Senin, 26 Juli 2010

Bila Isteri Menuntut Cerai, Bolehkan Suami-Isteri Bersatu Kembali?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Semoga Ustadz dan keluarga selalu dalam lindungan ALLAH swt., amin. Ustadz, saya adalah seorang laki-laki yang sudah bercerai dengan isteri saya. Sebenarnya bukan saya yang menginginkan perceraian, namun isteri sayalah yang mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Sampai sekarang saya masih sedikit shock dan belum mengerti mengapa isteri saya menuntut cerai. Sebab selama 5 tahun pernikahan, hampir tidak ada perselisihan besar di antara kami. Perselisihan kecil memang terkadang terjadi, namun intensitasnya tidak terlalu sering, dan itu pun tidak berlangsung lama. Selain itu, saya tidak pernah melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan tidak pula menelantarkannya. Namun, apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur. Palu hakim sudah diketok dan pengadilan pun menerima gugatan cerai isteri saya.
Jujur, hati kecil saya sebenarnya masih mencintainya dan saya ingin bersatu lagi dengannya. Apalagi, bila mengingat masa depan anak saya yang masih berusia 2 tahun. Namun, saya pernah dengar bahwa bila pihak wanita yang menuntut cerai (khulu’), maka sepasang suami isteri tersebut tidak boleh bersatu lagi untuk selamanya. Apakah benar seperti itu, Ustadz? Dan apakah benar seorang wanita yang menuntut cerai tanpa ada alasan yang kuat dilaknat ALLAH? Bila saya ingin kembali lagi dengannya, apa hal itu mungkin? Bila mungkin, langkah-langkah apa yang perlu saya lakukan menurut Ustadz? Mohon saran dan jawabannya. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
X-…….

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudaraku yang terhormat, saya turut prihatin atas masalah yang menimpa Anda. Dalam kasus yang Anda hadapi, ada beberapa kemungkinan faktor yang menyebabkan isteri Anda menuntut cerai. Bisa jadi karena ada sikap Anda yang tidak menyenangkan hatinya namun dia tidak mau mengungkapkannya secara terus terang, atau bisa jadi karena dia tidak mencintai Anda dan tidak mau berusaha untuk menumbuhkan dan memupuk rasa cintanya kepada Anda. Bahkan, bisa jadi karena adanya tekanan dari keluarganya atau ada laki-laki lain yang telah memikat hatinya.
Secara hukum, apa yang dilakukan isteri Anda sah-sah saja meskipun hal itu dilakukan tanpa ada alasan yang kuat seperti adanya kekerasan dalam rumah tangga, atau karena Anda telah menelantarkannya, atau alasan-alasan lain seperti yang disebutkan dalam sighat ta’lik talak, seperti yang tercantum dalam buku nikah. Bahkan, hal itu juga dibolehkan hanya karena isteri tidak bisa mencintai suami. Sebab, tujuan utama pernikahan adalah membina rumah tangga yang sakinah, penuh mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang). Dari sini, maka bila salah satu pihak (suami atau isteri) sudah merasa tidak nyaman, maka ia boleh memutuskan untuk tidak meneruskan perjalanan bahtera rumah tangganya. Bila isteri yang sudah merasa tidak nyaman, maka dia boleh melakukan khulu’, yaitu menebus dirinya dari kekuasaan suami dengan menyerahkan sejumlah harta kepadanya. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan kemudharatan yang akan menimpa wanita, baik karena sikap suaminya yang tidak baik (zhalim) maupun karena dia tidak bisa lagi tinggal bersama orang yang tidak dicintainya.
Namun perlu diingat, karena pernikahan merupakan ikatan suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga SAMARA (sakinah, mawaddah dan rahmah) yang merupakan unsur terpenting dalam pembentukan masyarakat yang baik, maka Islam agak sedikit menutup pintu ini, walaupun tidak 100% menutupnya. Artinya, Islam berusaha agar hal seperti itu tidak terjadi. Namun andaikata memang harus terjadi, maka hal itu dibolehkan. Tentunya berdasarkan pertimbangan adanya kemashlahatan (kebaikan) bagi kedua belah pihak. Karena itu, maka pembolehan khulu’ ini pun dikaitkan dengan kekhawatiran akan terjadinya pelanggaran terhadap hukum-hukum ALLAH, seperti disebutkan pada firman-Nya: “Jika kamu khawatir keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum ALLAH, maka tidak ada dosa bagi keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 229) Hal ini dimaksudkan agar wanita tidak menggunakan fasilitas khulu’ ini semaunya, tanpa ada pertimbangan kemashlahatan. Demikian pula dengan hakim, dia tidak boleh mengabulkan permohonan khulu’ begitu saja tanpa ada pertimbangan kemashlahatan dan sebelum berusaha untuk menyatukan kembali suami isteri yang akan bercerai itu.
Selain itu, meskipun secara hukum seorang wanita dibolehkan untuk melakukan khulu’ tanpa ada alasan yang kuat seperti adanya kekerasan dalam rumah tangga ataupun alasan-alasan lainnya, namun secara etika hal itu sangat tidak baik. Karena itu, Rasulullah saw. bersabda: “Setiap wanita yang menuntut thalak (cerai) kepada suaminya tanpa ada alasan yang dibenarkan agama, maka haram baginya mencium semerbak surge.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi) Dalam riwayat lain disebutkan: “Wanita-wanita yang melakukan khulu’ adalah wanita-wanita yang munafik.” (HR. Tirmidzi) Maksudnya adalah wanita yang menuntut cerai tanpa ada alasan yang kuat.
Saudaraku yang terhormat, kasus khulu’ pertama yang terjadi pada zaman Rasulullah saw. menimpa keluarga Tsabit bin Qais dan Jamilah binti Salul. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Jamilah binti Salul datang menghadap Nabi saw. dan berkata: “Demi ALLAH, aku tidak mencela Tsabit karena agama atau akhlaknya, tetapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam. Sungguh aku tidak tahan hidup bersamanya karena aku benci kepadanya.” Rasulullah pun bertanya: “Apakah kamu mau mengembalikan kebun miliknya?” Jamilah menjawab: “Ya.” Maka, Rasulullah saw. pun memerintahkan suaminya (Tsabit) untuk mengambil kembali kebun miliknya. (HR. Ibnu Majah)
Dalam kasus khulu’, perlu diingat pula bahwa suami hanya dibolehkan untuk mengambil tebusan dari isterinya bila tidak ada perbuatan nusyuz/pelanggaran yang dilakukan suami, seperti menyakiti atau menzhalimi isteri. Bila ada nusyuz, dia tidak boleh mengambil tebusan itu. Imam Malik berkata: “Aku senantiasa mendengar hadits tersebut dari para ulama, dan hal itu telah kami sepakati bersama, yaitu bila seseorang (suami) tidak menganiaya, tidak menyakiti isterinya dan tidak melakukan perbuatan buruk kepadanya, sementara sang isteri ingin berpisah darinya, maka dihalalkan bagi suami untuk mengambil tebusan dari isterinya seperti yang telah dilakukan oleh Nabi saw. terhadap isteri Tsabit bin Qais. Namun, bila suami berbuat nusyuz dengan menyakiti atau menganiaya isterinya, maka apa yang diambil suami harus dikembalikan kepada isterinya.”
Mengenai pertanyaan Anda, apakah Anda berdua boleh bersatu kembali atau tidak, perlu diketahui bahwa apa yang pernah Anda dengar itu bukan satu-satunya pendapat yang ada dalam masalah ini. Para ulama berbeda pendapat apakah khulu’ termasuk ke dalam katagori thalak ataukah fasakh (pembatalan akad)? Diriwayatkan dari Utsman, Ali, Ibnu Mas’ud dan sekelompok tabi’in, bahwa khulu’ termasuk katagori thalak. Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Abu Hanifah dan Imam Syafi’i dalam salah satu qaul (pendapat)nya.
Imam Malik berkata: “Barangsiapa yang berniat khulu’ dengan maksud menjatuhkan thalak dua atau tiga, maka konsekuensinya pun berlaku. Artinya, bila dengan khulu’ itu seorang suami berniat menjatuhkan thalak tiga, maka jatuhlah thalak tiga sehingga sang isteri tidak boleh dinikahi kembali olehnya kecuali setelah dinikahi oleh orang lain.”
Ada pula yang berpendapat bahwa khulu’ termasuk katagori fasakh (pembatalan akad nikah), dan bukan thalak kecuali dengan niat. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Thawus, Ikrimah, Ishak dan Imam Ahmad. Pendapat ini didasarkan pada sebuah riwayat dari Ibnu Abbas bahwa Ibrahim bin Sa’ad bin Abi Waqqas pernah bertanya kepadanya: “Seorang laki-laki telah menthalak isterinya dengan dua thalak, kemudian sang isteri melakukan khulu’ kepada suaminya, apakah suami boleh menikahinya kembali?” Ibnu Abbas pun menjawab: “Ya, suami boleh menikahinya, karena khulu’ tidak termasuk katagori thalak.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/405)
Ibnu Taimiyyah berkata : “Pendapat yang telah kami jelaskan, bahwasanya khulu’ merupakan fasakh yang memisahkan wanita dari suaminya. Khulu’ yang dilakukan dengan lafazh apa saja adalah shahih, sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash dan ushul. Oleh karena itu, seandainya seorang lelaki memisahkan isterinya dengan tebusan (khulu’) beberapa kali, maka ia masih boleh menikahinya, baik dengan lafazh thalak maupun selainnya.”
Berdasarkan penjelasan di atas, maka Anda perlu melihat kembali vonis yang dijatuhkan hakim pengadilan. Saya yakin, dalam hal ini hakim pengadilan akan mempertimbangkan faktor kemashlahatan Anda berdua. Andaikata hakim mengikuti pendapat yang pertama, pasti dia hanya akan memerintahkan suami untuk menceraikan isterinya dengan satu thalak (jatuh thalak 1).
Saudaraku, bila memang ternyata putusan pengadilan masih memberikan peluang bagi Anda berdua untuk bersatu kembali, sementara keinginan Anda untuk bersatu kembali dengan mantan isteri Anda begitu kuat, maka hanya satu saran yang ingin saya sampaikan kepada Anda. Memohonlah petunjuk kepada ALLAH dengan cara melakukan istikharah agar Anda tidak jatuh ke lubang yang sama atau Anda akan mengalami kegagalan untuk kedua kalinya dalam menggayuh bahtera rumah tangga. Sebab, sikap isteri Anda yang menuntut cerai tanpa ada alasan yang kuat, menunjukkan bahwa komitmennya untuk membina keluarga SAMARA kurang kuat. Namun, hal itu juga tidak bisa dipastikan 100%, karena ada kemungkinan pula dia telah bertaubat dan menyesali apa yang telah dia lakukan setelah dia berpisah dari Anda, atau setelah dia memikirkan masa depan anaknya. Karena itu, tidak ada jalan yang paling tepat kecuali dengan memohon petunjuk kepada Dzat Yang Maha Mengetahui, ALLAH swt.., agar Anda mendapatkan pilihan yang terbaik. Wallaahu A’lam….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda