pengikut pada sebuah sistem hirarki yang rumit di mana mereka hanya punya sedikit kendali.

Kesepuluh: MLM sering menolak dianggap sebagai program piramid karena adanya produk (barang) yang dijual dan bukan money game. Perlu diamati bahwa penjualan produk sama sekali bukan penangkal bagi MLM untuk lolos dari undang-undang anti program piramid, juga bukan jawaban atas tuduhan tentang praktek perdagangan yang tidak sehat (unfair) sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang negara bagian maupun federal di Amerika. MLM bisa menjadi bisnis yang legal jika sudah memenuhi prasyarat tertentu yang sudah ditetapkan oleh FTC (Federal Trade Commission) dan Jaksa Agung negara bagian. Banyak MLM jelas-jelas melanggar ketentuan tersebut dan sementara ini tetap beroperasi karena belum ada yang menuntut. Hal ini juga merupakan potensi moral hazard yang dapat terjadi di Indonesia. Di Amerika contohnya, pengadilan sempat menetapkan angka 70% untuk menentukan legalitas MLM. Maksudnya, minimal 70% produk yang dijual MLM harus dibeli oleh konsumen non-distributor. Ketentuan ini tentu saja akan membuat hampir semua MLM masuk kategori melanggar hukum. Para pelaksana MLM terbesar mengakui bahwa mereka hanya menjual 18% produknya ke non-distributor.
Bisnis MLM tumbuh dan perusahan-perusahaan MLM pun bermunculan. Kegiatan penarikan anggota ada di mana-mana. Akibatnya, terkesan seolah-olah bisnis ini merupakan gelombang bisnis masa depan, model bisnis yang sedang mendapatkan momentum, semakin banyak diterima dan diakui secara legal, dan sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh para penggagasnya, MLM akan menggantikan sebagian besar model pemasaran dan penjualan jenis lain. Banyak orang menjadi percaya dengan pengakuan bahwa keberhasilan dapat diperoleh siapa saja yang secara setia mengikuti sistem ini dan menerapkan metode-metodenya, dan bahwa pada akhirnya semua orang akan menjadi distributor MLM.

Dengan pengalaman penulis buku ini selama 14 tahun di bidang konsultan korporat untuk bidang distribusi dan setelah lebih dari 6 tahun melakukan riset dan menulis mengenai MLM, berhasil mengumpulkan informasi, fakta, dan masukan-masukan yang menunjukkan bahwa bisnis MLM pada dasarnya adalah bentuk lain dari kebohongan pasar bebas. Hal ini bisa dianalogikan dengan menyebut pembelian tiket lotere sebagai “usaha bisnis” dan memenangkan hadiahnya sebagai ” pendapatan seumur hidup bagi siapa saja”. Validitas pernyataan industri MLM tentang potensi pendapatan si distributor, penjelasannya yang mengagumkan tentang model bisnis jaringan, dan pengakuannya tentang penguasaan dalam distribusi produk adalah persis seperti validitas penampakan makhluk luar angkasa ET.

Pada realitas kebanyakan, prestasi ekonomi MLM seringnya dibayar dengan angka kegagalan yang tinggi dan kerugian finansial bagi jutaan orang yang mencoba membeli ataupun bergabung sebagai distributor. Struktur MLM, di mana posisi pada rantai penjualan yang tak berujung dicapai dengan cara menjual atau membeli barang, secara matematis tidak bisa dipertahankan. Juga, system MLM yang memungkinkan direkrutnya distributor dalam jumlah tak terbatas dalam suatu kawasan pemasaran jelas-jelas tidak stabil. Bisnis inti MLM, yakni penjualan langsung, berlawanan dengan trend dalam teknologi komunikasi yakni distribusi yang cost-effective (berbiaya rendah), dan ketertarikan membeli pada pihak konsumen. Kegiatan penjualan secara eceran dalam MLM pada kenyataannya merupakan topeng dari bisnis utamanya, yaitu menggaet pemilik uang (investor) ke dalam organisasi pyramid yang menjanjikan pertumbuhan pendapatan yang berlipat-ganda.

Sebagaimana pada semua program piramid, pendapatan para distributor di posisi puncak dan keuntungan para perusahaan pemberi sponsor berasal dari masuknya para investor (penanam uang) baru secara terus-menerus di tingkat bawah. Jika dilihat secara kasar dari segi keuntungan perusahaan dan kekayaan kelompok elite di posisi puncak, model MLM akan tampak seolah-olah tidak akan ada matinya bagi para mitra bisnis, persis seperti program pyramid sebelum akhirnya tumbang atau dituntut oleh pihak berwenang.

Konstituen atau penopang utama industri MLM bukanlah publik konsumen namun para penanam uang yang menaruh harapan. Pasar bagi para penanam uang ini tumbuh subur di saat-saat terjadinya perubahan ekonomi, globalisasi, dan PHK karyawan, seperti pada momentum krisis keuangan. Janji-janji tentang perolehan financial dengan mudah serta kaitan antara kekayaan dengan kebahagiaan tertinggi juga berperan besar dalam kondisi pasar ini. Karenanya, arah pemasaran MLM ditujukan terutama kepada calon (prospek) distributor, bukannya berupa promosi produk ke para pembeli. Produk MLM yang sesungguhnya bukanlah jasa, vitamin, nutrisi, krim kulit, alat kesehatan dan produk konsumsi lainnya, namun sesungguhnya program investasi bagi para distributor yang secara seringnya menyesatkan digambarkan dengan pendapatan tinggi, lompatan ekonomi keluarga, penggunaan waktu sedikit, modal kecil, dan sukses dalam waktu singkat serta mandiri.

Karena pelanggaran syariah pada sistem MLM konvensional itulah, Saudi Arabia mengharamkan MLM yang tertuang dalam Fatwa Lajnah Daimah Saudi nomor 22935 demikian halnya Majma’ Fiqh (Lembaga Fikih) Sudan dalam keputusan rapat nomor 3/23 tertanggal 17 Rabiul Akhir 1424/17 Juni 2003, sepakat mengharamkan jenis jual beli dengan sistem MLM.

Selain itu, perlu juga diketahui juga ciri-ciri bisnis money game yang jelas haram yang seringnya berkedok MLM. Perlu diingat bahwa bisnis yang hanya mengandalkan perekrutan saja seperti itu (tanpa ada produk yang dijual) disebut Bisnis Piramid. Kadang-kadang, bisnis piramid ini disebut juga Bisnis Money Game. Di Indonesia, bisnis ini lazim disebut Bisnis Penggandaan Uang. Dari beberapa sumber diantaranya APLI sebagaimana juga dikemukakan konsultan financial planner (Safir Senduk; 2008) dapat diketahui ciri-ciri bisnis yang dapat diindikasikan sebagai bisnis Money Game sebagai berikut:
Perusahaan yang mengadakan bisnis itu biasanya mengatakan bahwa bisnisnya adalah bisnis MLM. Penggunaan istilah MLM oleh perusahaan money game biasanya adalah karena mereka tidak ingin bisnis orang jadi malas bergabung jika mereka terang-terangan menyebut nama money game. Karena itu mereka biasanya menyebut dirinya MLM, walaupun nama mereka tidak tercantum dalam APLI (APLI adalah singkatan dari Asosiasi Penjual Langsung Indonesia, sebuah asosiasi yang salah satu fungsinya adalah menyaring mana perusahaan yang betul-betul berbisnis penjualan langsung, entah itu dengan menggunakan sistem MLM atau tidak).
Anda akan diminta membayar sejumlah dana yang cukup besar hanya untuk mendaftar saja. Jumlahnya bervariasi, tapi minimal biasanya sekitar Rp 400 ribuan. Jumlah itu sebetulnya bisa dianggap cukup besar, mengingat Perusahaan MLM yang sejati biasanya hanya meminta biaya pendaftaran yang besarnya biasanya tidak sampai Rp 150 ribuan (itu pun tidak termasuk produk). Rendahnya biaya pendaftaran pada perusahaan MLM adalah agar semua orang bisa memiliki kesempatan yang sama untuk bisa bergabung. Sedangkan pada perusahaan money game, tingginya biaya pendaftaran yang diminta adalah karena mereka harus membayar bonus penghasilan bagi orang-orang di atas Anda yang sudah lebih dulu bergabung.
Pada Perusahaan MLM sejati, biaya pendaftaran biasanya harus bisa dijangkau, karena bonus penghasilan yang akan dibayarkan hanya akan dibebankan pada produk yang terjual saja, bukan dari biaya pendaftaran.
Bisnis money game biasanya tidak memiliki produk untuk dijual kepada konsumen. Padahal ini sebetulnya merupakan faktor kunci dari sebuah bisnis MLM yang sejati. Karena itulah, agar bisa terlihat sebagai sebuah MLM, beberapa perusahaan money game biasanya lalu membuat produk untuk bisa dijual. Namun seringkali yang ada adalah bahwa produk yang dijual tersebut memiliki kualitas dan mutu yang biasa-biasa saja kalau tidak mau disebut asal-asalan. Pada Perusahaan MLM, harus ada produk yang dijual (entah itu berupa barang atau jasa), dan produk tersebut haruslah memiliki kualitas yang cukup baik agar bisa bersaing di pasar. Faktor produk ini sebetulnya juga merupakan faktor kunci dari sebuah perusahaan untuk bisa disebut sebagai sebuah MLM atau tidak. Kalau bisnis yang ditawarkan tersebut tidak memiliki produk, atau mutu produknya asal-asalan saja, sulit disebut sebagai bisnis MLM. Itu jelas money game.
Bisnis money game seringkali hanya menguntungkan orang orang yang pertama bergabung. Sedangkan orang-orang yang bergabung belakangan seringkali cuma ’ketiban pulung’, entah itu perusahaannya bangkrut, lari atau ditutup, atau karena orang yang bergabung belakangan seringkali tidak bisa memiliki penghasilan yang lebih besar daripada orang yang bergabung lebih dulu.

Karena itulah bisnis seperti itu juga disebut Bisnis Piramida. Kalau di Perusahaan MLM yang sejati, walaupun Anda bergabung belakangan, Anda bisa punya kesempatan untuk mendapatkan penghasilan yang jauh lebih besar daripada orang-orang di atas Anda yang sudah bergabung lebih dahulu. Sekarang tinggal keputusan Anda apakah akan bergabung dengan bisnis money game yang ditawarkan kepada Anda atau tidak. Sayangnya, di Indonesia belum ada undang-undang yang mengatur tentang bisnis seperti itu dan ketegasan sanksi kecuali terkenai pasal umum tentang penipuan dan penggelapan dan KUHPidana, sehingga pada akhirnya masyarakat pulalah yang harus menaggung sendiri risiko kerugian dan penipuan tersebut oleh perusahaan yang mengaku MLM yang tidak bertanggungjawab.

Source: Eramuslim.com

Penentuan 1 Ramadhan: Mana Yang Benar?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Mungkin kita perlu mendapat penjelasan dari yang ahli tentang hukum-hukum agama. Insya Allah dalam beberapa hari lagi kita akan memasuki satu bulan yang dijanjikan Allah sebagai bulan yang penuh dengan ampunan dosa, ganjaran pahala yg berlipat ganda, dan lebih dari itu tentu masing-masing kita ingin menjadikan Ramadhan ini lebih baik dan lebih berkualitas dalam beribadah dibandingkan dengan tahun-tahun yang telah kita lalui.

Tetapi, selalu saja terjadi perbedaan antara sesama umat Islam tentang penentuan tanggal 1 Ramadhan yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam menentukan 1 Syawal. Bahkan, terkadang perbedaan itu terjadi dalam satu kota yang sama koordinat bujur dan lintangnya. Bagaimana sebaiknya kita menyikapi?

Terima kasih atas tanggapannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Gh-…..


Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti di Indonesia, sering terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam mengenai penentuan 1 Ramadhan atau 1 Syawal. Munculnya perbedaan ini disebabkan karena dua hal:

1. Perbedaan pemahaman terhadap hadits Rasulullah saw. yang dijadikan sebagai dasar penentuan awal Ramadhan atau awal Syawal. Hadits tersebut berbunyi:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ

“Berpuasalah kalian karena melihat bulan, dan berbukalah (berhari rayalah) kalian karena melihatnya. Jika mendung telah menghalangi kalian, maka sempurnakanlah (genapkanlah) hitungan Sya’ban.” (HR. Muslim)


Sebagian ulama memahami kata “ru`yah” (melihat) dalam hadits tersebut dengan arti ru`yah basyariah haqiqiyah (penglihatan dengan mata kepala manusia), sementara sebagian ulama yang lain memahaminya dengan arti ru`yah maknawiyah (dengan hitung-hitungan astronomi). Dari sini, maka muncullah dua metode penentuan awal Ramadhan, yaitu metode hisab astronomi yang biasa dipakai oleh Muhammadiyyah dan Persis, dan metode ru`yah yang biasa dipakai oleh warga NU dan Hizbut Tahrir.


Pada tahun ini, melalui Maklumat Nomor : 06/MLM/I.0/E/2009, PP Muhammadiyah telah mengumumkan penetapan tanggal 1 Ramadhan 1430 H berterpatan dengan hari Sabtu Pahing, tanggal 22 Agustus 2009. Hal serupa juga dilakukan oleh Persis. Sementara NU belum menetapkan 1 Ramadhan karena berdasarkan metode yang dipakainya, penentuan awal Ramadhan harus dilakukan melalui ru`yah dengan menggunakan mata kepala terlebih dahulu.


2. Perbedaan penentuan awal Ramadhan juga bisa disebabkan karena adanya perbedaan cara pandang mengenai matla’ (tempat terbitnya fajar dan terbenamnya matahari). Perbedaan ini terjadi di kalangan ulama yang menggunakan metode ru’yah sebagai alat untuk menentukan awal Ramadhan atau awal Syawal. Ada sebagian ulama yang berpegang pada prinsip matla’, maksudnya setiap negeri mempunyai ru`yah tersendiri, sesuai dengan koordinat bujur dan lintangnya. Di antara ulama yang berpendapat seperti itu adalah Imam Syafi’i. Sementara itu, jumhur fuqaha (mayoritas ahli fikih) tidak berpegang pada prinsip matla’ tersebut, sehingga –menurut mereka- ru`yah yang dilakukan suatu negeri dapat berlaku bagi negeri-negeri lain, tanpa dibatasi oleh mathla’ atau bujur astronomi. Pendapat kedua ini diikuti oleh kelompok Hizbut Tahrir (HTI), sehingga ketika salah satu negara Islam mengumumkan telah melihat hilal, maka kelompok HTI segera merujuk kepada hasil ru`yah negara tersebut. Sebenarnya pendapat ini juga diikuti oleh Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI). Hanya saja, komisi tersebut menegaskan bahwa hal itu memerlukan pembentukan lembaga yang berstatus sebagai “Qadi (Hakim) Internasional” yang dipatuhi oleh seluruh negara-negara Islam. Karena lembaga seperti itu belum ada, maka yang berlaku adalah ketetapan pemerintah masing-masing negara.


Bagi sebagian orang, terkadang adanya perbedaan seperti disebutkan di atas sering membuat bingung. Apalagi di saat menentukan awal Syawal yang merupakan hari raya bagi umat Islam. Mungkin saja terpikir dalam benak mereka, mengapa hari raya umat Islam berbeda? Ada yang sekarang, ada yang besok, ada yang lusa? Mana yang benar? Kami harus mengikuti yang mana?


Penentuan awal Ramadhan atau awal Syawal merupakan permasalahan ijtihadi yang didasarkan pada pemahaman masing-masing kelompok terhadap teks-teks Al-Qur`an ataupun hadits. Dalam hal ini, sah-sah saja bila masing-masing kelompok mengaku pendapatnya benar, asalkan tidak mengaku hanya pendapat merekalah yang benar. Yang perlu ditekankan adalah, sikap toleransi dan menghormati pendapat orang lain. Bila umat Islam memperhatikan hal ini, maka sejuta perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’iyyah seperti itu tidak akan pernah menjadi persoalan bagi umat Islam.


Bila kita lihat Sunah Nabi, perbedaan pendapat seperti itu juga ditolerir Baginda Rasulullah saw.. Dalam Shahih Bukhari, 2/436, disebutkan sebuah riwayat dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda kepada para sahabat:


لاَ يُصَلِّيَنَّ أحدٌ العَصْرَ إلاَّ فِي بَنِي قُرَيْظَة.


“Jangan ada seorang pun yang shalat ashar kecuali di kampung bani Quraidhah.”

Saat mereka masih berada di dalam perjalanan, waktu Ashar tiba. Maka, sebagian dari mereka berkata: “Kita tidak boleh shalat sebelum kita sampai di tempat tujuan.” Mereka pun akhirnya shalat Ashar di perkampungan Bani Quraidhah, meskipun sesampainya di sana waktu shalat Ashar telah lewat. Sementara sebagian yang lain berkata: “Sebaiknya kita shalat di sini saja, karena maksud perkataan Nabi itu adalah agar kita mempercepat perjalanan sehingga kita telah sampai di perkampungan Bani Quraidhah sebelum waktu Ashar tiba.” Ketika hal itu dilaporkan kepada Nabi, beliau sama sekali tidak mengingkari apa yang mereka lakukan.


Dengan demikian, maka adanya perbedaan mengenai penentuan awal Ramadhan ataupun awal Syawal di kalangan umat Islam tidak semestinya menimbulkan perselisihan di antara mereka. Bila kenyataan yang terjadi seperti itu, maka perbedaan tersebut tidak akan menjadi persoalan bagi mereka. Masing-masing kelompok dipersilahkan untuk mengikuti pendapat mana yang menurutnya benar. Lain halnya bila yang terjadi adalah sebaliknya, dimana perbedaan tersebut menyebabkan terjadinya perselisihan atau pertikaian di antara kaum Muslimin. Dalam kondisi seperti itu, masing-masing kelompok harus bersikap legowo dan tidak boleh mengikuti ego masing-masing. Mereka harus mengutamakan persatuan umat Islam. Sebab walau bagaimanapun, persatuan umat jauh lebih penting dan harus lebih diutamakan daripada sekedar mempertahankan pendapat masing-masing. Wallaahu A’lam….

Untuk mendownload fatwa MUI tentang penentuan 1 Ramadhan, klik:http://www.ziddu.com/download/6108694/fatwa1Ramadhan.pdf.html

Senin, 17 Agustus 2009

Ad-Dars Ats-Tsaalits (Pelajaran Ketiga) - Level II

Pada pelajaran ketiga ini, kita masih belajar tentang fi’il maadhi atau kata kerja past tense. Perlu diketahui bahwa tidak semua kata kerja past tense memiliki huruf-huruf yang semuanya berharakat fathah, tetapi ada juga yang huruf keduanya berharakat kasrah, seperti pada kata شَرِبَ dan عَلِمَ


Dalam pelajaran ini, Anda sebaiknya tidak menghafal mati perubahan-perubahan kata kerja past tense tersebut, tetapi hendaknya Anda betul-betul memperhatikan perubahannya.

Pada bagian conversation, Anda dilatih untuk menggunakan kata-kata kerja dalam bentuk past tense. Demikian pula pada bagian translation atau terjemah. Bagi Anda yang ingin mengajar dengan menggunakan metode ini, sebaiknya Anda terus memancing siswa-siswa dengan sejumlah pertanyaan yang Anda lontarkan. Selain itu, sesekali siswa disuruh maju untuk memperkenalkan dirinya dalam bahasa Arab dengan menggunakan kalimat-kalimat yang sudah dipelajari.


Untuk mendownload pelajaran ketiga ini, klik judul tulisan!

Minggu, 16 Agustus 2009

Hukum Dua Jama’ah Shalat Di Dalam Satu Ruang

Assalamualaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, terima kasih atas penjelasannya. Tapi masih ada satu pertanyaan sebelumnya yang saya belum mendapatkan penjelasan, yaitu tentang wajib junubkah wanita yang mengeluarkan cairan dari kelaminnya (cairan seperti orang hendak bercampur), sedangkan dia tidak sedang bercampur dengan suami nya?
Ada pertanyaan lagi yang saya juga mohon penjelasan Ustadz, yaitu apakah boleh di dalam satu ruang shalat terdapat lebih dari satu shalat berjamaah?
Mohon penjelasan dan pencerahannya Ustadz. Terima kasih
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Wan

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Terima kasih juga atas perhatian dan pertanyaan-pertanyaannya.
1. Pertanyaan Anda mengenai hukum wanita yang mengeluarkan cairan dari kelaminnya (cairan seperti orang hendak bercampur), padahal dia tidak sedang bercampur dengan suaminya, telah saya jawab pada pembahasan yang berjudul “Bolehkan Wanita Haidh Membaca Al-Qur`an”. Berikut saya kutipkan kembali jawaban untuk pertanyaan tersebut:
“Hukum yang berkaitan dengan keluarnya air dari alat kemaluan, bagi laki-laki ataupun perempuan adalah sama. Penjelasan mengenai ini pernah saya jelaskan pada pembahasan tentang Hukum Air Mani. Untuk melihat penjelasan tersebut, klik:
http://mediasilaturahim.com/?p=522 Di sini, saya hanya ingin menambahkan, bila air yang keluar adalah air mani, maka seseorang diwajibkan mandi junub, meskipun keluarnya air itu bukan karena hubungan badan. Perlu diingat bahwa air mani bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan, dengan ciri-cirinya yaitu cairan yang putih pekat memancar dari kemaluan dan disertai rasa nikmat. Pancaran air mani pada perempuan adalah berwarna kuning dan sedikit. Air mani bisa keluar baik dalam keadaan sadar (melakukan hubungan suami-istri) maupun ketika tidak sadar (mimpi basah). Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Ummu Sulaim pernah bertanya kepada Rasulullah saw.:
‘Wahai Rasulullah, apakah diwajibkan bagi seorang wanita untuk mandi jika ia bermimpi ?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Ya, jika ia melihat air.’
Kesimpulannya, bila ternyata yang keluar adalah air mani, maka dia wajib mandi meskipun tidak sedang berhubungan badan.

2. Sampai saat ini, saya belum menemukan dalil yang secara tegas menjelaskan permasalahan yang Anda dilontarkan. Mudah-mudahan di antara saudara-saudara kita ada yang pernah membaca atau menemukan dalil tersebut. Tetapi, saya mencoba untuk menjawab pertanyaan kedua Anda dengan menggunakan analogi (qiyas) yang didasarkan pada sebuah riwayat.
Dalam sebuah riwayat dari Wabishah bin Ma’bad ra. disebutkan bahwasanya Rasulullah saw. pernah melihat seorang makmum yang berdiri sendirian di barisan terakhir, maka beliau memerintahkan kepada orang tersebut untuk mengulangi shalatnya. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi. Ibnu Hibban menganggap shahih hadits ini.)
Thabrani menambahkan dengan kalimat: Rasulullah bersabda: “Kenapa kamu tidak bergabung dengan mereka (di barisan para makmum yang lain), atau kamu menarik salah satu dari mereka (yang berada di barisan terakhir)?”
Menurut pemahaman saya, hadits di atas tidak menunjukkan bahwa shalat orang tersebut batal atau tidak sah. Hanya saja, Rasulullah saw. ingin memberitahukan tentang tata cara atau etika dalam shalat berjama’ah. Yaitu, bahwa jika salah seorang makmum datang terlambat sedang barisan sudah penuh terisi, maka dia tidak boleh berdiri sendirian membuat barisan baru, akan tetapi hendaknya dia menarik salah satu makmum untuk menemaninya dalam barisan tersebut, karena berdiri sendirian di dalam barisan baru hukumnya makruh.
Bila orang yang melakukan hal seperti itu saja ditegur oleh Rasulullah saw., lalu perbuatannya dianggap sebagai perbuatan makruh, maka seandainya Rasulullah masih hidup, sudah barang tentu orang-orang yang membuat jama’ah baru di dalam sebuah ruang shalat padahal sudah ada jama’ah sebelumnya di dalam ruang tersebut juga akan ditegur oleh Rasulullah. Tetapi sekali lagi, saya tidak mengatakan perbuatan seperti itu diharamkan atau shalat mereka dianggap tidak sah. Sebab, permasalahan seperti itu hanya berkaitan dengan masalah etika dalam shalat berjama’ah dan tidak berkaitan dengan masalah sah atau tidaknya shalat seseorang. Artinya, bila seseorang melakukan hal itu, maka shalatnya tetap sah, hanya saja nilai pahala shalat jama’ahnya berkurang. Wallaahu A’lam….

Tafsir Surah Adh-Dhuhaa

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Demi waktu matahari sepenggalan naik, dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu, dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap ni’mat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS. Adh-Dhuhaa [93]: 1-11)

Adh-Dhuhaa (waktu matahari sepenggalan naik), maksudnya permulaan waktu siang.
Sajaa (telah sunyi), maksudnya telah gelap gulita.
Wadda’aka, maksudnya tiada meninggalkan kamu.
Qalaa, maksudnya benci.
Aawaa (melindungimu), maksudnya memeliharamu.
Dhaallan, maksudnya orang yang bingung.
‘Aa`ilan (seorang yang kekurangan), maksudnya orang fakir.
Laa taqhar (janganlah kamu berlaku sewenang-wenang), maksudnya janganlah kamu menghinakan.
Laa tanhar, maksudnya janganlah menghardik.
Haddits (hendaklah kamu menyebut-nyebutnya), yang dimaksud dengan menyebut-nyebut nikmat di sini adalah sering mengingatnya baik dengan lisan atau hanya dalam hati saja, sehingga dengannya seseorang akan terdorong untuk selalu bersyukur kepada Allah. Ada pula yang menafsirkan: “dan terhadap nikmat Tuhanmu sedekahkanlah…”

Penjelasan Surah:
Penurunan wahyu kepada Nabi Muhammad saw. pernah berhenti untuk sementara waktu, maka orang-orang Musyrik pun segera menyebarkan isu bahwa Tuhan Muhammad saw. telah meninggalkan dan membenci beliau. Dari sini, maka turunlah surah ini, yang di dalamnya Allah swt. bersumpah atas nama permulaan waktu siang dan kegelapan malam bahwa Dia tidak mungkin meninggalkan beliau, dan bahwa Dia akan memberikan berbagai nikmat dan karunia-Nya kepada beliau hingga beliau merasa puas. Kemudian Allah swt. menyebutkan nikmat-nikmat yang telah dikaruniakan kepada Nabi-Nya, Muhammad saw., sebelum beliau diutus sebagai rasul dengan tujuan untuk menenangkan hati beliau.
Di sini Allah ingin menegaskan kepada beliau bahwa sebagaimana Dia telah memperhatikan dan menjaga Nabi saat beliau masih yatim serta telah memberinya petunjuk menuju jalan yang benar, bukan jalan yang sesat yang ditempuh oleh kaum beliau, maka Dia juga akan melindungi beliau dari kemiskinan dan akan menjadikannya sebagai orang yang kaya hati.
Setelah penyebutan nikmat-nikmat yang dikaruniakan Allah kepada Nabi tersebut, Nabi saw. pun semakin yakin bahwa Allah swt. tidak akan meninggalkan diri beliau setelah beliau diangkat sebagai rasul. Karena itu, Nabi saw. diminta untuk selalu bersyukur kepada Allah atas limpahan karunia-karunia tersebut.

Hukum Mengganti Puasa Bagi Wanita Hamil

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz, bagaimana cara mengganti puasa bagi wanita yg sedang hamil atau wanita yang sedang menyusui, karena saya pernah mendengar bahwa selain bayar fidyah, dia juga wajib menggantinya di hari yg lain? Mohon pencerahannya…Terima kasih banyak.
Wassalaamu’alaikum Wr. Wb.
Destamal

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Tidak adanya nash baik dari Al-Qur`an ataupun hadits yang secara tegas menjelaskan permasalahan tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sedikitnya ada 4 pendapat yang berkaitan dengan hukum mengganti puasa bagi wanita hamil dan wanita yang menyusui:
1. Sebagian ulama seperti Imam Hanafi, Abu Tsaur dan Abu Ubaid berpendapat bahwa kedua wanita tersebut harus mengganti puasa dan tidak perlu membayar fidyah. Mereka meng-qiyas-kan (menyamakan) wanita hamil atau wanita menyusui dengan orang yang sakit. Sebagaimana diketahui, orang yang sakit dibolehkan untuk tidak berpuasa tetapi dia harus menggantinya di hari lain, seperti disebutkan dalam QS. Al-Baqarah (2): 186: “Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, (maka dia boleh tidak berpuasa) dan menghitung berapa hari ia tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang lain“.

2. Sebagian ulama yang lain seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar berpendapat bahwa keduanya hanya membayar fidyah dan tidak perlu mengganti puasa. Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata: ”Bila wanita yang sedang hamil mengkhawatirkan keselamatan dirinya dan wanita menyusui mengkhawatirkan keselamatan bayinya di bulan Ramadhan, maka mereka dibolehkan untuk tidak berpuasa tetapi harus memberi makan orang miskin untuk tiap hari yang dia tinggalkan serta tidak perlu mengganti puasa di hari lain.”

3. Imam Syafi’i dan Imam Hanbali berpendapat bahwa bila wanita hamil atau wanita menyusui hanya mengkhawatirkan keselamatan dirinya saja, maka dia hanya diwajibkan untuk mengganti puasa di hari yang lain. Tetapi bila dia juga mengkhawatirkan keselamatan bayinya, maka di samping harus mengganti puasa, dia juga harus membayar fidyah. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, keharusan membayar fidyah itu disebabkan karena batalnya puasa itu disebabkan karena menyelamatkan orang lain (bayi yang ada dalam kandungan atau bayi yang disusui).

4. Sementara itu, Imam Maliki membedakan antara wanita hamil dengan wanita menyusui. Menurutnya, wanita hamil hanya diwajibkan mengganti puasa di hari lain dan tidak perlu membayar fidyah. Sedangkan bagi wanita menyusui yang mengkhawatirkan keselamatan bayinya, dia harus mengganti puasa dan juga membayar fidyah. Dalam hal ini, Imam Maliki mengiyaskan secara murni wanita hamil dengan orang yang sakit, tetapi beliau tidak melakukan hal yang sama terhadap wanita menyusui.

Saya pribadi, lebih cenderung pada pendapat pertama karena lebih logis dan tidak terkesan dipaksakan. Wallaahu A’lam…….

Rabu, 12 Agustus 2009

Ad-Dars Ats-Tsaanii (Pelajaran Kedua) – Level II

Pada pelajaran kedua ini, kita akan belajar tentang fi’il maadhi atau kata kerja past tense. Fi’il maadhi adalah kata yang menunjukkan suatu pekerjaan di masa lampau (yang telah lewat), seperti pekerjaan di tahun lalu, bulan lalu, minggu lalu, kemaren atau baru saja. Normalnya, kata ini terdiri dari tiga huruf, berbeda dengan kata kerja present (fi’il mudhaari’) yang terdiri dari empat huruf atau lebih. Dalam bahasa Arab, kata kerja bentuk past tense ini dijadikan sebagai kata dasar bagi setiap kata bentukan, baik kata kerja bentukan maupun kata benda bentukan. Jadi, kalau Anda mau mencari sebuah kata dalam kamus yang bukan kamus populer, maka Anda harus mengetahui kata kerja bentuk past tense-nya.

Pada bagian conversation, Anda dilatih untuk menggunakan kata-kata kerja dalam bentuk past tense tersebut. Demikian pula pada bagian translation atau terjemah.

Untuk mendownload pelajaran kedua ini, klik judul tulisan!

Hukum Mengganti Puasa Bagi Wanita Hamil

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz, bagaimana cara mengganti puasa bagi wanita yg sedang hamil atau wanita yang sedang menyusui, karena saya pernah mendengar bahwa selain bayar fidyah, dia juga wajib menggantinya di hari yg lain? Mohon pencerahannya…Terima kasih banyak.
Wassalaamu’alaikum Wr. Wb.
Destamal

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Tidak adanya nash baik dari Al-Qur`an ataupun hadits yang secara tegas menjelaskan permasalahan tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sedikitnya ada 4 pendapat yang berkaitan dengan hukum mengganti puasa bagi wanita hamil dan wanita yang menyusui:
1. Sebagian ulama seperti Imam Hanafi, Abu Tsaur dan Abu Ubaid berpendapat bahwa kedua wanita tersebut harus mengganti puasa dan tidak perlu membayar fidyah. Mereka meng-qiyas-kan (menyamakan) wanita hamil atau wanita menyusui dengan orang yang sakit. Sebagaimana diketahui, orang yang sakit dibolehkan untuk tidak berpuasa tetapi dia harus menggantinya di hari lain, seperti disebutkan dalam QS. Al-Baqarah (2): 186: “Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, (maka dia boleh tidak berpuasa) dan menghitung berapa hari ia tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang lain“.

2. Sebagian ulama yang lain seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar berpendapat bahwa keduanya hanya membayar fidyah dan tidak perlu mengganti puasa. Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata: ”Bila wanita yang sedang hamil mengkhawatirkan keselamatan dirinya dan wanita menyusui mengkhawatirkan keselamatan bayinya di bulan Ramadhan, maka mereka dibolehkan untuk tidak berpuasa tetapi harus memberi makan orang miskin untuk tiap hari yang dia tinggalkan serta tidak perlu mengganti puasa di hari lain.”

3. Imam Syafi’i dan Imam Hanbali berpendapat bahwa bila wanita hamil atau wanita menyusui hanya mengkhawatirkan keselamatan dirinya saja, maka dia hanya diwajibkan untuk mengganti puasa di hari yang lain. Tetapi bila dia juga mengkhawatirkan keselamatan bayinya, maka di samping harus mengganti puasa, dia juga harus membayar fidyah. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, keharusan membayar fidyah itu disebabkan karena batalnya puasa itu disebabkan karena menyelamatkan orang lain (bayi yang ada dalam kandungan atau bayi yang disusui).

4. Sementara itu, Imam Maliki membedakan antara wanita hamil dengan wanita menyusui. Menurutnya, wanita hamil hanya diwajibkan mengganti puasa di hari lain dan tidak perlu membayar fidyah. Sedangkan bagi wanita menyusui yang mengkhawatirkan keselamatan bayinya, dia harus mengganti puasa dan juga membayar fidyah. Dalam hal ini, Imam Maliki mengiyaskan secara murni wanita hamil dengan orang yang sakit, tetapi beliau tidak melakukan hal yang sama terhadap wanita menyusui.

Saya pribadi, lebih cenderung pada pendapat pertama karena lebih logis dan tidak terkesan dipaksakan. Wallaahu A’lam…….

Keutamaan Tasbih

Allah swt., telah mengawali tujuh surah dalam Kitab-Nya yang mulia dengan lafazh tasbih. Selain itu, tidak sedikit ayat Al-Qur`an yang mengandung lafazh tasbih, yang telah diturunkan Allah swt. di dalam Kitab-Nya (Al-Qur`an) dengan tujuan agar kita menjadi orang-orang yang selalu bertasbih dengan memuji-Nya.

Allah swt. berfirman: “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada satupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Israa` [17]: 44)

Allah swt. berfirman: “dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang.” (QS. Thaahaa [20]: 130)

Rasulullah saw. bersabda: “Ada dua kalimat yang ringan di lidah, berat di timbangan amal dan disukai oleh Dzat Yang Maha Pemurah, yaitu: Subhaanallaahi wa bihamdihi, Subhaanallaahil-’Azhiim (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya, Maha Suci Allah Yang Maha Agung).” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa`i dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra..

Nabi saw. bersabda: “Perkataan yang paling disukai Allah swt. ada empat, yaitu: Subhaanallaah (Maha Suci Allah), Alhamdulillaah (Segala puji hanya milik Allah), Allaahu Akbar (Allah Maha Besar) dan Laa`ilaaha illallaah (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah). Tidak ada masalah bagimu (untuk memilih) perkataan mana yang akan kamu ucapkan terlebih dahulu.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Muslim dari Samurah bin Jundub ra..

Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa yang bertasbih kepada Allah setiap habis shalat sebanyak 33 kali, bertahmid kepada Allah sebanyak 33 kali, dan bertakbir kepada Allah sebanyak 33 kali hingga jumlahnya menjadi 99 kali, lalu pada bilangan keseratus dia mengucapkan Laa`ilaaha illallaah wahdahuu laa syariika lah, lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai`in qadiir (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, Tuhan satu-satunya yang tidak ada sekutu bagi-Nya; Hanya milik-Nya-lah semua kerajaan dan hanya milik-Nya-lah segala puji; Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu), maka dosa-dosanya akan diampuni meskipun sebanyak buih di lautan.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah ra..

Nabi saw. bersabda: “Sungguh bila aku mengucapkan Subhaanallaah wal-hamdulillaah wa laa`ilaaha illallaah wallaahu akbar (Maha Suci Allah, segala puji hanya milik Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan Allah Maha Besar), maka hal itu lebih aku cintai daripada segala sesuatu yang di atasnya matahari terbit (maksudnya bumi dan segala isinya).” Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah ra..

Nabi saw. bersabda: “Bacaan tasbih (akan mengisi) separoh timbangan amal, bacaan Alhamdulillah akan memenuhinya, dan bacaan laa`ilaaha illallaah tidak ada satu pun penutup yang menjadi penghalang antara ia dengan Allah hingga ia sampai kepada-Nya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Ibnu Umar ra..

Nabi saw. bersabda: “Maukah kalian bila aku beritahu tentang sesuatu yang telah diajarkan Nabi Nuh kepada puteranya: Aku menyuruhmu untuk mengucapkan Subhaanallaahi wa bihamdih (Maha Suci Allah dan segala puji hanya milik-Nya), karena sesungguhnya ia merupakan (bentuk) shalat dan tasbihnya makhluk-makhluk lain (selain manusia), yang dengannya Allah memberi rezeki kepada makhluk-makhluk itu.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Jabir ra. (kanz).

Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa yang membaca Subhaanallaahi wa bihamdih sebanyak seratus kali dalam satu hari, maka dosa-dosanya akan dihapus meskipun sebanyak buih di lautan.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Nasa`i dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra..

Haruskah Satu Madzhab Saja?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ustazd, bagaimana hukumnya bermadzhab, apakah kita wajib berpegang pada satu madzhab saja? Apakah boleh kita berpegang kepada suatu madzhab dalam mengerjakan suatu amal, sedangkan dalam kasus atau amal yang lain kita berpegang kepada madzhab yg lain? Mohon pencerahannya. Terima kasih banyak.
Wassalaamu’alaikum Wr. Wb.
Destamal
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Dalam bahasa Arab, kata “madzhab” berasal dari kata “dzahaba ilaihi” yang artinya pergi atau condong kepadanya, atau bisa diartikan “itulah pendapat yang dipegang oleh…”. Bila dikatakan “dzahaba ilaihi Hasan”, maka artinya “itulah pendapat yang diikuti Hasan”. Jadi, madzhab sangat terkait dengan pendapat seseorang, atau dalam istilah fikihnya disebut dengan “ijtihad”.
Ijtihad sendiri merupakan upaya manusia untuk menarik kesimpulan hukum yang bersumber dari Al-Qur`an dan Hadits. Sebagai upaya manusia, tentunya sebuah ijtihad bisa saja benar dan bisa saja salah. Tetapi bila seseorang telah berijtihad dengan sungguh-sungguh, dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang ada, maka walaupun hasil ijtihadnya salah, hasil ijtihadnya itu tetap dihargai Allah swt..

Dalam sebuah hadits disebutkan: “Barangsiapa yang berijtihad, kemudian ijtihadnya itu benar, maka dia akan mendapatkan dua pahala. Tetapi bila dia berijtihad, kemudian ijtihadnya itu salah, maka dia akan mendapatkan satu pahala.”

Dari sini, maka saya berkesimpulan bahwa tidak ada kewajiban bagi kita untuk hanya mengikuti satu madzhab saja. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa tidak ada satu nash pun baik Al-Qur`an ataupun hadits yang mengisyaratkan kewajiban seperti itu. Bahkan, Rasulullah saw. sendiri tidak pernah mewajibkan kepada para sahabat untuk bertanya kepada satu orang saja ketika ada satu masalah yang berkaitan dengan agama. Siapa saja yang memiliki pengetahuan tentang masalah tersebut, boleh dijadikan rujukan. Hal ini senada dengan firman Allah:

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS An-Nahl: 43)

Imam Syafi’i yang dikenal sebagai seorang imam besar dalam ilmu fikih saja pernah merevisi madzhabnya. Ketika tinggal di Irak, beliau memakai qaulul qadim (pendapat lama)nya. Tetapi ketika pindah ke Mesir, beliau memakai qaulul jadid (pendapat baru)nya. Ini menunjukkan bahwa pendapat seseorang, sekalipun seorang imam tersohor sekelas Imam Syafi’i, tidak bersifat muthlak alias sudah pasti benar.

Hanya saja perlu diperhatikan, meskipun kita tidak diwajibkan untuk mengikuti satu madzhab tertentu, kita tidak boleh juga mempermainkan hukum atau yang dikenal dengan istilah hiilah. Artinya, seseorang tidak boleh mengikuti madzhab seorang imam dalam salah satu cabang masalah, tetapi pada cabang-cabang yang lain, dia mengikuti madzhab imam yang lain dengan niat untuk mengambil enaknya saja. Sebagai contoh, dalam masalah pernikahan, seseorang mengikuti madzhab imam tertentu yang tidak mewajibkan adanya saksi. Tetapi di sisi lain, dia juga mengikuti madzhab imam yang lain tidak mensyaratkan adanya wali. Tentunya hal seperti itu dapat dikatagorikan sebagai upaya untuk mencari celah-celah hukum yang dilakukan guna mengambil hal yang termudah dalam masalah tertentu.

Mungkin kekhawatiran akan terjadinya hiilah seperti itulah yang telah menyebabkan sebagian ulama mewajibkan kepada kita untuk berpegang pada satu madzhab tertentu saja. Wallaahu A’lam…

Senin, 03 Agustus 2009

Hukum Mengganti Puasa Bagi Wanita Haid

* Assalamu’alaikum.Wr.Wb

Pak Ustadz, sebentar lagi kita memasuki bulan suci Ramadhan, yang ingin saya tanyakan apabila seorang wanita sdg mendapat haid maka dia tidak diwajibkan berpuasa,dan puasanya dapat diganti lain hari. Apakah lain hari itu setelah kita merayakan lebaran Pak Ustadz?? Sebab saya mengganti puasanya setiap puasa Senin-kamis boleh ga pak Ustadz??

* Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

* Wulan

* Jawaban:

* Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Bila seseorang tidak menunaikan puasa Ramadhan karena alasan tertentu yang diizinkan oleh syara’ (agama) seperti sakit, musafir, haidh atau alasan-alasan lainnya, maka dia wajib menggantinya pada hari-hari yang lain. Ini sesuai dengan firman Allah swt. dalam QS. Al-Baqarah (2): 186: “Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, (maka dia boleh tidak berpuasa) dan menghitung berapa hari ia tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang lain“.

Khusus untuk wanita yang haidh, diriwayatkan sebuah hadits dari Aisyah ra. bahwa dia berkata: “Ketika kami sedang haidh, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan menggadha shalat.” (Hadits Muttafaq ’Alaih)

Mengenai waktu penggantian (pengqadha-an) puasa ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa pelaksanaan qadha itu harus segera dilakukan, sehingga bila sampai datang bulan Ramadhan berikutnya tetapi seseorang belum menggantinya, maka dia dikenai kaffarah. Kafarahnya adalah berupa memberi makan satu orang miskin. Ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Syaf’i dan Imam Ahmad.

Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat lain. Menurut beliau, orang tersebut tidak dikenai kewajiban membayar kaffarat, karena hal itu tidak dicakup oleh redaksi ayat di atas.

Menurut saya, meskipun Imam Abu Hanifah membolehkan seperti itu, tetapi sebaiknya pelaksanaan qadha ini tidak ditunda-tunda, apalagi bila tidak ada udzur (alasan). Sebab, di samping akan memberatkan kita sendiri bila sudah memasuki bulan Ramadhan berikutnya, juga karena datangnya ajal tidak ada yang tahu. Sehingga dikhawatirkan orang yang belum membayar hutang puasa tersebut keburu meninggal dunia, padahal dia masih memiliki hutang kepada Allah, yaitu hutang puasa.

Pelaksanaan qadha puasa tersebut bisa dilakukan kapan saja selama tidak dilakukan pada hari-hari yang di dalamnya seseorang diharamkan untuk berpuasa, seperti pada hari raya Idul Adha atau hari tasyriq. Jadi, boleh dilakukan pada hari Senis-Kamis. Wallaahu A’lam….

Ad-Dars Al-’Awwal (Pelajaran Kesatu) – Level II

Alhamdulillah, sekarang kita sudah memasuki level II. Mudah-mudahan saudara-saudara sekalian masih bisa mengikuti dengan baik pelajaran-pelajaran yang telah saya sampaikan, dan mudah-mudahan dapat mempraktekkannya dengan baik. Pada pelajaran pertama dari level II ini, kita masih meneruskan pelajaran sebelumnya, yaitu tentang kata sifat (ash-shifah). Tetapi di sini, kita akan mempelajari bagaimana sebuah kata sifat dapat berkedudukan sebagai sifat (adjective) dan dapat pula menjadi predikat.

Perhatikan dengan baik contoh no. 2 dan 3! Pada no. 2, kata كَبِيْر berkedudukan sebagai sifat (adjective) dari kata بَيْت . Sedangkan pada contoh no. 3, kata tersebut berkedudukan sebagai predikat. Perubahan kedudukan ini terjadi hanya karena ada tambahan ال (alif laam) pada kata بَيْت .

Untuk mendownload pelajaran kesepuluh ini, klik judul halaman

Abu Bakar: Apa Yang Terjadi Pada Diri Rasulullah?

Suatu ketika, baginda Rasulullah saw berdiri di depan Ka`bah. Beliau membacakan ayat-ayat al-Qur`an kepada orang-orang musyrik. Mereka pun berdiri dan langsung memukul Nabi. Ketika Abu Bakar melihat peristiwa itu, dia langsung berdiri untuk membela Nabi saw. Dia berkata, “Apakah kalian akan membunuh seorang laki-laki hanya karena dia mengatakan, ‘Allah adalah Tuhanku?’”

Melihat itu, orang-orang musyrik langsung meninggalkan Nabi saw. Lalu mereka melayangkan pukulannya ke arah Abu Bakar. Namun Abu Bakar menerimanya dengan sabar, hingga wajahnya membengkak dan lebam. Orang-orang musyrik tidak lagi mengetahui mana mata dan hidung Abu Bakar. Sungguh, bentuk wajahnya sudah tidak sempurna lagi. Mereka menyangka bahwa Abu Bakar telah tewas, maka mereka pun meninggalkannya.

Bani Taim datang, lalu mereka membawa Abu Bakar ke rumahnya. Mereka bersumpah akan membunuh orang yang telah memukuli Abu Bakar ini jika Abu Bakar meninggal dunia karenanya. Abu Bakar pun tersadar, dan ketika itu hal yang pertama kali ditanyakannya adalah, “Apa yang terjadi pada diri Rasulullah?”

Kaumnya menjadi marah dengan pertanyaan Abu Bakar itu, karena mereka adalah orang-orang kafir. Mereka berkata kepada ibu Abu Bakar, “Suapilah ia dengan makanan dan berilah ia minuman.” Abu Bakar berkata, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan minum dan merasakan satu makanan pun sampai aku mengetahui apa yang terjadi pada diri Rasulullah.” Sang ibu pun memandanginya dengan penuh perasaan sakit dan iba terhadap apa yang menimpa puteranya. Lalu sang ibu berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang menimpa sahabatmu itu.”

Abu Bakar berkata, “Pergilah ke rumah Fatimah binti Khathab, lalu tanyakanlah kepadanya apa yang terjadi pada diri Rasulullah.” Sang ibu pun keluar guna mencari Fatimah binti Khathab, walaupun sebenarnya hatinya merasa sedih karena melihat keadaan anaknya, dimana darahnya selalu mengalir dan wajahnya pun bengkak. Akhirnya, sang ibu sampai di rumah Fatimah binti Khathab. Saat itu, Fatimah menyangka bahwa wanita yang mendatanginya itu adalah mata-mata kaum Quraisy.

Sang ibu yang ingin menyenangkan hati puteranya itu berkata kepada Fatimah, “Pergilah bersamaku untuk menemui anakku.” Fatimah pun sampai di rumah Abu Bakar. Ketika melihat wajah Abu Bakar, Fatimah berteriak. Lalu dia berkata, “Aku memohon kepada Allah, semoga Allah membalas (perlakuan mereka) untukmu.”

Abu Bakar yang saat itu tidak memikirkan hal lain kecuali kondisi Rasulullah saw berkata kepada Fatimah, “Apa yang terjadi pada diri Rasulullah?” Fatimah menjawab, “Beliau dalam keadaan selamat dan sehat.” Sang ibu pun memandangi puteranya itu. Dia menginginkan agar puteranya mau minum. Sementara Abu Bakar melihat ke arah ibunya, lalu dia berkata, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan makan dan minum sampai aku melihat baginda Rasulullah dengan mata kepalaku sendiri.”

Abu Bakar pun keluar rumah dalam keadaan sempoyongan dan tidak mampu menahan berat tubuhnya. Maka, dia berjalan sambil merangkul pundak ibunya dan Fatimah, hingga akhirnya dia sampai ke tempat Rasulullah. Hal pertama yang dilakukan oleh Abu Bakar ketika bertemu dengan Rasulullah adalah bersungkur di kedua telapak kaki beliau. Lalu dia mencium kedua telapak kaki beliau itu dan berkata, “Wahai Rasulllah, aku bersumpah, tidak ada yang menimpaku kecuali apa yang menimpa wajahku ini. Dan, ini adalah seorang ibu yang telah mengasuh anaknya dengan baik. Maka, berdoalah kepada Allah agar Dia memberikan petunjuk kepadanya.” Mendengar ucapan Abu Bakar, hati Rasulullah saw terenyuh hingga beliau pun menangis. Abu Bakar juga menangis, mereka lalu berpelukan karena terharu.

Bolehkah Wanita Haid Masuk Masjid?

* Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, waktu itu sudah dijelaskan hukum membaca Al-Qur`an bagi wanita yang sedang haid. Sekarang saya ingin bertanya, apakah wanita yang sedang haid boleh masuk masjid atau berdiam diri di dalamnya? Terima kasih atas jawabannya.

* Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

* Wawan…

* Jawaban:

* Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Seperti halnya pada hukum membaca al-Qur`an bagi wanita yang sedang haidh, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum masuk masjid dan berdiam diri di dalamnya bagi wanita yang haidh.

Sebagian ulama seperti Imam Dawud Azh-Zhahiri membolehkan wanita haidh dan orang yang sedang junub untuk berdiam diri di masjid. Dalilnya adalah sabda Nabi saw. kepada ‘Aisyah ra.: “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku sedang haidh. Aku tidak melakukan thawaf di Baitullah dan (sa’i) antara Shafa dan Marwah. Saya laporkan keadaanku itu kepada Rasulullah saw., maka beliau bersabda, ‘Lakukanlah apa yang biasa dilakukan oleh haji selain thawaf di Baitullah hingga engkau suci’.” (Hadits riwayat Imam Bukhori no. 1650)”

Sabda Nabi saw. kepada Aisyah itu hanya mengandung larangan bagi wanita yang sedang haidh untuk melakukan thawaf, dan sama sekali tidak mengandung larangan untuk masuk ke dalam masjid. Artinya, bagi wanita yang haidh, hanya thawaf saja yang dilarang, sedangkan perbuatan-perbuatan lainnya termasuk masuk ke dalam masjid dan berdiam di dalamnya dibolehkan.

Selain itu, ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa ada seorang wanita hitam yang tinggal di dalam masjid pada masa Nabi saw., tetapi tidak ada satu dalil pun yang menyatakan bahwa beliau memerintahkan wanita itu untuk meninggalkan masjid saat dia sedang haidh.

Sebagian ulama yang lain melarang seorang wanita yang sedang haidh untuk masuk dan duduk di dalam masjid dengan dalil:

لاَأُحِلُّ الْمَسْجِدَ ِلحَائِضٍُ وَلا َجُنُبٍ

“Aku tidak menghalalkan masjid untuk wanita yang haidh dan orang yang junub.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud no.232, al Baihaqi II/442-443, dan lain-lain)

Berdasarkan hadits tersebut, jumhur ulama termasuk 4 imam madzhab (Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanbali dan Imam Hanafi) melarang wanita yang sedang haidh untuk masuk dan berdiam diri di dalam masjid. Yang dimaksud berdiam diri di dalam masjid adalah seperti duduk untuk mengisi atau mendengarkan pengajian, atau tidur di dalam masjid. Hal ini tidak dibolehkan.

Adapun jika seorang wanita yang sedang haidh hanya sekedar lewat atau melintas (al-murur) di dalam masjid karena ada suatu keperluan tertentu, maka hal seperti itu dibolehkan, tetapi dengan catatan tidak ada kekhawatiran wanita itu akan mengotori masjid dengan darah haidhnya. Hal ini didasarkan pada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi saw. pernah memerintah A’isyah untuk membawa khumrah (semacam sajadah) yang ada di masjid. Saat itu, A’isyah berkata, “Sesungguhnya aku sedang haid.” Mendengar itu, Rasulullah saw. pun bersabda: ”Sesungguhnya haidhmu itu bukan berada di tanganmu.” (HR. Muslim)

Dengan adanya perbedaan pendapat seperti disebutkan di atas, dimana masing-masing kelompok memiliki pendapat yang didasarkan pada hadits-hadits Nabi saw., maka semua kembali kepada masing-masing individu. Saya pribadi, lebih cenderung pada pendapat yang tidak membolehkannya. Wallaahu A’lam……

Makna Doa Bangun Tidur

الْحَمْدُ للهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُوْرُ

“Segala puji hanya milik Allah yang telah menghidupkan kami setelah sebelumnya mematikan kami, dan hanya kepada-Nya-lah kita kembali.”

Penjelasan:

v Orang yang sudah mati tidak dapat bergerak, tidak dapat mendengar dan tidak dapat melihat, karena ruhnya telah naik dan kembali kepada Allah. Tanpa ruh, jasad akan mati dan riwayatnya akan berakhir, lalu ia akan berubah menjadi tanah.

v Orang yang sedang tidur, ruhnya juga akan naik dan kembali kepada Allah hingga dia tidak dapat mendengar dan melihat. Ketika bangun tidur, dengan izin Allah, ruhnya akan kembali lagi hingga dia pun dapat mendengar, melihat, bergerak dan mengetahui segala sesuatu lagi.

v Demikian pula, ketika kita sudah mati, lalu ruh-ruh kita naik dan kembali kepada Allah, maka Allah swt. akan menghidupkan kita kembali, yaitu setelah Dia memasukkan kembali ruh-ruh kita ke dalam jasad-jasad kita, dengan tujuan agar kita dapat berdiri di hadapannya untuk menjalani proses hisab (perhitungan amal). Orang yang amalnya baik akan masuk surga, sedangkan orang yang amalnya buruk, nasibnya di tangan Allah. Jika Allah menghendaki untuk menyiksanya, maka Dia akan menyiksanya. Tetapi jika Dia menghendaki untuk mengampuninya, maka Dia pun akan mengampuninya.

v Allah swt. yang telah menjadikan kita dapat tidur dan kemudian bangun kembali, Dia-lah yang akan mematikan kita dan kemudian menghidupkan kita kembali.

v Tidur adalah seperti kematian. Orang Mukmin hendaknya ingat bahwa dia akan mati dimana ruhnya akan pergi dari jasadnya seperti ketika dia sedang tidur, dan bahwa dia akan dibangkitkan di hadapan Allah pada hari Kiamat nanti sebagaimana Allah telah mengembalikan ruhnya ketika dia masih di dunia hingga dia pun dapat bangun dari tidurnya. Tujuan dia dibangkitkan kembali adalah agar Allah swt. dapat meminta pertanggungjawaban darinya atas semua perbuatan yang telah dilakukannya di dunia.