Assalamualaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya seorang istri telah menikah 14 tahun dan belum dikaruniai anak. Setelah diperiksa, ternyata kami berdua mempunyai kekurangan. Saya telah menjalani pengobatan sampai selesai dan telah dilaparascopy. Menurut dokter, alhamdulillah saya sehat. Sekarang tinggal suami saya yang harus menjalani pengobatan selama 3 bulan dan harus disuntik hormon 2x sebulan. Karena beliau takut disuntik, maka pengobatan ini pun diabaikan. Saya akhirnya pasrah saja. Ini terjadi pada tahun 2004. Pada tahun 2008, suami meminta untuk menikah lagi dengan alasan ingin punya anak. Saya ajukan syarat harus berobat dulu selama 2 tahun. Saat itu, suami menyetujui syarat yang saya ajukan. Tetapi ternyata, bulan kemarin suami telah menikah tanpa sepengetahuan saya. Beliau membohongi saya dengan alasan pergi melihat keponakannya. Bagaimana hukumnya suami menikah tanpa izin isteri pertama? Dan bagaimana pendapat Ustadz mengenai sikap dia yang telah melanggar janjinya? Bolehkah saya meminta cerai dari suami dengan alasan suami telah melanggar janji dan membohongi saya? Saya terpaksa menanyakan hal itu meskipun saya tahu bahwa tidak akan masuk surga seorang isteri yang meminta pisah dari suaminya. Mohon penjelasannya pak Ustadz. Terima kasih
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Hamba Allah….
Jawaban:
Sebelumnya, saya mohon maaf bila jawaban yang saya berikan cukup lama. Hal itu semata-mata karena beberapa minggu terakhir saya sangat sibuk, bahkan terkadang harus keluar kota. Apalagi dengan melihat permasalahan yang ibu lontarkan cukup rumit, sehingga saya harus berhati-hati dalam menjawabnya. Terus terang, saya pribadi ikut prihatin atas apa yang telah ibu alami. Tetapi saya berharap mudah-mudahan Allah memberikan jalan yang terbaik untuk ibu. Aamiin…
Permasalahan ibu dapat dilihat dari dua sisi: Pertama, dari segi hukum Islam, sebenarnya seorang laki-laki tidak perlu meminta izin kepada siapapun untuk melakukan pernikahan, baik pernikahan pertama, kedua, ketiga ataupun keempat. Keharusan meminta izin dari pihak lain dalam hal pernikahan hanya diberlakukan bagi wanita. Dalam hal ini, adalah izin dari pihak walinya, seperti ayah kandungnya yang merupakan wali mujbir baginya.
Berdasarkan hukum di atas, sah-sah saja bila suami ibu menikah lagi tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada ibu yang masih resmi sebagai isterinya. Hanya saja, dalam kasus yang menimpa ibu, saya melihat ada kesalahan yang telah dilakukan oleh suami ibu. Bahkan -menurut saya- kesalahan tersebut bisa dikatagorikan sebagai tindakan yang bertentangan dengan konsep al-mu’aasyarah bil-ma’ruuf (memperlakukan isteri dengan baik), seperti yang disinyalir oleh Allah swt. dalam QS. An-Nisaa` (4): 19. Hal itu disebabkan karena di samping suami telah membohongi ibu, dia juga tidak komitmen dengan tujuannya menikah lagi. Sebab, suami ibu mengatakan bahwa dia ingin menikah lagi karena sampai sekarang belum dikaruniai keturunan, sementara dia sendiri tidak mau berusaha untuk menjalani pengobatan rutin. Bahkan, dia telah melanggar janjinya.
Dalam kajian fikih munakahat (pernikahan), memang terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kebolehan gugat cerai oleh isteri karena suami tidak memperlakukannya dengan baik. Menurut Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, hal itu tidak dibolehkan karena mungkin ada solusi selain cerai. Sedangkan menurut Imam Malik, hal itu dibolehkan berdasarkan hadits Nabi saw.: “Tidak boleh membahayakan (menyakiti) diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan (menyakiti) orang lain.” Dalam hal ini, isteri boleh mengadukan perlakuan suami kepada qadhi (hakim). Bila dalam pengaduannya itu, isteri memiliki bukti-bukti yang kuat, maka hakim harus memaksa suami untuk menceraikan isterinya. Tetapi bila tidak, maka tuntutan isteri tidak bisa dilanjutkan. (Lihat Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah Zuhaili, jilid 9, hal. 7060) Saya pribadi, lebih cenderung kepada pendapat Imam Malik ini.
Kedua, dari sisi hukum perkawinan: Dalam aturan hukum yang berlaku di Indonesia, ketentuan poligami telah diatur dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 4 undang-undang tersebut disebutkan bahwa seorang suami yang akan berpoligami diwajibkan mengajukan permohonan ke pengadilan agama dengan syarat-syarat secara alternatif, yaitu : a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Dalam Pasal 5 menentukan syarat-syarat yang secara kumulatif harus dipenuhi seorang laki-laki yang akan mengajukan izin poligami, yaitu : a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri, b. adanya kepastian mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya, dan c. adanya jaminan berlaku adil. Ketentuan tersebut berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia.
Berdasarkan undang-undang tersebut, maka ibu boleh mengajukan gugatan cerai kepada pengadilan agama. Wallahu A’lam…. (Deli Serdang, 28/9/2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar Anda