Sabtu, 26 November 2011

Ahli Waris: Isteri Kedua & 4 Anak Dari Isteri Pertama


Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya mohon petunjuk jawabannya tentang pembagian warisan. Ayah Saya telah meninggal dunia dan memiliki 2 orang isteri. Isteri yang pertama sudah meninggal dunia sebelum ayah meninggal. Beliau mempunyai 4 orang anak (2 anak laki-laki & 2 anak perempuan). Anak yang pertama adalah perempuan dan sudah menikah, yang kedua juga perempuan tetapi belum menikah, yang ketiga adalah saya sendiri yang juga belum menikah, sementara yang keempat adalah adik saya laki-laki yang juga belum menikah.
Sedangkan melalui pernikahannya dengan isteri kedua, ayah tidak memiliki anak. Yang ingin saya tanyakan, berapa besar bagian warisan yang diterima oleh masing-masing ahli waris, dan bagaimana perhitungannya? Terima kasih atas jawaban yang diberikan.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
A-….
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara A yang saya hormati, dalam kasus di atas, yang menjadi ahli waris adalah isteri kedua dan 4 orang anak dari isteri pertama (yang terdiri dari 2 anak laki-laki & 2 anak perempuan. Karena ada anak, maka isteri mendapat 1/8 bagian atau 0.125; dan karena ada anak laki-laki, maka keempat anak tersebut menjadi ashabah (ahli waris yang mendapat sisa warisan setelah dibagi untuk ahli waris yang lain). Jadi keempat anak tersebut mendapat 7/8 bagian atau 0,875, dengan ketentuan bagian 1 anak laki-laki sama dengan bagian 2 anak perempuan (QS. An-Nisaa` [4]: 11).
Berdasarkan ketentuan tersebut, bila ada 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan, maka itu sama saja dengan 3 anak laki-laki. Dengan demikian, maka 7/8 (0,875) dibagi 3, hasilnya 0,291666667. Inilah bagian untuk 1 anak laki-laki. Sedangkan bagian untuk 1 anak perempuan adalah 0,291666667 dibagi 2, hasilnya 0,145833333.
Andaikata total nilai harta yang ditinggalkan ayah sebesar 3 Milyar, maka perhitungannya adalah sebagai berikut:

- Isteri : 0,125 x 3.000.000.000 = Rp. 375.000.000,-
- 1 anak laki-lak i : 0,291666667 x 3.000.000.000 = Rp. 875.000.000,-
- 1 anak perempuan : 0,145833333 x 3.000.000.000 = Rp. 437.500.000,-
Demikian jawaban yang bisa saya berikan, mudah-mudahan bermanfaat. Mohon maaf bila ada keterlambatan dalam memberikan jawaban. Wallaahu A’lam……
Fatkhurozi

Senin, 03 Oktober 2011

Bolehkah Zakat Fitrah Dibagikan Pasca Idul Fitri?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak, boleh saya konsultasi? Waktu puasa kemaren, di kampung saya terjadi perbedaan pendapat antara panitia zakat yang sudah bertahun-tahun mengurus zakat dengan orang yang baru keluar dari pesantren. Seperti tahun-tahun sebelumnya, panitia tersebut mengumpulkan zakat sekitar seminggu sebelum lebaran dan membagikannya 2 atau 3 hari sebelum lebaran. Sementara orang yang baru keluar dari pesantren itu menyuruh agar zakat dibagikan setelah shalat Idul Fitri.

Akhirnya, kekacauan pun terjadi saat pembagian zakat yang dilakukan setelah Idul Fitri tersebut, dan ini menyebabkan para panitia zakat tidak mau lagi mengurusi zakat untuk tahun-tahun berikutnya. Pertanyaan saya, pendapat mana yang benar? Terima kasih atas jawabannya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

J-….

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudara J yang saya hormati, memang ada sedikit perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai waktu pembagian zakat fitrah kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa zakat fitrah tidak boleh (bahkan haram hukumnya) dibagikan setelah shalat Idul Fitri.

Hal ini disebabkan karena di samping berfungsi untuk mensucikan jiwa setiap Muslim, zakat fitrah juga berfungsi untuk menutupi kebutuhan fakir miskin pada hari raya, sesuai dengan riwayat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan (jiwa) orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Ied), maka itu adalah zakat yang diterima, dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Ied), maka itu adalah salah satu (jenis) shadaqah”. (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Sementara itu, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pembagian zakat fitrah dapat dilakukan sepanjang masa. Mereka hanya menganggap makruh pembagian zakat fitrah yang dilakukan setelah Idul Fitri, berbeda dengan mayoritas ulama yang menganggapnya haram. Dalam hal ini, tidak ada salahnya dan tidak ada larangan untuk mengikuti pendapat ulama Hanafiyah tersebut bila ada kemasalahatan di dalamnya. Namun bila tidak ada, maka sebaiknya dihindari. Tapi perlu diingat, bila pembagian itu terpaksa dilakukan setelah Idul Fitri karena adanya program-program yang mengandung kemaslahatan, maka sebaiknya hal itu tidak diberlakukan untuk seluruh zakat fitrah yang terkumpul, sehingga fungsi zakat untuk memenuhi kebutuhan fakir miskin pada hari raya masih bisa terwujud.

Dalam kasus yang Anda tanyakan, saya tidak melihat adanya faktor kemaslahatan dalam penundaan pembagian zakat fitrah yang disarankan oleh lulusan pesantren tersebut. Sepertinya penundaan pembagian zakat fitrah itu sama sekali tidak disebabkan karena adanya program-program yang mengandung kemaslahatan bagi umat, terutama bagi kaum fuqara. Oleh karena itu, saya pribadi lebih sreg dengan apa yang bisa dipraktekkan oleh panitia zakat di kampung Anda. Wallaahu A’lam….

Kamis, 18 Agustus 2011

Akibat Hamil Sebelum Nikah

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ustadz yang saya hormati, tolong bantu saya apa yang harus saya lakukan. Saya seorang ibu dari 2 orang anak. Anak pertama saya meninggal ketika di kandungan usia 8,5 bulan, anak kedua saya saat ini usia 4 bulan. Pernikahan kami hampir 2 tahun. Pada saat menikah ternyata saya sudah hamil 1,5 bulan. Suami saya sangat baik dan sayang kepada keluarga, tapi 2 bulan terakhir ini suami saya berubah sikap.

Dia seorang pendiam, ketika saya tanya permasalahannya baru dia berkata seperti ini: "Ketika kita menikah, kamu dalam kondisi yang sedang hamil, karenanya pernikahan kita tidak sah." Betapa hancur hati saya kenapa baru saat ini dia memberitahukan hal itu. Saya bingung bagaimana dengan status saya dan anak kami (kebetulan anak kami perempuan)? Dia memberikan dua pilihan kepada saya:

  1. tidak usah mengulang pernikahan tetap seperti ini saja. atau,
  2. jika saya minta mengulang pernikahan, mending pisah saja.

Mohon bantuannya, sepertinya suami saya tidak ingin bersama saya lagi, padahal saya sendiri menginginkan agar keluarga kami menjadi keluarga yang bahagia. Bahkan seandainya pernikahan kami memang tidak sah, maka saya ingin segera memperbaikinya.

  1. Apa yang harus saya lakukan, apakah perlu menikah ulang dan bagaimana dengan pilihan di atas?
  2. Bagaimana dengan status saya dan anak kami?
  3. Bagaimana cara memperbaiki hubungan dan komunikasi dengan suami?

Mohon jawabannya. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

H-…..

Jawaban:

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Saudari H yang saya hormati, saya turut pritahin atas sikap suami Anda yang belakangan ini berubah. Apa yang dikatakan suami Anda ada benarnya jika memang Anda sudah hamil sebelum menikah, tapi itu hanya menurut satu pendapat saja. Sebab seperti yang pernah saya bahas pada konsultasi berjudul Hukum Menikahi Wanita Hamil dan Status Anak Di Luar Nikah, setidaknya ada tiga pendapat yang berkaitan dengan hukum menikahi wanita yang pernah berzina:

  1. Sebagian ulama termasuk sebagian sahabat seperti Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra` dan Ibnu Mas’ud, berpendapat bahwa wanita yang pernah berzina tidak boleh dinikahkan baik dengan laki-laki yang menzinahinya ataupun laki-laki yang baik (bukan pezina). Mereka mendasarkan pendapatnya itu pada firman Allah swt.: “Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.(QS. An-Nuur [24]: 3) Berdasarkan dalil tersebut pula, Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa seorang isteri yang berzina harus diceraikan oleh suaminya.
  2. Jumhur (mayoritas) ulama termasuk Abu Bakar dan Umar bin Khathab berpendapat bahwa wanita tersebut boleh dinikahkan, baik dengan orang yang menzinahinya ataupun dengan orang lain. Pendapat kedua ini didasarkan pada firman Allah swt. “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya yang lelaki dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nuur [24]: 32) Dalam hal ini, bila wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki yang menzinahi atau menghamilinya, maka tidak perlu ada istibra`. Istibra` adalah upaya untuk memastikan bahwa rahim seorang wanita telah benar-benar bersih dari air mani laki-laki yang telah menggaulinya. Masa istibra` ini adalah 6 bulan. Tujuan istibra` ini adalah untuk mendapat kepastian nasab. Untuk tujuan ini pula, maka Islam mensyariatkan adanya masa iddah. Oleh karena itu, menurut jumhur ulama, bila wanita yang hamil itu dinikahi oleh laki-laki yang benar-benar menghamilinya, maka hal itu dibolehkan dan tidak perlu menunggu hingga melahirkan. Lain halnya bila wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki lain, bukan laki-laki yang menghamilinya, maka pernikahan itu haram dilakukan kecuali setelah wanita itu melahirkan bayi yang dikandungnya dan telah melewati masa nifas. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi saw.: “Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk menuangkan air (maninya) pada tanaman milik orang lain.(HR. Abu Daud) Memang ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa meskipun dinikahi oleh laki-laki yang menzinahinya, sang wanita tetap harus menunggu hingga melahirkan, dengan dalil: “sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, masa ‘iddah mereka itu sampai melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Thalaaq [64]: 4)
  3. Pendapat ketiga adalah pendapat Imam Ahmad. Beliau mengharamkan seorang laki-laki menikahi wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Tapi bila sudah bertaubat, maka pernikahan itu dibolehkan.

Saudariku yang terhormat, nampaknya pendapat yang dilontarkan suami Anda adalah pendapat kedua yang membolehkan wanita yang pernah berzina untuk dinikahi, hanya saja harus menunggu waktu kelahiran. Namun, andaikata pendapat tersebut adalah pendapat yang diyakini suami Anda, menurut saya tidak semestinya dia memberikan pilihan seperti itu, apalagi pilihan pertama yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam. Sebab dengan pilihan seperti itu sementara menurutnya pernikahan Anda berdua tidak sah, berarti dia mengajak Anda untuk terus hidup berdua tanpa ikatan pernikahan yang sah. Na’udzubillaah min dzaalik. Andaikata dia komitmen dengan pendapatnya dan juga memiliki i’tikad yang baik, semestinya dia siap untuk mengulang kembali pernikahannya dengan Anda.

Jadi, mengenai pertanyaan Anda apa yang harus Anda lakukan, tanyakan kembali kepada diri Anda sendiri dan juga suami, pendapat mana yang Anda berdua yakini. Menurut saya pribadi, sebaiknya Anda jelaskan kepada suami tentang pendapat kedua, baik yang meyakini pernikahan itu sah dan tidak perlu menunggu waktu kelahiran ataupun pendapat yang meyakini pernikahan akan sah bila dilakukan setelah waktu kelahiran. Bila Anda berdua meyakini bahwa pernikahan itu sah, maka tidak perlu ada pengulangan akad nikah. Tapi bila ternyata Anda dan suami menganggap pernikahan itu tidak sah karena dilakukan saat Anda sedang hamil, maka tidak ada salahnya bila Anda berdua mengulang kembali pernikahan.

Berkaitan dengan pertanyaan kedua, saya juga pernah membahas tentang Status Anak Di Luar Nikah. Berikut kutipannya:

“Adapun mengenai status anak yang lahir dari hubungan di luar nikah, memang ada yang berpendapat seperti pendapat yang Anda sebutkan. Pendapat tersebut didasarkan pada hadits yang berbunyi: “(Status) seorang anak adalah bagi (pemilik) firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah (kerugian dan penyesalan).” (HR. Bukhari dan Muslim) Yang dimaksud dengan firasy adalah kasur. Jadi, makna hadits tersebut adalah bahwa nasab (garis keturunan) seorang anak akan dinisbatkan kepada pemilik firasy atau laki-laki yang menggauli ibunya secara sah. Bila pemilik firasy itu adalah suami yang sah, maka nasab anak tersebut berhak dinisbatkan kepadanya. Namun bila pemilik firasy itu bukan suami yang sah, maka nasab anak yang lahir tidak boleh dinisbatkan kepadanya. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa bila anak itu lahir 6 bulan setelah pernikahan antara ibunya dengan laki-laki yang menghamilinya, maka anak itu merupakan anak yang sah tanpa harus ada ikrar (pengakuan) dari laki-laki yang menghamilinya itu. Sedangkan bila dia lahir di bawah 6 bulan setelah pernikahan, maka sah atau tidaknya nasab sang anak tergantung pada ikrar laki-laki yang menghamilinya.”

Adapun mengenai pertanyaan ketiga, ada baiknya Anda berbicara baik-baik dengan suami. Berusahalah untuk menjelaskan kepadanya hukum yang saya jelaskan di atas, mudah-mudahan dia bisa memahaminya dengan baik. Ingat, hindarilah emosi karena ia tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Jangan lupa pula, untuk bertaubat kepada ALLAH atas dosa zina yang pernah Anda lakukan, dan memohonlah pertolongan kepada-Nya. Wallaahu A’lam…

Senin, 08 Agustus 2011

Wasiat Ataukah Hibah?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, saya mempunyai dua pertanyaan. Pertama: Bapak mertuaku wafat 1 tahun yang lalu. Beliau meninggalkan seorang isteri dan 3 orang anak, semuanya laki-laki. Beliau mewariskan beberapa bidang tanah. Ada tanah seluas 6000 m2 yang menjadi hak 3 orang (ibu, suamiku dan 1 orang adik), dengan aset usaha di atas tanah itu sekitar 300 juta, sementara adik yang satu lagi mendapat bagian tanah di tempat lain, yang luasnya sekitar 2000 m2 dengan aset usaha sebesar 2 Milyar.

Dulu sewaktu almarhum masih hidup, beliau berniat agar usaha itu untuk tiga orang bersaudara, termasuk suami saya. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, adik iparku tidak mau membagi usaha itu untuk bertiga. Dia menginginkan semuanya untuk dirinya. Dia pun mengeluarkan suamiku dari jabatan komisaris dan menggantikannya dengan isterinya. Akhirnya almarhum bapak membuat wasiat kalau tanah yang 6000 m2 tersebut untuk ibu, suamiku dan adik bungsu suamiku.

Sepeninggal almarhum, adik yang mendapat tanah di tempat lain itu meminta agar tanah yang menjadi hak bertiga dijual. Dia memang tidak ingin mengambil bagian suamiku, tapi dia mau mengambil bagian ibu, padahal ibu masih hidup. Saat ini, di atas tanah itu, adik iparku memasang spanduk bertuliskan “Tanah ini dijual”. Bagaimana hukumnya yah??
Kedua: Bagaimana cara pembagian tanah yang menjadi hak 3 orang itu? Berapa bagian masing-masing (isteri dan 2 orang anak)? Terima kasih sebelumnya atas penjelasan yang diberikan.
Demikian pertanyaan saya, Pak Ustadz. Terima kasih atas perhatian dan jawaban yang diberikan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
H-….
Jawaban:
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Saudari H yang saya hormati, mungkin ada sedikit kerancuan pada istilah yang Anda gunakan, terutama pada istilah yang berkaitan dengan akad yang menyebabkan berpindahnya hak kepemilikan dari Bapak Mertua Anda kepada anak-anak dan isterinya. Dari paparan Anda, saya dapat menangkap bahwa akad yang sebenarnya diinginkan dan digunakan oleh Bapak Mertua Anda pada kedua bidang tanah tersebut adalah hibah, bukan wasiat seperti yang Anda katakan dan bukan pula waris.
Sebelum saya menjawab pertanyaan Anda, ada baiknya saya jelaskan terlebih dahulu perbedaan antara hibah, wasiat dan waris. Bila akad yang digunakan adalah hibah, maka hak kepemilikan langsung berpindah tangan seiring dengan dikeluarkannya akad tersebut dan tidak harus menunggu orang yang memberinya meninggal dunia. Tetapi bila akad yang digunakan adalah wasiat, maka hak kepemilikan tidak langsung berpindah tangan walaupun akad sudah diucapkan, melainkan menunggu orang yang memberinya meninggal dunia. Namun dalam kasus yang Anda tanyakan, akad wasiat tidak berlaku karena wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris, sesuai sabda Baginda Rasulullah saw.: ““Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap pemiliknya, maka tidak ada (harta) wasiat bagi ahli waris.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Jadi pada kasus tersebut hanya ada dua kemungkinan, ada kemungkinan berpindahnya kepemilikan kedua bidang tanah tersebut melalui akad hibah dan ada kemungkinan melalui sistem waris. Namun setelah memperhatikan alur cerita yang Anda sampaikan, saya menangkap bahwa sebenarnya Bapak Mertua Anda ingin memberikan tanah-tanah itu kepada anak-anak dan isterinya melalui akad hibah. Hal ini dibuktikan dengan niatan beliau untuk memberikan tanah yang luasnya sekitar 2000 m2 untuk ketiga anaknya, termasuk suami Anda. Namun melihat sikap salah satu anaknya yang rakus, beliau pun memberikan tanah yang satunya lagi untuk isteri dan kedua anaknya yang tersingkirkan dari jatah pertama. Akad hibah atas harta orangtua untuk anak-anaknya biasanya dilakukan dengan maksud untuk menghindari terjadinya perselisihan di antara mereka pasca meninggalnya orangtua. Hal inilah yang nampaknya diinginkan oleh Bapak Mertua Anda, sehingga ketika melihat sikap anaknya yang ingin menguasai tanah pertama yang luasnya 2000 m2, beliau pun langsung mengambil kebijakan baru dengan memberikan tanah yang luasnya 6000 m2 untuk isteri dan kedua anaknya.
Dengan demikian, maka tanah yang luasnya 6000 m2 itu menjadi hak tiga orang, yaitu ibu dan kedua anaknya (termasuk suami Anda). Karena akadnya hibah, maka perhitungan yang berlaku bukan perhitungan waris, melainkan sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh si pemberi pada saat akad. Untuk mengetahui berapa bagian masing-masing, tanyakan kepada suami atau ibu mertua Anda, apakah waktu itu Bapak Mertua menyebutkan berapa bagian masing-masing ataukah tidak, atau bagaimana lafazh yang diucapkan beliau? Namun melihat kasus yang terjadi dan berdasarkan kebiasaan yang ada, menurut saya nampaknya Bapak Mertua Anda menginginkan agar tanah tersebut dibagi rata untuk tiga orang. Bila luasnya 6000 m2, maka masing-masing mendapat 2000 m2.
Adapun mengenai sikap adik suami Anda yang ingin menjual tanah bagian ibu, hal itu sangat tergantung pada kesediaan ibu untuk memberikan haknya ataukah tidak. Sebab tanah tersebut telah menjadi hak miliknya, maka hanya dia-lah yang berhak untuk menjualnya ataupun memberikannya kepada orang lain.
Saudari H yang saya hormati, jawaban saya ini hanyalah analisa dari apa yang Anda sampaikan di atas. Seperti yang saya katakan, ada kemungkinan Bapak Mertua Anda melakukan pembagian kedua bidang tanah tersebut melalui akad hibah, tapi ada kemungkinan pula tidak. Bila beliau tidak bermaksud seperti itu, maka yang berlaku adalah hukum waris, sehingga semua harta yang ditinggalkannya dibagi untuk semua ahli waris yang ada sesuai ketentuan yang berlaku. Karena itu, ada baiknya Anda tanyakan secara detail kepada suami atau ibu mertua Anda mengenai hal tersebut, terutama mengenai apa yang dikatakan oleh Bapak Mertua Anda saat itu, apakah bisa disebut hibah ataukah tidak. Wallaahu A’lam…. 
Fatkhurozi

Selasa, 19 Juli 2011

Cinta Lama Bersemi Kembali

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Yth. Pengasuh konsultasi, saya seorang single parent, usia 43 tahun, memiliki satu orang anak yang usianya menjelang remaja. Suami telah menghadap Yang Maha Kuasa hampir 11 tahun yang lalu, dalam usia pernikahan yang belum genap 3 tahun.



Selama masa kesendirian ini, saya mengkonsentrasikan diri untuk membesarkan anak sembari mendekatkan diri kepada Tuhan dan mencari hikmah atas ujian yang saya hadapi ini. Alhamdulillah saya bisa tegar dan bisa menjalani kesendirian ini.



Tapi ternyata ujian Tuhan datang lagi sebulan yang lalu, tiba-tiba seseorang dari masa lalu saya menelpon. Surprise, karena kami telah hilang komunikasi selama 20 tahun. Waktu itu, jarak yang memisahkan sehingga kami kesulitan untuk berkomunikasi, karena setelah menamatkan kuliah, saya pulang ke kampung halaman. Dia laki-laki terbaik yang pernah dekat dalam kehidupan saya. Tapi dulu kami sama-sama remaja yang lugu sehingga tak pernah ada terucap kata sayang di antara kami.



Dia baru tahu kesendirian saya setelah kami cerita tentang keluarga masing-masing. Setelah itu kami intens sms ataupun telpon. Bahkan dia mengirimi suatu benda yang didalamnya terukir nama kami berdua. Dari komunikasi-komunikasi yang kami lakukan, terungkap fakta-fakta sebagai berikut:

1.Kami masih sama-sama saling mengingat satu sama lain, meskipun waktu yang cukup lama telah memisahkan kami. Sebenarnya dia menelpon saya karena tiba-tiba dia ingat saya dan langsung mencari info tentang keberadaan saya.

2.Kami sama-sama masih menyimpan rasa yang dulu, alias kami masih saling menyayangi.

3. Kami berdua masih berharap suatu hari nanti kami akan berjodoh.

4. Selama ini kami masih saling mencari info satu sama lain.

5. Ternyata kami sama-sama pernah berdoa agar suatu hari kami bisa bertemu kembali, dan Tuhan mengabulkannya sekarang.

6. Dia ingin berjumpa denganku, tapi aku menolak ajakannya karena takut fitnah, karena kesendirianku rentan akan fitnah.

7. Dia pernah mengatakan bahwa saya adalah cinta pertamanya, karena itu dia pun sangat sulit untuk melupakan saya, meskipun dia telah berkeluarga hampir 15 tahun. Sementara bagi saya, dia adalah laki-laki yang terbaik, karena itu pula sulit bagi saya untuk melupakannya meskipun dulu pertemuan kami sangat singkat dan tak pernah terucap kata sayang di antara kami. Dulu kami sama-sama pendiam, dia hanya memberikan perhatian dengan pemberian-pemberian berupa apa saja.



Saya menyadari kami sekarang sedang bermain api. Saya coba untuk pending komunikasi, bahkan dua kali pernah mencoba untuk memutuskan komunikasi. Namun, yang terjadi malah saya selalu menangis dan tak bisa tidur. Akhirnya hal itu hanya bertahan 1 hari, setelah itu saya kembali mengirim sms.



Sampai sekarang istrinya belum tahu komunikasi kami. Sebenarnya ada kekhawatiran bila komunikasi kami ini diketahui oleh isterinya, apalagi kami sempat bertukar foto by phone, dan ternyata fotoku itu dia print dan disimpan untuk dipandang bila dia sedang merindukan saya. Tapi saya tidak memungkiri kalau saya merasa bahagia bisa berkomunikasi kembali dengannya. Saya mulai rindu dengan sms-sms darinya, rindu dengan suaranya, dan rindu dengan panggilan sayang darinya.



Apa yang harus saya lakukan sekarang? Bukankah Allah melarang memutuskan silaturahmi, dan apakah yang terjadi sekarang juga karena doa-doaku. Mohon solusinya. Terima kasih…

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

D-….



Jawaban:



Wa’alaikumussalam Wr. Wb.



Saudari D yang saya hormati, mengenai apa yang harus Anda lakukan, hal itu sangat tergantung dari pihak ketiga yaitu isteri dari laki-laki yang Anda cintai itu, apakah dia mengizinkan suaminya untuk menikah lagi ataukah tidak. Sebab, permasalahan ini bukan hanya berkaitan dengan hukum pernikahan dalam Islam saja, melainkan juga dengan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan yang berlaku di negara kita, Indonesia.



Bila sang isteri mengizinkan, maka saya kira Anda sudah mengetahui jawaban saya mengenai apa yang harus Anda lakukan. Ya, Anda harus meminta laki-laki tersebut untuk segera menikahi Anda. Hal ini dimaksudkan agar Anda dan dia tidak terus terjerat oleh tali cinta yang akan menjerumuskan Anda berdua ke dalam “lubang” kemaksiatan, bahkan bisa jadi akan mengantarkan Anda berdua ke dalam perbuatan zina yang sangat dibenci ALLAH swt., sesuai firman-Nya: ““Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji ( fahisyah ) dan suatu jalan yang buruk.(QS. Al-Israa`: 32 )



Namun bila ternyata sang isteri tidak mengizinkan karena mungkin dia termasuk wanita yang tidak mau dimadu atau tidak setuju dengan poligami, maka sebaiknya Anda menghentikan “permainan” api cinta tersebut. Sebab bila kenyataannya seperti itu, sementara Anda masih berkeinginan untuk tetap menjalin cinta dengannya, maka setidaknya ada dua kemungkinan:

1. Anda menikah dengannya secara sembunyi-sembunyi atau yang biasa disebut oleh masyarakat kita dengan istilah “nikah sirri”. Dalam hal ini, laki-laki tersebut akan menikahi Anda tanpa sepengetahuan isteri pertamanya. Walau dari sisi hukum Islam, pernikahan seperti ini dibolehkan asalkan memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya, namun saya pribadi sangat tidak menyarankan. Sebab bila ditinjau dari nilai-nilai akhlak, pernikahan seperti itu seringkali menimbulkan banyak kebohongan, terutama pada pihak laki-laki yang Anda cintai. Biasanya, laki-laki yang menikah lagi dengan cara seperti ini, seringkali berbohong kepada isteri pertamanya, padahal junjungan kita Nabi Muhammad saw. sangat tidak menyukai perbuatan dusta sebagaimana ditegaskan dalam sabda beliau: “Wajib atasmu berlaku jujur, karena sesungguhnya jujur itu membawa kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan itu membawa ke surga. Seseorang akan terus berlaku jujur dan memilih kejujuran hingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhkanlah dirimu dari dusta, karena sesungguhnya dusta itu membawa kepada kedurhakaan, dan sesungguhnya durhaka itu membawa ke neraka. Dan seseorang akan terus berlaku dusta dan memilih kedustaan hingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta". (HR. Muslim) Belum lagi bila nantinya Anda dikaruniai anak dari pernikahan sirri tersebut, akan banyak kesulitan yang Anda berdua hadapi.

2. Anda tetap menjalin hubungan cinta dengannya tanpa ada pernikahan, atau yang biasa disebut oleh masyarakat kita dengan istilah “selingkuh”. Walaupun saya yakin Anda bisa menjaga diri sehingga Anda dapat terhindar dari perbuatan zina, namun menurut saya hal ini sangat tidak baik dan bertentangan dengan syariat Islam. Sebab seperti yang saya katakan di atas, hal ini akan menyebabkan Anda berdua terus terjerumus dalam “lubang” kemaksiatan, walaupun bukan kemaksiatan dalam pengertian zina (hubungan seksual).



Dari sini, maka saran saya, sebaiknya Anda pastikan apakah laki-laki yang Anda cintai itu mendapat izin dari isterinya untuk menikah lagi ataukah tidak, dan hal itu bisa Anda lakukan dengan cara memintanya untuk menanyakan hal itu kepada isterinya. Bila jawabannya ya, maka saya kira itu jawaban ALLAH atas doa yang pernah Anda berdua panjatkan kepada-Nya. Namun bila jawabannya tidak, maka bisa jadi itu adalah ujian ALLAH atas kesendirian Anda, atau –bahkan- bisa jadi itu godaan syetan yang dimaksudkan untuk menghalangi upaya Anda untuk mendekatkan diri kepada ALLAH, apalagi di saat Anda sedang berkonsentrasi untuk membesarkan anak sembari mendekatkan diri kepada Tuhan. Wallaahu A’lam….

Selasa, 12 Juli 2011

Ingin Cerai Karena Hati Selalu Hampa

Ingin Cerai Karena Hati Selalu Hampa

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Mohon petunjuknya, apa yang bisa dilakukan bila ingin bercerai dari suami. Sebenarnya saya sudah terbiasa beranggapan bahwa pernikahan hanyalah sebatas status sosial saja sehingga semua terlihat adem ayem. Namun sesungguhnya ada kegersangan di dalam hati, karena mengubur banyak harapan keindahan berumah tangga. Mungkin karena berulang kali tersakiti, bahkan empat kali membina rumah tangga, tapi bayangan menjadi orang yang pernah tersakiti selalu mengikuti. Mohon maaf, bukannya saya tidak mensyukuri nikmat Allah, namun saya tidak ingin berada dalam kehampaan hati sepanjang hidup saya. Alasan apa yang bisa digunakan bila ingin berpisah. Mohon petunjuknya. Terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


S-…..


Jawaban:


Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudari S yang saya hormati, pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang bertujuan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, penuh mawaddah dan rahmah. Hal ini seperti ditegaskan dalam firman ALLAH swt.: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum [30]: 21)




Seperti yang pernah saya katakan sebelumnya, bila salah satu pihak merasa bahwa tujuan tersebut tidak tercapai, maka dia berhak untuk tidak meneruskan perjalanan bahtera rumah tangganya. Bagi laki-laki berhak menjatuhkan thalak secara langsung dan bisa juga melalui pengadilan, sementara bagi perempuan bisa mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Namun karena pernikahan merupakan ikatan yang suci yang harus dijaga, maka kedua belah pihak harus berhati-hati dalam menggunakan hak tersebut. Karena itu pula, maka Rasulullah saw. menegaskan bahwa meskipun thalak dibolehkan, namun ia sangat tidak disukai. Bahkan tidak tanggung-tanggung, Rasulullah menganggap wanita yang menuntut cerai tanpa alasan yang dibenarkan sebagai wanita yang munafik, seperti ditegaskan dalam sabda beliau: ““Para istri yang minta cerai (pada suaminya) adalah wanita-wanita munafik.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud).


Dari sini, maka para ulama menetapkan sejumlah alasan yang dengannya seorang isteri bisa mengajukan gugatan cerai:


  1. Adanya penyiksaan secara fisik, mental ataupun emosional
  2. Bila tidak ada lagi ketidakcocokkan antara suami isteri, sehingga sering terjadi perselisihan di antara mereka, sementara kemungkinan dilakukannya ishlah

    (perbaikan) sangat kecil.
  3. Adanya pengkhianatan.
  4. Bila suami yang semestinya bertindak sebagai pencari nafkah tidak lagi bertanggung jawab atas hal tersebut.


Menurut saya pribadi, tidak ada salahnya bila Anda mencoba untuk merubah keadaan. Berusahalah untuk menghilangkan bayangan menjadi orang yang pernah tersakiti itu perlahan-lahan. Sebab, bayangan itulah yang menyebabkan Anda merasakan kehampaan hati. Berilah sugesti kepada diri Anda, bahwa sebenarnya Anda termasuk wanita yang beruntung. Sebab, tidak sedikit wanita yang sulit mendapatkan pasangan hidup, sementara Anda bisa berkali-kali. Namun sayang, Anda tidak memanfaatkan kesempatan itu dengan baik. Anda lebih pasrah pada keadaan dan tidak mencoba untuk merubahnya. Anda juga memiliki persepsi yang salah tentang pernikahan sejak awal Anda menikah, dimana Anda menganggapnya hanyalah sebatas status sosial saja.

Saudari S yang saya hormati, bagi seorang Mukmin, kebahagiaan bisa dicapai kapan saja, dimana saja, dan dalam kondisi apa saja, bahkan dalam kondisi yang sangat tidak menyenangkan. Hal ini digambarkan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya: ““Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin. Semua perkara (yang menimpanya) adalah kebaikan baginya dan tidaklah hal ini terjadi kecuali hanya pada diri seorang mukmin. Jika dia tertimpa sesuatu menyenangkan, dia bersyukur maka hal ini adalah baik baginya. Dan jika tertimpa musibah dia bersabar maka itu juga baik baginya.” (HR. Muslim) Namun untuk sampai pada tahap itu, kita harus berusaha keras dan tidak hanya berpasrah pada keadaan saja. Intinya, kebahagiaan itu tidak datang dengan sendiri, namun harus diupayakan. Termasuk dalam hal berumah tangga, kita harus menganggap kehidupan rumah tangga sebagai benih yang selalu dirawat dan diurus, hingga pada akhirnya akan membuahkan hasil yang menggembirakan.

Saran saya, perbanyaklah dzikir kepada ALLAH swt., karena hanya dengan dzikir kepada-Nya, hati akan selalu merasa tenang, nyaman dan bahagia. “[yaitu] Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan dzikir hati menjadi tentram.” (QS. ar-Ra’d : 28) Wallaahu A’lam…

Senin, 04 Juli 2011

Sudah Bercerai Tapi Masih 1 Ranjang

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya mau tanya, sahkah jika seorang isteri menceraikan suaminya tanpa sepengetahuan suami, dengan alasan selama 30 tahun menikah suami tidak pernah memberikan nafkah? Namun anehnya mereka masih tinggal satu rumah, apa hukumnya menurut Islam jika mereka masih tinggal satu rumah dan masih tidur satu ranjang? Sang isteri akan memberi tahu bahwa sang suami sudah diceraikan apabila dia menyakiti isterinya lagi. Demikian pertanyaan saya, Pak Ustadz. Terima kasih atas jawaban yang diberikan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
J-….

Jawaban:

Wa’alaikumsalam Wr. Wb.
Saudara J yang saya hormati, dalam Islam yang memiliki hak untuk menjatuhkan thalak secara langsung adalah laki-laki (suami), bukan wanita (isteri). Dalam hal ini, seorang suami berhak dan berwenang untuk menggunakan hak tersebut tanpa mengenal tempat dan waktu. Tetapi meskipun seorang isteri tidak memiliki hak seperti itu, dia berhak meminta sang suami untuk menceraikannya tetapi dengan syarat sang isteri harus menyerahkan sejumlah harta kepada suaminya. Dia juga berhak mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan bila ada hal-hal tertentu yang menyebabkan dirinya berfikiran untuk tidak meneruskan bahtera rumah tangganya. Dalam hal ini, pihak Pengadilan (hakim)lah yang akan menjatuhkan thalak.

Di antara hal-hal yang dimaksud adalah seperti yang disebutkan dalam ta’liq thalak, yaitu:
1. Bila suami meninggalkan isteri saya dua tahun berturut-turut.
2. Bila suami tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya.
3. Bila suami menyakiti badan / jasmani isterinya.
4. Bila suami membiarkan (tidak mempedulikan) isterinya selama enam bulan.

Bila ada salah satu dari keempat hal tersebut yang dilakukan oleh suami, sementara sang isteri tidak ridha dan mengadukan hal tersebut ke Pengadilan Agama, lalu pengadilan menerima dan mengabulkan pengaduan tersebut, maka jatuhlah thalak satu.

Saudara J yang saya hormati, dari pertanyaan Anda, nampaknya memang ada salah satu poin dari keempat poin yang disebutkan dalam ta’liq thalak di atas, karena –menurut penuturan Anda- sang suami tidak memberi nafkah kepada isterinya selama 30 tahun. Namun seperti yang saya katakan di atas, isteri tidak memiliki hak untuk menjatuhkan thalak. Bila dia tidak ridha dengan kondisi seperti itu, lalu dia ingin memutuskan tali pernikahan, maka dia harus mengajukan gugatan ke pengadilan. Bila gugatannya disetujui hakim, barulah jatuh talak. Atau, dia bisa meminta suami untuk menceraikannya. Bila suami menyetujuinya dan kemudian menjatuhkan talak, saat itu barulah jatuh talak.

Jadi seorang isteri tidak bisa menceraikan suaminya seorang diri, apalagi tanpa sepengetahuan suami seperti yang Anda katakan di atas, kecuali bila dia mengajukan gugatan ke pengadilan dan gugatannya itu disetujui oleh hakim.

Dalam kasus yang Anda tanyakan, saya tidak melihat adanya salah satu dari kedua hal yang saya sebutkan pada paragraph sebelumnya, yang dapat menyebabkan jatuhnya talak. Karena itu, -menurut hukum Islam- sepasang suami isteri tersebut masih terikat dalam ikatan pernikahan yang sah, sehingga sah-sah saja bila mereka masih tinggal satu rumah dan masih tidur satu ranjang.

Namun bila yang Anda maksud dalam pertanyaan di atas adalah bahwa sang isteri telah mengajukan gugatan ke pengadilan karena dia tidak ridha dengan sikap suami yang tidak menafkahinya selama 30 tahun, kemudian gugatan itu disetujui oleh pengadilan hingga jatuhlah talak satu, maka haram hukumnya mereka tinggal satu rumah lagi, apalagi tidur satu ranjang. Wallaahu A’lam….

Rabu, 29 Juni 2011

Hukum Budidaya Kodok Untuk Dijual

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Mau tanya, Pak Ustadz, apa hukum dari memelihara kodok untuk dijual, halal atau haram? Terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

A-….

Jawaban:

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.

Hukum memelihara kodok untuk dijual sangat tergantung pada hukum kodok itu sendiri. Bila Anda meyakini bahwa kodok itu haram, maka memeliharanya untuk dijual juga haram. Demikian pula sebaliknya, bila Anda meyakini bahwa kodok itu halal, maka memeliharanya untuk dijual juga halal. Sengaja saya menggunakan kata "Bila Anda meyakini", karena dalam masalah hukum kodok, ada dua pendapat seperti yang pernah saya bahas pada konsultasi berjudul "Apakah Kodok Halal?". Berikut kutipannya:

“Sama seperti hukum kepiting, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum swike atau kodok. Sebagian besar ulama mengharamkan kodok dengan dalil hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Utsman Al-Quraisy:


Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Utsman Al-Quraisy, bahwa ada seorang tabib (dokter) yang bertanya kepada Rasulullah saw. tentang kodok yang dipergunakan dalam campuran obat, maka Rasulullah saw. melarang membunuhnya. (HR Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa’i).

Berdasarkan hadits ini, para ulama mengharamkan kodok. Sebab dalam hadits tersebut, Rasulullah saw. melarang untuk membunuhnya. Sebuah kaidah mengatakan bahwa hewan-hewan yang dilarang untuk dibunuh, hukumnya haram dimakan. Seandainya boleh dimakan, niscaya Rasulullah tidak akan mengeluarkan larangan tersebut. Ada juga ulama yang mengharamkan kodok, karena bagi kebanyakan orang, kodok termasuk ke dalam katagori hewan yang menjijikkan. Ada pula yang mengharamkannya karena kodok termasuk binatang yang bisa hidup di dua alam.

Berbeda dengan ulama di atas, Imam Malik menghalalkan hewan kodok. Imam Malik berpendapat seperti itu karena hadits di atas tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa kodok termasuk hewan yang najis atau diharamkan. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan, selama tidak ada nash atau dalil yang secara jelas mengharamkan binatang tertentu, maka hukumnya halal dan boleh dimakan.

Tetapi perlu diingat, bila sudah diketahui bahwa ada jenis kodok yang mengandung racun, maka hukumnya haram. Sebab, binatang seperti itu merupakan binatang yang membahayakan manusia. Padahal segala sesuatu yang membahayakan manusia, dihukumi sebagai sesuatu yang haram.

Pertanyaannya, kita mau ikut pendapat yang mana? Apakah pendapat pertama yang mengharamkan kodok ataukah pendapat kedua yang menghalalkannya? Menurut saya, semua kembali kepada masing-masing individu. Yang terpenting, kita tahu alasan atau dasar hukumnya. Sebab, permasalahan seperti ini merupakan permasalahan ijtihadi yang tidak patut dibesar-besarkan, apalagi dijadikan alasan untuk menyudutkan satu kelompok Islam hingga menyebabkan terjadinya perselisihan atau perpecahan di kalangan umat Islam.”

Mengenai hukum budidaya kodok, MUI sendiri membolehkannya selama tujuan budi daya itu hanya untuk diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Karena menurut MUI, mengutip masalah jumhur ulama, semua binatang yang hidup tidak najis, dan boleh dimanfaatkan kulitnya (dimasak), kecuali anjing dan babi. Wallaahu A’lam….

Kamis, 16 Juni 2011

Suami Impoten, Isteri Tuntut Cerai

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pertanyaan saya singkat saja, Pak Ustadz. Bolehkah seorang isteri menuntut cerai bila tiba-tiba suaminya menderita impoten, padahal dulunya tidak? Apakah bila dia menuntut cerai, dia akan dikatagorikan sebagai wanita yang munafik? Syukron katsiron atas jawabannya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

X-…

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudari X yang saya hormati, di antara tujuan pernikahan –seperti yang sering kita dengar- adalah untuk membangun rumah tangga yang dilandasi oleh perasaan cinta, sayang dan tenteram. Hal ini seperti ditegaskan ALLAH swt. dalam firman-Nya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Ruum [30 ]: 21)

Namun dalam perjalanan mengarungi bahtera rumah tangga seringkali muncul ombak-ombak besar yang mungkin akan mempengaruhi kondisi psikologis salah satu pihak, atau bahkan kedua-duanya. Hal ini biasanya menyebabkan salah satu pihak akan mengambil keputusan (atau meminta) untuk tidak meneruskan perjalanan tersebut. Salah satu ombak besar yang saya maksud adalah munculnya penyakit impoten yang diderita suami.

Dalam banyak kasus, kondisi seperti itu memang akan mempengaruhi keharmonisan rumah tangga. Hal ini disebabkan karena kebutuhan akan seks bukan hanya milik laki-laki, tetapi juga milik perempuan. Karena itulah maka Islam sangat memperhatikan hal tersebut, bahkan mengatagorikannya sebagai hak isteri yang harus diperhatikan oleh suami. Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah bertanya kepada Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash: “Wahai Abdullah, aku mendengar berita bahwa kamu bangun di malam hari dan berpuasa di siang hari, benarkah itu?" Abdullah bin ‘Amr menjawab: "Benar." Rasulullah saw. pun bersabda: "Jangan kamu lakukan itu; tetapi tidur dan bangunlah, berpuasa dan berbukalah, karena sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atas dirimu, kedua matamu memiliki hak atas dirimu, tamumu memiliki hak atas dirimu, dan istrimu memiliki hak atas dirimu.” (HR. Bukhari)

Bahkan masalah impotensi ini telah dibahas oleh para ahli fikih zaman dulu. Setidaknya, ada dua pendapat mengenai hal tersebut:

  1. Bila suami impoten, maka tidak jatuh faskh (pembatalan pernikahan). Ini adalah pendapat Hakam bin ‘Uyainah dan Daud yang didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, bahwa dia berkata: “Suatu ketika isteri Rifa'ah datang menemui Nabi saw. Ia berkata : ‘Dulu aku adalah isteri Rifa'ah, tetapi dia telah menceraikanku dengan talak tiga. Setelah itu aku menikah dengan ‘Abdurrahman bin Zubair, akan tetapi sesuatu yang ada padanya seperti hudbatuts-tsaub (ujung kain) (maksudnya, terlalu lembek sehingga tidak bisa digunakan untuk berhubungan badan-ed).’ Rasulullah saw. pun tersenyum mendengarnya, lalu beliau bersabda : ‘Apakah kamu ingin kembali kepada Rifa'ah? Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya (Abdurrahman) dan ia pun merasakan madumu….’” (HR. Muslim)
  2. Impotensi merupakan aib (cacat) yang dapat menyebabkan jatuhnya faskh, tentunya setelah si suami diberi tenggang waktu untuk mencoba melakukan hubungan intim lagi, agar terbukti bahwa dirinya benar-benar impoten. Pendapat ini merupakan pendapat Umar, Utsman, Mughirah bin Tsu’bah, Sa’id bin Musayyab, Atha`, serta para ulama berikutnya termasuk Imam Hanafi, Maliki dan Syafi’i. Menurut mereka, hadits yang diriwayatkan Muslim tersebut tidak menunjukkan bahwa laki-laki tersebut impoten, karena jika benar-benar impoten, maka Rasulullah tidak mungkin mengatakan “Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya (Abdurrahman) dan ia pun merasakan madumu….” Sebab, orang yang benar-benar impoten tidak mungkin dapat mewujudkan hal tersebut. Hal ini juga diperkuat oleh beberapa riwayat lain yang menunjukkan bahwa wanita tersebut berdusta karena ingin kembali kepada suaminya yang pertama.

Saya pribadi lebih cenderung pada pendapat kedua. Karena itu, -menurut saya- isteri berhak untuk menentukan pilihan, apakah dia akan meneruskan perjalanan bahtera rumah tangganya ataukah tidak. Hal ini disebabkan karena hubungan seksual termasuk salah satu tiang penting dalam membina rumah tangga. Namun dalam hal ini, isteri tetap dituntut untuk bijaksana. Jika memang hanya masalah ini yang menjadi penghambat keharmonisan rumah tangga, maka dia harus memberikan kesempatan kepada suaminya untuk berobat, karena bisa jadi penyakit tersebut hanya bersifat sementara. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud: “Diberikan waktu satu tahun. Apabila ia mampu mendatangi (mampu menjimai kembali) istrinya, (maka pernikahan itu diteruskan). Jika tidak, maka (boleh) dipisahkan (cerai) antara keduanya.” (HR Daruquthni) Bahkan alangkah mulianya lagi bila ternyata isteri tidak mau menggunakan haknya sama sekali atau dia terus memberikan dukungan moral dan doa agar suaminya sembuh dari penyakit tersebut, karena yang dia butuhkan hanyalah cinta dan kasih sayang suami, atau mungkin karena pertimbangan lain seperti karena pertimbangan anak.

Namun, bila ternyata penyakit impoten yang diderita suami tidak kunjung sembuh, meskipun sudah diberi tenggang waktu untuk berobat, sementara si isteri tidak tahan dengan kondisi seperti itu, maka dia berhak menggunakan haknya, dan dia tidak dikatagorikan sebagai wanita munafik seperti yang disebutkan dalam hadits Nabi saw.: “Para istri yang minta cerai (pada suaminya) adalah wanita-wanita munafik.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud). Dalam kondisi seperti ini, hakim pun berhak untuk menjatuhkan faskh. Wallahu A’lam…

Sabtu, 11 Juni 2011

Surat Rumah Warisan Ayah Atas Nama Ibu

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Begini Pak Ustadz, saya ingin menanyakan beberapa hal mengenai (harta) waris:

1. Apa definisi dari (harta) waris itu?
2. Apa sajakah yang termasuk (harta) waris itu?
3. Jika surat-surat rumah atau tanah peninggalan ayah semuanya atas nama ibu (ibu masih ada / belum meninggal), apakah juga termasuk (harta) waris ayah? Sebab, sampai sekarang ibu beranggapan bahwa jika surat-surat rumah dan tanah itu atas namanya, maka rumah dan tanah itu telah menjadi miliknya dan tidak termasuk (harta) waris.
4. Apakah hukumnya jika (harta) waris tersebut dijual tanpa sepengetahuan salah seorang anak, meskipun anak-anak yang lain mengetahuinya?

Mohon penjelasannya Ustadz, sebelumnya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
A-…..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara A yang saya hormati, saya akan mencoba menjawab pertanyaan Anda satu persatu:
  1. Definisi harta waris: Menurut bahasa, harta waris (atau dalam bahasa arabnya “al-miiraats”) berasal dari kata waratsa yaritsu irtsan miiraatsan, yang berarti “berpindahnya sesuai dari seseorang kepada orang lain, atau dari satu kaum kepada kaum yang lain”. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan waris atau miiraats adalah berpindahnya hak kepemilikan atas sesuatu dari orang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup.

  2. Berdasarkan pengertian di atas, maka yang termasuk katagori harta waris adalah segala sesuatu yang menjadi hak milik orang yang meninggal dunia, baik berupa materi seperti uang, rumah, tanah dan lain-lain, ataupun berupa hak dan manfaat seperti hak cipta dari suatu karya, manfaat dari rumah yang disewakan dan lain-lain. Khusus untuk harta yang berupa “hak dan manfaat” ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah ia bisa diwariskan ataukah tidak.

  3. Jawaban dari pertanyaan ketiga hampir sama dengan jawaban yang saya berikan pada konsultasi berjudul “Curhat Soal Warisan Orangtua”. Dalam konsultasi tersebut, saya menegaskan bahwa berdasarkan kaidah, “An-Naasu yahkumuuna bizh-zhawaahir wallaahu yahkumu bil-bawaathin” (Manusia menghukumi sesuatu berdasarkan hal-hal yang sifatnya lahiriah [bukti-bukti fisik], sedangkan Allah menghukumi sesuatu berdasarkan hal-hal yang sifatnya batiniyah), maka semestinya rumah dan tanah tersebut telah menjadi hak milik ibu, bukan ayah. Namun di kalangan masyarakat kita, terkadang pencantuman nama isteri dalam sertifikat tanah atau rumah suami hanya bersifat formalitas belaka, yang salah satu tujuannya untuk menghindari atau meminimalisir pajak. Jadi, pencantuman tersebut tidak berpengaruh terhadap pemindahan hak milik dari suami kepada isteri, karena pada saat pengurusan surat itu sebenarnya suami tidak berniat untuk menghibahkannya kepada sang isteri. Karenanya, perlu dicek kembali apakah ayah benar-benar telah menghibahkan rumah dan tanah tersebut kepada ibu dengan bukti pencantuman nama ibu dalam sertifikat tersebut, ataukah pencantuman itu hanya formalitas belaka? Kedua hal tersebut jelas memiliki implikasi yang sangat berbeda. Bila ayah benar-benar telah menghibahkannya kepada ibu, maka tanah tersebut telah menjadi milik ibu sehingga ia tidak menjadi harta warisan ayah saat ayah meninggal dunia. Ia hanya akan menjadi harta waris setelah ibu meninggal dunia. Namun, bila ternyata ayah belum menghibahkannya kepada ibu, maka ia termasuk harta waris dari sang ayah yang harus dibagikan kepada semua ahli waris yang ada, termasuk ibu (isteri ayah) dan anak-anaknya. Hal itu disebabkan karena pembicaraan mengenai harta (termasuk harta waris) tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai hak milik; siapa yang memiliki harta tersebut?

  4. Bila ada harta waris yang dijual oleh orangtua (ayah atau ibu yang masih hidup) tanpa sepengetahuan salah seorang anaknya (padahal anak tersebut sudah baligh dan dianggap mampu memanage sendiri harta miliknya), maka tindakan tersebut merupakan tindakan yang melanggar aturan Islam. Sebab dalam kondisi seperti itu, terutama bila masing-masing ahli waris belum mendapatkan kepastian bagiannya, maka semua ahli waris masih berserikat atas kepemilikan harta tersebut. Oleh karena itu, bila ada salah seorang ahli waris yang ingin menjualnya, dia harus memberitahukannya kepada semua ahli waris yang berserikat atas kepemilikan harta tersebut. Hal ini perlu diperhatikan karena persoalan warisan merupakan persoalan yang sangat sensitif, yang dapat merusak hubungan antara seseorang dengan kerabatnya, saudaranya atau bahkan dengan orangtuanya sendiri. Karena itu, hendaknya seorang Muslim mengikuti aturan-aturan waris yang telah ditetapkan oleh Islam. Saran saya, bicarakan baik-baik mengenai hal ini kepada ibu. Mudah-mudahan Anda akan mendapatkan solusi yang terbaik dan sesuai aturan syariat. Wallaahu A’lam….
Fatkhurozi

Minggu, 05 Juni 2011

Sengketa Tanah Warisan Ayah

Sengketa Tanah Warisan Ayah
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya punya surat tanah warisan orangtua (ayah). Di dalam surat tanah tersebut tertulis nama almarhum ayah saya sebagai pemiliknya. Sekarang di atas tanah tersebut didirikan pasar, dan selama ini saya yang ambil uang pasarnya.
Namun belum lama ini, kakak ayah saya datang kepada saya. Dia menyuruh saya untuk menyerahkan surat tanah tersebut kepadanya, karena –menurutnya- tanah itu adalah milik orangtuanya (kakek saya). Lalu dia akan mengusir saya bila saya tidak menyerahkan surat tanah tersebut kepadanya. Menurut Pak Ustadz, bagaimana solusi yang terbaik? Apakah kakak ayah saya itu memang berhak mendapat bagian? Lalu andaikata tanah itu benar milik orangtuanya (kakek saya), apakah saya juga berhak mendapat bagian. Mohon jawabannya, Pak Ustadz!
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Y-….
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara Y yang saya hormati, menurut hukum waris Islam, bila ada anak laki-laki maka paman (saudara ayah) akan menjadi mahjub (terhalang), alias dia tidak berhak menerima bagian dari harta waris yang ditinggalkan ayah Anda. Jadi, secara hukum, posisi Anda lebih kuat daripada paman Anda. Apalagi surat tanah tersebut atas nama ayah Anda. Artinya, bila masalah ini dibawa ke pengadilan agama, maka kemungkinan besar Anda bisa menang.
Namun, ada kebiasaan di masyarakat kita, dimana mereka biasa meminjam nama orang lain dalam surat-surat penting. Ada kemungkinan kakek Anda (sebelum meninggal), menghibahkan harta itu untuk anak-anaknya, hanya saja diatasnamakan satu orang (yaitu ayah Anda). Atau bisa jadi, setelah kakek Anda meninggal, ahli-ahli waris yang ada (termasuk ayah dan paman Anda) tidak langsung membagi tanah peninggalan kakek Anda itu. Mereka sepakat untuk berserikat atas tanah tersebut, namun hanya nama ayah Anda saja yang disebutkan dalam surat tanah tersebut. Menurut analisa saya, salah satu dari dua kemungkinan inilah yang dijadikan alasan paman Anda untuk merebut surat tanah tersebut dari Anda. Kemungkinan seperti itu bisa saja terjadi, walaupun secara hukum sangat tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan terjadinya perselisihan di kemudian hari.
Karena itu, ada baiknya Anda cari informasi terlebih dahulu, apakah ada wasiat dari ayah Anda mengenai status kepemilikan harta tersebut, atau adakah bukti-bukti atau saksi-saksi yang menyatakan bahwa sebenarnya harta itu adalah harta kakek Anda yang diwariskan kepada anak-anaknya, hanya saja menggunakan nama ayah Anda. Bila memang ada bukti-bukti yang memperkuat perkataan paman Anda, maka cobalah bicarakan masalah ini baik-baik dengan paman Anda. Walau bagaimana pun, Anda masih punya hak di sana, yaitu hak waris dari bagian waris yang seharusnya diterima ayah Anda dari sang kakek (tentunya ini sangat tergantung pada kondisi dan jumlah ahli waris dari kakek Anda).
Namun bila tidak ada wasiat mengenai status kepemilikan harta tersebut dan tidak ada pula bukti-bukti ataupun saksi-saksi, maka 100% Anda dan saudara-saudara Anda (kalau ada) berhak atas harta tersebut, dan sama sekali tidak ada hak sang paman. Bila memang demikian adanya, sebaiknya selesaikan masalah ini secara kekeluargaan terlebih dahulu. Jelaskan baik-baik kepada paman Anda mengenai status kepemilikan tanah tersebut dan mengenai hukum waris yang berkaitan dengannya (seperti yang telah saya jelaskan di atas). Bila perlu, hadirkan tokoh masyarakat atau tokoh agama yang disegani paman Anda. Namun bila dia masih bersikeras, maka Anda bisa saja mengajukan masalah ini ke pengadilan agama bila Anda tidak ridha terhadap apa yang dilakukan paman Anda. Wallaahu A'lam....
Fatkhurozi

Zakat Untuk Orangtua Yang Sudah Meninggal

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, saya mau tanya; Orang tua kami (ayah) sudah meninggal dunia sekitar 2 bulan yang lalu. Saya pribadi sebagai anak tertua, berkeinginan untuk mengeluarkan zakat harta ayahanda sebelum harta waris yang ditinggalkan dibagi kepada ahli waris yang berhak menerima. Hal itu saya lakukan karena saya khawatir barangkali ayahanda belum menunaikan kewajiban untuk mengeluarkan zakat hartanya itu, sementara beliau tidak meninggalkan pesan mengenai hal itu. Apakah yang ingin saya lakukan itu dibolehkan? Terima kasih sebelumnya atas jawaban dan penjelasan yang Ustadz berikan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

N-….



Jawaban:



Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudara N yang saya hormati, memang tidak ada dalil yang secara khusus menjelaskan tentang kewajiban membayar zakat bagi orang yang sudah meninggal dunia. Yang ada hanyalah dalil-dalil yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban lain, seperti kewajiban haji, kewajiban puasa, kewajiban membayar kaffarah dan kewajiban membayar hutang. Sementara di satu sisi, ada dalil yang menyatakan bahwa semua amal perbuatan manusia akan terputus bila dia telah meninggal dunia, yaitu sabda Nabi saw. : “Apabila seorang anak cucu Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakannya." (HR. Muslim) Dari sini, maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai permasalahan yang Anda tanyakan, ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan. Ulama yang tidak membolehkan lebih mendasarkan pendapatnya pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim tersebut.

Sementara ulama yang membolehkan berpendapat bahwa harta orang yang sudah meninggal harus dikeluarkan zakatnya apabila kewajiban untuk mengeluarkan zakat itu belum dilakukan olehnya, dan hal ini harus dilakukan sebelum pembagian harta waris. Dalam hal ini, kewajiban membayar zakat disamakan dengan kewajiban membayar hutang, karena pada hakekatnya bila seseorang belum membayar zakat, maka dia dianggap berhutang kepada ALLAH. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw. dan berkata: “Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia sementara masih ada kewajiban puasa yang belum ditunaikannya, apakah saya boleh menggantikan puasa untuknya?” Rasulullah saw. pun menjawab: “Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki hutang, apakah engkau akan membayarkannya?” Orang itu menjawab: “Ya, saya akan membayarnya.” Rasulullah saw. bersabda: “Hutang kepada ALLAH lebih berhak untuk dibayarkan.” (HR. Muslim)

Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama, baik dari kalangan madzhab Syafi’i, Maliki ataupun Hanbali. Pendapat ini juga dianut oleh Ibnu Qutaibah, menurutnya: “Jika seseorang meninggal dunia sementara ada kewajiban zakat yang belum ia tunaikan, maka hendaklah zakat itu diambil dari harta peninggalannya.” Saya pribadi lebih condong pada pendapat yang membolehkan, Wallaahu A’lam….

Source: www.ddtravel.co.id

Kamis, 19 Mei 2011

Nikah Dengan Syarat Yang Memberatkan

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ustadz, saya mau bertanya tentang hukum pernikahan. Ada seorang teman wanita yang Alhamdulillah sudah seperti keluarga saya sendiri. Kebetulan sekarang dia sedang ada masalah. Dia menikah sudah sekitar satu tahun lebih, dan sekarang sudah dikaruniai seorang putera.

Beberapa minggu terakhir ini dia dan suaminya meninggalkan rumah ibunya karena ada perselisihan antara suaminya dengan ibunya. Awalnya dia dan ibunya tinggal di Bekasi, sementara suaminya tinggal dan bekerja di daerah Bogor. Si suami ingin agar anak istrinya ikut tinggal di Bogor, karena suami merasa sudah capek harus pulang setiap akhir bulan. Namun sang ibu melarang dengan dalih bahwa sudah ada perjanjian sebelum menikah, yang menyatakan bahwa si isteri harus tinggal bersama ibunya meski suami bekerja dan tinggal di luar kota.

Adapun alasan mengapa suami ingin mengajak isterinya tinggal bersamanya, antara lain sebagai berikut:

1. Karena kebutuhan nafkah bathin.

2. Kerinduannya kepada sang anak yang sering mengganggu konsentrasinya dalam bekerja.

3. Merasa sudah tidak mampu menahan godaan dari luar (kebutuhan bathin).

4. Jarak yang jauh, sehingga menambah biaya hidup untuk ongkos pulang.

Yang saya tanyakan, apakah dibenarkan adanya perjanjian seperti yang dikemukakan oleh si ibu sebelum menikah? Saya mohon bimbingannya, ya Ustadz. Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

R-….

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudara R yang saya hormati, model pernikahan dengan perjanjian seperti itu memang ada dalam kajian Ilmu Fikih. Bahkan sebagian ulama membolehkannya selama syarat yang ditetapkan tidak bertentangan dengan ketentuan syariat. Di antara ulama yang membolehkan pernikahan dengan syarat setelah pernikahan si isteri tidak diajak pindah ke negeri lain atau pindah rumah adalah Syaikh Muhammad bin Ibrahim.

Menurutnya, bila seorang wanita dan walinya sepakat untuk tidak melangsungkan pernikahan kecuali dengan syarat seperti itu, maka syarat tersebut sah dan harus dipenuhi. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Uqbah bin Amr bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya syarat-syarat yang paling berhak dipenuhi adalah syarat yang telah kamu sepakati dalam pernikahan."

Dalam sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Atsram disebutkan bahwa ada seorang laki-laki yang menikah dengan seorang wanita, dimana wali wanita tersebut mensyaratkan puterinya tetap tinggal bersama keluarganya. Tetapi suatu saat, sang suami ingin mengajak isterinya pindah. Melihat itu, keluarga si isteri pun melaporkan hal tersebut kepada Umar bin Khathab. Beliau pun membenarkan syarat tersebut. Namun bila si isteri rela diajak untuk pindah, maka sang suami boleh membawa pindah. [(Fatawa wa Rasail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Juz 10/143)

Namun Imam Hanafi dan Imam Syafi’i tidak membolehkan syarat seperti itu, karena menurut mereka berdua syarat yang dibolehkan dalam akad pernikahan hanyalah syarat yang memang pada dasarnya merupakan bagian dari akad nikah, seperti syarat agar suami menafkahi isterinya, syarat agar memperlakukannya dengan baik dan lain sebagainya. Sedangkan syarat-syarat yang tidak termasuk bagian dalam akad nikah, meskipun di dalamnya terdapat manfaat bagi salah satu pihak, seperti syarat agar isteri tidak dimadu, syarat agar isteri tidak dibawa keluar rumah (pindah rumah), serta syarat-syarat lainnya yang sejenis, dianggap sebagai syarat yang batil, tidak harus dipenuhi dan tidak mempengaruhi sah tidaknya akad nikah yang dilakukan.

Letak perbedaan antara kedua pendapat tersebut sebenarnya lebih pada batasan mana syarat yang dianggap sah dan mana syarat yang dianggap batil. Menurut saya, pendapat kedua lebih tepat dan lebih cocok dengan kondisi kehidupan sekarang yang lebih kompleks. Pernikahan dengan syarat agar si isteri tidak boleh pindah rumah (padahal terkadang suami harus tinggal di luar kota atau -bahkan- di luar negeri) dapat menyebabkan berbagai masalah dalam rumah tangga, yang pada akhirnya dapat menyebabkan retaknya hubungan rumah tangga dan juga terdorongnya seseorang untuk melakukan perbuatan yang tidak diridhai ALLAH swt.. Masalah-masalah yang dimaksud di antaranya adalah seperti yang Anda pada poin alasan mengapa suami isterinya tinggal bersamanya.

Namun meskipun saya lebih menyarankan kepada teman Anda untuk mengikuti pendapat kedua, ada baiknya masalah ini diselesaikan secara baik-baik (secara kekeluargaan) sehingga tidak menimbulkan perselisihan antara orangtua dengan anaknya. Sebab walau bagaimanapun, teman Anda itu harus tetap menghormati orangtuanya, meskipun dia sudah menjadi isteri orang lain. Saya yakin, selalu ada solusi yang terbaik bila kita mau berusaha menyelesaikan masalah dengan akal yang jernih tanpa dibarengi dengan emosi. Wallaahu A’lam….(Fz)

Source: www.ddtravel.co.id

Senin, 09 Mei 2011

Sebuah Dilema: Ibu Atau Suami?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ustadz, ada sepasang suami isteri yang awalnya begitu bahagia, meskipun suami belum memiliki pekerjaan yang mapan. Melihat kondisi pekerjaan suami yang masih serabutan, sang isteri terus menyemangati suaminya agar lebih giat dalam mencari nafkah. Namun akhir-akhir ini kebahagiaan sepasang suami isteri itu mulai pudar akibat campur tangan orangtua si isteri yang kebetulan secara materi lebih mapan.

Awalnya orangtua isteri begitu prihatin melihat kondisi kehidupan anak dan menantunya yang tergolong belum mapan dan masih sering kekurangan, sehingga setiap bulan dia masih memberikan subsidi kepada keduanya. Namun saat ada masalah antara suami isteri tersebut, orangtua si isteri membela anaknya dan mengungkit-ungkit semua pemberian (subsidi) yang selama ini dia berikan, padahal sebenarnya masalahnya tidak terlalu besar dan bisa diselesaikan dengan baik. Sekarang orangtua isteri sudah membenci menantunya sendiri karena –menurutnya- menantunya itu tidak bisa apa-apa dan hanya bisa numpang hidup kepadanya. Dia pun selalu menjelek-jelekkan menantunya di depan anaknya sendiri. Karena sikap orangtua si isteri itulah, sang suami jadi tersinggung dan merasa dihina.

Pak Ustadz, sekarang si isteri sedang dalam dilema, apakah dia harus berada pada pihak orangtua (ibu)nya ataukah suaminya? Setiap malam, dia selalu menangis karena bingung memikirkan apa yang harus dia lakukan. Bila membela sang ibu, dia khawatir dicap durhaka kepada suami, demikian pula sebaliknya. Menurut Ustadz, bagaimana sebaiknya sikap si isteri?? Terima kasih Ustadz.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

T-….

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudari T yang saya hormati, masalah dalam rumah tangga memang akan bertambah rumit dengan adanya campur tangan pihak ketiga yang kurang bijaksana. Bukannya solusi yang didapat, melainkan bertambah runyamnya masalah yang dihadapi, bahkan dapat berujung pada perceraian.

Sebenarnya masalah seperti itu tidak akan terjadi bila orangtua si isteri lebih bijaksana dan benar-benar menginginkan kebahagiaan untuk anaknya. Idealnya saat membantu anak dan menantunya, seharusnya dia melakukannya dengan ikhlas, sehingga itu akan menjadi amal kebaikan yang dapat mendatangkan pahala baginya meskipun bantuan itu diberikan kepada anak dan menantunya sendiri. Tidak sepatutnya dia mengungkit-ungkit kembali pemberian yang telah dilakukan karena hal itu justru akan menggugurkan pahala kebaikan tersebut, sesuai firman ALLAH swt.: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).(QS. Al-Baqarah [2]: 264)

Hal itu juga dapat menjadi pemicu retaknya hubungan rumah tangga anaknya, apalagi bila hal itu dilakukan di saat sedang ada masalah antara anaknya dengan menantunya sendiri.

Masalah seperti itu juga tidak akan terjadi bila masing-masing pihak -terutama suami dan isteri- lebih dewasa dalam menghadapi masalah yang terjadi dalam hubungan rumah tangga mereka. Dalam kasus di atas, semestinya mereka menyelesaikan sendiri masalah yang mereka hadapi, tanpa harus melibatkan pihak ketiga. Tentunya hal itu bisa terwujud bila keduanya tetap menjaga kerahasiaan masalah di antara mereka, termasuk kepada orangtua mereka masing-masing, kecuali bila sudah bisa diselesaikan dengan baik. Saya yakin, masalah apapun bisa terselesaikan secara damai selama kedua belah pihak (suami-isteri) tidak mempertahankan egonya masing-masing dan tidak menggunakan emosi ataupun perasaannya secara berlebihan.

Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan tadi bisa dijadikan acuan bagi siapa saja yang menginginkan keutuhan rumah tangganya termasuk sepasang suami isteri yang Anda ceritakan di atas, tentunya bila nantinya ALLAH menghendaki mereka berdua bisa ishlah kembali dan berhasil melewati masalah tersebut dengan baik.

Saudari T yang saya hormati, kunci solusi dari masalah yang Anda tanyakan sebenarnya ada pada diri si isteri. Dia harus bisa memainkan peran sebagai mediator atau penengah yang baik. Tentunya hal itu akan terwujud bila dia tidak terus larut dalam perasaan dan kebingungannya. Menurut saya, tidak ada yang perlu dibingungkan atau dianggap sebagai dilema, karena dua-duanya baik ibu ataupun suami merupakan dua orang yang harus dihormati dan ditaati olehnya. Jadi permasalahan yang sesungguhnya bukan terletak pada siapa yang harus dibela dan diikuti perkataannya, tetapi lebih pada bagaimana cara untuk mendamaikan keduanya?

Menurut saya, cara yang terbaik adalah dengan melakukan pendekatan emosional, baik dengan suami maupun dengan ibu. Sebelum si isteri mendamaikan antara suaminya dengan ibunya, dia harus berbicara dari hati ke hati dengan suaminya terlebih dahulu. Dia harus melakukannya secara dewasa dengan mengenyampingkan emosi dan perasaannya. Pada saat itu, dia harus menunjukkan komitmennya untuk tetap mempertahankan bahtera rumah tangganya (terutama demi anak bila sudah ada anak) dan untuk merajut kembali “benang” kebahagiaan yang saat ini sedikit terurai. Bila suami mau menerima ishlah dengan ibu mertuanya, bila perlu suami dan isteri tersebut membuat komitmen-komitmen baru yang tujuannya untuk meminimalisir terjadinya hal serupa di masa-masa mendatang.

Si isteri juga harus berbicara dari hati ke hati dengan ibunya. Dia harus berusaha mengambil hati sang ibu sehingga beliau mau menerima menantunya apa adanya, sebagaimana beliau dulu mau menerimanya sebagai menantu. Saya yakin, hati seorang ibu lebih mudah untuk ditaklukkan karena pada hakekatnya semua ibu menginginkan hal yang terbaik untuk anaknya (termasuk kebahagiaan). Tentunya jangan lupa untuk senantiasa memohon pertolongan ALLAH swt..

Belum lama ini, ada yang konsultasi kepada saya dengan masalah yang hampir sama dengan masalah di atas, namun lebih rumit dan tinggal selangkah lagi menuju gerbang perceraian. Kebetulan yang tersinggung adalah pihak isteri dan ibunya sehingga terjadi konflik antara si isteri dan ibunya dengan orangtua (ayah dan ibu) suaminya. Alhamdulillah dengan izin ALLAH, dengan saran yang intinya tidak jauh berbeda dengan apa yang saya sampaikan di atas, sepasang suami isteri itu kembali hidup rukun. Konflik antara si isteri dengan orangtua suaminya pun sudah terselesaikan dengan baik. Wallaahu A’lam….
Source: www.ddtravel.co.id