Sabtu, 25 Desember 2010

Suamiku Selingkuh Dengan Wanita Lain (Part 2)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, bagaimana kabarnya? Maaf sudah mengganggu, saya ingin curhat masalah rumah tangga saya. Saya sudah 6 tahun menikah dan dikaruniai 1 anak laki-laki usia 3 tahun . Pada bulan November tahun 2009 suami saya ketahuan selingkuh dengan seorang gadis. Sewaktu ditanya, ternyata sudah 5 bulan mereka berhubungan. Tetapi pada bulan November itu, suami saya berjanji akan memutuskan hubungannya. Saya pun menemui gadis itu, dan dia pun menyetujuinya. Menurutnya, dia mau berhubungan dengan suami saya karena katanya tinggal menunggu surat cerai, padahal waktu itu rumah tangga kami tidak ada apa-apa.
Setelah ditelusuri, ternyata hubungan mereka masih berlanjut sampai bulan Mei 2010 tahun ini. Sakit sekali hati ini, Pak Ustadz, karena saya sudah 2 kali diselingkuhi. Yang pertama dulu waktu sudah tunangan, suami saya selingkuh. Tapi saya memaafkannya, dan kami pun menikah. Setelah bulan Mei itu, hati saya selalu diselimuti dengan ketidakpercayaan terhadap suami saya. Hati saya selalu tidak tenang, ditambah lagi sikap suami yang tertutup dan selalu pulang malam. Hp-nya pun selalu disembunyikan, hingga bertambahlah rasa curiga saya terhadap suami.
Semua itu mencapai klimaksnya pada bulan November lalu. Saya akhirnya pulang ke rumah orangtua, lalu saya menceritakan semuanya kepada orangtua. Jadi sudah hampir 2 bulan saya berada di rumah orangtua. Yang saya bingungkan sekarang adalah, saya ingin kembali kepada suami tetapi keluarga saya tetap kekeuh agar saya bercerai dengan suami. Semua itu karena suami pernah berjanji tidak akan mengulangi semua kesalahannya, namun ternyata dia mengingkarinya. Bagaimana ini, Pak Ustadz. Tolong saya, bagaimana saya harus berbuat? Saya bingung bagaimana menghadapi keluarga saya? Saya minta solusi dari Pak Ustadz, dan apakah tidak salah jika saya kembali lagi kepada suami? Terimakasih atas perhatian dan waktunya. Semoga ALLAH membalas semua kebaikan Pak Ustadz, amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
X-…

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudari X yang saya hormati, sebelumnya saya mohon maaf atas keterlambatan jawaban yang saya berikan. Saya juga turut prihatin atas masalah yang Anda hadapi. Mudah-mudahan ALLAH memberikan jalan keluar yang terbaik, dan mudah-mudahan ALLAH membuka mata hati suami Anda, amin.

Menyikapi masalah yang Anda hadapi, sebaiknya anda cepat mengambil langkah-langkah ishlah / perbaikan. Jangan berlarut-larut membiarkannya dengan cara tinggal di rumah orangtua tanpa mau menjalin komunikasi dengan suami, karena hal itu justru akan menambah runyam masalah. Nampaknya bahtera rumah tangga Anda masih bisa diselamatkan, karena seperti yang Anda katakan, Anda ingin kembali lagi kepada suami. Mudah-mudahan suami Anda juga memiliki keinginan yang sama. Bila memang demikian adanya, maka kendala hanya ada pada orangtua Anda. Saya kira hal itu tidak terlalu sulit bila Anda berdua telah berkomitmen untuk memperbaiki keadaan yang ada.
Sebagai wanita, Anda memang berhak untuk menuntut cerai bila suami selingkuh dengan wanita lain, sebagaimana Anda juga boleh menuntut cerai bila ternyata suami menikah lagi sementara Anda tidak mau dimadu. Itu hak Anda! Dan inilah yang dijadikan alasan orangtua Anda agar Anda bercerai saja dengan suami. Tapi menurut saya, alangkah egoisnya Anda bila Anda cepat mengambil langkah seperti itu sementara ada kemungkinan lain yang mungkin lebih baik, terutama untuk masa depan anak Anda. Karena itu, singkirkanlah rasa egois itu dan cobalah membicarakan masalah ishlah itu dengan suami sebelum Anda membicarakannya dengan orangtua. Bicaralah dengan logika dan berusahalah semaksimal mungkin untuk tidak menggunakan emosi, karena emosi tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Buatlah komitmen baru dan mintalah suami untuk berjanji tidak mengulangi hal serupa. Tekankan kepada suami masalah masa depan anak, seperti dengan menanyakan kepadanya: "Menurutmu apa yang terbaik untuk anak kita, bukan terbaik untukku ataupun untukmu?" Saya yakin bila dalam masalah seperti itu, seorang suami atau isteri mau menggunakan logika dan mengenyampingkan hawa nafsu, emosi, ataupun perasaannya, pasti dia akan mengutamakan kepentingan anaknya daripada kepentingan dirinya sendiri.
Seperti yang pernah saya jelaskan dalam konsultasi serupa, sebagai wanita Anda harus bersikap tegas dalam menghadapi masalah seperti yang sedang Anda hadapi sekarang. Jangan terkesan sebagai wanita lemah yang mudah dipermainkan suami sehingga suami mudah sekali mengingkari janjinya. Katakan kepadanya dengan nada sedikit mengancam: "Bila terulang kembali, aku tidak mau bersatu lagi." Jangan takut, itu hanya gertakan. Mudah-mudahan suami akan berfikir 1000 kali bila ingin mengulangi kesalahan serupa.
Bila suami benar-benar mau berjanji dan membuat komitmen baru, barulah Anda mengutarakan kepada orangtua tentang niatan Anda untuk kembali kepada suami. Bila perlu, ajaklah suami untuk membantu menjelaskan masalah itu kepada orangtua. Dengan cara seperti itu, saya yakin hati orangtua Anda akan luluh. Namun bila ternyata suami lebih mengutamakan kepentingannya sendiri dan lebih memilih berpisah, maka yakinlah bahwa mungkin itulah yang terbaik untuk Anda dan juga anak Anda. Jangan bersedih karena di balik semua itu pasti ada hikmah. Jangan lupa, sebelum Anda mngikuti saran saya tersebut, alangkah baiknya bila Anda beristikharah terlebih dahulu guna memohon petunjuk ALLAH swt.. Wallahu a'lam.

Rabu, 08 Desember 2010

Ibuku Selingkuh

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Afwan Ustadz, saya mau tanya. Sekarang ini saya sedang bingung. Saya takut salah langkah dan salah ucap. Saya ada masalah dengan ibu kandung saya sendiri. Kurang lebih 1 tahun ini, saya curiga ibu saya selingkuh dengan laki-laki lain. Nenek saya yang tinggal satu rumah dengan ibu juga cerita mengenai hal itu. Terakhir saya memberanikan diri untuk menelpon ibu guna membicarakan hal itu kepadanya, karena waktu nenek saya tanya ibu dimana, beliau menjawab bahwa ibu sedang makan. Karena saya interogasi, akhirnya ibu mengaku bahwa teman yang mengajaknya makan itu adalah laki-laki yang sudah beristeri. Saat itu saya sangat marah, tapi suara saya tidak tinggi. Saya katakan kepada ibu: “Hati-hati bu, nanti jadi fitnah!” Ibu saya malah marah. Beliau meyakinkan bahwa tidak ada apa-apa antara beliau dengan laki-laki itu.
Namun, saya punya banyak bukti bahwa telah terjadi sesuatu di antara mereka. Saya harus bagaimana, Ustadz? Waktu nelpon ibu, sempet juga sih suara saya agak tinggi, tepatnya pas saya mengingatkan ibu bahwa ayah sedang beribadah haji. Saya harus bagaimana, Ustadz? Pasti ibu sangat kesal. Jawaban Ustadz saya tunggu. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
A-….

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudari A yang saya hormati, menurut saya apa yang Anda lakukan sudah tepat, karena itulah yang semestinya kita lakukan bila ada orang yang melakukan sesuatu yang melanggar aturan agama, apalagi bila dia adalah orang terdekat kita. Apa yang Anda lakukan termasuk bagian dari amar makruf nahi mungkar. Apa yang dilakukan ibu Anda dianggap telah melanggar aturan agama karena seorang laki-laki tidak boleh berdua-duaan dengan seorang wanita yang bukan mahramnya, tanpa ada orang ketiga yang menemaninya. Sebab, dalam kondisi seperti itu, syetan gampang sekali masuk guna menjerumuskan mereka ke dalam hal-hal yang dilarang agama. Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah seorang di antara kalian berkhalwat dengan seorang wanita, karena yang ketiganya adalah syetan.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad) Syetan akan menggoda manusia dengan berbagai cara, dan makan bersama seperti yang dilakukan oleh ibu Anda termasuk salah satunya.
Namun, Anda harus ingat, ketidaksukaan Anda terhadap apa yang dilakukan ibu harus disampaikan dengan cara yang baik, dengan perkataan yang halus dan tidak bernada “membentak”, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah swt.: “dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Israa` [17]: 23) Selain itu, Anda juga harus tetap memperlakukannya dengan baik meskipun ada sikap atau perilakunya yang tidak Anda sukai. Walau bagaimana pun dia adalah ibu kandung Anda yang harus Anda hormati dan sayangi. Allah swt. berfirman: “…..dan janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman [31]: 15)
Sebagai solusi, sebaiknya Anda bicara empat mata dengan ibu mengenai hal itu, jangan hanya melalui telpon. Ingatkan ibu Anda dengan cara yang santun bahwa hal itu tidak baik dan dapat menimbulkan fitnah, apalagi –seperti yang Anda katakan- Anda memiliki banyak bukti yang menunjukkan bahwa ibu Anda selingkuh dengan laki-laki tersebut. Bila ibu masih tetap seperti itu sementara bukti-bukti yang Anda miliki cukup kuat, maka ingatkan ibu dengan nada sedikit mengancam, seperti Anda akan memberitahukan hal itu kepada ayah. Saya kira hal itu sudah cukup membuat ibu Anda takut. Bahkan menurut saya, kuat atau tidak kuat bukti yang Anda miliki, apa yang dilakukan ibu Anda dengan makan berdua-duaan dengan laki-laki lain sudah tidak benar. Jadi, Anda harus tetap mengingatkannya. Namun sekali lagi, jangan pakai emosi, dan harus tetap menjaga sopan santun. Semoga berhasil. Wallaahu A’lam….

Rabu, 24 November 2010

10 Dzulhijjah, Mana Yang Benar?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya mau bertanya tentang waktu Idul Adha. Rasanya sudah beberapa kali kita menyaksikan adanya perbedaan penentuan waktu hari raya umat Islam antara pemerintah kita dengan pemerintah Arab Saudi, termasuk hari raya Idul Adha tahun ini. Pemerintah Arab Saudi menetapkan Idul Adha jatuh pada tanggal 16 November, sementara pemerintah kita menetapkan tanggal 17. Mana yang benar dan mana yang harus kita ikuti, Ustadz? Terus terang, dalam masalah penentuan hari raya Idul Adha, saya pribadi lebih sreg untuk mengikuti keputusan pemerintah Arab Saudi. Sebab berdasarkan pengetahuan saya yang mungkin masih sangat dangkal, Idul Adha yang dirayakan pada tanggal 10 Dzulhijjah sangat berkaitan erat dengan rangkaian ibadah haji termasuk wukuf yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah. Seperti yang kita ketahui, semua rangkaian ibadah haji dilaksanakan di Arab Saudi, bukan di negara kita. Apakah pandangan saya ini bisa dibenarkan, Ustadz? Mohon petunjuknya. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
N -…..

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara N yang saya hormati, sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya karena baru bisa menjawab pertanyaan yang Anda ajukan, padahal semestinya pertanyaan ini dijawab sebelum kita merayakan Idul Adha. Mudah-mudahan meskipun terlambat, jawaban yang saya berikan masih tetap bermanfaat, amin….
Memang benar seperti yang Anda katakan, hari raya Idul Adha sangat erat kaitannya dengan rangkaian ibadah haji yang semuanya dilaksanakan di Arab Saudi. Namun, hal itu tidak serta merta dapat dijadikan alasan yang kuat bagi kita untuk mengikuti keputusan pemerintah Arab Saudi dalam kaitannya dengan penentuan waktu Idul Adha. Artinya, sah-sah saja Anda mengikuti keputusan tersebut, tapi –menurut saya- hal itu bukanlah karena Arab Saudi merupakan tempat dilaksanakannya rangkaian ibadah haji sehingga semua umat Islam harus merujuk ke sana, melainkan karena ru`yah yang dilakukan suatu negeri dapat berlaku bagi negeri-negeri lain, tanpa dibatasi oleh mathla’ atau bujur astronomi.
Saudara N yang saya hormati, mengenai pertanyaan Anda “mana yang benar dan mana yang harus saya ikuti”, saya tidak berani mengklaim mana yang benar. Sebab, masalah penentuan waktu hari raya Idul Adha (yang ditentukan sejak masuknya hilal bulan Dzulhijjah) sama seperti penentuan jatuhnya 1 Ramadhan dan 1 Syawal, semuanya masih sebatas ijtihad para ulama. Karena permasalahan mengenai penentuan 1 Ramadhan pernah saya bahas, maka di sini saya hanya ingin mengutip kembali penjelasan saya mengenai itu dan juga penjelasan beberapa kawan, dengan harapan dapat dijadikan pijakan dalam menyikapi adanya perbedaan penentuan waktu hari raya umat Islam.

Penjelasan Saya Mengenai Penentuan 1 Ramadhan:
Di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti di Indonesia, sering terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam mengenai penentuan 1 Ramadhan atau 1 Syawal. Munculnya perbedaan ini disebabkan karena dua hal:
1. Perbedaan pemahaman terhadap hadits Rasulullah saw. yang dijadikan sebagai dasar penentuan awal Ramadhan atau awal Syawal. Hadits tersebut berbunyi:
“Berpuasalah kalian karena melihat bulan, dan berbukalah (berhari rayalah) kalian karena melihatnya. Jika mendung telah menghalangi kalian, maka sempurnakanlah (genapkanlah) hitungan Sya’ban.” (HR. Muslim) Sebagian ulama memahami kata “ru`yah” (melihat) dalam hadits tersebut dengan arti ru`yah basyariah haqiqiyah (penglihatan dengan mata kepala manusia), sementara sebagian ulama yang lain memahaminya dengan arti ru`yah maknawiyah (dengan hitung-hitungan astronomi). Dari sini, maka muncullah dua metode penentuan awal Ramadhan, yaitu metode hisab astronomi yang biasa dipakai oleh Muhammadiyyah dan Persis, dan metode ru`yah yang biasa dipakai oleh warga NU dan Hizbut Tahrir.
Pada tahun ini, melalui Maklumat Nomor : 06/MLM/I.0/E/2009, PP Muhammadiyah telah mengumumkan penetapan tanggal 1 Ramadhan 1430 H bertepatan dengan hari Sabtu Pahing, tanggal 22 Agustus 2009. Hal serupa juga dilakukan oleh Persis. Sementara NU belum menetapkan 1 Ramadhan karena berdasarkan metode yang dipakainya, penentuan awal Ramadhan harus dilakukan melalui ru`yah dengan menggunakan mata kepala terlebih dahulu.
2. Perbedaan penentuan awal Ramadhan juga bisa disebabkan karena adanya perbedaan cara pandang mengenai matla’ (tempat terbitnya fajar dan terbenamnya matahari). Perbedaan ini terjadi di kalangan ulama yang menggunakan metode ru’yah sebagai alat untuk menentukan awal Ramadhan atau awal Syawal. Ada sebagian ulama yang berpegang pada prinsip matla’, maksudnya setiap negeri mempunyai ru`yah tersendiri, sesuai dengan koordinat bujur dan lintangnya. Di antara ulama yang berpendapat seperti itu adalah Imam Syafi’i. Sementara itu, jumhur fuqaha (mayoritas ahli fikih) tidak berpegang pada prinsip matla’ tersebut, sehingga –menurut mereka- ru`yah yang dilakukan suatu negeri dapat berlaku bagi negeri-negeri lain, tanpa dibatasi oleh mathla’ atau bujur astronomi. Pendapat kedua ini diikuti oleh kelompok Hizbut Tahrir (HTI), sehingga ketika salah satu negara Islam mengumumkan telah melihat hilal, maka kelompok HTI segera merujuk kepada hasil ru`yah negara tersebut. Sebenarnya pendapat ini juga diikuti oleh Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI). Hanya saja, komisi tersebut menegaskan bahwa hal itu memerlukan pembentukan lembaga yang berstatus sebagai “Qadi (Hakim) Internasional” yang dipatuhi oleh seluruh negara-negara Islam. Karena lembaga seperti itu belum ada, maka yang berlaku adalah ketetapan pemerintah masing-masing negara.
Bagi sebagian orang, terkadang adanya perbedaan seperti disebutkan di atas sering membuat bingung. Apalagi di saat menentukan awal Syawal yang merupakan hari raya bagi umat Islam. Mungkin saja terpikir dalam benak mereka, mengapa hari raya umat Islam berbeda? Ada yang sekarang, ada yang besok, ada yang lusa? Mana yang benar? Kami harus mengikuti yang mana?
Penentuan awal Ramadhan atau awal Syawal merupakan permasalahan ijtihadi yang didasarkan pada pemahaman masing-masing kelompok terhadap teks-teks Al-Qur`an ataupun hadits. Dalam hal ini, sah-sah saja bila masing-masing kelompok mengaku pendapatnya benar, asalkan tidak mengaku hanya pendapat merekalah yang benar. Yang perlu ditekankan adalah, sikap toleransi dan menghormati pendapat orang lain. Bila umat Islam memperhatikan hal ini, maka sejuta perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’iyyah seperti itu tidak akan pernah menjadi persoalan bagi umat Islam.
Bila kita lihat Sunah Nabi, perbedaan pendapat seperti itu juga ditolerir Baginda Rasulullah saw.. Dalam Shahih Bukhari, 2/436, disebutkan sebuah riwayat dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda kepada para sahabat: “Jangan ada seorang pun yang shalat ashar kecuali di kampung bani Quraidhah.”
Saat mereka masih berada di dalam perjalanan, waktu Ashar tiba. Maka, sebagian dari mereka berkata: “Kita tidak boleh shalat sebelum kita sampai di tempat tujuan.” Mereka pun akhirnya shalat Ashar di perkampungan Bani Quraidhah, meskipun sesampainya di sana waktu shalat Ashar telah lewat. Sementara sebagian yang lain berkata: “Sebaiknya kita shalat di sini saja, karena maksud perkataan Nabi itu adalah agar kita mempercepat perjalanan sehingga kita telah sampai di perkampungan Bani Quraidhah sebelum waktu Ashar tiba.” Ketika hal itu dilaporkan kepada Nabi, beliau sama sekali tidak mengingkari apa yang mereka lakukan.
Dengan demikian, maka adanya perbedaan mengenai penentuan awal Ramadhan ataupun awal Syawal di kalangan umat Islam tidak semestinya menimbulkan perselisihan di antara mereka. Bila kenyataan yang terjadi seperti itu, maka perbedaan tersebut tidak akan menjadi persoalan bagi mereka. Masing-masing kelompok dipersilahkan untuk mengikuti pendapat mana yang menurutnya benar. Lain halnya bila yang terjadi adalah sebaliknya, dimana perbedaan tersebut menyebabkan terjadinya perselisihan atau pertikaian di antara kaum Muslimin. Dalam kondisi seperti itu, masing-masing kelompok harus bersikap legowo dan tidak boleh mengikuti ego masing-masing. Mereka harus mengutamakan persatuan umat Islam. Sebab walau bagaimanapun, persatuan umat jauh lebih penting dan harus lebih diutamakan daripada sekedar mempertahankan pendapat masing-masing. Wallaahu A’lam….
Penjelasan Ustadz Azharul Fuad (Pengasuh Group Kuliah Tujuh Menit):
Dalam menyikapi perbedaan hasil ijtihad tentang penentuan hari-hari ibadah dalam Islam, kita mengenal sebuah prinsip yang telah dipegang para ulama sepanjang masa. Prinsip itu adalah bahw asetiap umat Islam boleh dan berhak utk bertanya kepada para ahli agama, meski para ahli agama berbeda pendapat dalam memberikan jawabannya. Tentu saja selama semua jawaban itu tidak keluar dari ijtihad yang telah diupayakan sedemikian rupa agar mendekati kebenaran. Kalau ternyata hasil ijtihad itu masih berbeda juga, maka orang yang mengikuti salah satu ijtihad itu tidak bisa disalahkan, juga tidak berdosa Itulah prinsip & pedoman dalam menyikapi perbedaan hasil ijtihad para ulama. Maka hari mana saja yang kita pilih untuk berlebaran haji nanti, boleh dan sah untuk kita ambil. Karena memang dimungkinkan terjadinya perbedaan hari raya untuk beberapa wilayah yang berbeda. Hal seperti itu sudah terjadi jauh sebelum zaman kita, yaitu sejak zaman shahabat.
Wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah 1431) telah ditetapkan oleh pemerintah Saudi jatuh pada hari Senin, 15 November 2010 (Jadi Idul Adha di Saudi pada tanggal 16 November 2010, berbeda dengan kalender Indonesia yaitu pada tanggal 17 November 2010). Namun sebagaimana kita tahu bahwa keputusan itu tidak diambil mewakili seluruh ulama dunia, melainkan hanya oleh mufti Saudi. Maka keputusan tersebut tidak lain adalah hasil ijtihad juga. Akan lain nilainya seandainya Saudi itu melibatkan seluruh dunia Islam, di mana sudah ada komitmen bersama utk menetapkan hari yang sama berdasarkan apa yang telah disepakati. Kalau seandainya ada sekelompok umat Islam yang sudah berkomitmen, namun tiba-tiba melanggar dan tidak mau patuh, maka bolehlah pihak yang menyendiri itu dipersalahkan. Selama tidak pernah terjadi komitmen itu, serta masing-masing negara berijtihad sendiri-sendiri. Jika ada negeri yang menetapkan lebaran haji berbeda dengan ketetapan pemerintah Saudi, tidak bisa kita menyalahkan mereka. Sebab ketetapan pemerintah Saudi itu tidak lain hanya hasil ijtihad yang tidak mengikat. Hanya kebetulan saja tongkat kekuasaan ada di tangan pemerintah yang sdg berkuasa, sehingga seolah-olah dunia Islam harus selalu ''mengekor'' kepada hasil ijtihad mereka. Sekarang yang jadi pertanyaan adalah: Apakah ada peraturan yang mengharuskan bahwa siapa yang berkuasa di wilayah Makkah, lantas berhak mengatur ijtihad ulama di negara-negara Islam lainnya?
Di masa kejayaan khilafah Islamiyah, pusat kekuasaan tidak berada di tangan pemerintah Saudi Arabia, melainkan di tangan para khalifah yang berkedudukan di Damaskus, Baghdad, atau Istambul. Makkah dan sekitarnya hanya menjadi bagian wilayah pusat khilafah Islam. Nah, saat ini yang menjadi penguasa di Makkah adalah pemerintahan kerajaan Saudi Arabia. Mereka inilah yang menentukan jatuhnya hari wuquf di Arafah. Dan secara otomatis, seluruh jamaah haji dari berbagai penjuru dunia juga mengikuti hasil ijtihad ulama dan penguasa negeri itu.
Sebagaimana kita tahu, ada dua cara dalam menentukan tanggal bulan qamariyah, yaitu dengan cara rukyat langsung dan dengan cara hisab. Baik rukyat atau hisab, keduanya sama-sama memberikan kemungkinan perbedaan hasil. Maksudnya, meski sama-sama pakai rukyatul-hilal, msh sangat dimungkinkan hasilnya berbeda antara satu ahli rukyat dengan ahli rukyat lainnya. Begitu juga dengan hisab, meski sama-sama menggunakan hisab, hasilnya tetap sangat mungkin berbeda antara para ahli hisab.
Misalnya utk menentukan jatuhnya tanggal 9 Dzulhijjah nanti, kita bisa mendapatkan hasil rukyat dengan beberapa versi, ada yang bilang jatuh hari Senin dan ada yang hari Selasa. Hal yang sama juga bisa terjadi bila kita gunakan hisab. Jadi paling tidak ada 3 perbedaan yang terjadi, yaitu antara:
- Ahli rukyat vs ahli hisab
- Ahli rukyat vs ahli rukyat
- Ahli hisab vs ahli hisab
Ahli rukyat yang satu sangat mgkn berbeda pendapat dengan ahli rukyat yang lain. Mungkin di satu negara ada beberapa ahli rukyat, tapi masing-masing tidak saling berkonfirmasi, lgsg, main tetapkan sendiri kesimpulannya. Inilah yang selama ini terjadi di negeri kita. Kita tidak pernah kekurangan ahli rukyat. Tiap daerah punya para ahli rukyat. Sayangnya, mereka bekerja sendiri-sendiri, atau maksimal hanya bekerja utk kelompoknya. Seandainya ada seorang ahli rukyat yang melihat hilal, blm tentu ahli rukyat yang lain mau menerima hasil rukyat saudaranya itu. Alasannya bisa macam-macam, terkadang krn urusan politis, lain partai, lain ormas atau lain aliran ilmu, bisa membuat mereka tidak mau saling berkomitmen. Apalagi antara ahli rukyat dengan ahli hisab, biasanya mereka jarang akur.
Sebagai contoh, seorang ahli rukyat menyatakan telah melihat hilal, tiba-tiba ditentang oleh ahli hisab begitu saja. Argumennya, krn saat itu tidak dimungkinkan terjadinya rukyat lantaran kurang dari sekian derajat, atau beragam alasan lainnya. Seolah2 apapun yang dilihat oleh ahli rukyat itu tidak pernah benar kecuali bila telah sesuai dengan hasil hisab para ahli hisab. Lalu para ahli rukyat akan mengeluarkan argumentasi bahwa dalil dari Rasulullah SAW hanya dengan merukyat hilal, bkn dengan hisab. Dan urusannya tidak akan selesai. Antara sesama ahli hisab juga tidak selalu kompak. Rupanya ilmu hisab itu punya sekian banyak versi. Meski kesannya ilmiyah, tetapi yang eksak itu hanya angkanya saja, sedangkan utk mengambil kesimpulannya, msh begitu banyak pertimbangan lainnya. Wajar bila seorang ahli hisab berbeda hasil hitungannya dengan temannya yang juga ahli hisab juga. Maka kesimpulannya, selama masing-masing merasa yakin dan tidak mau mengalah, tidak akan ada terjadi kesamaan hasil penentuan hari lebaran sampai kiamat. Sebab masing-masing bersikukuh dengan argumentasinya, ditambah tidak pernah merasa ijtihad org lain itu mungkin benar.
Seharusnya, meski masing-masing ahli baik ahli rukyat atau pun ahli hisab berhak punya pendapat masing-masing, tetapi mereka harus legowo bila pendapatnya tidak dipakai sebagai pendapat resmi di suatu negara. Atau paling tidak, mereka harus belajar utk bisa berkomitmen antar sesama mereka dalam menetapkan tanggal hijriyah itu, tidak bersikukuh dengan apa yang dimilikinya. Toh, semua itu hanya ijtihad belaka, tidak ada satu pun yang lgsg ditetapkan dari langit, karena wahyu sudah terputus hari ini.
Sebenarnya peran pemerintah sangat dibutuhkan, asalkan pemerintah punya sosok figur yang sepakat dihormati, diagungkan dan diterima oleh semua kalangan ahli hisab dan rukyat di negeri itu. Yang jadi masalah skrg ini justru itu, sosok figur pemerintah skrg ini sangat rendah di mata para ahli hisab dan rukyat. Lebih parah lagi, pemerintah malah membuat sendiri lembaga hisab dan rukyat versinya sendiri. Yang dipakai utk menetapkan jatuhnya lebaran itu hanya dari mereka yang duduk di lembaga versi pemerintah itu saja, versi yang lain meski diundang datang dalam sidang itsbat, semuanya hanya formalitas belaka. Tidak terjadi kajian ilmiah yang mendasar dan fokus pada titik masalahnya.
Blm lagi kalau kita angkat masalah ini ke tingkat international, maka masalahnya akan semakin rumit lagi. Sebab masing-masing negara merasa diri mereka punya hak preogratif utk menentukan sendiri hari-hari besar agama, tanpa harus berkomitmen dengan ulama hisab dan rukyat di berbagai negara. Saya pribadi berpendapat, krn agama memerintahkan kita utk mengikuti "pemerintah" yang sah, maka alangkah baiknya semua pihak mengikuti apa yang ditetapkan oleh pemerintah, walaupun berbeda dengan Saudi. Namun, jika anda lebih yakin kepada ijtihad pemerintah Saudi pun tidak apa2. Karena toh pada dasarnya, semua itu adalah hasil ijtihad para ulama yang dibenarkan oleh agama.

Wallaahu a'lam...

Komentar Dr. M. Faiq Sulaifi di Mediasilaturahim.com:
Bismillah, ketentuan masuknya Ramadhan dan keluarnya hendaknya dikembalikan kepada keputusan Pemerintah RI. Karena Hari Raya, Puasa adalah ibadah jama’i yang dipimpin oleh imam dalam hal ini adalah penguasa. Rasulullah SAW bersabda:
“Hari Idul Fitri adalah orang-orang berbuka (bersama-sama) dan Idul Adlha adalah hari orang-orang menyembelih (bersama-sama).” (HR. Tirmidzi: 731 dari Aisyah RA, hadits shahih gharib)
Rasulullah SAW juga bersabda: “Puasa adalah hari kalian berpuasa dan idul fitri adalah hari kalian beridul fitri (bersama-sama) dan idul adha adalah hari kalian menyembelih kurban (bersama-sama).” (HR. Tirmidzi: 633, Ibnu Majah: 1650 dari Abu Hurairah RA) At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ulama menafsiri hadits di atas bahwa berpuasa dan berbuka itu bersama jama’ah (imam kaum muslimin) dan mayoritas manusia.” (Tuhfatul Ahwadzi: 2/235).
Al-Allamah Abul Hasan As-Sindi Al-Hindi berkata: “Yang jelas dari makna hadits di atas adalah bahwa urusan ini (penentuan hari raya dan puasa) tidak ada celah bagi individu untuk menentukan masalah ini dan tidak boleh seseorang bersendirian dalam hari raya dan puasa, tetapi urusan ini harus dikembalikan kepada imam (penguasa) dan jama’ah masyarakatnya dan wajib bagi masing-masing individu untuk mengikuti penguasa dan masyarakatnya. (Hasyiyah Ibni Majah As-Sindi:3/431)
Imam yang memiliki legalitas adalah Pemerintah melaului Depagnya, bukan PBNU, PP Muhammadiyah, PP Persis, mursyid thariqat atau Amir LDII, karena melihat tafsir ayat “WA ULIL AMRI MINKUM” tentang pemerintah yang wajib dita’ati(QS. An-Nisa: 59) yang merujuk pada penguasa yang MAUJUD (memiliki legalitas, aparat, perangkat) bukan Imam yang MA’DUM (abstrak) seperti pimpinan berbagai organisasi atau sekte.
Menurut Ibnu Taimiyah bahwa kalau ada seseorang melihat hilal sendirian dan persaksiannya ditolak oleh pemerintah dengan alasan apapun maka ia tetap MENGIKUTI KEPUTUSAN PEMERINTAH. (Lihat Majmu’ Fatawa: 6/65) Yang demikian karena ijtihad ini (tentang hari raya) tidak menjadi tugas individu atau kelompok tetapi sudah menjadi IJTIHAD PENGUASA dalam rangka menyatukan kaum muslimin.
Pada zaman pemerintahan Umar bin Khathtab RA suatu waktu ada 2 orang melihat hilal Syawal kemudian salah satunya tetap puasa (karena tidak ingin menyelisihi masyarakat yang masih berpuasa) yang satunya berhari raya sendirian. Ketika permasalahan ini sampai kepada Umar RA maka beliau berkata kepada orang yang berhari raya sendirian: “Seandainya tidak ada temanmu yang ikut melihat hilal maka kamu akan saya pukul.” (Majmu’ Fatawa: 6/75) Dalam riwayat lain akhirnya Umar meng-isbat bahwa hari itu adalah hari raya dan menyuruh kaum muslimin unuk membatalkan puasa mereka berdasarkan kesaksian 2 orang tersebut. (Mir’atul Mafatih: 12/303-304)
Suatu ketika Masruq (seorang tabi’in) dijamu oleh Aisyah RA, ia berkata: “Tidak ada yang menghalangiku dari puasa ini (Arafah) kecuali karena takut ini sudah Idul Adha.” Maka Aisyah menolak alasannya dengan mengatakan: “Idul Adha adalah hari orang-orang beridul adha bersama-sama dan idul fitri adalah hari orang-orang beridul fitri bersama-sama.” (Silsilah Shahihah Al-Albani: 1/223) Ini karena Masruq telah menyendiri dari puasanya penduduk Madinah.
Suatu ketika Yahya bin Abu Ishaq (seorang tabi’in) melihat hilal Syawal sekitar dhuhur atau lebih dan ada beberapa orang yang ikut berbuka dengannya. Kemudian ia dan beberapa orang mendatangi Anas bin Malik RA (sahabat Nabi SAW) dan memberitahukan kepada beliau perihal rukyat hilal Syawal dan beberapa orang berbuka (membatalkan puasanya) pada hari itu. Maka beliau berkata: “Adapun aku maka telah genap aku berpuasa 31 hari karena Al-Hakam bin Ayyub (penguasa ketika itu) telah berkirim surat kepadaku bahwa beliau berpuasa sebelum puasanya orang-orang.Dan aku benci untuk berbeda hari raya dengan beliau dan puasaku akan aku sempurnakan sampai nanti malam.” (Zaadul Ma’aad: /37)
Dan yang semakna adalah kasus penolakan Ibnu Abbas RA (sahabat Nabi) terhadap kesaksian Kuraib (tabi’in) yang telah merukyat hilal Syawal di Syam bersama Mu’awiyah RA (sahabat Nabi) pada hari Jum’at karena bertentangan dengan puasa dan hari raya warga dan otoritas kota Madinah yang berhari raya Sabtu.Dalam kasus ini Kuraib menyendiri dari penduduk kota Madinah. (Subulus Salam: 2/462)
Maka saya berpesan pada pemilik situs ini agar menyampaikan tulisan saya ini kepada mereka-mereka yang egois yang bangga dengan ijtihadnya sendiri baik dengan hisab atau rukyat dalam keadaan menyelisihi isbatnya pemerintah maka sadar atau tidak mereka telah berupaya memecah belah umat.
JIka orang-orang egois itu bertanya bahwa kadang-kadang penguasa bertindak tidak adil seperti menolak persaksian rukyat karena beda madzhab atau alasan politis dsb?
Maka Rasulullah SAW menjawab:
“Mereka (penguasa) itu shalat untuk kalian. Jika ijtihad mereka benar maka pahalanya untuk kalian, kalau ijtihad mereka keliru maka pahalanya tetap atas kalian dan dosanya ditimpakan atas mereka.” (HR. Bukhari: 653) Semoga ini dapat menjadi bahan renungan di tengah-tengah upaya penyatuan hari raya kaum muslimin Indonesia.

Wallaahu A'lam

Rabu, 10 November 2010

Siapa Yang Lebih Berhak Mengelola Harta Bapak?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak, saya mau nanya soal harta orangtua. Ibu saya baru saja meninggal, sementara bapak saya sudah sekitar lima tahun menderita sakita jantung (sudah dioperasi), namun masih harus cuci darah 2 kali seminggu. Kondisi bapak memprihatinkan, tidak bias berjalan, hanya bisa berjalan dengan bantuan kursi roda. Di sini, saya ingin bertanya tentang usaha bapak yaitu toko elektronik dan showroom motor yang masing-masing dikelola oleh orang-orang kepercayaan bapak yang sama sekali tidak ada hubungan persaudaraan.
Sementara saya sebagai anak kandung satu-satunya yang tinggal bersama bapak tidak boleh mencampuri dan mengurusi usaha bapak. Bapak dan saudara-saudara saya yang semuanya berjumlah 6 orang (mereka sudah berkeluarga dan sudah mapan, namun tinggal di luar kota) hanya meminta saya untuk merawat dan mengurusi bapak yang sedang sakit, tidak boleh mencampuri urusan bisnis bapak. Saya juga sudah berkeluarga dan mempunyai 2 anak, namun belum mapan seperti saudara-saudara saya yang lain. Saya hanya dijatah oleh orang kepercayaan bapak seminggu sekali. Yang ingin saya tanyakan, sebenarnya siapa yang lebih berhak mengurus dan mengelola usaha bapak?
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
A-…..

Jawaban:
Wa'alaikumusalam Wr. Wb.
Saudara A yang saya hormati, sebelumnya saya ingin mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya ibunda tercinta. Semoga amal baiknya diterima dan dosa-dosanya diampuni ALLAH swt., dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan, amin.
Saudaraku, sayang sekali pada pertanyaan Anda di atas tidak disebutkan secara jelas status kepemilikan harta (usaha) tersebut, apakah 100% milik bapak ataukah ada saham ibu yang bisa dibagi sebagai harta warisan ibunda. Hal ini perlu diketahui karena ia dapat menjawab pertanyaan Anda, siapa yang lebih berhak mengurusnya? Bila memang ada saham ibu dalam harta atau usaha tersebut, maka ia harus dibagi, ¼ untuk ayah (QS. An-Nisaa` [4]: 12) dan sisanya untuk Anda bertujuh, dengan catatan bila ada anak perempuan, maka anak perempuan mendapat ½ dari bagian anak laki-laki (QS. An-Nisaa’ [4]: 11).
Bila kondisinya memang seperti itu, maka menurut saya Anda masih berhak mengajukan pertanyaan seperti di atas. Sebab, dengan adanya warisan dari ibu, berarti Anda memiliki saham dalam harta atau usaha tersebut. Namun, bila ternyata harta tersebut adalah 100% milik bapak, maka sebenarnya bapak Anda-lah yang berhak mengelola dan mengendalikan usaha tersebut, dengan catatan bila bapak Anda memang masih bisa melakukan hal itu meskipun harus dengan memberi kuasa kepada orang-orang kepercayaannya.
Dari uraian Anda di atas, nampaknya bapak Anda termasuk ke dalam katagori ini. Artinya, dia masih mampu untuk mengelola usahanya meskipun hanya dengan memberi kuasa kepada orang lain. Mungkin kebijakan bapak Anda yang juga didukung oleh saudara-saudara Anda yang lain untuk tidak menyerahkan usaha itu kepada Anda, disebabkan karena faktor-faktor tertentu. Bisa jadi karena faktor profesionalisme, artinya menurut penilaian bapak Anda, orang-orang kepercayaannya itu dianggap lebih bisa untuk mengelola usahanya daripada diri Anda sendiri. Bila memang ini alasannya, maka menurut saya hal itu lebih baik daripada usaha tersebut harus diserahkan kepada Anda, karena Rasulullah saw. bersabda: “Bila urusan diserahkan kepada selain ahlinya, tunggulah kehancuran." (HR. Bukhori)
Atau, bisa jadi karena bapak dan juga saudara-saudara Anda yang lain ingin agar Anda lebih fokus untuk mengurus dan merawat bapak Anda yang sedang sakit, karena Anda-lah satu-satunya anak yang tinggal bersama bapak. Bila memang ini alasannya, maka menurut saya, hal ini juga lebih baik daripada Anda harus mengelola usaha itu. Wallaahu A’lam….Fatkhurozi

Senin, 01 November 2010

CERAI DALAM KEADAAN EMOSI

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz, saya ingin bertanya: Bagaimana hukumnya bila seorang suami mengatakan cerai kepada isterinya dalam keadaan emosi berat? Apakah hal itu sudah dianggap jatuh thalak? Bagaimana pula hukumnya bila hal itu sering dilakukan? Bila mereka masih tetap tinggal satu rumah, bukankah mereka harus membayar denda? Bagaimana tanggapan Ustadz menurut tinjauan Islam? Terima kasih sebelumnya atas jawaban yang diberikan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
N-…..

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara N yang saya hormati, ulama berbeda pendapat mengenai kriteria atau persyaratan jatuhnya thalak. Ada sebagian ulama yang mempermudah persyaratan jatuhnya thalak. Mereka berpendapat bahwa thalak akan jatuh bila seorang laki-laki mengucapkan kata “cerai” baik dalam keadaan bercanda ataupun serius, marah ataupun tidak. Pendapat mereka ini didasarkan pada sabda Nabi saw.: “Tiga perkara yang apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh dianggap serius, dan apabila dilakukan dengan bergurau juga dianggap serius, yaitu nikah, thalak dan rujuk.” (HR. Tirmidzi)
Ada pula ulama yang memperketat persyaratan jatuhnya thalak. Mereka berpendapat bahwa thalak tidak jatuh kecuali bila dilakukan dalam keadaan sadar. Bila seseorang menjatuhkan thalak kepada isterinya dalam keadaan tidak sadar, baik karena faktor emosi berat ataupun karena faktor-faktor lainnya, maka thalaknya dianggap tidak sah. Hal ini didasarkan pada Hadits Nabi saw.: “Tidak sah thalak dalam ketidaksadaran.” Abu Dawud menafsirkan kata “ketidaksadaran” dalam Hadits tersebut dengan kondisi marah berlebihan yang menyebabkan ingatan seseorang tertutup sehingga dia akan mengucapkan perkataan yang tidak diinginkannya.
Di sini, saya mencoba memadukan pengertian kedua Hadits tersebut, yaitu bahwa Hadits pertama lebih bersifat preventif, dengan maksud agar setiap Muslim lebih berhati-hati dalam menjaga pernikahannya. Hendaknya dia tidak mudah menjatuhkan thalak dan tidak bermain-main dengan kata "thalak", karena pernikahan adalah sebuah ikatan yang harus dijaga kesuciannya. Andaikata dia memang ingin menjatuhkan thalak, maka harus dipikir matang-matang. Dia juga harus lebih bisa menahan emosi karena emosi merupakan faktor terbesar jatuhnya thalak. Terkadang saat sedang emosi, seseorang dengan sadar menceraikan isterinya tanpa memikirkan terlebih dahulu hal-hal yang akan terjadi setelahnya. Sehingga tidak sedikit orang yang menyesal setelah perceraian itu terjadi.
Namun bila ternyata emosinya begitu luar biasa sehingga dia tidak bisa lagi menyadari apa yang dia katakan, maka thalak yang dijatuhkan pada saat itu dianggap tidak sah, seperti yang disinyalir pada Hadits kedua. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa emosi manusia bertingkat-tingkat, ada yang sedemikian besar, sehingga seseorang tidak menyadari ucapan atau tindakannya. Bila ini yang terjadi, maka ucapan talak ketika itu tidak mengakibatkan perceraian. Tetapi bila saat sedang emosi seseorang masih dapat menyadari apa yang diucapkan, maka tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa ucapan tersebut telah berdampak hukum atau menyebabkan jatuhnya thalak.
Dalam kaitannya dengan kasus yang Anda tanyakan, perlu dilihat kembali apakah orang yang bersangkutan menyadari apa yang dia ucapkan saat sedang emosi berat ataukah tidak? Bila ya, maka berarti sudah jatuh thalak, sehingga dia dan isterinya tidak boleh lagi tinggal satu rumah, apalagi berhubungan badan. Bila sampai terjadi hubungan badan, maka dianggap telah berbuat zina. Tetapi bila tidak menyadari apa yang dia ucapkan, maka berarti belum jatuh thalak.
Di sinilah pentingnya kita harus berupaya keras untuk melatih diri kita agar lebih dapat menahan emosi yang merupakan salah satu karakter orang yang bertakwa, sebagaimana difirmankan ALLAH swt. dalam surah Ali ‘Imran (3): 133-134: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabb-mu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang menginfakkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” Wallaahu A’lam….
NB: Baca juga konsultasi berjudul: "Bila Suami Mengatakan 'Pisah', Apakah Jatuh Thalak?", dengan mengklik link berikut: http://media-silaturahim.blogspot.com/2009/11/bila-suami-mengatakan-pisah-apakah.html

Jumat, 27 Agustus 2010

Curhat Seorang Kakak Tentang Adiknya Yang Durhaka

Assalamualaikum Wr. Wb.
Maaf Pak Ustadz, saya ingin berkonsultasi tentang keluarga saya. Mudah-mudahan Pak Ustadz bisa membantu saya, amin. Saya adalah anak sulung yang mempunyai 2 orang adik laki-laki. Adik pertama saya sekarang berusia 30 tahun. Sejak kecil, dia memang lebih nakal. Tapi biasa nakalnya anak kecil, hanya sebatas sulit dinasehati, suka membangkang dan di sekolah pun selalu ranking terakhir. Hal ini membuat orang tua saya, terutama bapak, sering memarahinya dan bersikap kasar kepadanya. Bapak saya juga termasuk orang yang tidak bisa menahan emosi. Jika marah kepada anak-anaknya, dia sering berbuat kasar kepada mereka dan mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan.
Karena adik saya yang pertama sering membantah, maka dialah yang paling sering dimarahi. Bahkan, meski adik saya telah menikah, bapak saya sering berselisih paham dengannya hingga berujung pada pertengkaran. Saya sering menasehati bapak agar beliau lebih dapat mengendalikan emosinya, apalagi adik-adik saya sudah dewasa sehingga tidak semestinya mereka masih sering dimarahi dan disalahkan.
Sebenarnya adik saya yang pertama termasuk anak yang baik. Namun karena sejak kecil kurang pintar, dia pun sering berbuat kesalahan, dan terkadang hal itu tidak ditolerir oleh bapak saya. Akhirnya, adik saya pun tumbuh menjadi pribadi yang tertutup dan mudah tersinggung. Kebetulan adik saya tersebut tinggal bersama orang tua di kampung, sementara saya dan adik kedua tinggal di Ciputat, bersama suami saya.
Pertengkaran antara adik pertama dan bapak masih sering terjadi, meskipun pada akhirnya mereka bisa saling memaafkan. Tapi dua bulan yang lalu, adik saya bertengkar lagi dengan bapak. Dia tersinggung dengan kata-kata bapak yang –katanya- cukup menyakitkan hatinya. Adik saya pun marah, sampai-sampai dia mengata-ngatai bapaknya dengan kata "monyet" (maaf). Mendengar itu, bapak saya pun berkata kepadanya: "Kamu durhaka kepada Bapak!"
Sejak kejadian itu, adik saya tidak mau shalat karena dia merasa sudah dikutuk oleh bapak sebagai anak durhaka. Menurutnya, percuma saja shalat karena anak durhaka pasti akan masuk neraka. Selama ini, adik saya merasa dianggap sebagai anak yang tidak dihargai. Dia juga merasa selalu disalahkan atas kesalahan-kesalahan sepele yang dilakukannya.
Melihat hal itu, ibu saya menyarankan kepada bapak agar bapak mau meminta maaf kepada adik saya itu, dan alhamdulillah bapak mau menuruti saran ibu tersebut. Ibu dan bapak pun akhirnya meminta maaf kepada adik saya karena selama ini sering menyakitinya. Menurut cerita ibu, sebenarnya adik saya sudah memaafkan bapak. Tapi anehnya, sampai sekarang adik saya masih tidak mau shalat. Ibu pun menjelaskan kepadanya bahwa kutukan atau kata-kata orangtua anaknya saat marah kepada anaknya akan dihapus oleh Allah jika keduanya (orangtua dan anak) sudah saling memaafkan.
Saya juga pelan-pelan menasehati adik saya untuk shalat, tapi nasehat saya tak pernah digubris olehnya. Hari ini saya mencoba menasehati lagi, tapi dia tetap pada pendirian bahwa dia sudah dikutuk jadi anak durhaka. "Jadi buat apa lagi shalat, toh anak durhaka pasti masuk neraka", katanya. Terus terang, mendengar jawaban adik saya itu, emosi saya mulai terpancing. Saya pun berkata kepadanya: "Kalau ga mau shalat, ya sudah, tapi jangan ngaku-ngaku sebagai orang Islam!"
Pak Ustadz, saya sangat sedih melihat sikap adik saya itu, apalagi sebentar lagi mau puasa. Saya benar-benar kehabisan akal dan bingung bagaimana cara menasehatinya lagi. Sekarang saya hanya bisa berdoa, mudah-mudahan Allah memberikan hidayah dan membuka pintu hatinya. Saya akui, selama ini adik saya memang jarang sekali belajar tentang Islam. Dia jarang membaca buku-buku agama. Biasanya kalau shalat saja, setelah selesai salam dia langsung pergi, tanpa mau berdzikir ataupun berda terlebih dahulu. Dia juga jarang sekali membaca al-Qur`an, bahkan –bisa dikatakan- tidak pernah. Mungkin itu yang membuat hatinya menjadi keras.
Pak Ustadz, tolong beri solusi untuk permasalahan ini. Mudah-mudahan Pak Ustadz bisa membantu kesulitan keluarga kami. Terima kasih sebelumnya.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
M-……..

Jawaban:
Wa'alaikumussalam Wr. Wb.
Saudariku yang terhormat, nampaknya masalah yang Anda dan keluarga hadapi sudah cukup rumit, dan –menurut penilaian saya- masalah ini muncul karena adanya kesalahan orangtua dalam mendidik anaknya. Saya melihat, sikap orangtua Anda (baca: bapak) terlalu keras kepada adik Anda dan terkesan pandang bulu terhadapnya. Tanpa disadari, sikap ini telah mempengaruhi psikologi adik Anda dan ikut membentuk kepribadiannya hingga seperti yang Anda lihat sekarang. Apalagi di saat yang sama, adik Anda kurang mendapat pembekalan tentang pengetahuan agama, pengetahuan yang mengajarkan kepada kita bagaimana semestinya sikap seorang anak kepada kedua orangtuanya.
Seperti yang pernah saya bahas pada konsultasi berjudul "Batasan Berbakti Kepada Orangtua", seorang anak dituntut untuk selalu berbakti kepada kedua orangtuanya, termasuk bila ada sikap keduanya yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini, bukan berarti kita tidak boleh membantah. Kita boleh saja membantah atau menolak kemauan orangtua, namun bantahan atau penolakan itu harus tetap disampaikan dengan cara yang baik, dengan perkataan yang halus dan tidak bernada “membentak”, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah swt.: “dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Israa` [17]: 23) Selain itu, sang anak juga harus tetap memperlakukan orangtuanya dengan baik, meskipun ada perbedaan pandangan di antara mereka. Allah swt. berfirman: “…..dan janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman [31]: 15) Jadi jelas, apa yang telah dilakukan adik Anda sangat bertentangan dengan apa yang terkandung dalam kedua ayat tersebut.
Namun, kita tidak bisa menyalahkan adik Anda seratus persen. Sebab berdasarkan cerita Anda, bisa jadi hal itu disebabkan karena sikap kasar bapak Anda kepadanya saat dia masih kecil yang ternyata telah memberikan andil besar dalam membentuk kepribadiannya yang keras. Hal itu juga bisa disebabkan karena sikap pilih kasih orangtua Anda atau juga kelalaian mereka untuk memberikan pendidikan agama kepadanya. Konon pada masa pemerintahan Umar bin Khathab ra., ada seorang lelaki yang datang kepada Umar. Lelaki itu mengeluhkan sikap durhaka yang dilakukan oleh anaknya. Umar pun memanggil anak dari lelaki tersebut, lalu dia memberi nasihat kepadanya agar tidak berbuat durhaka kepada ayahnya.
Namun anak itu justru berkata kepada Umar: “Wahai Amirul Mukminin, bukankah seorang anak itu juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi ayahnya?”
“Benar,” jawab Umar.
“Apa itu, wahai Amirul Mukminin?” tanya anak itu.
Umar menjawab: “Hendaknya dia memilih (wanita yang akan menjadi) ibu dari anaknya, memperbagus namanya, dan mengajarkan kepadanya al-Kitab (al-Qur`an).”
Anak itu berkata: “Wahai Amirul mu`minin, ayahku tidak pernah melakukan satupun dari ketiga hal itu. Ibuku adalah seorang wanita negro yang dulu pernah menjadi budak seorang Majusi. Ayahku menamaiku dengan Ju’ala (kumbang), lalu dia tidak pernah mengajarkan satu huruf al-Qur`an pun kepadaku.”
Mendengar itu, Umar menoleh ke arah lelaki tersebut, lalu dia bertanya kepadanya, “Kamu datang untuk mengadukan kedurhakaan anakmu, padahal kamu telah lebih dulu mendurhakainya sebelum dia mendurhakaimu, dan kamu telah lebih dulu menyakitinya sebelum dia menyakitimu?
Saudariku, kisah di atas sengaja saya kutipkan agar ketika kita menghadapi masalah seperti itu, kita mau melakukan koreksi diri. Mungkinkah sikap seperti itu disebabkan oleh kesalahan kita (orangtua), atau adakah faktor-faktor lain yang menyebabkannya seperti itu? Kita tidak mungkin dapat mempengaruhi atau merubah kepribadian adik Anda bila kita tidak mengetahui apa yang menyebabkan dia bersikap seperti itu. Menurut saya, pengetahuan tentang sebab-sebab itulah yang dapat membantu kita dalam menyusun langkah-langkah pendekatan kepada adik Anda yang menjadi objek dalam masalah ini. Bila memang sikap adik Anda itu lebih disebabkan karena sikap keras dan pilih kasih bapak Anda kepadanya, maka saya sarankan kepada orangtua Anda untuk menunjukkan perhatian lebih kepada adik Anda itu. Tidak cukup hanya dengan meminta maaf, karena orang seperti adik Anda, meskipun mulutnya sudah mengucapkan maaf tapi terkadang hatinya masih menyimpan rasa kesal atau dendam. Teruslah untuk melakukan pendekatan kepadanya hingga hatinya benar-benar luluh. Ingat, sifat keras tidak bisa dilawan dengan sifat keras pula, tetapi harus dengan sifat lembut.
Nasehatilah dia dengan bijak dan penuh kesabaran, serta hindari semaksimal mungkin penggunaan emosi. Tekankan lagi kepadanya bahwa ALLAH swt. Maha Pengampun. Sebesar apapun dosa seorang hamba, termasuk dosa durhaka kepada orangtua, ALLAH pasti akan mengampuninya asalkan dia benar-benar bertaubat kepada-Nya. Jadi tidak ada istilah "sudah kadung (terlanjur)" durhaka, ya sudah tidak perlu shalat lagi. Atau, "Buat apa shalat, toh akhirnya masuk neraka karena durhaka kepada orangtua."
Saudariku, meskipun masalah yang Anda hadapi cukup rumit, Anda tidak perlu pesimis. Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Tentunya, semua itu sangat bergantung kepada upaya kita, yaitu asalkan kita mau benar-benar berusaha untuk menyelesaikannya serta tidak lupa selalu memohon pertolongan kepada Dzat Yang Maha Kuasa, ALLAH swt.. Yakinlah, bahwa bila ALLAH berkehendak untuk melembutkan hati seseorang, maka sekeras apapun hati itu, pasti akan mencair juga. Hanya Dia-lah Dzat Yang Maha Pemberi Hidayah dan Dzat Yang Membolak-balikkan hati manusia. Karena itu, banyak-banyaklah memohon kepada-Nya agar pintu hati adik Anda dibuka oleh-Nya. Memohonlah dengan sungguh-sungguh kepada-Nya, usahakan sampai meneteskan air mata, karena hanya Dia-lah Dzat Yang Maha Mengabulkan doa dan Dzat yang bisa mewujudkan hajat-hajat kita.
Saudariku, kasus yang Anda hadapi ini mengandung pelajaran yang berharga bagi para orangtua, yaitu bahwa mencetak anak-anak yang berbakti tidak semudah membalik tangan, melainkan membutuhkan perhatian yang serius dan kerja keras dari orangtua. Diantaranya adalah dengan membekali mereka dengan pendidikan agama termasuk pengetahuan tentang akhlak karimah (akhlak yang mulia), sesuai dengan sabda Nabi saw.: "Muliakanlah anak-anakmu dan perbaguslah akhlak mereka."
Selain itu, orangtua juga dituntut untuk memberikan tauladan yang baik kepada anaknya. Sebab, tauladan yang baik merupakan cara yang paling jitu dalam mencetak anak-anak yang shaleh dan berakhlak mulia. Namun sayangnya, banyak orangtua yang kurang memperhatikan hal ini. Mereka menginginkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang rajin shalat, tapi mereka sendiri jarang shalat. Mereka menginginkan anak-anaknya berakhlak mulia dan tidak berkata kasar, tapi mereka sendiri sering bersikap kasar kepada anak-anaknya dan sering melakukan hal-hal yang tidak mencerminkan akhlak yang mulia di hadapan anak-anak mereka. Satu lagi, saya yakin tidak ada orangtua yang mau anaknya menjadi anak yang durhaka, namun sayangnya tidak sedikit orangtua yang mudah sekali memvonis anaknya dengan cap "durhaka", padahal vonis seperti itu bisa jadi akan menjadi doa yang tidak baik untuk anaknya. Padahal, doa orangtua untuk keburukan anaknya termasuk salah satu dari tiga doa yang mustajab, sesuai sabda Nabi saw.: "Ada tiga doa yang mustajab (dikabulkan ALLAH), tidak ada keraguan sedikitpun mengenai hal itu. Ketiga doa itu adalah doa orang yang teraniaya, doa musafir dan doa orangtua untuk (keburukan) anaknya." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Wallaahu A'lam....

Rabu, 04 Agustus 2010

Haruskah Witir Dilakukan Setelah Tahajud?

(I)
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya mau mengajukan beberapa pertanyaan:
1. Shalat Witir itu sebaiknya dilakukan setelah shalat Isya/Tarawih atau setelah shalat Tahajud? Jika sudah dilakukan setelah shalat Isya/Tarawih, apakah nanti shalat Tahajudnya tetap sah karena tanpa shalat Witir lagi?
2. Jika saya hanya melakukan shalat sunnah Rawatib sebelum Subuh dan sesudah Maghrib saja, bagaimana hukumnya Pak Ustadz? Maksudnya, apakah ibadah yang saya lakukan itu tetap berpahala ataukah sia-sia karena tidak dilakukan semuanya?
Demikian pertanyaan saya, mohon penjelasannya. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
E -……..


(II)
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya ingin bertanya tentang shalat tahajud di bulan Ramadhan. Begini Pak Ustadz, jika kita ingin shalat tahajud di bulan Ramadhan dengan Witir, apakah shalat Witir pada shalat Tarawih kita kerjakan juga ataukah tidak usah karena akan dikerjakan bersamaan dengan shalat Tahajud nanti? Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
S -……

Jawaban:
Wa’alaikumsalam Wr. Wb.
Saudari E dan S yang saya hormati, sebelumnya saya mohon maaf karena baru sempat menjawab pertanyaan Anda berdua, terutama pertanyaan Saudari E yang sudah cukup lama dilontarkan. Mudah-mudahan keterlambatan ini tidak mengurangi nilai jawaban yang saya berikan. Pertanyaan Anda berdua sengaja saya muat secara bersamaan karena keduanya hampir mirip, yaitu mengenai shalat Witir, shalat Tarawih dan shalat Tahajud.
Ketiga shalat tersebut merupakan shalat-shalat sunnah yang dikerjakan di malam hari. Saya yakin pertanyaan Anda berdua di atas lebih disebabkan karena adanya kebiasaan mengerjakan shalat Witir setelah shalat Tarawih, dimana pada umumnya masyarakat kita terbiasa mengerjakan shalat Tarawih di awal waktu malam, sementara ada sebuah Hadits yang mengisyaratkan bahwa shalat Witir merupakan penutup shalat malam (termasuk shalat Tarawih dan shalat Tahajud). Padahal ada sebagian orang –termasuk Anda berdua- yang masih ingin mengerjakan shalat Tahajud yang pada umumnya dikerjakan di akhir waktu malam karena harus dikerjakan setelah tidur. Dari sinilah muncul kebingungan, apakah bila seseorang telah mengerjakan shalat Witir yang biasanya dijadikan satu paket dengan shalat Tarawih, lalu dia ingin mengerjakan shalat Tahajud di malam hari (setelah tidur), apakah dia harus menutup shalat Tahajudnya itu dengan shalat Witir lagi ataukah tidak, atau apakah dia tidak usah mengerjakan shalat Witir setelah selesai shalat Tarawih karena dia akan mengerjakannya setelah shalat Tahajud?
Saudari-saudariku yang terhormat, kebingungan yang Anda berdua rasakan juga pernah saya rasakan. Namun setelah melihat dan mengkaji dalil-dalil yang ada, saya dapat menyimpulkan bahwa istilah “shalat Witir adalah penutup shalat malam” tidak sepenuhnya benar. Sebab, ketika dikatakan sebagai penutup shalat malam, maka hal ini akan menimbulkan kesan bahwa seseorang tidak boleh melakukan Witir setelah shalat Tarawih/Isya bila dia ingin melakukan shalat Tahajud di akhir malam, atau seperti yang Anda tanyakan, bila seseorang tidak menutup shalat Tahajud dengan Witir maka shalat Tahajudnya tidak sah. Atau dengan ungkapan yang lebih singkat, melakukan shalat Witir di akhir semua shalat malam (termasuk Tahajud) adalah sebuah keharusan.
Istilah seperti itu muncul karena adanya sebuah Hadits yang berbunyi: “Jadikanlah Witir sebagai akhir shalat kalian di waktu malam". (HR. Bukhari) Meskipun disampaikan dengan menggunakan kata perintah, namun hal itu bukanlah sebuah keharusan, namun hanya sebatas anjuran. Artinya, seseorang boleh saja melakukan shalat Witir di awal waktu malam setelah shalat Tarawih/Isya, boleh di tengah waktu malam, dan boleh juga di akhir waktu malam yaitu setelah shalat Tahajud. Hanya saja, akan lebih disukai ALLAH bila shalat Witir itu dikerjakan di akhir semua shalat malam. Hal ini ditunjukkan oleh Hadits Nabi saw. yang berbunyi: "Barang siapa takut tidak bangun di akhir malam, maka witirlah pada awal malam, dan barang siapa berkeinginan untuk bangun di akhir malam, maka witirlah di akhir malam, karena sesungguhnya shalat pada akhir malam masyhudah (disaksikan)" (HR. Muslim)
Hadits kedua ini jelas menegaskan bahwa waktu pelaksanaan shalat Witir sangat kondisional atau sangat tergantung pada kemampuan seseorang apakah bisa bangun di malam hari ataukah tidak. Bila hampir dapat dipastikan bahwa dia bisa bangun malam karena sudah menjadi kebiasaan baginya, maka shalat Witir lebih dianjurkan untuk dikerjakan setelah shalat Tahajud. Namun bila dia khawatir tidak bisa bangun malam, maka sebaiknya shalat Witir dilakukan setelah shalat Tarawih. Bila dia sudah mengerjakan shalat Witir setelah shalat Tarawih/Isya, lalu dia bisa mengerjakan shalat Tahajud di malam itu juga, maka dia tidak perlu mengerjakan shalat Witir lagi. Kesimpulannya, sama sekali tidak ada keharusan untuk melakukan shalat Witir setelah shalat Tahajud.
Untuk Saudari E, setiap shalat sunah Rawatib (ba’diyah ataupun qobliyah) adalah shalat yang terpisah dengan shalat-shalat sunah Rawatib lainnya, bukan satu paket yang harus dikerjakan semuanya. Jadi, bila Anda hanya mengerjakan shalat sunah qobliyah (sebelum) Subuh dan sunah ba’diyah (sesudah) Maghrib saja, maka apa yang Anda lakukan itu tetap berpahala atau tidak sia-sia, asalkan benar-benar dilakukan dengan ikhlas karena ALLAH swt.. Wallaahu A’lam….

Sabtu, 31 Juli 2010

Subuh Akbar

Assalamualaikum Wr. Wb

HADIRILAH...

"SUBUH AKBAR"
......
Tema : Indonesia Bertauhid

Tempat : Masjid Fathullah UIN Ciputat

Penceramah :

- Ustad Jefri Al-Bukhari
- Ustad Soleh Mahmud
- Ustad Ahmad Shonhaji
- Ustad Amirul Senjayadin

Rundown Acara :

- Adzan Subuh & iqomah : 04.44 - 04.55 WIB
- Sholat (Imam & Doa) : 04.55 - 05.15 WIB
- Pembukaan : 05.15 - 05.25 WIB
- Sambutan Panitia : 05.25 - 05.35 WIB
- Sambutan subuh.net : 05.35 - 05.45 WIB
- Ceramah dan Doa : 05.45 - 07.45 WIB
- Penutupan : 07.45 - 08.00 WIB


Terima kasih atas perhatiannya.

Wassalam

Subuh.Net

Senin, 26 Juli 2010

Bila Isteri Menuntut Cerai, Bolehkan Suami-Isteri Bersatu Kembali?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Semoga Ustadz dan keluarga selalu dalam lindungan ALLAH swt., amin. Ustadz, saya adalah seorang laki-laki yang sudah bercerai dengan isteri saya. Sebenarnya bukan saya yang menginginkan perceraian, namun isteri sayalah yang mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Sampai sekarang saya masih sedikit shock dan belum mengerti mengapa isteri saya menuntut cerai. Sebab selama 5 tahun pernikahan, hampir tidak ada perselisihan besar di antara kami. Perselisihan kecil memang terkadang terjadi, namun intensitasnya tidak terlalu sering, dan itu pun tidak berlangsung lama. Selain itu, saya tidak pernah melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan tidak pula menelantarkannya. Namun, apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur. Palu hakim sudah diketok dan pengadilan pun menerima gugatan cerai isteri saya.
Jujur, hati kecil saya sebenarnya masih mencintainya dan saya ingin bersatu lagi dengannya. Apalagi, bila mengingat masa depan anak saya yang masih berusia 2 tahun. Namun, saya pernah dengar bahwa bila pihak wanita yang menuntut cerai (khulu’), maka sepasang suami isteri tersebut tidak boleh bersatu lagi untuk selamanya. Apakah benar seperti itu, Ustadz? Dan apakah benar seorang wanita yang menuntut cerai tanpa ada alasan yang kuat dilaknat ALLAH? Bila saya ingin kembali lagi dengannya, apa hal itu mungkin? Bila mungkin, langkah-langkah apa yang perlu saya lakukan menurut Ustadz? Mohon saran dan jawabannya. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
X-…….

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudaraku yang terhormat, saya turut prihatin atas masalah yang menimpa Anda. Dalam kasus yang Anda hadapi, ada beberapa kemungkinan faktor yang menyebabkan isteri Anda menuntut cerai. Bisa jadi karena ada sikap Anda yang tidak menyenangkan hatinya namun dia tidak mau mengungkapkannya secara terus terang, atau bisa jadi karena dia tidak mencintai Anda dan tidak mau berusaha untuk menumbuhkan dan memupuk rasa cintanya kepada Anda. Bahkan, bisa jadi karena adanya tekanan dari keluarganya atau ada laki-laki lain yang telah memikat hatinya.
Secara hukum, apa yang dilakukan isteri Anda sah-sah saja meskipun hal itu dilakukan tanpa ada alasan yang kuat seperti adanya kekerasan dalam rumah tangga, atau karena Anda telah menelantarkannya, atau alasan-alasan lain seperti yang disebutkan dalam sighat ta’lik talak, seperti yang tercantum dalam buku nikah. Bahkan, hal itu juga dibolehkan hanya karena isteri tidak bisa mencintai suami. Sebab, tujuan utama pernikahan adalah membina rumah tangga yang sakinah, penuh mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang). Dari sini, maka bila salah satu pihak (suami atau isteri) sudah merasa tidak nyaman, maka ia boleh memutuskan untuk tidak meneruskan perjalanan bahtera rumah tangganya. Bila isteri yang sudah merasa tidak nyaman, maka dia boleh melakukan khulu’, yaitu menebus dirinya dari kekuasaan suami dengan menyerahkan sejumlah harta kepadanya. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan kemudharatan yang akan menimpa wanita, baik karena sikap suaminya yang tidak baik (zhalim) maupun karena dia tidak bisa lagi tinggal bersama orang yang tidak dicintainya.
Namun perlu diingat, karena pernikahan merupakan ikatan suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga SAMARA (sakinah, mawaddah dan rahmah) yang merupakan unsur terpenting dalam pembentukan masyarakat yang baik, maka Islam agak sedikit menutup pintu ini, walaupun tidak 100% menutupnya. Artinya, Islam berusaha agar hal seperti itu tidak terjadi. Namun andaikata memang harus terjadi, maka hal itu dibolehkan. Tentunya berdasarkan pertimbangan adanya kemashlahatan (kebaikan) bagi kedua belah pihak. Karena itu, maka pembolehan khulu’ ini pun dikaitkan dengan kekhawatiran akan terjadinya pelanggaran terhadap hukum-hukum ALLAH, seperti disebutkan pada firman-Nya: “Jika kamu khawatir keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum ALLAH, maka tidak ada dosa bagi keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 229) Hal ini dimaksudkan agar wanita tidak menggunakan fasilitas khulu’ ini semaunya, tanpa ada pertimbangan kemashlahatan. Demikian pula dengan hakim, dia tidak boleh mengabulkan permohonan khulu’ begitu saja tanpa ada pertimbangan kemashlahatan dan sebelum berusaha untuk menyatukan kembali suami isteri yang akan bercerai itu.
Selain itu, meskipun secara hukum seorang wanita dibolehkan untuk melakukan khulu’ tanpa ada alasan yang kuat seperti adanya kekerasan dalam rumah tangga ataupun alasan-alasan lainnya, namun secara etika hal itu sangat tidak baik. Karena itu, Rasulullah saw. bersabda: “Setiap wanita yang menuntut thalak (cerai) kepada suaminya tanpa ada alasan yang dibenarkan agama, maka haram baginya mencium semerbak surge.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi) Dalam riwayat lain disebutkan: “Wanita-wanita yang melakukan khulu’ adalah wanita-wanita yang munafik.” (HR. Tirmidzi) Maksudnya adalah wanita yang menuntut cerai tanpa ada alasan yang kuat.
Saudaraku yang terhormat, kasus khulu’ pertama yang terjadi pada zaman Rasulullah saw. menimpa keluarga Tsabit bin Qais dan Jamilah binti Salul. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Jamilah binti Salul datang menghadap Nabi saw. dan berkata: “Demi ALLAH, aku tidak mencela Tsabit karena agama atau akhlaknya, tetapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam. Sungguh aku tidak tahan hidup bersamanya karena aku benci kepadanya.” Rasulullah pun bertanya: “Apakah kamu mau mengembalikan kebun miliknya?” Jamilah menjawab: “Ya.” Maka, Rasulullah saw. pun memerintahkan suaminya (Tsabit) untuk mengambil kembali kebun miliknya. (HR. Ibnu Majah)
Dalam kasus khulu’, perlu diingat pula bahwa suami hanya dibolehkan untuk mengambil tebusan dari isterinya bila tidak ada perbuatan nusyuz/pelanggaran yang dilakukan suami, seperti menyakiti atau menzhalimi isteri. Bila ada nusyuz, dia tidak boleh mengambil tebusan itu. Imam Malik berkata: “Aku senantiasa mendengar hadits tersebut dari para ulama, dan hal itu telah kami sepakati bersama, yaitu bila seseorang (suami) tidak menganiaya, tidak menyakiti isterinya dan tidak melakukan perbuatan buruk kepadanya, sementara sang isteri ingin berpisah darinya, maka dihalalkan bagi suami untuk mengambil tebusan dari isterinya seperti yang telah dilakukan oleh Nabi saw. terhadap isteri Tsabit bin Qais. Namun, bila suami berbuat nusyuz dengan menyakiti atau menganiaya isterinya, maka apa yang diambil suami harus dikembalikan kepada isterinya.”
Mengenai pertanyaan Anda, apakah Anda berdua boleh bersatu kembali atau tidak, perlu diketahui bahwa apa yang pernah Anda dengar itu bukan satu-satunya pendapat yang ada dalam masalah ini. Para ulama berbeda pendapat apakah khulu’ termasuk ke dalam katagori thalak ataukah fasakh (pembatalan akad)? Diriwayatkan dari Utsman, Ali, Ibnu Mas’ud dan sekelompok tabi’in, bahwa khulu’ termasuk katagori thalak. Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Abu Hanifah dan Imam Syafi’i dalam salah satu qaul (pendapat)nya.
Imam Malik berkata: “Barangsiapa yang berniat khulu’ dengan maksud menjatuhkan thalak dua atau tiga, maka konsekuensinya pun berlaku. Artinya, bila dengan khulu’ itu seorang suami berniat menjatuhkan thalak tiga, maka jatuhlah thalak tiga sehingga sang isteri tidak boleh dinikahi kembali olehnya kecuali setelah dinikahi oleh orang lain.”
Ada pula yang berpendapat bahwa khulu’ termasuk katagori fasakh (pembatalan akad nikah), dan bukan thalak kecuali dengan niat. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Thawus, Ikrimah, Ishak dan Imam Ahmad. Pendapat ini didasarkan pada sebuah riwayat dari Ibnu Abbas bahwa Ibrahim bin Sa’ad bin Abi Waqqas pernah bertanya kepadanya: “Seorang laki-laki telah menthalak isterinya dengan dua thalak, kemudian sang isteri melakukan khulu’ kepada suaminya, apakah suami boleh menikahinya kembali?” Ibnu Abbas pun menjawab: “Ya, suami boleh menikahinya, karena khulu’ tidak termasuk katagori thalak.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/405)
Ibnu Taimiyyah berkata : “Pendapat yang telah kami jelaskan, bahwasanya khulu’ merupakan fasakh yang memisahkan wanita dari suaminya. Khulu’ yang dilakukan dengan lafazh apa saja adalah shahih, sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash dan ushul. Oleh karena itu, seandainya seorang lelaki memisahkan isterinya dengan tebusan (khulu’) beberapa kali, maka ia masih boleh menikahinya, baik dengan lafazh thalak maupun selainnya.”
Berdasarkan penjelasan di atas, maka Anda perlu melihat kembali vonis yang dijatuhkan hakim pengadilan. Saya yakin, dalam hal ini hakim pengadilan akan mempertimbangkan faktor kemashlahatan Anda berdua. Andaikata hakim mengikuti pendapat yang pertama, pasti dia hanya akan memerintahkan suami untuk menceraikan isterinya dengan satu thalak (jatuh thalak 1).
Saudaraku, bila memang ternyata putusan pengadilan masih memberikan peluang bagi Anda berdua untuk bersatu kembali, sementara keinginan Anda untuk bersatu kembali dengan mantan isteri Anda begitu kuat, maka hanya satu saran yang ingin saya sampaikan kepada Anda. Memohonlah petunjuk kepada ALLAH dengan cara melakukan istikharah agar Anda tidak jatuh ke lubang yang sama atau Anda akan mengalami kegagalan untuk kedua kalinya dalam menggayuh bahtera rumah tangga. Sebab, sikap isteri Anda yang menuntut cerai tanpa ada alasan yang kuat, menunjukkan bahwa komitmennya untuk membina keluarga SAMARA kurang kuat. Namun, hal itu juga tidak bisa dipastikan 100%, karena ada kemungkinan pula dia telah bertaubat dan menyesali apa yang telah dia lakukan setelah dia berpisah dari Anda, atau setelah dia memikirkan masa depan anaknya. Karena itu, tidak ada jalan yang paling tepat kecuali dengan memohon petunjuk kepada Dzat Yang Maha Mengetahui, ALLAH swt.., agar Anda mendapatkan pilihan yang terbaik. Wallaahu A’lam….

Rabu, 14 Juli 2010

Suamiku Selingkuh Dengan Wanita Lain

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam kenal Ustadz. Saya adalah seorang wanita yang sudah menikah selama 4 tahun, tapi sampai sekarang belum dikaruniai anak. Ustadz, saya ingin bercerita tentang kehidupan rumah tangga saya. Semoga Ustadz berkenan memberikan nasehat kepada saya.
Sejak tahun pertama pernikahan, saya sudah dihadapkan pada suatu cobaan yang sangat berat. Suami saya berselingkuh dengan wanita lain. Selama 2 bulan, saya ditinggalkan oleh suami tanpa ada pesan apapun. Pada saat itu, saya memutuskan untuk bekerja. Setelah 1 bulan saya bekerja, tiba-tiba suami saya datang dan meminta saya untuk kembali. Saya pun menerima ajakan suami. Selama 6 bulan sejak itu, kami hidup rukun. Namun sayangnya, kejadian yang sama terulang kembali.
Suami saya meminta maaf lagi, dan saya pun menerima permintaan maafnya. Ustadz, kejadian seperti itu sudah 3 kali terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pernikahan kami. Tapi Alhamdulillah, sedikit demi sedikit suami saya mulai berubah. Sekarang suami saya bekerja di Jakarta. Sudah setahun lebih dia bekerja di sana. Namun, hingga sekarang dia tidak kunjung mengajak saya untuk hidup bersama-sama di Jakarta. Bila saya bertanya kenapa saya tidak boleh ikut, dia selalu menjawab bahwa waktunya belum tepat.
Sekarang saya tinggal dengan mertua. Ustadz, saya selalu diliputi rasa ketakutan dan kekhawatiran bila kejadian yang sama terulang kembali. Saya benar-benar ingin hidup bersama suami, membangun rumah tangga yang semestinya dimana didalamnya ada kami berdua. Apa yang harus saya lakukan, Ustadz? Sebelum dan sesudahnya, saya ucapkan terima kasih. Semoga Ustadz berkenan memberikan nasehatnya kepada saya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
X-….
Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Salam kenal juga, wahai Saudariku. Mudah-mudahan silaturahim kita diridhai ALLAH swt., amin ya Robbal-‘alamiin. Pada zaman sekarang ini, perselingkuhan merupakan hal yang sudah tidak aneh lagi. Banyak laki-laki dan wanita yang sudah menikah yang terlibat kasus perselingkuhan. Faktor penyebabnya pun beraneka ragam, di antaranya:
1. Ingin menghindari masalah rumah tangga atau masalah pribadi.
2. Memiliki keimanan dan ketakwaan yang rendah.
3. Gemar bermain cinta dengan yang bukan isteri/suami resmi.
4. Memiliki nafsu birahi yang tinggi dan tidak terkontrol.
5. Mempunyai sifat dan bakat playboy/playgirl sejak sebelum menikah.
6. Suami atau isteri tidak bisa membahagiakan/menyenangkan dirinya.
7. Sifat mau menang sendiri atau ego pada pasangan.
8. Rasa ingin coba-coba bagaimana rasanya selingkuh.
9. Pertengkaran dalam rumah tangga.
10. Tidak menepati janji suci/komitmen pernikahan.
11. Dorongan atau pengaruh buruk dari lingkungan sekitar yang tidak baik.
12. Pasangan resmi tidak jujur ketika belum menikah sehingga menimbulkan kekecewaan.
13. Hobi yang menjurus ke arah perselingkuhan seperti clubbing, pijat, chatting dan lain-lain. (Sumber: http://id.shvoong.com)
Secara umum, faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua:
1. Faktor internal yang meliputi sifat atau karakter dasar suami/isteri dan kondisi rumah tangga.
2. Faktor eksternal yang meliputi pengaruh lingkungan dan kebiasaan buruk.
Saudariku, dalam kasus yang Anda hadapi, nampaknya perselingkuhan yang dilakukan suami Anda lebih disebabkan karena karakter dasar suami Anda yang –menurut saya- kurang baik. Bisa jadi karena suami memiliki keimanan dan ketakwaan yang rendah, gemar bercinta dengan wanita yang bukan isterinya, atau karakter-karakter yang tidak baik lainnya seperti yang telah disebutkan di atas. Mohon maaf, saya berani mengatakan seperti itu karena saya melihat kasus perselingkuhan ini sudah muncul pada tahun pertama pernikahan. Padahal, tahun pertama pernikahan merupakan tahun yang terindah dalam perjalanan rumah tangga hampir setiap pasangan suami-isteri, sehingga kemungkinan terjadinya perselingkuhan yang disebabkan oleh faktor-faktor lain kecil sekali.
Saya yakin, ketika ada seorang suami/isteri yang melakukan perselingkuhan pada tahun pertama pernikahan, maka hal itu lebih disebabkan karena faktor karakter yang buruk. Tentunya, hal itu juga disebabkan karena dia tidak memegang komitmen pernikahan, yaitu untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, penuh mawaddah dan rahmah seperti yang disinyalir dalam firman ALLAH swt.: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Ruum [30]: 21)
Selain itu, perselingkuhan tersebut terjadi hingga tiga kali hanya dalam usia pernikahan 4 tahun. Ini menunjukkan bahwa suami Anda sudah terbiasa dengan hal itu sehingga sulit baginya untuk meninggalkan kebiasaan buruk tersebut. Apalagi, seperti yang Anda katakan, perselingkuhan itu terjadi lagi di saat rumah tangga Anda berdua sudah mulai rukun, hingga 6 bulan berjalan.
Saudariku, untuk merubah karakter buruk tersebut memang tidak mudah. Namun, hal itu bukan berarti tidak mungkin, asalkan Anda berdua mau berusaha untuk merubahnya. Apalagi seperti yang Anda katakan, saat ini sudah mulai ada perubahan pada diri suami Anda. Untuk mewujudkan hal itu, dibutuhkan kerja keras dan doa. Bila Anda benar-benar masih ingin hidup bersama dengan suami, maka tetaplah bersabar dan bantulah suami untuk berubah! Tunjukkan kepadanya bahwa Anda benar-benar mencintainya, kemudian lakukanlah hal-hal yang disukainya dan hindarilah hal-hal yang tidak disukainya. Berusahalah semampu mungkin agar Anda benar-benar menjadi “tambatan hatinya” sehingga dia tidak berpindah ke lain hati. Yakinlah bahwa perubahan tidak akan datang dengan sendirinya, tapi harus diupayakan, sesuai firman ALLAH swt.: “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka merubah diri-diri mereka." (QS. ar-Ra'du [13]: 11)
Salah satu upaya untuk merubahnya, Anda juga harus bersikap tegas. Jangan Anda terkesan sebagai wanita yang lemah yang bisa dipermainkan begitu saja oleh suami Anda. Karena kalau Anda masih seperti itu, maka Anda akan selalu dipermainkan dan kejadian serupa akan terulang kembali. Sekali-kali Anda perlu bersikap tegas kepadanya, seperti dengan memberi ancaman “Kalau terulang kembali, maka aku tidak mau bersatu lagi”. Anda tidak perlu takut, itu hanya sekedar gertakan. Mudah-mudahan suami Anda akan berfikir dua kali bila ingin mengulangi kembali kebiasaan buruknya itu.
Jangan lupa pula untuk selalu berdoa kepada ALLAH swt. agar suami diberi hidayah oleh-Nya. Ingatlah, bahwa doa merupakan senjata orang Mukmin. Yakinlah, bila kita memohon dengan kesungguhan hati kepada-Nya, maka Dia akan mengabulkan permohanan kita. Dalam kaitannya dengan alasan suami agar Anda tidak tinggal bersamanya saat ini, Anda harus husnuzh-zhon (berprasangka baik). Anggaplah bahwa apa yang dia katakan memang benar begitu adanya. Bersabarlah dan berusahalah terus untuk merubah diri suami Anda. Mudah-mudahan berhasil, amin. Wallaahu A’lam….

Senin, 05 Juli 2010

Mengqadha (Membayar) Puasa Dam Haji Tamattu’

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz, saya ada pertanyaan: Beberapa tahun yang lalu, saya berangkat haji dan mengambil haji tamattu’. Namun karena keterbatasan dana yang saya bawa, saya tidak bisa membeli seekor kambing untuk membayar dam (denda). Sayangnya lagi, saya tidak sempat melakukan puasa tiga hari di Mekkah, dan sampai saat ini saya tidak melakukan apa-apa untuk mengganti dam haji tamattu’ tersebut. Karena saya belum mendapat jawaban atas permasalahan saya itu, maka saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Bolehkah saya menyembelih hewan dam itu sekarang padahal pelaksanaan hajinya sudah saya lakukan beberapa tahun yang lalu?
2. Jika boleh, bolehkah saat ini saya menyembelih hewan dam tersebut di tanah air dan dibagikan kepada fakir miskin atau anak-anak yatim sebagai pengganti dam haji tamattu’ yang saya lakukan beberapa tahun lalu, ataukah saya harus menyembelihnya di kota Mekkah?
3. Bolehkah saya mengganti dam tersebut dengan berpuasa selama sepuluh hari berturut-turut di tanah air?
Mohon Ustadz berkenan mencarikan jawabannya karena permasalahan ini sudah lama mengganjal di hati saya. Syukran katsiran atas jawaban Ustadz.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
S-….

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudaraku yang terhormat, kasus yang Anda hadapi termasuk unik dan jarang ditemui sehingga saya pribadi agak kesulitan saat mencari tahu tentang hukumnya. Beberapa kitab sudah saya buka, namun saya tidak menemukan pembahasan khusus mengenai kasus yang Anda hadapi itu. Namun demikian, setelah berusaha memahami kasus tersebut, dan –tentunya- setelah memohon petunjuk ALLAH swt., saya memberanikan diri untuk menjawabnya. Tapi perlu diingat, apa yang saya sampaikan di sini hanyalah pendapat pribadi yang saya simpulkan dari beberapa dalil, sehingga bisa saja benar dan bisa saja salah. Karena itu, bila nanti Anda menemukan pendapat dengan dalil yang lebih kuat, saya sarankan kepada Anda untuk mengikuti pendapat tersebut. Saya juga berharap, dengan dimuatnya kasus yang Anda hadapi ini di website atau blog saya, mudah-mudahan ada di antara saudara-saudara kita yang memiliki pendapat dengan dalil yang lebih kuat mau memberikan sharing mengenai kasus tersebut.
Saudaraku, saya kira Anda sudah banyak mengetahui tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah haji, termasuk mengenai haji tamattu’. Namun tidak ada salahnya bila di sini saya mencoba untuk menjelaskan kembali tentang pengertian haji tamattu’, dengan tujuan agar saudara-saudara kita yang lain dapat mengetahuinya.
Haji tamattu’ adalah melakukan ibadah umrah dan ibadah haji secara terpisah, dengan mendahulukan ibadah umrah terlebih dahulu daripada ibadah haji. Dalam haji tamattu’ ini, setelah jama’ah selesai melaksanakan rangkaian ibadah umrah yang meliputi ihram, thawaf dan sa’i, mereka dibolehkan untuk bertahallul (mencukur rambut). Setelah itu, mereka pun boleh melepas kain ihramnya dan boleh bersenang-senang (tamattu’) karena sudah terbebas dari segala macam larangan ihram. Mereka tinggal menunggu tanggal 8 Dzulhijjah, dimana pada saat itu mereka harus berihram lagi guna melaksanakan rangkaian ibadah haji.
Karena sifatnya yang lebih ringan, haji model ini pun banyak diminati oleh jama’ah haji, termasuk yang berasal dari Indonesia. Namun perlu diingat, karena adanya unsur kemudahan (rukhshah) itulah, maka jama’ah yang memilih haji model ini diwajibkan untuk membayar dam atau denda, yaitu menyembelih seekor kambing. Bila tidak mampu, maka dapat diganti dengan berpuasa selama 10 hari; 3 hari di tanah suci dan 7 hari di tanah air. Ketentuan ini sesuai dengan firman ALLAH swt.: “Apabila kamu dalam keadaan aman, maka barangsiapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) hadyu (hewan sembelihan) yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itu seluruhnya sepuluh (hari).” (QS. Al-Baqarah [2]: 196)
Firman ALLAH di atas, disebutkan setelah firman-Nya: “Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena ALLAH….” Ini berarti bahwa kita diperintahkan untuk menyempurnakan ibadah haji dan umrah dengan melengkapi semua rukun dan wajib haji yang telah ditetapkan syariat, dengan tujuan agar ibadah haji dan umrah kita benar-benar mencapai kesempurnaan. Khusus untuk hal-hal yang tidak termasuk rukun haji, pelaksanaannya bisa diwakilkan oleh orang lain atau bisa diganti dengan hal lain yang sifatnya lebih ringan, seperti haji ifrad bisa diganti dengan haji tamattu’, sebagai keringanan (rukhshah) dari ALLAH swt.. Namun, jama’ah haji yang melakukan hal itu, diwajibkan untuk membayar dam atau denda. Jadi, pembayaran dam yang Anda tanyakan di atas sama sekali tidak termasuk rukun yang mempengaruhi sah atau tidaknya ibadah haji. Pembayaran dam tersebut diwajibkan guna menyempurnakan ibadah haji.
Saudaraku, karena Anda telah memutuskan untuk mengambil haji tamattu’ sebagai pengganti haji ifrad, maka Anda dikenai kewajiban membayar dam, yaitu menyembelih kambing. Namun seperti yang Anda katakan, pada saat itu Anda tidak sempat untuk berpuasa, sehingga Anda sama sekali belum dianggap membayar dam yang sudah menjadi kewajiban bagi Anda. Dalam kasus Anda, menurut saya pembahasan yang paling tepat adalah mengqadha puasa sebagai pengganti dam haji tamattu’ dan bukan mengqadha pelaksanaan dam tamattu’. Dengan demikian, maka Anda tidak perlu menyembelih hewan dam seperti yang Anda tanyakan pada poin no. 1 dan no. 2. Karena itu, Anda hanya dikenai kewajiban untuk mengqadha puasa sebagai pengganti dam haji tamattu’. Bila kewajiban itu belum dilakukan, maka ia akan menjadi hutang bagi Anda sampai kapanpun, yaitu hutang Anda kepada ALLAH swt.. Karenanya, mayoritas ulama berpendapat bahwa barangsiapa meninggal dalam keadaan masih memiliki tanggungan puasa kafarah, seperti puasa untuk kafarah zhihar atau puasa wajib sebagai dam haji tamattu’, maka ahli warisnya harus memberi makanan atas nama orang yang meninggal tersebut, setiap hari satu orang miskin dan tidak perlu diqadha puasanya.
Namun karena Anda masih hidup, maka Anda masih dikenai kewajiban untuk mengqadha puasa tujuh hari yang wajib dilakukan di negara asal, tidak boleh diganti dengan memberi makan orang miskin selama Anda masih mampu untuk melaksanakannya. Sedangkan puasa tiga hari yang wajib dilakukan di musim haji harus diganti dengan memberi makan orang miskin. Sebab di samping tempat pelaksanaannya berbeda, waktu pelaksanaannya juga sudah lewat.
Saudaraku, dalam kasus pembayaran kafarah ini, faktor penyesalan (taubat) dan kesungguhanlah yang sangat menentukan. Bila Anda sungguh-sungguh untuk membayar kafarah tersebut sesuai dengan pendapat yang saya sampaikan di atas, atau mungkin pendapat lain yang lebih kuat, maka yakinlah bahwa ALLAH swt. akan menerimanya. Ingatlah, bahwa ALLAH tidak membebani seseorang kecuali sesuai kesanggupannya (Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 286). Hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap orang yang dikenai kewajiban membayar kafarah karena melakukan hubungan badan dengan isterinya di siang hari di bulan Ramadhan, dimana pada saat itu orang tersebut tidak mampu membebaskan seorang budak ataupun puasa (dua bulan berturut-turut) dan juga tidak mampu memberi makan (enam puluh orang miskin), maka gugurlah kewajibannya membayar kafarah, karena tidak ada beban syari’at kecuali kalau ada kemampuan. Berdasarkan hal itu, maka Rasulullah saw. pun menggugurkan kewajiban membayar kafarah bagi orang tersebut. Beliau malah memberinya satu wadah korma untuk diberikan kepada keluarganya. Wallaahu A’lam….
NB: Bagi yang ingin sharing pendapat dengan dalil yang lebih kuat seputar kasus ini, silahkan tulis komentar di bagian bawah artikel ini, atau kirim email ke abunabilazahra@yahoo.com, atau kirim pesan ke inbox facebook saya (Fatkhurozi Chafas). Insya ALLAH komentar yang disertai dengan dalil-dalil yang mendukungnya akan diterbitkan di bawah artikel ini. Terima kasih....

Sabtu, 26 Juni 2010

Mertuaku Cerewet

Assalammualaikum Wr. Wb.
Ustadz, saya dan anak diminta suami tinggal di rumah mertua di kota C, kurang lebih 3 jam dari Jakarta. Suami saya bekerja di Jakarta, sedangkan saya bekerja di kota S, kurang lebih 2 jam dari Jakarta dan 1/2 jam dari kota C. Namun, saya hanya sesekali saja ke kota S dan lebih banyak bekerja di rumah. Saya sudah berusaha untuk menuruti suami tinggal di kota C, karena suami ingin saya menemani orangtuanya dan ingin anak kami dibesarkan di lingkungan dimana suami dulu tinggal.
Namun, saya tidak betah tinggal di rumah mertua karena mertua perempuan saya sangat cerewet dan suaranya sangat keras, sehingga saya merasa tidak pernah tenang dan ikut pusing tujuh keliling mendengar semua problem yang diceritakan oleh mertua saya. Mertua saya sangat senang berbicara karena beliau guru bahasa. Bahkan, beliau hampir tidak pernah diam. Saat membaca majalah atau koran pun, beliau melakukannya dengan suara keras agar orang lain dapat mendengar.
Sementara itu, pekerjaan saya sangat membutuhkan ketenangan, karena saya harus membaca banyak buku dan literatur, lalu menuliskannya kembali dalam bentuk makalah atau penelitian. Mertua laki-laki saya suaranya juga sangat keras dan orangnya galak. Mertua laki-laki sering meminta uang ke istrinya yang juga bekerja. Anehnya, kalau marah, dia seringkali menyemprot istrinya dengan air pada saat sedang tidur malam hari..Mohon petunjuknya Ustadz. Syukron.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
T - …..

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudariku yang terhormat, sebelumnya saya mohon maaf karena nampaknya pertanyaan ini sudah cukup lama disampaikan. Namun, saya baru memberikan jawaban karena saya baru mengecek kembali email-email yang masuk. Walaupun terlambat, mudah-mudahan jawaban yang diberikan masih bermanfaat, amin.
Saudariku, untuk mewujudkan satu tujuan, dibutuhkan adanya komitmen dan tekad yang kuat, yang dengannya seseorang akan mampu mengatasi berbagai masalah baik rintangan, hambatan, cobaan ataupun godaan. Bila komitmen seseorang kuat, maka dia akan mampu untuk menghadapi setiap masalah yang menghadangnya, sebesar apapun masalah tersebut. Sebaliknya, bila komitmennya lemah, maka dia tidak akan mampu untuk menghadapi setiap masalah yang muncul, sekecil apapun masalah tersebut.
Dalam kasus Anda ini, Anda dan suami harus mempertegas kembali dua tujuan, yaitu tujuan Anda menikah dan tujuan Anda diminta suami untuk tinggal di rumah mertua. Bila Anda berdua telah sepakat untuk mencapai kedua tujuan tersebut, maka kuatkanlah komitmen untuk mewujudkannya. Bila komitmen Anda berdua kuat, saya yakin, masalah yang sedang Anda hadapi sekarang tidak akan menjadi masalah serius yang dapat menjadi batu sandungan (rintangan) bagi Anda berdua dalam mewujudkan rumah tangga yang sakinah, penuh mawaddah dan rahmah.
Dari penjelasan Anda di atas, saya melihat bahwa tujuan Anda tinggal di rumah mertua adalah karena suami ingin agar Anda dan anak Anda menemani kedua orangtuanya yang –nampaknya- tinggal hanya berdua saja. Pada saat Anda mengiyakan atau menyetujui permintaan suami tersebut, berarti Anda dituntut untuk berusaha mewujudkan tujuan yang diinginkan suami. Saya yakin bila komitmen Anda tinggi, maka seperti apapun sikap mertua Anda, Anda akan mampu untuk menghadapinya. Apalagi bila Anda menyadari betul bahwa orangtua suami Anda adalah orangtua Anda juga yang harus Anda terima apa adanya dan harus selalu Anda hormati, walaupun terkadang ada sikapnya yang kurang menyenangkan. Mungkin awalnya agak sedikit berat, tapi semua tergantung niat dan kebiasaan. Bila Anda mau membiasakan diri untuk bersabar dalam menghadapi sikap mertua yang mungkin kurang cocok di hati Anda, maka lambat laun Anda akan menganggapnya sebagai hal biasa.
Jadi saran saya, cobalah untuk menghadapi sikap mertua dengan penuh kesabaran. Anggaplah dan perlakukanlah dia seperti orangtua Anda sendiri. Berusahalah semaksimal mungkin untuk menerima kekurangan atau kelemahan yang ada pada dirinya. Carilah cara agar Anda merasa nyaman tinggal di tempat mertua. Sebagai contoh, bila Anda merasa terganggu saat Anda sedang bekerja di rumah, cobalah untuk bekerja di kamar. Kemudian tutuplah telinga Anda dengan kapas atau headphone agar Anda tidak terlalu terganggu dengan suara keras mertua Anda. Saya yakin bila komitmen Anda kuat dalam mewujudkan tujuan tersebut, pasti ada cara untuk mengatasi masalah yang sedang Anda hadapi sekarang.
Namun perlu diingat, bila Anda telah berusaha maksimal, tetapi ternyata Anda tidak berhasil juga sehingga Anda masih kurang nyaman tinggal di rumah mertua, maka kembalilah ke tujuan utama Anda, yaitu membangun rumah tangga yang sakinah serta penuh mawaddah dan rahmah. Jangan sampai tujuan kedua (menemani orangtua suami) yang merupakan tujuan sekunder dalam kehidupan rumah tangga Anda itu mengganggu upaya Anda berdua dalam mewujudkan tujuan utama yang merupakan tujuan primer. Jangan sampai gara-gara masalah yang Anda hadapi sekarang, keutuhan biduk rumah tangga Anda berdua terancam. Bila ada indikasi ke sana, bicarakanlah baik-baik dengan suami. Tapi ingat, hindari emosi! Saya yakin ada solusi terbaik!
Sebagai penutup, saya kutipkan firman ALLAH swt. yang menggambarkan tujuan utama pernikahan: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri ddari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Ruum [30]: 21)
Demikian penjelasan dari saya, mudah-mudahan bermanfaat dan mudah-mudahan rumah tangga Anda berdua senantiasa diberkahi ALLAH swt., amin. Wallaahu A’lam….

Sabtu, 19 Juni 2010

Hukum Mengecat Rambut

Hukum Mengecat Rambut
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Semoga Ustadz dan keluarga senantiasa sehat dan dilindungi ALLAH swt., amin. Ustadz, saya mau menanyakan apakah boleh (sah) sholatnya seorang Muslimah yang mengecat rambutnya?
Saya pernah membaca, kalau tidak salah, kita dilarang mengecat rambut dengan warna hitam, apa itu benar? Kalau benar, apakah hal itu berarti bahwa selain warna hitam diperbolehkan?
Satu lagi Ustadz, bagaimana hukumnya bila saya mengecat
rambut dengan tujuan untuk menyenangkan hati suami, karena kebetulah saya adalah wanita berjilbab sehingga hanya suami yang akan melihat rambut saya?
Mohon penjelasannya Ustadz, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
E-……

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Terima kasih sebelumnya atas doa yang Anda panjatkan untuk kami. Semoga Anda dan keluarga juga selalu dalam bimbingan dan lindungan ALLAH swt., amin.
Saudariku yang terhormat, shalat seseorang tidak sah bila saat berwudhu atau melakukan mandi wajib, ada hal-hal yang menghalangi masuknya air ke bagian yang harus dibasuh, termasuk cat, lem ataupun pewarna rambut. Dengan demikian, maka bila Anda ingin mengecat rambut sebelum berwudhu atau mandi wajib, sebaiknya dengan menggunakan bahan yang tidak menghalangi masuknya air ke bagian yang harus dibasuh, seperti pohon inai dan katam. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar, disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik bahan yang dipakai untuk menyemir uban ialah pohon inai dan katam.” (HR. Tirmizi dan Ashabussunan)
Tetapi bila Anda ingin memakai cat rambut dengan bahan yang dapat menghalangi masuknya air, maka sebaiknya dilakukan setelah berwudhu atau mandi wajib, agar tidak menghalangi sahnya shalat.
Saudariku, sebenarnya larangan untuk menggunakan cat rambut berwarna hitam ditujukan bagi orang tua yang sudah beruban, dimana ubannya sudah merata. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Abu Bakar pernah membawa ayahnya, Abu Quhafah, menghadap Nabi saw.. Hal itu terjadi pada hari penaklukkan kota Mekkah. Maka, Nabi pun bersabda: “Ubahlah ini (uban) tetapi jauhilah warna hitam.” (HR. Muslim)
Dari sini, dapat difahami bahwa bagi orang yang belum beruban seperti Abu Quhafah, dibolehkan untuk menggunakan warna hitam, seperti yang dikatakan oleh Az-Zuhri: “Saat wajah kami masih terlihat muda, kami menyemir rambut dengan warna hitam. Tetapi setelah wajah kami terlihat mengerut dan gigi kami sudah tidak utuh, kami menghindari warna hitam.”

Dalam kaitannya dengan hukum mengecat rambut dengan warna hitam tersebut, ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Berikut saya sebutkan pendapat-pendapat tersebut:
• Imam Hanbali, Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa mengecat rambut dengan warna hitam makruh hukumnya kecuali bagi orang yang akan pergi berperang karena ada ijma’ (kesepakatan ulama) yang menyatakan kebolehannya.
• Imam Abu Yusuf (dari madzhab Hanafi) berpendapat bahwa mengecat rambut dengan warna hitam dibolehkan. Hal ini berdasarkan pada sabda Nabi saw.: “Sebaik-baik warna yang digunakan untuk mengecat rambut adalah warna hitam ini, karena ia lebih menarik bagi istri-istri kalian dan (dengannya) kalian terlihat lebih berwibawa di hadapan musuh-musuh kalian.” (Tuhfatul Ahwadzi, 5/436)
• Sedangkan Imam Syafi’i mengharamkan pemakaian warna hitam kecuali bagi orang-orang yang akan berperang. Pendapatnya itu didasarkan pada sabda Nabi saw.: “Pada pada akhir zaman nanti, akan ada orang-orang yang mengecat rambut mereka dengan warna hitam. Mereka itu tidak akan mencium bau surga.” (HR. Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
Mengenai pertanyaan terakhir Anda, bila memang niat Anda adalah untuk menyenangkan suami, dan memang suami sangat menyukainya, maka –menurut saya- hal itu sangat mulia di mata ALLAH selama hal itu bukan termasuk hal yang diharamkan-Nya. Di sini, ada satu hal yang ingin saya tekankan. Pada zaman sekarang ini, sudah semakin jarang wanita yang memiliki niat mulia seperti itu. Kebanyakan wanita berdandan agar keindahan wajah dan kemolekan tubuhnya dilihat oleh orang lain, bukan khusus untuk suaminya sendiri. Buktinya, banyak wanita yang lebih senang berdandan saat akan keluar rumah, baik untuk berbelanja ataupun untuk keperluan-keperluan lainnya. Bahkan tidak jarang yang berdandan secara berlebihan hingga terkesan menor atau seksi. Sementara saat berada di rumah atau saat berada di hadapan sang suami, mereka tidak mau berdandan. Alhasil, yang menikmati kecantikan wajahnya, keindahan dirinya dan bau wangi parfumnya justru orang lain, bukan suaminya sendiri. Suaminya hanya kebagian bau bawang atau bau jengkol yang dimakannya….Wallaahu A’lam….

Sabtu, 12 Juni 2010

Cara Menghitung Zakat Profesi

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya mau tanya tentang hukum zakat penghasilan (profesi):
1) Apa benar setiap bulan kita harus mengeluarkan zakat penghasilan kita?
2) Bagaimana perhitungannya? Apakah 2,5% dihitung dari penghasilan kotor/bersih.
3) Kepada siapa harus diberikan?
4) Apakah harus dibayarkan setiap bulan ataukah boleh dikumpulkan dulu? Bagaimana sebaiknya dan apa hukumnya?
Terima kasih atas perhatian dan jawabannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
H-…..

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudaraku yang terhormat, kajian mengenai zakat profesi atau penghasilan merupakan kajian baru yang muncul seiring dengan perkembangan sistem perekonomian masyarakat. Baik dalam Al-Qur’an ataupun hadits, tidak ada nash (teks) yang secara spesifik menjelaskan tentang zakat profesi ini, tidak seperti zakat pertanian, peternakan dan perdagangan. Mengenai zakat profesi ini, yang ada hanyalah isyarat yang terkandung dalam beberapa ayat ataupun hadits, seperti dalam firman ALLAH swt.: ”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 267)
Kemudian dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda: “Setiap orang muslim wajib mengeluarkan zakat.” Para sahabat pun bertanya: “Hai Nabiyullah, apa yang dapat kami lakukan bila kami tidak mampu?” Nabi saw. menjawab: “Bekerjalah untuk sesuatu yang bermanfaat bagi dirimu, kemudian bersedekahlah.” Mereka bertanya lagi: “Apa yang dapat kami lakukan bila kami tidak mampu?” Nabi saw. menjawab: “Berilah pertolongan kepada orang-orang yang memerlukan bantuanmu.”
Dari sini, maka para ulama pun berpendapat bahwa penghasilan seseorang yang diperoleh dari profesi yang ditekuninya wajib dikeluarkan zakatnya, sama seperti penghasilan yang diperoleh dari pertanian, perkebunan, perdagangan dan lain-lain. Secara umum, ada dua penghasilan atau pendapatan yang termasuk dalam kategori zakat profesi ini:
a) Pendapatan dari hasil kerja pada sebuah instansi, baik pemerintah (pegawai negeri sipil) maupun swasta (perusahaan swasta). Pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan seperti ini biasanya bersifat aktif atau dengan kata lain relatif ada pemasukan/pendapatan pasti dengan jumlah yang relatif sama diterima secara periodik (biasanya perbulan).
b) Pendapatan dari hasil kerja profesional pada bidang pendidikan, keterampilan dan kejuruan tertentu, dimana si pekerja mengandalkan kemampuan/keterampilan pribadinya, seperti: dokter, pengacara, tukang cukur, artis, perancang busana, tukang jahit, presenter, musisi dan sebagainya. Pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan seperti ini biasanya bersifat pasif, tidak ada ketentuan pasti penerimaan pendapatan pada setiap periode tertentu. Pendapatan dari hasil kerja profesi adalah buah dari hasil kerja menguras otak dan keringat yang dilakukan oleh setiap orang.

Adapun mengenai teknis atau cara mengeluarkan zakat profesi ini, saya akan mencoba menjawab pertanyaan Anda satu persatu:
1. Pertanyaan pertama Anda ini berkaitan dengan waktu pengeluaran zakat profesi. Dalam hal ini, ada beberapa pendapat:
a) Imam Syafi'i dan Imam Ahmad mensyaratkan haul (sudah cukup setahun) terhitung dari kekayaan itu didapat.
b) Imam Hanafi, Imam Malik dan sejumlah ulama modern, seperti Muh Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf mensyaratkah haul tetapi terhitung dari awal dan akhir harta itu diperoleh, kemudian pada masa setahun tersebut harta dijumlahkan dan kalau sudah sampai nisabnya maka wajib mengeluarkan zakat.
c) Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, dan Umar bin Abdul Aziz tidak mensyaratkan haul, tetapi zakat dikeluarkan langsung ketika mendapatkan harta tersebut. Mereka mengqiyaskan dengan Zakat Pertanian yang dibayar pada setiap waktu panen.
Saya pribadi lebih cenderung pada pendapat yang mensyaratkan haul. Artinya –menurut saya-, seorang pekerja atau pegawai pada akhir masa haul harus menghitung sisa dari seluruh penghasilannya. Apabila jumlahnya telah melampaui nisab (85 gram emas atau 200 dirham perak), maka ia wajib menunaikan zakat sebanyak 2,5%. Sebagai contoh, penghasilan Ahmad sebagai karyawan adalah Rp. 1.500.000,- per bulan. Karena tinggal di daerah yang biaya hidupnya tidak mahal, uang yang dikeluarkan Ahmad setiap bulan untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan keluarganya kurang lebih Rp. 625.000. Jadi, saldo rata-rata perbulan= Rp. 1.500.000 - Rp. 625.000 = Rp. 975.00,- Dengan demikian, maka, harta yang dikumpulkan Ahmad dalam kurun waktu satu tahun adalah Rp. 11.700.00,- Jumlah ini sudah melebihi nisab. Karena itu, di akhir tahun, Ahmad harus mengeluarkan zakat sebesar 2,5% dari jumlah tersebut.
Namun karena alasan kehati-hatian agar tidak lupa ataupun karena alasan-alasan lainnya, Ahmad boleh saja mengeluarkan zakat penghasilannya pada saat menerima penghasilan tersebut setiap bulannya. Atau dengan kata lain, dia boleh mencicil atau mempercepat waktu pembayaran zakatnya, dengan membayar 2,5% dari saldo bulanan. Bila hal ini dilakukan, maka dia tidak perlu lagi membayarkan zakatnya pada akhir masa haul, agar tidak terjadi duoble pembayaran dalam mengeluarkan zakat.

2. Secara umum, cara perhitungan zakat profesi yang didasarkan pada pendapat yang saya pilih tersebut adalah sebagai berikut:
a) Untuk zakat pendapatan aktif (pendapatan tetap), volume prosentase zakat yang dikeluarkan adalah 2,5% dari sisa aset simpanan dan telah mencapai nisab pada akhir masa haul.
b) Untuk zakat pendapatan pasif (penghasilan tidak tetap) dari hasil kerja profesi, prosentase zakat yang dikeluarkan adalah 2.5% dari hasil total pendapatan setelah dipotong pengeluaran untuk kebutuhan primer & oprasional.
3. Pertanyaan ketiga Anda berkaitan dengan delapan golongan penerima zakat yang disebutkan Allah swt. dalam firman-Nya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya,
untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 60)
4. Sesuai penjelasan untuk pertanyaan no. 1, maka Anda dapat membayarnya setiap bulan, tetapi dengan catatan 2,5% dari saldo bulanan, dan tentunya bila saldo tahunannya telah mencapai nisab. Artinya, bila ternyata saldo tahunannya tidak mencapai nisab, maka Anda belum dikenai kewajiban membayar zakat profesi. Sedangkan bila Anda ingin membayarnya di akhir tahun, maka 2,5% itu diambil dari saldo tahunan.
Demikian yang bisa saya jelaskan. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallaahu A’lam…..

Sabtu, 05 Juni 2010

Sikap Kurang Adil Suami Terhadap Ibu Mertua

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Bismillaahir-Rohmaanir-Rohiim. Semoga kita semua berada dalam lindungan ALLAH swt., amin. Ustadz, maaf saya terpaksa harus curhat di sini. Saya punya masalah dengan suami saya mengenai sikap adil terhadap orangtua kami masing-masing.
Begini ceritanya, Ustadz. Seandainya kelak kami diberikan kemampuan oleh ALLAH swt., kami ingin membantu orangtua kami (ibu saya dan mama suami). Namun, kami menemukan perbedaan pendapat atau keinginan. Keinginan saya adalah jika kami mampu, kami nanti ingin membantu ibu saya dan mama mertua 50-50 secara adil. Tapi suami tidak setuju. Katanya, mamanya lebih berhak untuk mendapat jatah lebih banyak, yaitu 80%, sementara ibu saya hanya 20%. Menurutnya, hal itu disebabkan karena ibu saya punya banyak anak yang mungkin bisa membantunya dan juga masih punya suami. Sementara mamanya sudah janda, walaupun dia juga punya 2 anak yang lain, yang mungkin juga bisa membantu.
Sikap tidak adil suami saya itu benar-benar membuat saya terzhalimi. Saya hanya minta suami bersikap adil saja. Walaupun penghasilan saya hampir 80% lebih besar daripada penghasilan suami, namun saya tidak mempermasalahkannya. Sikap tidak adil suami saya itu membuat saya merasa seperti “KERBAU” yang dimanfaatkan pihak lain. Saya sudah capek-capek kerja keras, tapi sebagian besar hasilnya dialokasikan untuk kesejahteraan mamanya saja. Sungguh batin saya merasa tersiksa terus dengan sikap suami saya tersebut. Mohon solusinya. Syukran….
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
L -…..

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudariku yang terhormat, saya sangat respect kepada Anda dan suami yang memiliki niat yang sangat mulia, yaitu niat untuk terus membantu orangtua Anda berdua, tentunya sebagai upaya untuk berbakti kepada mereka. Mudah-mudahan apa yang ingin Anda berdua lakukan itu dicatat oleh ALLAH swt. sebagai amal kebajikan yang akan mendatangkan ridha-Nya., karena ridha ALLAH sangat bergantung pada ridha kedua orangtua, sebagai sabda Nabi saw.: “Ridha Allah bergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung kepada kemurkaan orang tua.” (HR. Bukhari)
Dalam masalah ini, saya melihat Anda dan suami memiliki titik kesamaan, yaitu sama-sama memiliki keinginan untuk membantu orangtua. Hanya saja, ada perbedaan pendapat mengenai kadar atau prosentase bagian yang akan diberikan kepada mereka. Suami Anda menuntut jatah untuk ibunya lebih besar daripada jatah untuk ibu Anda, sementara Anda menginginkan pembagian yang sama besarnya.
Saudariku, saya juga respect terhadap sikap Anda yang mau berbagi dengan keluarga suami Anda. Bahkan, Anda setuju bila orangtua Anda berdua masing-masing mendapat 50%. Dengan kesediaan Anda seperti itu, semestinya tidak perlu ada masalah seperti ini, tentunya bila suami Anda memahami dengan baik hak dan kewajiban suami-isteri.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, ada beberapa poin penting yang ingin saya jelaskan di sini:
Pertama: Kewajiban menafkahi keluarga merupakan kewajiban laki-laki, tentunya sesuai batas kemampuannya. ALLAH swt. berfirman: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 233)
Kewajiban memberi nafkah inilah yang menyebabkan kedudukan laki-laki (suami) berada satu tingkat di atas perempuan (isteri). ALLAH swt. berfirman: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkat kelebihan daripada isterinya. Dan ALLAH Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah [2]: 228)
Dari sini, maka sebenarnya tidak ada kewajiban bagi seorang isteri untuk ikut mencari nafkah. Namun, bukan berarti hal itu tidak dibolehkan. Boleh-boleh saja, apalagi bila penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan harian keluarga atau untuk membantu orangtuanya yang sudah tua. Dalam hal ini, penghasilan yang didapat oleh seorang isteri dari pekerjaannya merupakan hak dia sepenuhnya. Dia berhak membelanjakannya sesuai dengan keinginannya. Suami tidak boleh terlalu intervensi di dalamnya. Dia hanya dibolehkan untuk memberikan saran, masukan atau pertimbangan.
Tetapi perlu diingat, karena dengan kerelaan hatinya, suami mau mengizinkan isterinya untuk bekerja, maka sang isteri tidak boleh bersikap egois dengan menggunakan hasil jerih payahnya itu untuk kepentingan pribadinya semata tanpa mau berusaha untuk meringankan beban suami dalam menutupi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga. Dalam kasus ini, saya melihat bahwa Anda telah menunjukkan komitmen untuk memberikan kompensasi seperti itu, yaitu dengan membantu suami dalam menutupi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga, bahkan untuk membantu orangtua suami dan juga orangtua Anda yang sebenarnya masih menjadi tanggung jawab suami.
Saya yakin bila Anda melakukannya dengan ikhlas, maka hal itu akan dianggap ALLAH swt. sebagai shadaqah yang dapat mendatangkan pahala dari-Nya. Bahkan, bila kondisi suami memang benar-benar tidak mampu untuk menutupi kebutuhan rumah tangga, maka shadaqah seperti itu lebih baik daripada shadaqah kepada orang lain. Dalam sebuah hadits, disebutkan bahwa Zaenab, isteri Ibnu Mas’ud ra., pernah dating kepada Rasulullah saw.. Saat dia meminta izin untuk masuk, dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, ini Zainab.” Rasulullah bertanya: “Zainab yang mana?” Dijawab: “Isterinya Ibnu Mas’ud.” Rasulullah saw. pun bersabda: “Ya, silahkan!” Setelah diizinkan untuk masuk, Zainab berkata: “Wahai Nabi ALLAH, pada hari ini engkau memerintahkan (kami) untuk bersedekah. Aku mempunyai perhiasan dan aku ingin menyedekahkannya, tapi aku melihat Ibnu Mas’ud dan anaknya lebih berhak untuk menerima sedekahku.” Nabi saw. pun bersabda: “Ibnu Mas’ud (suamimu) dan anak lelakimu lebih berhak untuk menerima sedekah.” (HR. Bukhari)
Kedua: Masalah apapun yang muncul dalam rumah tangga tidak dapat diselesaikan bila kedua belah pihak sama-sama mempertahankan egonya masing-masing, termasuk masalah yang sedang Anda hadapi sekarang. Mau ga mau, salah satu pihak harus mengalah. Bila tidak, maka masalah semakin runyam dan akan melebar kemana-mana. Masalah yang kecil pun bisa menjadi besar, bahkan bisa berujung di Pengadilan Agama. Oleh karena itu, harus ada upaya untuk membicarakannya dari hati ke hati, secara dewasa atau tidak dengan emosi. Carilah waktu yang tepat untuk membicarakannya dengan suami, bila perlu setelah Anda men-servis-nya terlebih dahulu. Gunakanlah kata-kata yang halus dan hindarilah kata-kata yang dapat menyinggung perasaannya. Setelah itu, ajukanlah tawaran semula Anda, yaitu 50:50. Bila dia sulit untuk menerimanya, cobalah alternatif lain yang pada hakekatnya sama tetapi kemasannya berbeda, seperti: 80:20 tetapi secara bergantian. Bulan ini mama suami mendapat 80% dan ibu Anda 20%, tetapi bulan depan dibalik, dan demikian pula seterusnya.
Satu hal yang ingin saya tekankan di sini, menurut saya, masalah Anda ini bukanlah masalah yang besar. Jangan jadikan masalah yang kecil menjadi besar hanya gara-gara komunikasi yang kurang baik atau karena masing-masing menggunakan emosi. Selamat mencoba. Wallaahu A’lam…..