Senin, 09 Mei 2011

Sebuah Dilema: Ibu Atau Suami?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ustadz, ada sepasang suami isteri yang awalnya begitu bahagia, meskipun suami belum memiliki pekerjaan yang mapan. Melihat kondisi pekerjaan suami yang masih serabutan, sang isteri terus menyemangati suaminya agar lebih giat dalam mencari nafkah. Namun akhir-akhir ini kebahagiaan sepasang suami isteri itu mulai pudar akibat campur tangan orangtua si isteri yang kebetulan secara materi lebih mapan.

Awalnya orangtua isteri begitu prihatin melihat kondisi kehidupan anak dan menantunya yang tergolong belum mapan dan masih sering kekurangan, sehingga setiap bulan dia masih memberikan subsidi kepada keduanya. Namun saat ada masalah antara suami isteri tersebut, orangtua si isteri membela anaknya dan mengungkit-ungkit semua pemberian (subsidi) yang selama ini dia berikan, padahal sebenarnya masalahnya tidak terlalu besar dan bisa diselesaikan dengan baik. Sekarang orangtua isteri sudah membenci menantunya sendiri karena –menurutnya- menantunya itu tidak bisa apa-apa dan hanya bisa numpang hidup kepadanya. Dia pun selalu menjelek-jelekkan menantunya di depan anaknya sendiri. Karena sikap orangtua si isteri itulah, sang suami jadi tersinggung dan merasa dihina.

Pak Ustadz, sekarang si isteri sedang dalam dilema, apakah dia harus berada pada pihak orangtua (ibu)nya ataukah suaminya? Setiap malam, dia selalu menangis karena bingung memikirkan apa yang harus dia lakukan. Bila membela sang ibu, dia khawatir dicap durhaka kepada suami, demikian pula sebaliknya. Menurut Ustadz, bagaimana sebaiknya sikap si isteri?? Terima kasih Ustadz.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

T-….

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudari T yang saya hormati, masalah dalam rumah tangga memang akan bertambah rumit dengan adanya campur tangan pihak ketiga yang kurang bijaksana. Bukannya solusi yang didapat, melainkan bertambah runyamnya masalah yang dihadapi, bahkan dapat berujung pada perceraian.

Sebenarnya masalah seperti itu tidak akan terjadi bila orangtua si isteri lebih bijaksana dan benar-benar menginginkan kebahagiaan untuk anaknya. Idealnya saat membantu anak dan menantunya, seharusnya dia melakukannya dengan ikhlas, sehingga itu akan menjadi amal kebaikan yang dapat mendatangkan pahala baginya meskipun bantuan itu diberikan kepada anak dan menantunya sendiri. Tidak sepatutnya dia mengungkit-ungkit kembali pemberian yang telah dilakukan karena hal itu justru akan menggugurkan pahala kebaikan tersebut, sesuai firman ALLAH swt.: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).(QS. Al-Baqarah [2]: 264)

Hal itu juga dapat menjadi pemicu retaknya hubungan rumah tangga anaknya, apalagi bila hal itu dilakukan di saat sedang ada masalah antara anaknya dengan menantunya sendiri.

Masalah seperti itu juga tidak akan terjadi bila masing-masing pihak -terutama suami dan isteri- lebih dewasa dalam menghadapi masalah yang terjadi dalam hubungan rumah tangga mereka. Dalam kasus di atas, semestinya mereka menyelesaikan sendiri masalah yang mereka hadapi, tanpa harus melibatkan pihak ketiga. Tentunya hal itu bisa terwujud bila keduanya tetap menjaga kerahasiaan masalah di antara mereka, termasuk kepada orangtua mereka masing-masing, kecuali bila sudah bisa diselesaikan dengan baik. Saya yakin, masalah apapun bisa terselesaikan secara damai selama kedua belah pihak (suami-isteri) tidak mempertahankan egonya masing-masing dan tidak menggunakan emosi ataupun perasaannya secara berlebihan.

Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan tadi bisa dijadikan acuan bagi siapa saja yang menginginkan keutuhan rumah tangganya termasuk sepasang suami isteri yang Anda ceritakan di atas, tentunya bila nantinya ALLAH menghendaki mereka berdua bisa ishlah kembali dan berhasil melewati masalah tersebut dengan baik.

Saudari T yang saya hormati, kunci solusi dari masalah yang Anda tanyakan sebenarnya ada pada diri si isteri. Dia harus bisa memainkan peran sebagai mediator atau penengah yang baik. Tentunya hal itu akan terwujud bila dia tidak terus larut dalam perasaan dan kebingungannya. Menurut saya, tidak ada yang perlu dibingungkan atau dianggap sebagai dilema, karena dua-duanya baik ibu ataupun suami merupakan dua orang yang harus dihormati dan ditaati olehnya. Jadi permasalahan yang sesungguhnya bukan terletak pada siapa yang harus dibela dan diikuti perkataannya, tetapi lebih pada bagaimana cara untuk mendamaikan keduanya?

Menurut saya, cara yang terbaik adalah dengan melakukan pendekatan emosional, baik dengan suami maupun dengan ibu. Sebelum si isteri mendamaikan antara suaminya dengan ibunya, dia harus berbicara dari hati ke hati dengan suaminya terlebih dahulu. Dia harus melakukannya secara dewasa dengan mengenyampingkan emosi dan perasaannya. Pada saat itu, dia harus menunjukkan komitmennya untuk tetap mempertahankan bahtera rumah tangganya (terutama demi anak bila sudah ada anak) dan untuk merajut kembali “benang” kebahagiaan yang saat ini sedikit terurai. Bila suami mau menerima ishlah dengan ibu mertuanya, bila perlu suami dan isteri tersebut membuat komitmen-komitmen baru yang tujuannya untuk meminimalisir terjadinya hal serupa di masa-masa mendatang.

Si isteri juga harus berbicara dari hati ke hati dengan ibunya. Dia harus berusaha mengambil hati sang ibu sehingga beliau mau menerima menantunya apa adanya, sebagaimana beliau dulu mau menerimanya sebagai menantu. Saya yakin, hati seorang ibu lebih mudah untuk ditaklukkan karena pada hakekatnya semua ibu menginginkan hal yang terbaik untuk anaknya (termasuk kebahagiaan). Tentunya jangan lupa untuk senantiasa memohon pertolongan ALLAH swt..

Belum lama ini, ada yang konsultasi kepada saya dengan masalah yang hampir sama dengan masalah di atas, namun lebih rumit dan tinggal selangkah lagi menuju gerbang perceraian. Kebetulan yang tersinggung adalah pihak isteri dan ibunya sehingga terjadi konflik antara si isteri dan ibunya dengan orangtua (ayah dan ibu) suaminya. Alhamdulillah dengan izin ALLAH, dengan saran yang intinya tidak jauh berbeda dengan apa yang saya sampaikan di atas, sepasang suami isteri itu kembali hidup rukun. Konflik antara si isteri dengan orangtua suaminya pun sudah terselesaikan dengan baik. Wallaahu A’lam….
Source: www.ddtravel.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda