Kamis, 19 Mei 2011

Nikah Dengan Syarat Yang Memberatkan

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ustadz, saya mau bertanya tentang hukum pernikahan. Ada seorang teman wanita yang Alhamdulillah sudah seperti keluarga saya sendiri. Kebetulan sekarang dia sedang ada masalah. Dia menikah sudah sekitar satu tahun lebih, dan sekarang sudah dikaruniai seorang putera.

Beberapa minggu terakhir ini dia dan suaminya meninggalkan rumah ibunya karena ada perselisihan antara suaminya dengan ibunya. Awalnya dia dan ibunya tinggal di Bekasi, sementara suaminya tinggal dan bekerja di daerah Bogor. Si suami ingin agar anak istrinya ikut tinggal di Bogor, karena suami merasa sudah capek harus pulang setiap akhir bulan. Namun sang ibu melarang dengan dalih bahwa sudah ada perjanjian sebelum menikah, yang menyatakan bahwa si isteri harus tinggal bersama ibunya meski suami bekerja dan tinggal di luar kota.

Adapun alasan mengapa suami ingin mengajak isterinya tinggal bersamanya, antara lain sebagai berikut:

1. Karena kebutuhan nafkah bathin.

2. Kerinduannya kepada sang anak yang sering mengganggu konsentrasinya dalam bekerja.

3. Merasa sudah tidak mampu menahan godaan dari luar (kebutuhan bathin).

4. Jarak yang jauh, sehingga menambah biaya hidup untuk ongkos pulang.

Yang saya tanyakan, apakah dibenarkan adanya perjanjian seperti yang dikemukakan oleh si ibu sebelum menikah? Saya mohon bimbingannya, ya Ustadz. Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

R-….

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudara R yang saya hormati, model pernikahan dengan perjanjian seperti itu memang ada dalam kajian Ilmu Fikih. Bahkan sebagian ulama membolehkannya selama syarat yang ditetapkan tidak bertentangan dengan ketentuan syariat. Di antara ulama yang membolehkan pernikahan dengan syarat setelah pernikahan si isteri tidak diajak pindah ke negeri lain atau pindah rumah adalah Syaikh Muhammad bin Ibrahim.

Menurutnya, bila seorang wanita dan walinya sepakat untuk tidak melangsungkan pernikahan kecuali dengan syarat seperti itu, maka syarat tersebut sah dan harus dipenuhi. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Uqbah bin Amr bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya syarat-syarat yang paling berhak dipenuhi adalah syarat yang telah kamu sepakati dalam pernikahan."

Dalam sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Atsram disebutkan bahwa ada seorang laki-laki yang menikah dengan seorang wanita, dimana wali wanita tersebut mensyaratkan puterinya tetap tinggal bersama keluarganya. Tetapi suatu saat, sang suami ingin mengajak isterinya pindah. Melihat itu, keluarga si isteri pun melaporkan hal tersebut kepada Umar bin Khathab. Beliau pun membenarkan syarat tersebut. Namun bila si isteri rela diajak untuk pindah, maka sang suami boleh membawa pindah. [(Fatawa wa Rasail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Juz 10/143)

Namun Imam Hanafi dan Imam Syafi’i tidak membolehkan syarat seperti itu, karena menurut mereka berdua syarat yang dibolehkan dalam akad pernikahan hanyalah syarat yang memang pada dasarnya merupakan bagian dari akad nikah, seperti syarat agar suami menafkahi isterinya, syarat agar memperlakukannya dengan baik dan lain sebagainya. Sedangkan syarat-syarat yang tidak termasuk bagian dalam akad nikah, meskipun di dalamnya terdapat manfaat bagi salah satu pihak, seperti syarat agar isteri tidak dimadu, syarat agar isteri tidak dibawa keluar rumah (pindah rumah), serta syarat-syarat lainnya yang sejenis, dianggap sebagai syarat yang batil, tidak harus dipenuhi dan tidak mempengaruhi sah tidaknya akad nikah yang dilakukan.

Letak perbedaan antara kedua pendapat tersebut sebenarnya lebih pada batasan mana syarat yang dianggap sah dan mana syarat yang dianggap batil. Menurut saya, pendapat kedua lebih tepat dan lebih cocok dengan kondisi kehidupan sekarang yang lebih kompleks. Pernikahan dengan syarat agar si isteri tidak boleh pindah rumah (padahal terkadang suami harus tinggal di luar kota atau -bahkan- di luar negeri) dapat menyebabkan berbagai masalah dalam rumah tangga, yang pada akhirnya dapat menyebabkan retaknya hubungan rumah tangga dan juga terdorongnya seseorang untuk melakukan perbuatan yang tidak diridhai ALLAH swt.. Masalah-masalah yang dimaksud di antaranya adalah seperti yang Anda pada poin alasan mengapa suami isterinya tinggal bersamanya.

Namun meskipun saya lebih menyarankan kepada teman Anda untuk mengikuti pendapat kedua, ada baiknya masalah ini diselesaikan secara baik-baik (secara kekeluargaan) sehingga tidak menimbulkan perselisihan antara orangtua dengan anaknya. Sebab walau bagaimanapun, teman Anda itu harus tetap menghormati orangtuanya, meskipun dia sudah menjadi isteri orang lain. Saya yakin, selalu ada solusi yang terbaik bila kita mau berusaha menyelesaikan masalah dengan akal yang jernih tanpa dibarengi dengan emosi. Wallaahu A’lam….(Fz)

Source: www.ddtravel.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda