Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Mungkin kita perlu mendapat penjelasan dari yang ahli tentang hukum-hukum agama. Insya Allah dalam beberapa hari lagi kita akan memasuki satu bulan yang dijanjikan Allah sebagai bulan yang penuh dengan ampunan dosa, ganjaran pahala yg berlipat ganda, dan lebih dari itu tentu masing-masing kita ingin menjadikan Ramadhan ini lebih baik dan lebih berkualitas dalam beribadah dibandingkan dengan tahun-tahun yang telah kita lalui.
Tetapi, selalu saja terjadi perbedaan antara sesama umat Islam tentang penentuan tanggal 1 Ramadhan yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam menentukan 1 Syawal. Bahkan, terkadang perbedaan itu terjadi dalam satu kota yang sama koordinat bujur dan lintangnya. Bagaimana sebaiknya kita menyikapi?
Terima kasih atas tanggapannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Gh-…..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti di Indonesia, sering terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam mengenai penentuan 1 Ramadhan atau 1 Syawal. Munculnya perbedaan ini disebabkan karena dua hal:
1. Perbedaan pemahaman terhadap hadits Rasulullah saw. yang dijadikan sebagai dasar penentuan awal Ramadhan atau awal Syawal. Hadits tersebut berbunyi:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ
“Berpuasalah kalian karena melihat bulan, dan berbukalah (berhari rayalah) kalian karena melihatnya. Jika mendung telah menghalangi kalian, maka sempurnakanlah (genapkanlah) hitungan Sya’ban.” (HR. Muslim)
Sebagian ulama memahami kata “ru`yah” (melihat) dalam hadits tersebut dengan arti ru`yah basyariah haqiqiyah (penglihatan dengan mata kepala manusia), sementara sebagian ulama yang lain memahaminya dengan arti ru`yah maknawiyah (dengan hitung-hitungan astronomi). Dari sini, maka muncullah dua metode penentuan awal Ramadhan, yaitu metode hisab astronomi yang biasa dipakai oleh Muhammadiyyah dan Persis, dan metode ru`yah yang biasa dipakai oleh warga NU dan Hizbut Tahrir.
Pada tahun ini, melalui Maklumat Nomor : 06/MLM/I.0/E/2009, PP Muhammadiyah telah mengumumkan penetapan tanggal 1 Ramadhan 1430 H berterpatan dengan hari Sabtu Pahing, tanggal 22 Agustus 2009. Hal serupa juga dilakukan oleh Persis. Sementara NU belum menetapkan 1 Ramadhan karena berdasarkan metode yang dipakainya, penentuan awal Ramadhan harus dilakukan melalui ru`yah dengan menggunakan mata kepala terlebih dahulu.
2. Perbedaan penentuan awal Ramadhan juga bisa disebabkan karena adanya perbedaan cara pandang mengenai matla’ (tempat terbitnya fajar dan terbenamnya matahari). Perbedaan ini terjadi di kalangan ulama yang menggunakan metode ru’yah sebagai alat untuk menentukan awal Ramadhan atau awal Syawal. Ada sebagian ulama yang berpegang pada prinsip matla’, maksudnya setiap negeri mempunyai ru`yah tersendiri, sesuai dengan koordinat bujur dan lintangnya. Di antara ulama yang berpendapat seperti itu adalah Imam Syafi’i. Sementara itu, jumhur fuqaha (mayoritas ahli fikih) tidak berpegang pada prinsip matla’ tersebut, sehingga –menurut mereka- ru`yah yang dilakukan suatu negeri dapat berlaku bagi negeri-negeri lain, tanpa dibatasi oleh mathla’ atau bujur astronomi. Pendapat kedua ini diikuti oleh kelompok Hizbut Tahrir (HTI), sehingga ketika salah satu negara Islam mengumumkan telah melihat hilal, maka kelompok HTI segera merujuk kepada hasil ru`yah negara tersebut. Sebenarnya pendapat ini juga diikuti oleh Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI). Hanya saja, komisi tersebut menegaskan bahwa hal itu memerlukan pembentukan lembaga yang berstatus sebagai “Qadi (Hakim) Internasional” yang dipatuhi oleh seluruh negara-negara Islam. Karena lembaga seperti itu belum ada, maka yang berlaku adalah ketetapan pemerintah masing-masing negara.
Bagi sebagian orang, terkadang adanya perbedaan seperti disebutkan di atas sering membuat bingung. Apalagi di saat menentukan awal Syawal yang merupakan hari raya bagi umat Islam. Mungkin saja terpikir dalam benak mereka, mengapa hari raya umat Islam berbeda? Ada yang sekarang, ada yang besok, ada yang lusa? Mana yang benar? Kami harus mengikuti yang mana?
Penentuan awal Ramadhan atau awal Syawal merupakan permasalahan ijtihadi yang didasarkan pada pemahaman masing-masing kelompok terhadap teks-teks Al-Qur`an ataupun hadits. Dalam hal ini, sah-sah saja bila masing-masing kelompok mengaku pendapatnya benar, asalkan tidak mengaku hanya pendapat merekalah yang benar. Yang perlu ditekankan adalah, sikap toleransi dan menghormati pendapat orang lain. Bila umat Islam memperhatikan hal ini, maka sejuta perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’iyyah seperti itu tidak akan pernah menjadi persoalan bagi umat Islam.
Bila kita lihat Sunah Nabi, perbedaan pendapat seperti itu juga ditolerir Baginda Rasulullah saw.. Dalam Shahih Bukhari, 2/436, disebutkan sebuah riwayat dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda kepada para sahabat:
لاَ يُصَلِّيَنَّ أحدٌ العَصْرَ إلاَّ فِي بَنِي قُرَيْظَة.
“Jangan ada seorang pun yang shalat ashar kecuali di kampung bani Quraidhah.”
Saat mereka masih berada di dalam perjalanan, waktu Ashar tiba. Maka, sebagian dari mereka berkata: “Kita tidak boleh shalat sebelum kita sampai di tempat tujuan.” Mereka pun akhirnya shalat Ashar di perkampungan Bani Quraidhah, meskipun sesampainya di sana waktu shalat Ashar telah lewat. Sementara sebagian yang lain berkata: “Sebaiknya kita shalat di sini saja, karena maksud perkataan Nabi itu adalah agar kita mempercepat perjalanan sehingga kita telah sampai di perkampungan Bani Quraidhah sebelum waktu Ashar tiba.” Ketika hal itu dilaporkan kepada Nabi, beliau sama sekali tidak mengingkari apa yang mereka lakukan.
Dengan demikian, maka adanya perbedaan mengenai penentuan awal Ramadhan ataupun awal Syawal di kalangan umat Islam tidak semestinya menimbulkan perselisihan di antara mereka. Bila kenyataan yang terjadi seperti itu, maka perbedaan tersebut tidak akan menjadi persoalan bagi mereka. Masing-masing kelompok dipersilahkan untuk mengikuti pendapat mana yang menurutnya benar. Lain halnya bila yang terjadi adalah sebaliknya, dimana perbedaan tersebut menyebabkan terjadinya perselisihan atau pertikaian di antara kaum Muslimin. Dalam kondisi seperti itu, masing-masing kelompok harus bersikap legowo dan tidak boleh mengikuti ego masing-masing. Mereka harus mengutamakan persatuan umat Islam. Sebab walau bagaimanapun, persatuan umat jauh lebih penting dan harus lebih diutamakan daripada sekedar mempertahankan pendapat masing-masing. Wallaahu A’lam….
Untuk mendownload fatwa MUI tentang penentuan 1 Ramadhan, klik:http://www.ziddu.com/download/6108694/fatwa1Ramadhan.pdf.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar Anda