Kamis, 28 Januari 2010

Meninggal Tapi Masih Punya Hutang

Assalamualaikum Wr. Wb.
Saya mau bertanya mengenai hutang piutang, Pak Ustadz.
Begini pak, saya meminjamkan uang kepada si Fulan, dan si Fulan menjanjikan akan memberikan sejumlah imbalan setiap bulannya (saya tidak meminta). Tetapi baru 1 bulan berjalan si Fulan sudah mengingkari janjinya. Sampai akhirnya si Fulan ini meninggal dunia sebelum melunasi hutangnya.
Pada waktu penyerahan uang, saya membuat suatu pernjanjian di atas materai berikut kwitansi serah terima uang (jumlahnya tidak sedikit). Si Fulan memberikan jaminan berbentuk akte jual beli sebuah tanah (namun sayangnya nilai jaminan tersebut tidak sebanding dengan pinjaman Fulan). Ahli warisnya masih kecil-kecil belum cukup umur, sementara istrinya sudah bercerai. Orang tua si Fulan masih ada dan mempunyai perusahaan walaupun bukan perusahaan besar. Perusahaan ini dikelola oleh kakak dari si Fulan (dikarenakan orangtuanya sudah berusia 74 thn). Sekarang orangtuanya bermaksud menjual 1 buah rumah dengan harga yang mahal. Jika uang hasil penjualan rumah itu digunakan untuk membayar hutang Fulan, masih banyak sisa yang bisa dibagikan kepada anak-anaknya yg lain.
Yang ingin saya tanyakan:
1. Sekarang hutang tersebut menjadi tanggung jawab siapa?
2. Apabila pihak keluarga Fulan tidak mau membayar hutang tersebut bagaimana?
3. Bagaimanakah nasib si Fulan di alam Barzah sana?
Terimakasih Pak atas jawabannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
I -….

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudariku yang terhormat, sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan Anda, ada satu hal yang ingin saya konfirmasikan kepada Anda. Tadi Anda mengatakan bahwa si Fulan menjanjikan imbalan setiap bulannya kepada Anda, kemudian Anda dan dia membuat suatu perjanjian di atas materai. Yang ingin saya tanyakan: Apakah dalam perjanjian tersebut disebutkan bahwa si Fulan harus membayar hutangnya (pokok pinjaman) berikut imbalan yang dijanjikannya? Apakah pemberian imbalan tersebut menjadi kewajiban bagi si Fulan? Dan apakah kesediaan Anda untuk memberikan pinjaman itu dipengaruhi oleh janji imbalan si Fulan ataukah tidak? Artinya, Anda mau memberikan pinjaman itu karena adanya janji imbalan. Seandainya tidak ada, maka Anda tidak akan memberikan pinjaman.
Hal ini perlu saya tekankan agar dapat menjadi pelajaran bagi para pembaca. Perlu diketahui bahwa bila jawaban untuk ketiga pertanyaan tersebut atau salah satunya adalah “ya”, maka transaksi hutang piutang yang Anda lakukan dengan si Fulan itu mengandung unsur riba. Sebab, imbalan yang dijanjikan si Fulan itu merupakan kelebihan yang wajib dibayarkan kepada Anda, selain pokok pinjaman, meskipun imbalan itu bukan atas permintaan Anda. Padahal riba merupakan perbuatan yang jelas-jelas diharamkan Allah swt., seperti disebutkan dalam firman-Nya: “dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah[2]: 275)
Tetapi bila jawaban untuk ketiga pertanyaan tersebut adalah “tidak”, maka transaksi hutang piutang yang Anda lakukan itu tidak mengandung unsur riba. Perbedaan antara keduanya memang sangat tipis, tapi untuk membedakannya kita cukup bertanya: “Apakah imbalan tersebut menjadi kewajiban bagi si Fulan ataukah tidak?” Bila ya, maka hutang piutang itu mengandung unsur riba. Berbeda halnya bila imbalan atau kelebihan itu benar-benar atas kerelaan si Fulan dan tidak dijadikan beban kewajiban baginya. Artinya, si Fulan mau memberi imbalan atau tidak, itu tidak jadi masalah.
Dari sini, maka saya sarankan kepada Anda, bila nanti pihak keluarga Fulan mau melunasi pinjaman tersebut, sebaiknya Anda hanya meminta pokok pinjamannya saja.
Saudariku yang terhormat, untuk menjawab ketiga pertanyaan Anda, saya akan menyampaikan dua prinsip Islam yang berkaitan dengan hutang piutang:
Pertama: Prinsip pemeliharaan hak; Islam telah menetapkan sejumlah aturan yang berkaitan dengan hutang piutang dengan tujuan untuk memelihara hak masing-masing pihak, terutama hak orang yang memberikan pinjaman/hutang. Di antara aturan yang dimaksud adalah aturan bahwa orang yang berhutang harus mengembalikan harta yang dipinjamnya tepat waktu, syukur-syukur sebelum waktu yang dijanjikan. Sebab, Rasulullah saw. menganggap perbuatan menunda-nunda hutang bagi orang yang sudah mampu membayarnya sebagai sebuah kezhaliman. Beliau bersabda: “Menunda-nunda pembayaran hutang bagi orang yang sudah mampu (membayarnya) adalah sebuah kezhaliman.”
Dalam sejumlah hadits, Rasulullah saw. sangat mewanti-wanti agar jangan sampai seorang Muslim meninggal dunia dalam keadaan masih meninggalkan hutang. Dalam sebuah riwayat dari Abu Qatadah disebutkan bahwa suatu ketika, ada jenazah seorang laki-laki yang dibawa ke hadapan Rasulullah saw. untuk dishalatkan. Rasulullah saw. bersabda: “Kalian saja yang menyalatkan sahabat kalian itu, sebab dia masih memiliki hutang.” Mendengar itu, Abu Qatadah berkata: “Hutang itu aku yang menanggungnya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya: “Apakah sampai lunas?” Abu Qatadah menjawab: “Ya, sampai lunas.” Rasulullah saw. pun menyalatkan jenazah tersebut.
Bahkan pada riwayat yang lain, Rasulullah saw. bersabda: “Jiwa (ruh) seorang Mukmin akan tergantung (terkatung-katung) selama dia masih memiliki hutang.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Mungkin hadits terakhir inilah yang melatarbelakangi pertanyaan ketiga Anda, yaitu mengenai nasib si Fulan di alam Barzakh. Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa seorang yang meninggal dunia dalam keadaan masih memiliki tanggungan hutang akan mengalami suatu ganjalan (ketidaknyamanan) di alam Barzakh nanti, sebelum hutang itu dilunasi oleh keluarganya ataupun diikhlaskan oleh orang yang menghutanginya. Tetapi bagaimana bentuk ganjalan dan seberapa besar ganjalan itu, hanya Allah yang mengetahuinya.
Oleh karena itu, Rasulullah saw. memerintahkan agar ketika ada seorang Mukmin yang meninggal dunia dalam keadaan masih memiliki hutang, hendaknya ada orang yang mau melunasi hutang tersebut, baik dari pihak keluarga ataupun pihak lain, seperti yang diisyaratkan dalam hadits kedua yang diriwayatkan dari Abu Qatadah tersebut.
Berdasarkan hal itu, maka dalam kasus yang Anda hadapi, sudah semestinya pihak keluarga Fulan (kakak dan orangtua Fulan) bersedia untuk melunasi hutang si Fulan bila mereka menginginkan agar Fulan tidak mengalami suatu ganjalan (ketidaknyamanan) akibat tanggungan hutangnya yang belum dilunasi itu.
Kedua: Prinsip pelaksanaan dan penuntutan hak; Dalam Islam, hak seseorang harus dilaksanakan dan ditunaikan. Hak Anda untuk mendapatkan kembali uang yang dipinjam si Fulan pun harus ditunaikan oleh si Fulan. Bahkan, seandainya Fulan masih hidup, Anda berhak menggugatnya ke pengadilan, karena transaksi hutang piutang Anda memiliki bukti tertulis. Tetapi karena si Fulan telah meninggal dunia, maka berdasarkan poin pertama di atas, pihak keluarganya-lah yang semestinya melunasinya. Karena itu, Anda berhak meminta keluarga Fulan untuk melunasi hutang tersebut. Tetapi perlu diingat, Islam juga memerintahkan kepada kita untuk tetap memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan ketika kita melakukan penuntutan hak, termasuk dalam masalah hutang piutang. Allah swt. berfirman: “dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang itu) lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 280)
Perhatikan, bagaimana Al-Qur`an memerintahkan kita untuk memberikan kelapangan bila orang yang berhutang memang benar-benar tidak mampu untuk mengembalikan hutangnya, yaitu dengan cara memberi tangguh waktu pembayaran atau bahkan dengan cara mengikhlaskannya bila kita mengharapkan balasan yang lebih baik dari Allah swt..
Hal senada juga pernah disampaikan oleh Baginda Rasulullah saw. dalam sabdanya: “Barangsiapa yang memberi keringanan kepada orang yang berhutang atau menghapus hutangnya, maka dia akan berada di bawah naungan Arsy pada hari kiamat.”
Berdasarkan prinsip penuntutan hak tersebut, maka bila ternyata keluarga Fulan tidak mau melunasi hutang-hutang Fulan, maka Anda berhak menuntut ke pengadilan. Tetapi dalam pengadilan Islam, hakim hanya bisa memaksa keluarga Fulan untuk melunasi hutang si Fulan dengan menggunakan aset-aset yang dimiliki Fulan atau dengan harta yang benar-benar menjadi hak Fulan. Hakim tidak bisa memaksa mereka untuk melunasinya dengan harta mereka, kecuali bila dalam harta mereka itu juga ada hak si Fulan. Inilah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. saat sejumlah orang menuntut agar harta mereka yang dipinjamkan kepada Muadz bin Jabal dikembalikan, dimana pada saat itu Muadz baru saja mengalami pailit. Setelah membayar hutang Mu’adz dengan sisa harta yang dimilikinya, dimana sisa harta tersebut belum cukup untuk melunasi semua hutang yang ada, Rasulullah saw. bersabda kepada mereka: “Tidak ada yang bisa diberikan kepada kalian selain itu.” (HR. Daruquthni dan Hakim)
Meskipun demikian, hakim akan menyarankan keluarga Fulan untuk melunasi sisa hutang Fulan dari harta mereka dengan menjelaskan kondisi si Fulan di alam Barzakh bila hutang-hutangnya belum dilunasi, seperti yang telah dijelaskan pada poin pertama. Tetapi bila keluarga Fulan bersedia melunasinya, maka pelunasan itu dilakukan dengan tetap mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan seperti yang disebutkan di atas. Karena itu, saya sarankan kepada Anda, sebaiknya Anda menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan terlebih dahulu dengan mengadakan ash-shulh (kesepakatan) dengan pihak keluarga Fulan. Wallaahu A’lam….

Rabu, 20 Januari 2010

Kehormatanku Sudah Direnggut, Haruskah Aku Jujur Pada Calon Suamiku?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Tadinya saya sedang menunggu seorang pria yang ingin melamar saya 5 bulan lagi, karena dia sedang dalam masa kontrak dengan perusahaan tempat dia bekerja. Selama masa penantian itu, kami sepakat untuk tidak berkomunikasi. Kami sudah saling mengenal sejak lama. Dia kakak kelasku sewaktu kuliah dulu. Jujur, saya senang sekali dengan niatan dia untuk melamar saya, karena –menurut saya- akhlak dan agamanya baik.

Tapi ada satu hal yang membuat saya takut. Saya memiliki masa lalu yang tidak baik. Saya tidak bisa menjaga kehormatan saya. Tetapi alhamdulillah sekarang saya selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah. Saya ingin jujur kepada dia, apapun yang terjadi nantinya, saya harus jujur sebelum dia menikahi saya. Sebab, saya tidak mau berbohong kepada dia tentang masa lalu saya.

Alhamdulillah saya sudah lega. Saya sudah jujur kepada dia, dan akhirnya dia memutuskan untuk tidak jadi melamar saya. Ini adalah resiko yang harus saya tanggung atas perbuatan saya di masa lalu. Saya akan mencoba ikhlas dan ridha atas semua keputusannya. Saya yakin rencana Allah –di balik semua itu- pasti indah. Tapi saya harus menjalani semuanya. Saya harus tetap SABAR dan SEMANGAT. Saya tidak akan menyerah karena saya yakin Cinta Allah akan selalu melindungi saya, dan hanya dengan Cinta-Nya itu saya dapat bertahan. Lalu apakah seorang seperti saya bisa menjadi seorang wanita yang shalehah, wanita yang akan dipilih oleh seorang laki-laki shaleh untuk dijadikan isterinya dn juga ibu dari anak-anaknya, meskipun saya memiliki masa lalu yang sangat buruk?? Masih pantaskah saya mendapat seorang pendamping yang shaleh?

Ironisnya lagi, adik saya juga mengalami hal yang sama seperti yang saya alami. Dia juga telah kehilangan kehormatannya sebelum menikah. Saya tidak tahu mengapa semua ini menimpa keluarga saya. Namun, keluarga tidak pernah tahu apa yang saya alami. Saya sembunyikan semuanya dari mereka karena saya tidak tinggal bersama mereka, sedangkan adik saya tinggal bersama mereka. Menurut pandangan Islam, bagaimana saya harus menyikapi keadaan ini? Terima kasih sebelumnya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

A - ….

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudariku yang terhormat, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan kepada Anda:

Pertama: Keberanian Anda untuk berterus terang dan berkata jujur dalam kondisi seperti itu sungguh luar biasa. Anda berani mengatakan hal yang sebenarnya kepada laki-laki yang sebentar lagi akan melamar Anda di saat hati Anda sudah mulai tertarik kepadanya, meskipun Anda tahu bahwa keterusterangan itu akan mendatangkan hasil yang pahit dan tidak menyenangkan. Tapi yakinlah bahwa rasa pahit yang Anda alami itu tidaklah seberapa bila dibandingkan dengan hasil yang akan Anda peroleh bila Anda tidak berterus terang kepadanya. Sebab bila Anda tidak melakukan hal itu, bisa jadi setelah menikah nanti, dia akan mengetahui bahwa sebenarnya Anda sudah tidak perawan lagi. Tentunya hal ini akan menjadi preseden buruk bagi Anda sehingga dia akan selalu berpandangan negatif terhadap Anda. Bila ini terjadi, maka keharmonisan rumah tangga Anda berdua rasanya sulit terwujud.

Jadi, menurut saya, apa yang Anda lakukan sudah tepat dan sesuai dengan nilai-nilai Islam, karena Islam telah mengajarkan kepada kita untuk selalu berkata jujur meskipun pahit hasilnya. Rasulullah saw. bersabda: “Kalian harus berkata jujur karena sesungguhnya kejujuran itu akan mengantarkan (kalian) kepada kebajikan, dan sesungguhnya kebajikan itu akan mengantarkan kalian ke surga.” Beliau juga bersabda: “Katakanlah yang benar meskipun pahit hasilnya.”

Memang terkadang apa yang terlihat baik dalam kacamata manusia belum tentu baik dalam pandangan Allah. Demikian juga, apa yang terlihat buruk dalam kacamata manusia belum tentu buruk dalam pandangan Allah. Terkadang kita menyukai sesuatu dan berusaha keras untuk mendapatkannya, padahal di mata Allah, sesuatu yang kita perjuangkan itu justru tidak baik bagi kita. Sebaliknya, terkadang kita membenci sesuatu dan berusaha keras untuk menghindarinya, padahal di mata Allah, sesuatu yang kita benci dan hindari itu justru baik untuk kita. Karena itu, dalam menilai sesuatu, hendaknya kita mendasarkan penilaian itu pada nilai-nilai Islam. Inilah yang diajarkan oleh Allah swt. dalam firman-Nya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)

Kedua: Saudariku, Anda tidak perlu khawatir dan bertanya-tanya apakah Anda masih bisa menjadi wanita shalehah ataukah tidak, hanya gara-gara masa lalu Anda yang kelam itu? Keshalehan seseorang bukanlah diukur berdasarkan masa lalunya, tetapi diukur berdasarkan perilakunya sekarang, apakah dia shaleh di mata Allah ataukah tidak. Semua itu tergantung diri Anda sendiri, apakah Anda benar-benar mau bertaubat kepada Allah dan memperbaiki masa lalu Anda itu ataukah tidak. Jika Anda sungguh-sungguh bertaubat kepada-Nya, Allah pasti akan menerimanya.

Rasulullah saw. bersabda: “Allah lebih bahagia dengan taubat hamba-Nya daripada seseorang di antara kalian yang berada di atas kuda tunggangannya, sedangkan ia sedang berada di atas tanah yang tandus, kemudian kuda itu hilang darinya, padahal makanan dan minumannya berada di atas kuda tersebut. Hal itu membuatnya putus asa, lalu ia menghampiri sebuah pohon dan membaringkan tubuhnya di atas pohon tersebut. Ia benar-benar putus asa atas kehlangan kudanya itu. Ketika ia sedang berbaring, tiba-tiba ia melihat kuda tersebut sudah berada di sisinya. Ia pun segera meraih tali kekang kuda tersebut. Karena terlalu gembira, ia pun mengatakan: ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku, dan aku adalah Rabb-Mu.’ Orang itu mengucapkan perkataan yang salah karena sangkin gembiranya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Apa yang disebutkan dalam hadits tersebut hanyalah perumpamaan yang menggambarkan betapa gembira dan senangnya Allah bila ada hamba-Nya yang benar-benar bertaubat kepada-Nya. Tentunya, Allah juga akan mencintainya. Ketahuilah bahwa bila Allah telah mencintai seseorang, maka apa yang dia minta, insya Allah akan dikabulkan. Karena itu, bila Anda sungguh-sungguh bertaubat kepada Allah, Anda tidak perlu khawatir apakah Anda masih bisa menjadi wanita shalehah ataukah tidak. Anda juga tidak perlu khawatir akan jodoh Anda. Allah pasti akan memberikan yang terbaik untuk Anda, sesuai firman-Nya: “Wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik.” (QS. An-Nuur: 26)

Berdasarkan hal itu, maka mantapkanlah hati Anda untuk bertaubat kepada-Nya dengan taubat nasuha. Lalu mohonlah kepada-Nya agar Anda selalu dibimbing oleh-Nya, niscaya Anda akan mendapatkan yang terbaik di dunia dan akhirat.

Ketiga: Kisah yang Anda alami merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi remaja-remaja puteri kita, yaitu agar hendaknya mereka berhati-hati dan berusaha keras untuk menjaga kehormatannya. Jangan mudah terpedaya oleh bujuk rayu syaitan, baik syaitan jin ataupun syaitan manusia. Penyesalan memang selalu datang belakangan. Terus terang, Anda termasuk orang yang beruntung karena Anda masih diberi kesempatan oleh Allah untuk bertaubat kepada-Nya. Sungguh berapa banyak orang yang telah berbuat maksiat, namun sampai akhir hayatnya mereka tidak diberi kesempatan oleh Allah untuk bertaubat. Na’udzubillah min dzaalik. Wallaahu A’lam….

Apa Yang Akan Engkau Katakan Kepada Allah?

Syeikh Abdul Qadir Al-Kailani berdiri di atas mimbar untuk berkhutbah. Dia mengingatkan Khalifah Al-Muqtafi akan perintah Allah dan mengingkari kebijakannya yang telah mengangkat Yahya bin Sa’id atau yang biasa dikenal dengan nama Ibnu Muzahim, seorang yang zhalim, sebagai hakim.

Al-Kailani berkata: “Sungguh engkau telah mengangkat orang yang paling zhalim sebagai hakim bagi kaum Muslimin. Apa yang akan engkau katakan pada Hari Akhir nanti ketika engkau menjawab pertanyaan Tuhan semesta alam, Dzat Yang Paling Penyayang di antara para penyayang?” Mendengar itu, tubuh Khalifah Al-Muqtafi langsung bergetar, lalu dia segera mencopot Ibnu Muzahim dari jabatannya.

Inilah pertanyaan yang seharusnya tertanam dalam benak kita sebagai Muslim ketika hendak melakukan satu perbuatan yang tidak baik atau mengambil tindakan yang bertentangan dengan syariat Islam. Pertanyaan seperti ini akan membuat seseorang berpikir seribu kali ketika hendak melakukan perbuatan tersebut. Alangkah indahnya negara kita bila dalam hati para pejabatnya telah tertanam pertanyaan yang sangat tinggi nilainya itu.

Rabu, 13 Januari 2010

Hukum Nikah Beda Agama

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, saya mau tanya, apa hukum menikah dengan orang yang berbeda agama, dan apa hukumnya menikah dengan orang yang berbeda agama di catatan sipil?

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

J - ……

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Pernikahan beda agama atau pernikahan lintas agama merupakan sebuah pembahasan yang pernah ramai diperbincangkan di Indonesia beberapa tahun silam, dimana pada saat itu ada perbedaan pendapat antara sekelompok ulama dengan kelompok ulama lainnya atau antara sekelompok ulama dengan sekelompok intelektual Muslim. Karena perbedaan pendapat di antara mereka itu disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran terhadap sejumlah ayat yang dijadikan landasan hukum dalam masalah tersebut, maka sebelum menjawab, saya akan menyebutkan ayat-ayat tersebut terlebih dahulu.

1. QS. Al-Baqarah (2): 221:

Allah swt. berfirman: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita yang beriman lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang beriman lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin-Nya.”

Ayat ini memang secara tegas melarang orang mukmin (laki-laki atau perempuan) untuk menikah dengan orang musyrik. Tetapi permasalahannya, apa yang dimaksud dengan orang musyrik tersebut? Siapa saja yang termasuk katagori musyrik? Apakah orang Hindu, Budha, Konghucu dan lain-lain tergolong musyrik? Apakah orang orang Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) juga tergolong musyrik?

2. QS. Al-Maa`idah (5): 5:

Allah swt. berfirman: “….(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.”

Ayat ini mengisyaratkan bahwa wanita Muslim dilarang menikah dengan laki-laki non-Muslim, sementara laki-laki Muslim dibolehkan untuk menikah dengan wanita non-Muslim tapi dari golongan Ahli Kitab. Permasalahannya, apa yang dimaksud dengan Ahli Kitab? Siapa saja yang termasuk katagori Ahli Kitab? Apakah orang-orang Yahudi dan Nashrani sekarang juga termasuk Ahli Kitab?

Berawal dari pertanyaan-pertanyaan itulah, maka muncul perbedaan pendapat mengenai hukum nikah beda agama. Sedikitnya, ada tiga pendapat:

1. Pendapat sekelompok ulama yang melarang secara muthlak nikah beda agama, baik antara pria Muslim dengan wanita non-Muslim atau antara wanita Muslim dengan pria non-Muslim. Mereka mendasarkan pendapatnya pada QS. Al-Baqarah (2): 221. Bagi kelompok ini, Ahli Kitab sama dengan kaum musyrik, sesuai dengan Hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari kemusyrikan seseorang yang menyatakan bahwa Tuhannya adalah Isa, atau salah satu dari hamba Tuhan.”

2. Pendapat kelompok yang membolehkan pria Muslim menikahi wanita non-Muslim dengan syarat memilih wanita terhormat dari kalangan Ahli Kitab yang memelihara kehormatannya. Sebaliknya, mereka melarang wanita Muslim dinikahkan dengan pria non-Muslim. Mereka mendasarkan pendapatnya pada firman Allah dalam QS. Al-Maa`idah (5): 5. Dalam kaitannya dengan kaum Yahudi dan Nashrani sekarang, sebagian orang di antara kelompok ini berpendapat bahwa Yahudi dan Nashrani pada masa sekarang tidak termasuk ke dalam golongan Ahli Kitab, karena kitab yang mereka miliki sudah tidak otentik lagi hingga akidah mereka pun sudah bukan akidah tauhid.

3. Pendapat sebagian ulama seperti Rasyid Ridha (murid Imam Muhammad Abduh) dan sejumlah intelektual Muslim seperti Dr. Zainul Kamal (dan lain-lain) membolehkan pernikahan beda agama secara muthlak, karena –menurut mereka- kaum Majusi, Shabiin, Hindu, Budha, Konghucu, Shinto dan penganut agama lain selain Islam termasuk golongan Ahli Kitab. Mereka juga berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “musyrik” dalam QS. Al-Baqarah (2): 221 adalah wanita-wanita musyrik Arab di zaman Jahiliyah (yang jelas-jelas menyembah berhala). Sedangkan Shabiin, yaitu orang-orang yang mengikuti syariat nabi-nabi terdahulu termasuk yang beragama Hindu, Budha dan Taoisme, tidak termasuk ke dalam katagori musyrik, karena dalam kitab mereka juga terkandung ajaran monotheisme.

Dalam hal ini, saya ingin menekankan sejumlah hal yang –menurut saya- patut untuk dicermati:

1. Dalam QS. Al-Baqarah (2): 221, kata “musyrik” disampaikan dengan menggunakan al-musyrikaat dan al-musyrikiin, yaitu dengan menggunakan alif laam. Dalam bahasa Arab, salah satu fungsi alif laam adalah lil-istighraaq (untuk menunjukkan semua jenis). Artinya, ayat tersebut mengandung larangan bagi seorang Muslim untuk menikahi semua jenis musyrik atau orang yang menyekutukan Allah, apapun agama dan kepercayaannya, termasuk Yahudi dan Nashrani bila mengaku bahwa ada Tuhan lain selain Allah.

2. Yang dimaksud dengan Ahli Kitab dalam QS. Al-Maa`idah (5): 5 adalah orang yang mewarisi kitab wahyu Taurat-Musa dan Injil-Isa, atau Ahli Kitab yang masih mengikuti ajaran murni dari Nabi Musa dan Isa. Jadi, tidak ada kaitannya dengan agama Hindu, Budha dan lain-lain. Ini merupakan pendapat Ibnu Katsir, Prof. Dr. Hamka dan Abbas Hasan.

3. Keimanan merupakan sesuatu yang sangat fundamental dan sangat penting dalam Islam sehingga harus dijaga dan dipertahankan, karena sebanyak apapun amal baik seseorang di dunia bila tidak dibarengi dengan keimanan, maka akan sia-sia. Karenanya, seorang Muslim dituntut untuk berusaha keras menjaga dirinya agar jangan sampai keluar dari jalur iman, salah satunya dengan menghindari hal-hal yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kekafiran. Menurut saya, apa yang terkandung dalam kedua ayat di atas (QS. Al-Baqarah [2]: 221 dan QS. Al-Ma`idah [5]: 5) merupakan bagian dari upaya tersebut. Sebab di bagian akhir QS. Al-Baqarah [2]: 221, Allah berfirman: “Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin-Nya”. Ini berarti bahwa orang Muslim dilarang menikahi orang musyrik karena pada umumnya orang musyrik akan mengajak kepada kemusyrikan yang dianutnya. Berbeda dengan Ahli Kitab yang masih mengikuti ajaran murni dari Nabi Musa dan Isa, karena pada dasarnya akidah mereka sama dengan akidah orang Islam, yaitu akidah tauhid. Meskipun demikian, sebagai kehati-hatian, hanya laki-laki Muslim saja yang dibolehkan menikah dengan wanita Ahli Kitab seperti itu, sementara wanita Muslim tidak dibolehkan menikah dengan laki-laki Ahli Kitab. Hal ini disebabkan karena pada umumnya, dominasi kekuasaan laki-laki dalam rumah tangga lebih besar daripada perempuan, sehingga laki-laki dapat memaksa isteri dan anak-anaknya untuk mengikuti agama yang dianutnya.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka saya pribadi lebih setuju dengan pendapat kedua. Wallaahu A’lam….

Referensi: Pernikahan Lintas Agama, Dr. Didin Hafidhuddin, Msc., dkk, Iqra Insan Press, 2004.

Aku Menangis Karena Tidak Dapat Mendengar Teriakan Orang Yang Terzhalimi

Abu Ja’far Al-Manshur termasuk salah seorang khalifah di kalangan Bani Abbasiyah yang memiliki keberanian paling besar, kekuatan paling dahsyat, serta paling pintar dalam mengendalikan kekuasaan dan mengatur urusan-urusan rakyatnya. Selain itu, dia adalah seorang yang memiliki komitmen keagamaan dan ketakwaan yang tinggi. Seandainya bukan karena adanya sejumlah kesalahan yang telah dilakukannya, yang berhasil dicatat oleh para peneliti (yang obyektif), niscaya dia termasuk ke dalam golongan khalifah yang paling agung.

Pada salah satu tahun, Khalifah Al-Manshur menunaikan ibadah haji. Ketika dia melakukan thawaf di Baitullah di malam hari, dimana pada saat itu orang-orang sedang tidur, dia mendengar (suara) seorang laki-laki yang sedang berdoa kepada Allah dengan penuh kekhusyuan dan kerendahan hati. Laki-laki itu mengucapkan: “Ya Allah, sesungguhnya aku mengadukan kepada-Mu tentang munculnya kezhaliman, kerusakan di muka bumi dan kerakusan yang sering menjadi penghalang antara kebenaran dengan orang-orang yang mencintainya.” Mendengar itu, Khalifah Al-Manshur segera menghampiri laki-laki tersebut, lalu dia bertanya kepadanya tentang apa yang baru saja didengarnya. Laki-laki itu pun menjawab: “Engkau adalah orang yang menyebabkan munculnya kerusakan dan kezhaliman itu, serta orang yang dirinya telah dirasuki oleh kerakusan.”

Sang Khalifah menimpali: “Bagaimana mungkin kerakusan merasuk ke dalam diriku, sementara setiap apa yang aku inginkan ada dalam genggaman tanganku (selalu terwujud)?” Laki-laki itu menjawab: “Apakah ada seseorang yang dirinya lebih banyak dirasuki oleh kerakusan daripada dirimu, wahai Amirul Mukminin? Sesungguhnya Allah telah menyerahkan kepadamu urusan-urusan dan harta kaum Muslimin, tetapi engkau malah menutup urusan-urusan mereka (tidak menanganinya dengan baik) dan berambisi untuk mengumpulkan harta-harta mereka. Lalu engkau membuat tabir yang membatasi antara dirimu dengan mereka. Engkau juga mengangkat para menteri dan pembantu yang tidak baik; dimana jika engkau lupa maka mereka tidak mau mengingatkanmu, dan jika engkau hendak melakukan kebaikan maka mereka tidak menolong (mendukung)mu. Engkau telah memberikan dukungan kepada mereka dalam menzhalimi orang-orang, baik dengan menggunakan harta, tenaga orang-orang (pasukan) maupun senjata.

Engkau juga menyuruh mereka agar tidak ada yang bisa menemuimu kecuali Fulan dan Fulan. Engkau tidak menyuruh mereka untuk menjalin hubungan dengan orang yang dizhalimi, orang yang lemah, orang yang kelaparan dan orang yang tidak memiliki pakaian. Ketahuilah bahwa tidak ada seorangpun (di antara mereka) kecuali pada harta-hartamu terdapat hak untuknya. Ketika para menteri dan pembantumu melihatmu menahan harta dan tidak membagikannya (kepada orang-orang yang membutuhkan), mereka pun berkata: ‘Sang Khalifah saja telah mengkhianati Allah, maka mengapa kita tidak ikut mengkhianati-Nya.’ Mereka sepakat untuk menyembunyikan urusan-urusan (hal ihwal) rakyat darimu kecuali apa yang mereka inginkan saja.

Tidak ada seorang pegawai pun yang tidak mematuhi mereka kecuali mereka akan mengucilkannya. Ketika berita mengenai hal itu telah tersebar luas di kalangan masyarakat, orang-orang pun merasa takut kepada mereka. Kemudian para pegawaimu memberikan kepada mereka sejumlah hadiah dan harta dengan tujuan agar dirinya mendapatkan kebebasan untuk melakukan kezhaliman. Orang-orang yang memiliki harta dan kekuatan di kalangan rakyatmu juga melakukan hal yang sama dengan tujuan agar dirinya dapat berbuat sewenang-wenang terhadap orang-orang yang lebih lemah. Akhirnya, bumi Allah ini pun dipenuhi oleh kezhaliman dan kerusakan.

Orang-orang seperti itu (maksudnya para menteri dan pembantumu) telah menjadi partnermu dalam mengendalikan kekuasaan, sementara engkau sendiri tidak menyadari akan hal itu. Jika ada salah seorang di antara rakyatmu datang guna meminta pertolongan kepadamu, mereka pun berusaha untuk menghalang-halanginya agar dia tidak dapat bertemu denganmu. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, tidak ada satu kezhaliman pun yang diadukan (dilaporkan) kecuali khalifah (yang berkuasa) akan mengetahuinya, lalu dia akan segera membantu orang yang dizhalimi. Konon, pernah ada seorang laki-laki yang berangkat dari tempat yang paling jauh hingga akhirnya dia sampai di depan pintu rumah penguasa mereka (guna mengadukan kezhaliman yang menimpanya), maka penguasa yang berkuasa pada saat itu pun segera menegakkan keadilan untuknya.

Suatu ketika, aku pernah bepergian ke negeri Cina. Di sana, aku melihat penguasa negeri itu sedang menangis karena satu musibah yang menimpanya, yang menyebabkan pendengarannya tidak berfungsi lagi. Salah seorang menterinya bertanya kepadanya: ‘Mengapa engkau menangis, wahai Paduka? Apa yang menyebabkan kedua matamu meneteskan air mata?’

Sang penguasa itu menjawab: ‘Aku tidak menangis karena musibah yang baru saja menimpaku, tetapi aku menangis karena aku tidak dapat lagi mendengar teriakan orang yang dizhalimi. Akan tetapi, walaupun pendengaranku sudah tidak berfungsi lagi, (aku masih bersyukur karena) penglihatanku masih normal.’ Dia pun memerintahkan para pembantu (menteri)nya untuk memberikan pengumuman kepada seluruh rakyat, agar tidak ada yang memakai pakaian yang berwarna merah kecuali orang yang dizhalimi. Setelah itu, dia menaiki seekor gajah pada siang hari dan berkeliling menyelusuri jalan-jalan (yang ada di negerinya) dengan maksud agar dia dapat melihat orang yang dizhalimi, sehingga dia dapat menolongnya.

Wahai Amirul Mukminin, Sang Penguasa itu adalah orang yang menyekutukan Allah, sementara engkau adalah orang yang beriman kepada-Nya dan merupakan keturunan para Nabi-Nya (Abbas bin Abdul Muthalib). Tetapi mengapa engkau melakukan hal seperti itu? Apa yang akan engkau perbuat di hadapan Sang Raja yang telah mengaruniakan kepadamu kekuasaan di dunia, padahal Dia mengetahui semua hal yang ada pada dirimu, termasuk hal-hal yang engkau sembunyikan? Apa yang akan engkau katakan ketika semua kenikmatan duniawi telah dicabut dari dirimu, lalu Sang Raja itu memanggilmu untuk menjalani proses perhitungan amal? Apakah hal-hal yang telah engkau perbuat selama ini dapat bermanfaat bagimu pada saat itu?”

Mendengar penjelasan itu, Khalifah Al-Manshur pun menangis hingga suaranya terdengar sangat keras. Kemudian dia berkata: “Aduhai, seandainya aku tidak diciptakan (sebagai manusia) dan seandainya aku tidak menjadi apa-apa!”

Laki-laki itu berkata: “Engkau harus mendekati para imam yang pandai memberi nasehat!” Khalifah Al-Manshur bertanya: “Siapakah mereka itu?” Laki-laki itu menjawab: “Mereka adalah para ulama yang bertakwa.” Khalifah Al-Manshur berkata: “Mereka telah lari dariku!” Laki-laki itu berkata: “Mereka melarikan diri darimu karena mereka khawatir engkau akan melibatkan mereka dalam dosa-dosa yang engkau lakukan. Karena itu, bukalah pintu-pintumu, angkatlah tabir-tabir penutup (antara dirimu dengan rakyatmu), tolonglah dan lindungilah orang yang dizhalimi, ambillah harta yang baik dan bagikanlah harta itu kepada rakyatmu secara adil. Jika engkau melakukan hal itu, maka aku jamin mereka pasti akan kembali dari tempat pelariannya guna mendatangimu, lalu mereka akan membantumu dalam memperbaiki kondisimu dan juga kondisi rakyatmu.”

Sang Khalifah berkata: “Ya Allah, berikanlah kepadaku taufik (petunjuk dan kemampuan) untuk melakukan apa yang telah dikatakan oleh laki-laki ini.” Kemudian Sang Khalifah menunduk guna mencium laki-laki tersebut.

***

Dikutip dari buku: Tsalaatsu Mi`ah Qishshah Wa Qishshah Min Hayaat Ash-Shaalihiin (301 Kisah Orang Shaleh) karya Dr. Musthafa Murad

Rabu, 06 Januari 2010

Judi Berkedok Perlombaan dan SMS Berhadiah

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Saya mau tanya Pak Ustadz. Begini, suatu hari teman saya bercerita bahwa suaminya mempunyai hobi memelihara burung dengan tujuan untuk dilombakan. Dia kadang sampai bertengkar dengan suaminya karena sang suami sangat berlebihan. Rumahnya penuh dengan kandang-kandang burung yang bergelantungan. Bahkan, terkadang dia membeli burung dengan harga yang mahal hanya untuk sebuah gengsi.

Menurut Pak Ustadz, bolehkah seekor burung –misal burung kenari- diadu atau dilombakan, dengan cara membeli tiket lalu dikumpulkan di suatu tempat, kemudian suaranya diadu dengan burung-burung kicau lainnya. Yang menang akan mendapat hadiah dan juga sejumlah hadiah lainnya. Demikian pertanyaan dari saya. Atas jawabannya, saya ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

I –…..

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Perlombaan burung seperti yang Anda jelaskan di atas dikatagorikan sebagai judi bila hadiah yang diberikan diambil dari hasil pembayaran peserta. Karena judi jenis ini dikemas dalam bentuk perlombaan hingga dapat mengelabuhi sebagian orang, maka saya pun menyebutnya dengan istilah “judi berkedok perlombaan”.

Dalam bahasa Arab, judi diistilahkan dengan kata al-maisir. Kata al-maisir ini berasal dari kata yasara yaisiru yang berarti mudah atau gampang. Al-Maisir atau judi ini didefinisikan sebagai upaya untuk mengundi nasib, mencari keberuntungan atau mendapatkan harta dengan cara yang mudah. Dikatakan mudah karena seseorang yang berjudi mengeluarkan sejumlah uang (harta) dengan harapan ingin mendapatkan keuntungan berlipat ganda tanpa harus bersusah payah atau bekerja.

Judi diharamkan karena mengandung unsur gharar (spekulasi). Dalam kajian Fikih Muamalah, ada sebuah kaidah yang menyatakan bahwa setiap transaksi yang mengandung unsur gharar diharamkan karena dapat merugikan salah satu pihak yang terlibat di dalamnya. Selain itu, judi merupakan perbuatan yang dibenci Allah swt., bahkan dalam Al-Qur`an, Allah menganggapnya sebagai perbuatan keji dan termasuk salah satu perbuatan syaitan. Allah swt. berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar (arak), berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maa`idah [5]: 90)

Secara garis besar, judi dibagi menjadi dua: Judi yang dilakukan secara terang-terangan alias tidak dikemas dan judi yang dikemas dalam bentuk-bentuk tertentu seperti bentuk perlombaan, permainan, undian dan lain sebagainya. Karena adanya faktor kemasan itulah maka terkadang banyak orang yang terkelabuhi hingga tidak menyangka bahwa apa yang telah dilakukannya itu termasuk ke dalam katagori perbuatan judi.

Perlombaan burung yang Anda sebutkan di atas termasuk salah satu jenis judi yang dikemas dalam bentuk perlombaan. Secara sekilas, hal tersebut terlihat sebagai sebuah perlombaan, padahal hukum asal perlombaan adalah mubah (boleh). Namun, karena adanya faktor mengundi nasib dengan cara yang mudah yang diwujudkan dalam bentuk membeli tiket dengan harapan ingin mendapatkan hadiah bila menang, maka perlombaan seperti itu pun diharamkan dan dikatagorikan sebagai judi. Perlombaan tersebut juga diharamkan karena merugikan pihak yang mengalami kekalahan.

Bagi sebagian orang terkadang sulit untuk membedakan apakah perlombaan yang diikutinya termasuk judi ataukah tidak, apalagi bila perlombaan tersebut berhubungan dengan hobi seperti lomba mancing, bakat seperti lomba baca puisi, ataupun olahraga seperti lomba sepakbola. Sebenarnya untuk membedakannya kita cukup melihat apakah ada kewajiban bagi peserta untuk membayar ataukah tidak, dimana hasil pembayaran tersebut digunakan untuk hadiah. Bila ada, maka perlombaan itu termasuk judi. Bila tidak ada, maka tidak termasuk judi. Bila ada kewajiban membayar tetapi pembayaran tersebut murni digunakan untuk administrasi atau biaya pengadaan lomba, tidak termasuk hadiah, karena hadiahnya diperoleh dari pihak sponsor, maka tidak termasuk katagori judi.

Di sini, saya juga ingin menyebutkan satu bentuk judi yang sering kita saksikan pada masa sekarang ini, bahkan mungkin sebagian orang di antara kita pernah mengikutinya tanpa menyangka bahwa apa yang diikutinya itu termasuk judi. Bentuk perjudian yang saya maksud adalah SMS Berhadiah, dimana hadiah yang diberikan diambil dari hasil pengumpulan pulsa partisipasi setiap pengirim SMS yang biasanya menggunakan pulsa premium atau lebih mahal dari harga biasa.

Berdasarkan hasil ijtima’ (pertemuan) ulama di Gontor tanggal 26 Mei 2006, MUI mengeluarkan fatwa pengharaman SMS Berhadiah tersebut. Setidaknya ada tiga alasan yang dijadikan MUI untuk mengharamkan SMS Berhadiah dan mengatagorikannya sebagai judi. Ketiga alasan tersebut adalah:

- Karena mengandung unsur mengundi nasib dengan cara mudah

- Karena mengandung unsur menghambur-hamburkan harta

- Karena merugikan pihak lain yang mengalami kekalahan

Dalam fatwa tersebut, MUI menegaskan bahwa SMS Berhadiah diharamkan bila hadiah yang diberikan diambil dari pulsa partisipasi peserta. Tetapi bila hadiah tidak diambil dari pulsa partisipasi tersebut melainkan dari pihak sponsor (tentunya hal ini akan mempengaruhi harga pulsa partisipasi/pengiriman SMS), maka SMS Berhadiah seperti itu tidak haram.

Wallaahu A’lam….

Bersikap Adillah Wahai Sang Penguasa!!

Suatu hari, Syabib bin Syaibah pernah masuk untuk menemui Khalifah Al-Mahdi, lalu dia berkata kepadanya: “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah swt. telah memberimu (kemegahan) kehidupan dunia, maka berikanlah kepada rakyatmu bagian dari kehidupanmu yang baik (menyenangkan)!” Al-Mahdi berkata: “Memangnya apa yang seharusnya aku berikan kepada rakyat?” Syabib menjawab: “Keadilan, karena sesungguhnya jika rakyat dapat tidur dalam keadaan aman (nyaman), maka engkau akan tidur dengan tenang di dalam kuburmu!”

Kemudian Syabib berkata lagi: “Wahai Amirul Mukminin, berhati-hatilah engkau terhadap waktu malam yang setelahnya tidak ada lagi waktu siang dan terhadap waktu siang yang setelahnya tidak ada lagi waktu malam (maksudnya hari kiamat). Berbuat adillah semampumu, karena sesungguhnya bila engkau berbuat adil maka engkau akan diberi balasan atas perbuatan adilmu itu, dan bila engkau berbuat zhalim maka engkau juga akan diberi balasan atas perbuatan zhalimmu itu. Hiasilah dirimu dengan ketakwaan, karena sesungguhnya pada saat semua manusia dikumpulkan (di padang Mahsyar nanti), tidak perlu ada seorang pun yang meminjamkan perhiasannya kepadamu. Hal ini seperti yang dikatakan oleh seorang penyair:

‘Perindahlah dan hiasilah dirimu dengan hal-hal yang baik #

Karena dengannya kamu tidak perlu meminjam (perhiasan itu) kepada seorang pun pada Hari Kebangkitan nanti.

Tangan yang baik (suka melakukan kebajikan) tidak akan usang, karena itu berusahalah kamu untuk meraihnya #

Niscaya kamu akan mendapatkan keuntungan yang banyak, sementara modal kamu akan tetap utuh.’”

Kebohongan Yang Dibolehkan

Diriwayatkan bahwa pada masa pemerintahan Umar bin Khathab ra., Ibnu Abi ‘Udzrah Ad-Du`ali menceraikan isteri-isteri yang telah dinikahinya. Ketika hal itu diketahui oleh masyarakat, dia pun segera menarik tangan Abdullah bin Arqam (dan mengajaknya pergi) hingga sampai di rumahnya. Kemudian dia berkata kepada isterinya: “Aku menyumpahmu dengan nama Allah (untuk menjawab pertanyaanku), apakah kamu membenciku?” Sang isteri berkata: “Jangan engkau menyumpahku dengan nama Allah!” Ibnu Abi ‘Udzrah berkata: “Sungguh aku menyumpahmu dengan nama Allah!” Sang isteri berkata: “Ya, aku membencimu!”

Mendengar itu, Ibnu Abi ‘Udzrah pun berkata kepada Abdullah bin Arqam: “Apakah kamu mendengarnya?” Mereka berdua pun pergi hingga akhirnya mereka sampai di tempat Umar bin Khathab ra.. Ibnu Abi ‘Udzrah berkata (kepada Umar): “Sesungguhnya kalian mengatakan bahwa aku telah menzhalimi isteri-isteriku dan menceraikan mereka. Tanyalah kepada Ibnu Arqam!” Umar bertanya kepada Ibnu Arqam, dan Ibnu Arqam pun memberitahukan kepada Umar (apa yang telah dilihatnya). Umar menyuruh seseorang untuk memanggil isteri Ibnu Abi ‘Udzrah. Wanita itu pun datang bersama pamannya.

Umar bertanya: “Apakah engkau yang mengatakan kepada suamimu bahwa engkau membencinya?” Wanita itu menjawab: “Sesungguhnya aku adalah orang yang pertama kali bertaubat dan kembali kepada agama Allah. Sungguh dia telah menyumpahku (untuk berkata terus terang), maka aku pun merasa berat untuk berbohong. Apakah aku boleh berdusta dalam hal ini, wahai Amirul Mukminin?” Umar menjawab: “Ya, silahkan berbohong! Jika salah seorang di antara kalian (kaum wanita) tidak menyukai salah seorang di antara kami (kaum laki-laki), maka janganlah dia mengatakannya secara terus terang, karena sesungguhnya sedikit sekali rumah tangga yang dibangun di atas dasar cinta. Orang-orang (kaum Muslimin) lebih sering bergaul (bermuamalah) dengan dasar Islam dan garis keturunan.” (Footnote: Syarh As-Sunnah, 13/120.)

Berbohong dibolehkan dalam kondisi seperti ini. Diriwayatkan dari Ummu Kultsum bin Uqbah, bahwa dia pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Yang dimaksud pendusta bukanlah orang yang berbohong dengan niat untuk mendamaikan sesama manusia, lalu dia menebarkan kebaikan atau mengucapkan perkataan yang baik.”

Ummu Kultsum berkata: “Aku tidak pernah mendengar Rasulullah saw. memberikan keringanan berkaitan dengan apa yang dikatakan oleh orang-orang (maksudnya perkataan dusta) kecuali dalam tiga hal, yaitu: peperangan, upaya untuk mendamaikan manusia, serta perkataan seorang laki-laki kepada isterinya dan perkataan seorang wanita kepada suaminya.” (Footnote: Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Ash-Shulh dan Muslim dalam kitab Al-Birr.)