Rabu, 24 Februari 2010

Menunda Pernikahan Karena Masih Kuliah (Surat Untuk Muda-mudi Yang Belum Menikah)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya mempunyai seorang teman laki-laki. Kami tidak berpacaran karena kami tahu bahwa tidak ada pacaran dalam Islam. Kami sudah saling mengenal sekitar 1 tahun yang lalu. Alhamdulillah saya sudah bekerja. Dia juga sudah bekerja tapi sambil kuliah. Memang kami merasa bahwa kami sudah wajib menikah. Namun, kami menundanya karena menunggu hingga dia lulus kuliah.
Pertanyaannya, apakah alasan seperti itu bisa menjadi alasan yang kuat untuk menunda pernikahan? Dan apa saja yang harus disiapkan jika kami ingin menikah? Mohon penjelasannya. Terima kasih….
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
A- ….

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudariku yang terhormat, sebelum menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu saya akan menjelaskan tentang hukum pernikahan. Sebab, hukum pernikahan sangat tergantung pada kondisi masing-masing orang. Bisa wajib, bisa sunah, bisa mubah, bisa makruh, bahkan bisa haram. Semua tergantung pada kemampuan seseorang untuk menikah dan juga kemampuannya dalam mengendalikan nafsu syahwatnya. Berikut adalah hukum-hukum pernikahan:
1. Sunah: Pernikahan disunahkan bagi orang yang sudah memiliki baa’ah (kemampuan untuk menikah) sementara dirinya masih mampu mengendalikan nafsu syahwatnya dan tidak khawatir terjerumus ke dalam perbuatan zina.
2. Wajib: Hukum pernikahan menjadi wajb bila seseorang sudah memiliki kemampuan sementara dirinya khawatir tidak mampu lagi mengendalikan nafsu syahwatnya. Dalam kondisi seperti ini, hukum pernikahan berubah menjadi wajib karena perbuatan zina adalah perbuatan yang jelas-jelas diharamkan Allah swt. dan termasuk dosa besar. Bila perbuatan yang haram (zina) sudah tidak dapat dihindari kecuali dengan pernikahan, maka pernikahan menjadi wajib hukumnya.
3. Mubah: Yaitu bagi orang yang mampu tetapi tidak memiliki syahwat sama sekali, seperti orang yang impoten atau lanjut usia. Pernikahan juga mubah hukumnya bagi orang yang tidak mampu menikah sementara calon mempelai wanitanya rela menerima kondisi tersebut. Pernikahan juga mubah hukumnya bagi orang yang sudah mampu tetapi dia ingin menikah hanya untuk memenuhi hajatnya atau bersenang-senang, tanpa ada niat untuk mendapatkan keturunan ataupun menjaga diri dari perbuatan zina.
4. Makruh: Yaitu bagi orang yang tidak mampu karena hal itu dapat menzhalimi isteri, atau bagi orang yang tidak ada minat terhadap wanita dan tidak mengharapkan keturunan.
5. Haram: Yatu bagi orang yang tidak mampu menikah (lahir batn), sementara dirinya tidak khawatir terjerumus ke dalam perbuatan zina ataupun perbuatan-perbuatan maksiat lainnya.
Dalam pertanyaan yang Anda lontarkan, Anda tidak menjelaskan tentang kondisi kemampuan Anda dan calon suami dalam mengendalikan hasrat seksual; Seberapa besar dorongan hasrat seksual Anda berdua saat ini? Apakah Anda dan dia masih mampu mengendalikannya ataukah tidak? Sebab sesuai penjelasan di atas, kondisi kemampuan dalam mengendalikan hasrat seksual akan mempengaruhi hukum pernikahan bagi Anda berdua, apakah masih sunah ataukah sudah wajib? Hal inilah yang dapat digunakan untuk menganalisa apakah alasan Anda untuk menunda pernikahan tersebut bisa dianggap sebagai alasan yang kuat ataukah tidak.
Di atas, Anda hanya menyebutkan bahwa Anda berdua merasa sudah wajib menikah. Saya tidak tahu, apakah kata “wajib” tersebut memang menunjukkan bahwa hukum nikah telah menjadi wajib bagi Anda berdua ataukah tidak. Bila jawabannya “ya”, maka alasan Anda untuk menunda pernikahan, seperti yang Anda kemukakan, tidak cukup kuat. Sebab, sesuatu yang wajib tidak boleh ditinggalkan ataupun ditunda pelaksanaannya kecuali bila ada udzur (halangan) yang dibenarkan, dimana bila seseorang memaksakan diri untuk melakukan kewajiban tersebut dalam kondisi seperti itu, maka hal itu dapat membahayakan dirinya. Saya kira, alasan menyelesaikan studi tidak termasuk ke dalam katagori tersebut.
Nampaknya dalam kasus Anda ini, penundaan pernikahan Anda berdua lebih disebabkan oleh kekhawatiran Anda berdua bila pernikahan itu dapat mengganggu studi calon suami. Menurut hemat saya, kekhawatiran seperti itu tidak beralasan, karena sebenarnya pernikahan itu justru dapat menjadi faktor terbesar yang dapat menciptakan suasana yang kondusif untuk belajar serta menciptakan ketenangan jiwa dan kehidupan yang bahagia bagi seorang penuntut ilmu. Tentunya, semua tergantung pada ‘azm (tekad) dan komitmen Anda berdua.
Tetapi bila jawabannya ternyata “tidak” karena Anda berdua masih bisa mengendalikan hasrat seksual sehingga tidak khawatir terjerumus ke dalam perbuatan zina, maka alasan yang Anda sebutkan sah-sah saja.
Saudariku yang terhormat, bagi saya pribadi, jawaban ya atau tidak, tidak terlalu penting. Yang terpenting adalah tekad dan komitmen kita. Anda berdua sudah memiliki kemampuan untuk menikah, karena itu bulatkanlah tekad Anda berdua untuk menikah. Terus terang, kondisi Anda berdua jauh lebih bagus daripada kondisi saya saat akan menikah. Dulu, sepulang dari Mesir tahun 2001, saya bertekad untuk merantau di Jakarta. Saat itu, saya belum memiliki pekerjaan yang tetap. Saya hanya bekerja sebagai translator lepas buku-buku Islam, yang penghasilannya masih sangat tergantung pada ada atau tidak adanya order. Setelah tiga bulan di Jakarta, saya membulatkan tekad untuk menikahi seorang wanita yang saya kenal melalui dunia maya (internet) dan saya sendiri belum pernah melihatnya langsung, hanya melalui foto saja. Sebelumnya kami sudah berhubungan via internet sekitar 8 bulan. Saat itu, saya masih di Mesir, sementara calon isteri saya berada di Pekanbaru.
Dengan hanya modal yang sangat pas-pasan dan hanya cukup untuk ongkos dan uang mahar, tetapi diiringi dengan modal restu dari orang tua yang tak ternilai harganya dan juga modal tekad yang kuat, saya pun pergi ke Pekanbaru dalam kondisi sudah siap untuk menikah (saya sudah membawa pengantar nikah dari kecamatan daerah asal saya). Saat itu, saya benar-benar sudah siap menerima resiko yang akan terjadi. Bahkan, seandainya saat tiba di Pekanbaru, ternyata calon isteri saya ataupun orangtuanya merasa tidak cocok dengan saya, saya pun rela. Dalam benak saya, bila hal itu terjadi, paling-paling saya kembali ke Jakarta dengan tangan hampa.
Awalnya, saya akan pergi ke sana seorang diri, karena kebetulan rencana sangat mendadak dan orangtua saya tidak bisa ikut, dan hal itu tdak menjadi kendala bagi saya. Tetapi ternyata ketika saya sudah sampai di Jakarta, kakak ipar saya menyusul. Akhirnya, dengan naik kendaraan bus, kami berdua berangkat ke Pekanbaru.
Mungkin karena faktor kesungguhan hati dan niat ikhlas karena Allah swt., alhamdulillah semua berjalan lancar. Dua hari setelah saya tiba di Pekanbaru, kami pun melangsungkan pernikahan dengan sangat sederhana. Seminggu kemudian, saya ajak isteri untuk pindah ke Jakarta. Saya suruh dia untuk mengundurkan diri dari tempat kerjanya. Saya berani mengambil keputusan seperti itu meski pada saat itu saya belum ada pekerjaan yang tetap. Alhamdulillah sampai detik ini, ikatan pernikahan kami masih tetap terjalin kuat. Bahkan, kami telah dikaruniai 3 orang anak yang lucu-lucu, dan insya Allah sekitar 6 bulan lagi akan bertambah satu. Saya juga berhasl menyelesaikan studi di Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, padahal sekembalinya dari Mesir, sama sekali tidak terpikir dalam benak saya bisa melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.
Saudariku, jangan takut dan jangan khawatir. Yakinkan calon suami Anda bahwa hendaknya studi tidak menjadi kendala yang menghalangi niat baik Anda berdua. Selama niat kita ikhlas karena Allah swt., insya Allah Allah akan menolong kita. Allah telah berfirman: “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya yang lelaki dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur [24]: 32)
Mengenai persiapan menjelang pernikahan, siapkan saja tekad yang bulat, komitmen yang kuat dan pengetahuan yang cukup tentang hak dan kewajiban dalam berumah tangga. Demikian penjelasan dari saya, mudah-mudahan dapat menjadi motivasi bagi Anda berdua untuk menyegerakan pernikahan. Wallaahu A’lam……

Rabu, 17 Februari 2010

Dilema Wanita Yang Akan Dimadu

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Saya baru saja membaca blog Bapak. Kebetulan sekarang saya sedang menghadapi satu masalah, karena itu saya ingin berkonsultasi kepada Bapak. Begini Pak, saya dan suami menikah bulan Juli tahun lalu. Sebenarnya kami sudah saling mengenal selama kira-kira 6 tahun. Tetapi karena dia baru bekerja tahun lalu, maka kami pun baru menikah. Saya menikah dengannya dengan niat karena Allah, yaitu dengan niat ibadah kepada-Nya, untuk menjauhi perbuatan dosa dan untuk membina keluarga yang sakinah serta penuh mawaddah dan rahmah.
Saya mau menikah dengannya karena dia yang mengajari saya tentang Islam. Namun mungkin karena faktor cobaan, sekarang suami saya bekerja di kapal pesiar, sebuah lingkungan yang jarang menjalankan ibadah.
Sebelum menikah, dia sudah mengenal seorang wanita melalui dunia maya. Bahkan mereka pernah bertemu sekali, namun hal itu diketahui oleh saya. Dia pun meminta maaf kepada saya, dan akhirnya kami menikah.
Namun saat kami kembali ke Jerman (setelah kami menikah), wanita itu menghubungi suami saya lagi. Dia mengatakan bahwa dirinya tidak bisa jauh dari suami saya, dan dia tidak menginginkan apa-apa kecuali hanya cintanya. Bahkan dia rela untuk ikut ke Jakarta, tempat dimana kami akan tinggal. Dia juga mengatakan bahwa dirinya akan masuk Islam asal suami saya mau menikah dengannya.
Sebenarnya suami saya sudah memutuskan hubungan dengannya hingga 3 kali, namun wanita itu merasa sangat bersedih. Katanya, dia siap menjadi isteri kedua.
Dua hari yang lalu (sebelum konsultasi ini disampaikan-red), suami saya berterus terang kepada saya bahwa dia masih berhubungan dengan wanita itu. Dia sudah berusaha untuk tidak berhubungan, namun tetap tidak bisa. Saya sarankan kepadanya: “Memohonlah kepada Allah agar kamu diberi yang terbaik!” Saya sarankan hal itu karena saya tahu, di kapal dia mungkin jarang ada waktu untuk shalat. Saya hanya bisa mengingatkan dia dan berdoa saja, Pak.
Akhirnya dia meminta izin kepada saya agar bisa menikahi wanita itu. Ketika saya tanya: “Mengapa kamu ingin menikah lagi?”, dia pun mengatakan bahwa dia menikah lagi karena ingin mengikuti perintah Allah dan agar dirinya tidak berbuat dosa. Terus saat kutanya: “Apakah wanita itu bisa membawa kamu ke surga?”, dia mengatakan bahwa dia menikahinya karena wanita itu mau masuk Islam. Dia merasa kasihan kepada wanita itu bila tidak dinikahi, karena tetap menjadi orang kafir. Mungkin ini cobaan bagi saya, Pak. Karena itu, saya hanya bisa memohon kepada Allah yang terbaik. Saya katakan kepada suami bahwa saya akan mencoba ikhlas, tapi saya tidak bisa janjikan hal itu.
Bagaimana menurut Bapak? Adakah ayat-ayat Al-Qur`an atau hadits-hadits Nabi yang dapat saya beritahukan kepada suami yang berkaitan dengan hal tersebut?
Suami mengatakan bahwa dirinya akan menikah lagi karena Allah, dan dirinya yakin bisa adil. Tetapi apa itu mungkin Pak, sementara wanita itu saja cemburu bila melihat foto saya. Bagaimana kalau harus bersilaturahim, mungkin saja dia tidak mau. Bila saya biarkan mereka tetap kontak karena memang sekarang mereka hanya bisa berhubungan lewat email atau chat, apakah itu yang terbaik Pak? Sebab, kami bertiga berada di tempat yang berbeda. Sebenarnya saya ikhlas Pak, tapi saya khawatir bila wanita itu akan membuat suami saya jauh dari Allah. Bagaimana dengan keluarga, apakah mereka juga harus diberitahu?
Sekarang saya terus memohon kepada Allah swt.. Untuk sementara waktu, saya tidak kontak suami saya dulu, baik lewat email ataupun chat. Tetapi apa itu berdosa, Pak? Doa apa yang sebaiknya dibaca guna memohon ketenangan hati. Saya mohon maaf bila ada salah kata. Terima kasih sebelumnya atas kebaikan Bapak.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
E - …..

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudariku yang terhormat, sebelumnya saya minta maaf karena saya telah mengedit pertanyaan yang Anda sampaikan. Hal itu dimaksudkan agar lebih mudah difahami oleh para pembaca. Terus terang, awalnya ada sebagian kalimat yang agak sulit difahami, dan itu saya maklumi karena nampaknya Anda belum begitu lancar dalam menggunakan bahasa Indonesia resmi. Tetapi alhamdulillah, setelah beberapa kali saya baca, akhirnya saya bisa memahaminya. Mudah-mudahan adanya perubahan redaksi tersebut tidak merubah makna atau maksud yang ingin Anda sampaikan.
Setelah membaca cerita Anda, saya menangkap bahwa sebenarnya inti permasalahan Anda terletak pada kekhawatiran Anda bila nantinya isteri kedua suami Anda tidak bisa mengantarkan suami Anda ke surga. Atau dengan kata lain, pernikahan kedua suami Anda itu justru akan menjauhkannya dari ketaatan kepada Allah. Padahal pernikahan pertamanya dengan Anda didasari oleh komitmen untuk membangun keluarga yang sakinah, penuh mawaddah dan rahmah, serta keluarga yang taat kepada Allah swt..
Bila inti permasalahannya memang seperti itu, maka menurut saya, solusi yang akan saya tawarkan tidak sesulit bila inti permasalahannya terletak pada ketidaksiapan Anda untuk dimadu. Dalam hal ini, saya angkat jempol (salut) terhadap Anda. Sebab ketegaran, keikhlasan dan kedewasaan Anda dalam menghadapi masalah tersebut sungguh luarbiasa. Tidak sedikit wanita muslimah yang ketika dihadapkan pada masalah seperti itu, mereka lebih mendahulukan faktor perasaan. Mereka secara tegas menolak untuk dimadu karena faktor pertimbangan perasaan, bukan pertimbangan ketaatan kepada Allah swt, seperti yang Anda lakukan. Tidak terpikir dalam benak mereka, apakah pernikahan kedua suami mereka dapat mengantarkannya ke surga atau tidak.
Saya yakin, sebagai wanita Anda juga sama seperti mereka, sama-sama mempunyai perasaan. Mungkin pada awalnya Anda juga terkejut saat mendengar keinginan suami untuk menikah lagi. Hanya saja Anda lebih mendahulukan faktor ketaatan kepada Allah daripada faktor perasaan. Sebab bila hanya memperhatikan faktor perasaan, saya kira tidak ada wanita yang rela membagi cinta suaminya dengan wanita lain, termasuk Anda. Perlu digarisbawahi, pernyataan saya ini bukan berarti sikap menolak dimadu tidak dibenarkan dalam Islam. Islam sangat memperhatikan hak wanita dalam masalah tersebut, yaitu dengan memberikan hak kepadanya untuk menuntut cerai bila dirinya tidak mau dimadu. Hal ini pernah saya jelaskan dalam artikel berjudul: “Mengapa Laki-laki Bisa Berpoligami Sementara Wanita Tidak?”
Mengenai kekhawatiran Anda di atas, sebenarnya Andalah yang lebih tahu, karena Anda lebih mengetahui tentang karakter suami Anda sendiri daripada saya. Apakah apa yang Anda khawatirkan itu akan terwujud atau tidak, saya tidak tahu persis. Hanya saja dari cerita Anda di atas, nampaknya suami Anda termasuk tipe laki-laki yang bisa membimbing wanita yang dinikahinya. Buktinya, Anda yang dulunya tidak (kurang) mengenal Islam, sekarang telah menjadi wanita yang tidak hanya mengenal Islam, tetapi juga sudah mulai mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Bila hal itu bisa dia lakukan terhadap Anda, maka tidak menutup kemungkinan hal itu juga bisa dilakukan terhadap calon isteri keduanya yang sampai saat ini masih kafir.
Tapi perlu diingat, karena masalah yang Anda hadapi ini sangat berkaitan dengan kebaikan di dunia dan akhirat, sementara kita hanyalah manusia yang hanya bisa menilai berdasarkan dugaan semata, maka saya sarankan kepada Anda dan suami untuk meminta petunjuk langsung kepada Dzat Yang Maha Mengetahui (Allah swt.), yaitu dengan cara melakukan shalat istikharah. Jelaskan kepada suami Anda, bahwa apa yang dia katakana belum tentu benar dan belum tentu terbaik di mata Allah. Saya yakin, bila alasan suami Anda menikah lagi adalah seperti yang dia katakan, maka dia pasti akan menuruti saran tersebut. Oleh karena itu, memohon petunjuklah kepada Allah dengan penuh kerendahan hati dan kekhusyuan, insya Allah solusi yang terbaik akan Anda dapatkan.
Mengenai ayat atau hadits yang bisa disampaikan kepada suami Anda, dan juga mengenai kemungkinan bisa adil atau tidak, Anda sampaikan saja firman Allah swt. dalam QS. An-Nisaa` ayat 3. Penjelasan mengenai ayat tersebut bisa Anda lihat pada artikel berjudul: “Hak dan Kewajiban Isteri Yang Dipoligami”. Berikut kutipannya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa` [4]:3)

Yang dimaksud perlakuan yang adil di sini adalah perlakuan yang adil dalam pengertian lahiriyah, yaitu meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Adil dalam pengertian seperti inilah yang ditetapkan ulama sebagai syarat poligami, dan inilah yang telah dipraktekkan oleh Baginda Rasulullah saw., seperti disebutkan dalam riwayat Muslim yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah membagikan kepada setiap isterinya satu hari satu malam sebagai jatah gilirannya, kemudian Saudah binti Zam’ah memberikan jatah gilirannya itu kepada Aisyah ra. dengan tujuan untuk memperoleh keridhaan Rasulullah saw..
Berbicara mengenai konsep adil dalam berpoligami ini, memang ada sebagian orang yang berpendapat bahwa tidak ada seorang pun yang bisa adil, apalagi orang-orang pada masa sekarang ini. Karenanya poligami pun tidak dibolehkan. Mereka mendasarkan pendapat tersebut pada firman Allah swt.:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa` [4]: 129)
Saya pribadi tidak setuju dengan pendapat tersebut, karena berdasarkan tafsir-tafsir yang ada, yang dimaksud adil dalam QS. An-Nisaa` (4): 129 tersebut adalah adil dalam pengertian batiniyah (hati atau cinta), bukan adil dalam pengertian lahiriyah seperti yang dijelaskan di atas. Karena ayat tersebut berkaitan dengan pribadi Rasulullah saw. yang lebih mencintai Aisyah daripada isteri-isteri beliau yang lain. Meskipun demikian, beliau berusaha keras untuk bisa bersikap adil dalam pengertian lahiriyah, termasuk dalam masalah jatah giliran, seperti yang disebutkan dalam riwayat Muslim di atas. Hal ini diperkuat oleh sebuah hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Wahai Allah, inilah pembagianku atas apa yang aku miliki. Maka, janganlah Engkau mencelaku atas apa yang Engkau miliki tetapi aku tidak memilikinya.” (HR. Abu Dawud [2/610] dan Nasa`i [7/64]) Hadits ini mengisyaratkan bahwa Rasulullah saw. telah berusaha untuk bersikap adil dalam masalah-masalah yang sifatnya lahiriyah, dan beliau mengaku bahwa dirinya tidak bisa bersikap adil dalam masalah batiniyah (hati).”
Adapun mengenai apakah Anda harus tetap berkomunikasi dengan suami Anda atau tidak, saya sarankan sebaiknya Anda tetap mengontaknya baik melalui email ataupun chat. Sebab walau bagaimanapun, Anda masih resmi sebagai isterinya. Jangan rusak hubungan Anda dengannya (sebagai suami-isteri) sebelum Anda menemukan kepastian solusi melalui istikharah. Bahkan menurut saya, Anda berdosa bila Anda sengaja memutuskan hubungan (komunikasi) dengan suami Anda sendiri, padahal hal itu sangat mungkin untuk Anda lakukan. Kecuali, bila Anda telah meminta izin kepadanya untuk menenangkan diri sambil berusaha mencari jawaban atas masalah yang Anda hadapi itu.
Terakhir, mengenai doa untuk mendapatkan ketenangan, saya kutipkan firman Allah swt.: "Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du [13]: 28)
Demikian penjelasan dari saya, mudah-mudahan bisa membantu. Bila ada hal-hal yang ingin Anda tanyakan lebih lanjut, silahkan kirim messega ke inbox facebook saya. Mudah-mudahan dengan niat ikhlas karena Allah swt. dalam menghadapi masalah ini, Anda dapat memperoleh solusi yang terbaik, Amin Ya Robbal-‘Alamin. Wallaahu A’lam

Minggu, 14 Februari 2010

Akrablah Dengan Al-Qur`an (3)

Ditulis oleh:

H. D. Hidajat al Bantaniy

Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad

di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka,

adalah lebih tinggi derajatnya disisi Allah;

dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan
(QS. At-Taubah [9] : 20)

Apapun yang sedang Anda lakukan sekarang dalam kehidupan ini, berhijrahlah ke jalan Allah dan raih keridhaan-Nya. Mulai dari hal-hal yang kecil terlebih dahulu. Karena keputusan untuk berhijrah itu sendiri telah mencerminkan kesungguhan untuk beranjak masuk ketingkatan yang lebih tinggi. Akrab dengan al-Qur’an bisa menjadi awal rentetan keputusan untuk berbagai aksi berhijrah dijalan-Nya. Hayya alal falah, marilah menuju kemenangan.

Mereka yang mengindahkan peringatan Allah swt tentang kehidupan dunia pastilah amat mengerti kandungan QS. al-An’am (6):33 bahwasanya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau belaka, sedangkan kehidupan akhirat itu sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Ketakwaan mereka dibentengi dengan prinsip hidup amar makhruf nahi munkar. Apapun yang terjadi pada diri mereka, apakah itu kesenangan ataupun kesusahan didunia diterima sebagai ujian untuk menuju kehidupan akhirat yang lebih baik. Sikap seperti ini menelorkan jiwa yang tenang bebas dari stress atau tekanan-tekanan hidup.

Maka sesungguhnya kehidupan yang lurus itu dimulai ketika seseorang telah mulai akrab dengan al-Qur’an. Dalam penciptaan-Nya Allah telah meletakkan segala sesuatu dalam jagad raya ini dengan sempurna dan seimbang. Bukankah QS az-Zumar (39): 5 menunjukkan hal itu; penciptaan-Nya Yang Maha Besar dan keseimbangan yang terjadi karena semua ciptaan-Nya tunduk terhadap perintah-Nya. Subhanallah. Allah juga menciptakan makhluk-Nya dengan berpasangan. Lihatlah apa yang terdapat didalam alam jagad raya ini. Berpasangan, dan berpasangan menelorkan keseimbangan. Manusia dalam mengarungi hidupnya dituntut untuk menyeimbangkan amal-amalnya. Rasulullah saw pernah menegur seseorang yang duduk berdzikir seharian di masjid dan menyuruhnya segera mencari nafkah. Teguran tadi kiranya sejalan dengan firman Allah dalam QS al Jumuah (62):10 berikut ini ”Dan apabila telah ditunaikan shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung”.

Al-Qur’an adalah Kitab mulia yang memberikan tuntunan bagi seluruh aspek kehidupan manusia untuk mencapai keseimbangan relatif bagi orang per orang. Manakala keseimbangan kiri yang diamalkannya maka pelanggaran-pelanggaran perintah Allah saw menjadi taruhan hidupnya; sebaliknya apabila dilakukannya amal shaleh yang merupakan keseimbangan kanan maka ia akan dimasukkan kedalam golongan orang-orang yang bertakwa. Surah al-Waqiah mendefinisikan mana golongan kanan dan mana golongan kiri; serta ganjaran yang diperoleh dari masing-masing golongan (QS 56:8 dan 9; QS 56:27 dan 41). Golongan kanan adalah orang-orang yang menerima buku catatan amal mereka dengan tangan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu! Dan golongan kiri adalah orang-orang yang menerima buku catatan amal mereka dengan tangan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu! Dan ketika rendahnya akhlak merasuk ke dalam kehidupan nyata seperti yang sedang terjadi dimasyarakat muslim dewasa ini, maka ia menjelma sebagai dekadensi moral berupa perjudian, pelacuran, maraknya kasus bunuh diri, aliran sesat dan perilaku tidak islami lainnnya. Semua hanya akan teratasi secara tuntas manakala kaum muslim mau mengakrabkan dirinya kepada al-Qur’an sebagai pedoman hidup.

Upaya-upaya sementara kalangan untuk melengkapi kehidupan ini melalui kegiatan sosial keagamaan berupa pengumpulan al-Qur’an cetak maupun braille sejatinya adalah upaya untuk memahami kandungan al-Qur’an al-Karim dan dalam rangka mengajak kaum muslim akrab dengan al-Qur’an.

Di samping itu kita melihat adanya gerakan-gerakan pendidikan yang berpusaran pada al-Qur’an seperti PPPA Daarul Qur’an yang menerapkan pengajaran al-Qur’an sejak dini kepada murid-muridnya dan International Islamic Boarding School yang menerapkan pendidikan selama 2 tahun berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Kedua institusi itu mempersyaratkan lulusannya hafidz al-Qur’an beberapa surah. Dan banyak lagi yang menyelenggarakannya dari tingkat Ibtida’iyah sampai Aliyah yang mendidik santrinya hafidz al-Qur’an. Di tingkat perguruan tinggi kita bisa jumpai Universitas Al Azhar Indonesia yang menghadirkan suasana belajar islami dan tentunya beberapa Perguruan Tingga Ilmu Al-Qur’an dan Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an. Kedua perguruan tinggi yang disebutkan terakhir walaupun mempersyaratkan lulusannya hafidz al-Qur’an namun institusi ini merupakan ajang belajar yang mempersiapkan lulusan untuk memilih bidang akademika yang normatif seperti Ushuludiin (Agama), Syariah (Hukum), Dakwah, Lughoh (Bahasa).

Dengan memahami keprihatinan umat akan perlunya digalakkan tuntunan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari telah dicanangkan suatu gagasan untuk membentuk kepribadian (personality development program) melalui Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an Plus yang akan mempersiapkan kaawadir (kader-kader) lulusan ini berada di tengah-tengah masyarakat dan berperan layaknya lampu yang menerangi kegelapan umat menjadi terang benderang dalam aplikasi sesungguhnya ayat-ayat al-Qur’an sebagai pedoman hidup.

Yayasan Baitul Hikmah Elnusa dengan Pusat Syi’ar Masjid Baitul Hikmah di Jalan Simatupang dewasa ini dalam perintisan kerjasama beberapa pihak untuk mewujudkan gagasan tersebut di atas. Para simpatisan ummat Islam yang berminat menyumbang dalam bentuk moril maupun materil untuk tercapainya gagasan ini dihimbau mengikuti selalu perkembangannya melalui www.mediasilaturahim.com.

Allah berfirman: ”Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan Menolongmu dan Meneguhkan kedudukanmu.” (QS Muhammad 47:9). Allah akan menolong kita manakala kita fisabilillah dijalan-Nya melalui al Qur’an dan al Hadits dan selalu ada pahala bagi mereka yang akrab dengan al Qur’an. Mereka yang belum, berhijrahlah sehingga insya Allah didapat pahala berupa derajat yang lebih tinggi seperti apa dijanjikan-Nya dalam QS at Taubah 9:20 tersebut diawal tulisan ini.

(Info:

* Badan Wakaf Al-Qur’an, Jl. Tebet Timur Dalam 1 No.1, Jakarta 12820.

Website: www.wakafquran.com Tel: 021- 835-0084).

* PPPA Daarul Qur’an, Kel Ketapan, Kec Cipondoh, Tangerang 15147 Tel: 021 5575-1774
* Yayasan Baitul Hikmah Elnusa, Masjid baitul Hikmah, Jl TB Simatupang 1B,

Jakarta 12560 Tel: 021-7883-0850 ext 4444.

Keutamaan Al-Qur`an Al-’Azhim

Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya Al-Qur`an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Waaqi’ah [56]: 77-80)

Allah swt. berfirman: “Apabila kamu membaca Al-Qur`an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl [16]: 98)

Allah swt. berfirman: “Dan apabila dibacakan Al-Qur`an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raaf [7]: 204)

Allah swt. berfirman: “Dan bacalah Al-Qur`an itu dengan perlahan-lahan.” (QS. Al-Muzammil [73]: 4)

Allah swt. berfirman: “Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur`an.” (QS. Al-Muzammil [73]: 20)

Allah swt. berfirman: “Dan apabila kamu membaca Al-Qur`an niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup.” (QS. Al-Israa` [17]: 45)

Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya Al-Qur`an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al-Israa` [17]: 9)

Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al-Qur`an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran.” (QS. Az-Zumar [39]: 27)

Allah swt. berfirman: “Maka beri peringatanlah dengan Al-Qur`an orang yang takut kepada ancaman-Ku.” (QS. Qaaf [50]: 45)

Allah swt. berfirman: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur`an ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad [47]: 24)

Rasulullah saw. bersabda: “Bergembiralah kalian karena sesungguhnya salah satu ujung Al-Qur`an ini berada di tangan Allah sedangkan ujung lainnya berada di tangan kalian, maka peganglah ia erat-erat, karena sesungguhnya kalian tidak akan pernah binasa dan tidak akan pernah sesat setelahnya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dari Jubair ra..

Nabi saw. bersabda: “Orang yang terbaik di antara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa`i dan Ibnu Majah dari Utsman bin Affan ra..

Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah (Al-Qur`an), maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu akan dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan bahwa alif laam miim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, laam satu huruf dan miim satu huruf.” Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Al-Hakim dari Ibnu Mas’ud ra..

Nabi saw. bersabda: “Orang-orang yang mulia di antara umatku adalah orang-orang yang selalu bersama Al-Qur`an dan orang-orang yang rajin bangun malam (untuk beribadah).” Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi dari Ibnu Abbas ra..

Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa yang membaca seratus ayat dalam satu malam, maka dia tidak akan dicatat ke dalam golongan orang-orang yang lalai.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Abu Hurairah ra..

Nabi saw. bersabda: “Tuhan Yang Maha Suci dan Maha Tinggi berfirman: ‘Barangsiapa yang dirinya disibukkan oleh Al-Qur`an dan dzikir untuk meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberikan kepadanya hal terbaik yang diberikan kepada orang-orang yang meminta. Kelebihan Kalam Allah atas seluruh kalam (perkataan) yang lainnya adalah seperti kelebihan Allah atas makhluk-makhluk-Nya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Abu Sa’id ra..

Nabi saw. bersabda: “Akan dikatakan kepada orang yang sering membaca Al-Qur`an ketika dia masuk surga: ‘Masuklah dan bacalah!’ Orang itu pun membaca (Al-Qur`an) dan naik satu derajat setiap (dia membaca) satu ayat sampai dia membaca ayat terakhir yang ada bersamanya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Sa’id ra..

Akrablah Dengan Al Qur’an (2)

Keprihatinan Yayasan Wakaf Al Qur’an akan masih kurangnya al Quran untuk memenuhi kebutuhan madrasah, masjid dan pondok pesantren nampaknya tidak sendirian, ternyata suatu Yayasan penyedia al Qur’an braille juga mengkhawatirkan kurangnya perhatian umat terhadap kebutuhan kira-kira 1,5 juta ikhwan muslim tuna netra yang tercatat di seantero Nusantara. Mereka memerlukan dan mendambakan hadirnya al Qur’an braille dalam kehidupan mereka dan dalam upaya mereka untuk memperdalam ilmu yang terkandung dalam al Qur’an. Semangat ikhwan tuna netra ini patut kita teladani. Dari sini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa amat besar perhatian berbagai kalangan terhadap al-Qur’an, dan hal itu tercermin dari upaya-upaya mulia mereka melalui badan-badan sosial seperti yayasan tersebut. Upaya-upaya itu berkontribusi dalam melestarikan keberadaan al Qur’an di masyarakat. Kecenderungan ini pastilah didasari oleh suatu alasan yang kuat bahwa al Qur’an dapat membentuk dan menjaga kepribadian seseorang menjadi insan yang berakhlakul kharimah. Semua perilaku manusia dengan berbagai perbedaan perangai itu dapat dibina melalui pengetahuannya yang tammah terhadap kandungan al Qur’an karena sejatinya semua aspek kehidupan yang dijalani manusia diatur dengan seksama di dalam al Qur’an.

Apabila kita takar kadar keimanan dan pengetahuan tentang tauhid maka akan terdapat korelasi antara pemahaman kandungan al Qur’an dengan perilaku seseorang di dalam masyarakat. Sekarang, marilah kita lihat peta pemahaman al Qur’an di masyarakat. Rasulullah saw telah bersabda:


كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِه

“Setiap anak yang dilahirkan, berada dalam keadaan suci (Islam), maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud)

Mayoritas umat Islam terlahir sebagai muslim sejak lahir. Peranan orang tua atau keluarga sangat besar dalam membentuk ke-Islam-an seseorang. Dewasa ini hampir dapat dipastikan populasi umat muslim yang paham akan kandungan al Qur’an sangat sedikit yaitu berbanding lurus dengan akses yang terbatas dalam menempuh pendidikan. Amat boleh jadi semula berawal dari faktor kemiskinan. Kemiskinan hampir tidak menyisakan peluang untuk mengenyam pendidikan, lebih jauh lagi adalah pendidikan Islam. Nilai-nilai agama berupa tauhid dan keimanan yang melahirkan takwa kepada seseorang hanya didapat dari kegiatan ritual dasar seperti shalat dan puasa belaka. Kiranya kadar keimanan seperti itu tidak cukup untuk melawan godaan yang berlaku di masyarakat materialistis seperti yang dijumpai sekarang. Tayangan tv telah masuk ke ruang-ruang keluarga dan memamerkan gemerlapnya pesta-pesta musik, mobil mewah, rumah-rumah mewah yang dipertontonkan dalam sinetron membentuk pola pikir konsumerisme. Bagaimana apabila yang menonton adalah keluarga yang kurang berkecukupan? Apa yang dipertontonkan setiap hari amat mudah merasuk ke dalam pikiran bawah sadar yang mungkin dapat mendorong seseorang untuk untuk korupsi, merampok dan hal-hal negatif lainnya yang bisa dipikirkan manusia.

Kebobrokan perangai manusia berkembang misalnya dalam bentuk-bentuk pembunuhan yang disertai mutilasi, pembunuhan berantai, penganiyaan, dan lain sebagainya yang kita dijumpai sehari-hari dalam kehidupan yang konon beranjak modern ini. Belum terhitung aliran2 sesat yang diindoktrinasikan kepada umat yang kurang pengetahuan tentang Islam. Keadaan ini menjadi teramat kompleks apabila tidak segera ditangani dengan cara-cara Islami. Yang bisa menolong keadaan ini hanyalah adanya sarana bagi mereka terhadap pemahaman al Qur’an yang bisa membentengi iman terhadap goda’an dunia. Dan percayalah, selalu saja pasti keadaan ini dapat diatasi asal saja dilandasi dengan keimanan terhadap al Qur’an.

Al Qur’an mengatur seluruh perilaku dan tata kehidupan sosial manusia agar selalu berada lurus dalam hidayah-Nya antara lain seperti hal-hal berikut ini;

Mengenai Keimanan kepada Allah al Khaliq Surah al-Anbiya 21:30; mengenai Perkawinan Surah Al-Baqarah QS 2:221; mengenai Ilmu Pengetahuan Surah ar-Rahman 55:19-20; mengenai Adab Silaturahim Surah an-Nur QS 24:27; Surah al Hujurat QS 4-5; mengenai Utang Piutang Surah al Baqarah 2:282; mengenai Riba Surah al Baqarah 2:275; mengenai Makanan Surah al Maidah QS 5:3 dan juga Surah al An-am QS 6:145 dan mengenai semua aspek kehidupan manusia.

Sedikit gambaran tentang pergeseran penganut Islam. Dari sebuah millis diwartakan bahwa penganut Islam di Eropa dalam kurun waktu 1934-1984 berkembang naik menjadi 235%. Agama Nasrani sudah semakin tidak menarik di negeri-negeri maju, bahkan gereja yang dijual bisa jadi karena kurangnya pengunjung. Sebagian besar dari mereka bisa jadi beralih ke agama Islam. Kecenderungan pergeseran penganut Nasrani ke Islam juga bisa jadi disebabkan kemajuan cara berpikir dan pendidikan di negeri-negeri maju. Orang non-Islam yang berpendidikan tinggi yang secara serius, rendah hati dan tulus mencari kebenaran akhirnya menghadapi dilema dimana Kristen dan Katolik tidak bisa menjawab pencarian mereka.

Namun hal sebaliknya telah terjadi di Indonesia. Hasil riset Yayasan Al Atsar Al-Islam (Magelang) menunjukkan bahwa mulai tahun 1999-2000 Kristen dan Khatolik di Jateng telah meningkat dari 1-5 % diawal tahun 1990, kini naik drastis 20-25% dari total jumlah penduduk Indonesia. Laporan Riset Majelis Agama Waligereja Indonesia, mengatakan bahwa sejak tahun 1980-an setiap tahunnya laju pertumbuhan umat Khatolik: 4,6%, Protestan 4,5%, Hindu 3,3%, Budha 3,1% dan ISLAM HANYA 2,75%. Dan data Global Evangelization Movement mencatat pertumbuhan umat Kristen di Indonesia telah mencapai lebih 19 % dari total 210 jumlah penduduk Indonesia.

Beberapa kemungkinan penyebab berkembang pesatnya Nasrani di Indonesia masih menurut riset ini adalah hasil kerja keras para misionaris yang melakukan kegiatannya dengan dukungan dana yang besar serta bantuan internasional. Mereka tidak lagi mampu ‘menjual’ agama mereka di negerinya sendiri. Namun kemungkinan lain bisa jadi kemiskinan dan kebodohan membuat umat Islam mudah menjadi Kufur / Kafir, seperti disabdakan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits. Pemurtadan umumnya sukses terjadi di kantong-kantong penduduk miskin yang terdapat baik di pedesaan maupun di perkotaan. Ditempat-tempat seperti inilah maka tuntunan terhadap para dhuafa dan awam dalam agama Islam akan perlunya akrab dengan al Qur’an patut menjadi prioritas dalam upaya mensyi’arkan Islam, artinya mengantarkan umat Muslim menjadi umat yang rahmatan lil alamin. Bayangkan berapa banyak al qur’an perlu disiapkan? Kerja besar.

Dalam sebuah harian, Menteri Agama mengatakan ”Dewasa ini dirasakan jumlah ulama semakin berkurang padahal tantangan yang dihadapi umat kian meningkat. Saat ini Indonesia sedang mangalami krisis ulama.” (Republika, 04-04-09). Alhasil keadaan dekadensi moral telah dibarengi pula dengan krisis ulama. Maka semakin nyata perlunya pemahaman al Qur’an untuk lapisan masyarakat awam dalam bentuk program yang secara sistematis mampu mendekatkan al Qur’an kedalam kehidupan sehari-hari sehingga diharapkan akan mampu menahan laju dekadensi moral yang terjadi di masyarakat

Menjadi riil bagi mereka yang kini memiliki akses kepada keberadaan al Qur’an di tangannya untuk menyegerakan diri akrab dengan al Qur’an dan mengikuti anjuran mensyi’arkan Islam sebagaimana hadits Rasulullah saw untuk menyampaikan kepada saudara muslimnya walaupun cuma satu ayat. Bisa dimulai dengan pemahaman dari diri kita sendiri dan kemudian mendakwahkan satu ayat maka alangkah indahnya persaudaraan muslim ini jadinya.

(Ditulis oleh: H. D. Hidajat al Bantaniy)

Urgensi Al-Qur`an Bagi Kehidupan Manusia

Kehidupan manusia di dunia bukanlah perjalanan yang tak bertujuan, melainkan perjalanan menuju satu titik tujuan, yaitu meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, perjalanan manusia di dunia harus lurus ke arah tujuan yang hendak dicapai dan tidak boleh menyimpang darinya. Sebagaimana seorang musafir membutuhkan petunjuk jalan agar dirinya dapat sampai di tempat tujuan, manusia pun memerlukan adanya petunjuk jalan yang akan membimbingnya dalam menggapai dua macam kebahagiaan, yaitu kebahagiaan sementara di dunia dan kebahagiaan yang hakiki di akhirat nanti. Dengan petunjuk tersebut, kehidupan manusia akan terarah sehingga dirinya akan sampai di satu titik yang menjadi tujuannya itu dengan selamat.

Sebaliknya, tanpa petunjuk tersebut, dia akan menjadi seperti musafir yang berjalan tanpa tahu arah dan tujuan. Orang seperti ini akan tersesat dan akan terombang-ambing oleh derasnya “ombak” kehidupan dunia hingga tak tahu lagi ke mana dia harus menepi. Akhirnya, dia pun tenggelam ke dalam “lautan” kehidupan dunia yang penuh dengan fatamorgana. Hidupnya hanya sekedar untuk mencari kenikmatan dan kesenangan duniawi yang bersifat fana`, sehingga meskipun hidupnya penuh dengan berbagai macam kenikmatan atau kesenangan duniawi, akan tetapi dia belum tentu bahagia. Andaikata dengan kenikmatan dan kesenangan duniawi itu dia memang dapat meraih kebahagiaan di dunia, tapi apakah dia dapat meraih kebahagiaan di akhirat? Yang terpikir dalam benaknya hanyalah bagaimana dia dapat hidup senang, meskipun terkadang kesenangan itu diperoleh dengan cara merugikan orang lain atau membuatnya sengsara.

Orang-orang seperti ini sudah tidak sulit dijumpai pada zaman kita sekarang. Hari demi hari, makin banyak orang yang hanya mencari kenikmatan dan kesenangan duniawi semata. Akibatnya, kejahatan semakin marak, korupsi semakin merajalela, tindakan asusila ada di mana-mana, dan moral masyarakat semakin bobrok. Ironisnya, hal itu juga terjadi di negara kita yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bahkan dapat dikatakan sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Semua itu terjadi karena mereka sudah tidak lagi memperhatikan dan mengikuti petunjuk Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui segala sesuatu.

Sebagai muslim, kita meyakini bahwa sesuatu yang harus kita jadikan sebagai petunjuk atau pedoman dalam kehidupan di dunia ini adalah al-Qur`an, kitab suci yang diturunkan Allah kepada baginda Nabi Muhammad saw.. Allah swt. berfirman:

“Sesungguhnya al-Qur`an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mu`min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar, dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih.” (QS. al-Israa` [17]: 9-10)

Sebagai petunjuk, al-Qur`an memuat hal-hal yang dibutuhkan manusia guna meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat, baik berupa berita tentang kisah umat-umat terdahulu yang dapat dijadikan pelajaran, kabar tentang hal-hal yang akan terjadi di masa-masa mendatang, ataupun hukum-hukum yang mengatur kehidupan manusia. Bila seseorang memperhatikan dengan baik hal-hal tersebut, kemudian dia mengikuti petunjuk-petunjuk al-Qur`an yang berkaitan dengannya, maka dia dijamin tidak akan sesat. Mengenai hal ini, Rasulullah saw. bersabda:

“Di dalamnya (al-Qur`an) terdapat berita tentang hal-hal yang terjadi sebelum (masa) kalian, kabar tentang hal-hal yang akan terjadi setelah (masa) kalian, dan hukum-hukum yang diterapkan di antara kalian. Al-Qur`an merupakan perkataan yang tegas (penuh arti) dan bukan perkataan omong kosong. Barangsiapa yang meninggalkannya karena perasaan sombong yang ada dalam dirinya, maka Allah akan memusuhinya. Barangsiapa yang mencari petunjuk lain selain al-Qur`an, maka Allah akan menyesatkannya.” (HR. Tirmidzi dan al-Darimi)

Al-Qur`an merupakan penawar bagi hati yang resah, hukum yang adil untuk memecahkan pelbagai persoalan, serta merupakan kata-putus yang tegas yang sama sekali tidak mengandung unsur sendau-gurau. Ia bagaikan pelita yang cahayanya tak kenal pudar, bintang kejora yang kilauan sinarnya tak pernah padam, dan samudera luas yang kedalamannya tak terjajaki.

Sebagai kitab suci yang bersumber dari Dzat Yang Maha Mengetahui, al-Qur`an telah disusun dengan susunan yang sangat rapi, penghubungan antara bagian-bagian awal dengan bagian-bagian akhirnya begitu indah, isyarat-isyaratnya amat cemerlang, dan perpindahannya dari penyampaian kisah-kisah yang menarik menuju pemberian peringatan dan teguran kepada umat manusia sangat menakjubkan. Ia telah dirancang sedemikian rupa sehingga ia memuat dasar-dasar, pokok-pokok atau prinsip-prinsip yang memang dibutuhkan manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia. Bahkan, ada sebagian ulama yang beranggapan bahwa al-Qur`an merupakan sumber segala ilmu, baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum. Anggapan mereka itu didasarkan pada firman Allah swt. yang berbunyi:

“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab (al-Qur`an).” (QS. al-An’aam [6]: 38)

Mungkin anggapan mereka itu tidaklah berlebihan, karena dalam al-Qur`an memang terdapat penjelasan-penjelasan atau isyarat-isyarat yang berkaitan dengan berbagai macam bidang ilmu pengetahuan. Hanya saja perlu ditekankan di sini bahwa al-Qur`an diturunkan bukan untuk menjadi kitab (buku) ilmu pengetahuan, melainkan sebagai buku petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa (QS. al-Baqarah [2]: 2). Al-Qur`an-lah yang dapat membimbing manusia ke jalan yang lurus, yang tidak menyimpang, dan yang sesuai dengan arah tujuan. Al-Qur`an-lah yang memberitahukan kepada manusia; mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, dan lain sebagainya. Al-Qur`an-lah yang memerintahkan manusia untuk mengikuti sosok teladan bagi umat manusia, Nabi Muhammad saw., serta untuk menjauhi langkah-langkah setan yang merupakan musuh yang nyata bagi mereka.

Untuk dapat menjadikan al-Qur`an sebagai petunjuk, tentunya perlu ada upaya perenungan terhadap ayat-ayat al-Qur`an, pemahaman terhadap makna-maknanya, serta pengungkapan terhadap rahasia-rahasia atau mutiara-mutiara yang terkandung di dalamnya. Untuk itulah, Allah swt. pun memerintahkan manusia untuk merenungi ayat-ayat al-Qur`an dan memahami makna-maknanya. Dia berfirman:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`an ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad [47]: 24)

Pada ayat lain, Allah juga berfirman:

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad [38]: 29)

Perenungan terhadap ayat-ayat al-Qur`an dan pemahaman terhadap makna-maknanya ini perlu dilakukan secara menyeluruh dan tidak sepotong-potong, karena terkadang ada satu ayat yang dijelaskan oleh ayat lain. Perenungan dan pemahaman itu juga harus dilakukan dari berbagai sudut pandang, dengan harapan output yang dihasilkan –paling tidak- dapat mendekati maksud yang dikehendaki Allah swt.. Mengingat al-Qur`an diturunkan dalam bahasa Arab dengan gaya bahasa yang mengandung unsur sastra tinggi, maka untuk dapat memahami al-Qur`an dengan baik, seseorang membutuhkan adanya bantuan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu bahasa, asbabun nuzul, qawa`id tafsir, fikih, dan lain sebagainya. Bahkan terkadang diperlukan bantuan ilmu-ilmu umum, seperti psikologi, sosiologi, ekonomi dan lain sebagainya, tentunya sesuai dengan tema ayat yang akan dibahas. Untuk itu, di kalangan umat Islam ini, harus ada orang-orang tertentu yang memfokuskan perhatiannya pada upaya perenungan dan pemahaman terhadap makna ayat-ayat al-Qur`an. Orang-orang seperti ini diharapkan dapat membantu umat Islam lainnya dalam memahami al-Qur`an, sehingga mereka semua dapat menjalani kehidupan di dunia ini sesuai dengan petunjuk al-Qur`an. Wallahu a’lam….

Akrablah Dengan Al Qur’an (I)

Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah (Al Qur’an) maka baginya satu kebaikan. Dan satu kebaikan
akan dilipatgandakan dengan sepuluh kali lipat.” (HR Tarmidzi)

Dalam artikel suatu koran ibu kota diberitakan suatu group pengajian memulai gerakan wakaf al-Qur’an. Group ini mencari wakif al-Qur’an untuk lembaga atau group pengajian di pesantren, madrasah, masjid dan semacamnya. Mereka prihatin karena menenggarai lembaga pengajian semacam itu kekurangan al-Qur’an dan mereka membutuhkan banyak sekali. Sebagai Kitabullah yang harus dipelajari dan dibaca oleh umat muslim tidaklah berlebihan kiranya kalau kita juga turut prihatin atas keadaan ini, maka langkah dari group pencari wakif ini patutlah mendapat apresiasi. Keadaan ini amatlah ironis. Terutama ketika kita menjumpai Al Qur’an tersusun rapi di rak-rak buku di rumah seakan-akan tidak pernah disentuh oleh pemiliknya atau hanya dikeluarkan dari raknya ketika tahlilan berlangsung. Pada diskusi tentang al-Qur’an yang diadakan oleh suatu Majlis Taklim baru-baru ini, diakui adanya kekhawatiran akan buku-buku Yasin yang disusun secara praktis untuk tahlilan dalam huruf Latin itu dapat melemahkan niatan kaum Muslim (terutama diperkotaan) untuk membaca dan mengkaji al-Qur’an. Apalagi ketika ayat al-Qur’an yang ditulis dalam huruf Latin itu dibaca oleh mereka yang tidak pernah mempelajari al- Qur’an, maka kemungkinan salah eja akan besar sekali. Seperti layaknya berlaku bagi bahasa-bahasa lain, salah eja memungkinkan suatu kata itu menjadi lain artinya atau bahkan tak bermakna. Apa yang dilakukan dalam tahlilan dengan cara seperti itu apakah kemudian menjadi sia-sia. Tidak juga. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya segala amal itu ditinjau dari niatnya dan setiap orang akan diganjar sesuai dengan apa yang ia niatkan.”. Dari amal shaleh dengan membaca Surah Yasin tadi kita akan mendapatkan pahala. Akan tetapi apabila kita mengikuti Hadits pada awal tulisan ini, kiranya kita kehilangan kesempatan mendapat satu kebaikan dari setiap satu huruf dalam al-Qur’an yang kita baca, dimana satu kebaikan tadi akan dilipat gandakan sepuluh kali lipat. Maka tidaklah berkelebihan, atas alasan apapun kita patut bersegera akrab dengan al-Qur’an dengan cara membacanya dan memahami isi kandungan ayat-ayatnya. Lain tidak untuk mendapatkan ridha Allah.

KANDUNGAN AL-QUR’AN. Yang dikemukakan di atas barulah sebagian kecil dari barokah Allah yang bakal kita dapat dari membaca dan mengkaji al-Qur’an(Surah Shaad QS 39: 29), karena al-Qur’an mempunyai makna yang lebih dalam kehidupan kita. Ia merupakan petujuk dalam mengarungi kehidupan di dunia yang fana yang penuh godaan ini.
Al-Qur’an adalah Kitab Suci yang berisi firman Allah swt yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, mengandung petunjuk bagi umat manusia. Diturunkan untuk menjadi pegangan bagi mereka yang ingin mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam Surah al-Baqarah QS 2:2 dijelaskan bahwa al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang yang bertakwa, yaitu mereka yang memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya.Wahyu pertama al-Qur’an diturunkan pada suatu malam menjelang akhir Ramadhan kepada Nabi Muhammad saw dalam usianya yang ke-empat puluh. Ketika itu beliau tengah melakukan tahannuts (menyendiri) di dalam gua Hira. Datang kepadanya seorang malaikat dalam rupa manusia. Malaikat itu mendekap beliau kemudian melepaskannya dan berkata kepadanya, “Bacalah”. Beliau menjawab, “Aku tidak dapat membaca.” Hal ini dilakukan sampai tiga kali, kemudian malaikat berkata: “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan!” Awal wahyu ini adalah merupakan ayat kesatu dari Surah al-Alaq. Ulama sepakat bahwa wahyu al-Qur’an pertama adalah 5 (lima) ayat pertama surah ini. Allah menciptakan manusia dari segumpal darah. Allah Yang Maha Pemurah mengajarkan dengan pena (tulisan) hal-hal yang diketahui manusia sebelumnya, yakni dengan sarana dan usaha mereka. Dia juga mengajar manusia (tanpa pena) apa yang belum diketahui sebelumnya. Pada awal surah ini Allah memperkenalkan diri sebagai Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui dan Maha Pemurah. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu. Manakala kita berupaya belajar dan mengkaji al-Qur’an, Allah pasti akan membantu. Namun Allah tahu betul sifat manusia ciptaan-Nya. Oleh karena itu dalam Surah al-Qamar 54: 17; 22; 32; 40 sebanyak empat kali Allah swt memerintahkan kita untuk mempelajari al-Qur’an dengan nada bertanya “Walaqod yassarnaa al qur’ana lildzikri fahal mimmudzakir.

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”
Jadi al-Qur’an telah dibuat mudah sehingga kita tidak mempunyai alasan untuk tidak mampu mempelajarinya. Untuk bisa memahami kandungan al-Qur’an, kita perlu mempelajarinya. Di bagian lain web ini disampaikan mengenai kemudahan mempelajari al Qur’an karena berbagai alasan antara lain bahwa 40% kata bahasa Indonesai berasal dari bahasa Arab. Belajar dimulai dengan membaca dan kemudian mengartikannya (menterjemahkannya dalam bahasa ibu kita). Yang diperlukan kemudian adalah kemauan dan tekad yang kuat dalam memenuhi perintah Allah swt. Wallahu’alam. (Ditulis oleh H. D. Hidajat al Bantaniy)

Rabu, 10 Februari 2010

Keuntungan ≠ Riba

Keuntungan ≠ Riba
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Saya telah menyimak penjelasan tentang hukum rentenir. Yang ingin saya tanyakan, jika kita mengambil untung dalam berjualan, apakah hal itu juga termasuk riba? Apalagi pada zaman yang serba sulit sekarang ini, banyak orang yang menjual barang dengan harga semaunya, alias dengan keuntungan yang besar. Apakah hal itu dibolehkan?
Sekian dari saya, kurang lebihnya saya mohon maaf. Terima kasih, Pak Ustadz. Wabillahit-taufiq wal hidayah…
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Z - …..

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Riba dan jual beli adalah dua hal yang berbeda, seperti yang disinyalir pada firman Allah swt.: “dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah [2]: 275) Pada penjelasan yang lalu (Hukum Rentenir), secara implisit saya telah menyebutkan bahwa riba bisa terjadi pada transaksi hutang piutang dan juga transaksi jual beli.
Mengenai riba yang terjadi pada transaksi hutang piutang, saya kira mudah difahami dan mudah-mudahan Anda dan para pembaca sudah bisa membedakannya dengan jual beli yang dibolehkan oleh Allah. Sebab, riba tersebut menggunakan akad hutang piutang dan bukan akad jual beli. Sebagai contoh, Ahmad meminjam uang kepada Salman sebesar Rp. 100.000,- dengan perjanjian harus dikembalikan dengan jumlah Rp. 110.000,-
Mungkin yang melatarbelakangi pertanyaan Anda adalah penjelasan tentang riba yang terjadi pada transaksi jual beli. Saya kutipkan kembali penjelasan tersebut: “kelebihan pada salah satu harta sejenis yang diperjualbelikan dengan ukuran syara’ (timbangan atau takaran). Misal, 1 kg gula dijual dengan 1 ¼ kg gula lainnya. Kelebihan ¼ kg gula dalam jual beli ini disebut dengan riba al-fadhl.” Riba ini menggunakan akad jual beli, tepatnya jual beli muqayadhah (barter). Mungkin penjelasan tersebut masih belum gamblang sehingga menimbulkan kesan ada kesamaan antara riba dengan jual beli pada umumnya.
Sebenarnya, yang saya maksud dalam contoh tersebut adalah jual beli barang yang sejenis, seperti gula dengan gula, beras dengan beras, emas dengan emas, perak dengan perak, dan lain-lain. Dalam jual beli seperti ini, bila ada kelebihan pada salah satunya, maka itulah yang disebut dengan riba. Sekali lagi, ini hanya barang-barang yang sejenis dengan kadar yang berbeda. Tetapi bila yang ditukar (dijual-belikan) adalah barang yang sejenis tetapi dengan kadar yang sama, atau barang yang tidak sejenis meskipun ada kelebihan pada salah satunya, maka jual beli ini tidak termasuk riba.
Hal ini telah dijelaskan oleh Baginda Rasulullah saw. dalam sabdanya: “(Memperjual-belikan) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, anggur dengan anggur, kurma dengan kurma, garam dengan garam (haruslah) sama, seimbang dan tunai. Apabila jenis yang diperjual-belikan berbeda, maka juallah sesuai dengan kehendakmu (boleh ada kelebihan) asal dengan tunai.” (HR. Muslim)
Hadits tersebut menjelaskan bahwa seorang Muslim boleh menjual suatu barang untuk ditukar dengan barang lainnya yang tidak sejenis atau dengan nilai tukar (uang), dengan mengambil kelebihan (keuntungan). Inilah jual beli yang dibolehkan Allah swt., seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah (2): 275 tersebut.
Adapun masalah keuntungan yang besar, hal itu berkaitan dengan pembahasan tentang tas’ir atau penentuan harga. Kata tas’ir berasal dari kata as-si’r yang berarti harga aktual yang berlaku di pasar. Secara umum, penentuan harga ini diserahkan sepenuhnya kepada pedagang. Artinya, para pedagang bebas menjual barangnya dengan harga yang dikehendakinya, tentunya selama masih dalam batas-batas kewajaran. Penentuan harga ini berhubungan dengan hukum ekonomi (hukum permintaan dan penawaran). Bila permintaan banyak sementara stock barang sedikit, maka harga akan naik dengan sendirinya. Sebaliknya, bila permintaan sedikit sementara stock barang banyak, maka harga akan turun. Dalam hal ini, pemerintah tidak berhak ikut campur dalam menentukan harga kecuali bila ada ulah sebagian pedagang yang memonopoli dan menimbun barang dengan tujuan agar harga naik.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pada zaman Rasulullah saw. pernah terjadi pelonjakan harga di pasar. Sejumlah sahabat pun menemui Rasulullah saw. seraya berkata: “Wahai Rasulullah, harga-harga di pasar melonjak begitu tinggi, maka tetapkanlah harga untuk kami!” Rasulullah saw. menjawab: “Sesungguhnya Allah-lah yang berhak menetapkan harga, Allah-lah Dzat yang Maha Menahan dan Melapangkan (rezeki), serta Dzat yang Maha Pemberi rezeki. Aku berharap akan bertemu Allah, dan janganlah seseorang di antara kalian menuntut saya untuk berlaku zhalim dalam soal nyawa dan harta.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan Ibnu Hibban)
Dari sini, maka jelaslah bahwa penentuan harga merupakan hak pedagang, dan ini berarti bahwa pedagang dibolehkan untuk mengambil keuntungan (termasuk keuntungan yang besar), tentunya selama masih dalam batas-batas kewajaran. Wallaahu A’lam……

Ad-Dars Ats-Tsalits (Pelajaran Ketiga) - Level 1

Kali ini, kita akan belajar tentang kata kerja bentuk present (fi’il mudhaari’). Seperti yang telah saya jelaskan pada bagian introduction, bahasa Arab tidak mengenal banyak tense seperti bahasa Inggris, hanya saja dalam setiap tense ada perubahan yang harus diperhatikan sesuai dengan subyeknya. Meskipun demikian, Anda tidak perlu khawatir. Sebab, bila Anda sering membaca Al-Qur`an, lalu Anda mau memperhatikan penggunaan kata kerja yang ada di dalamnya, maka Anda akan sangat terbantu. Sebagai contoh, bila subyeknya نَحْنُ (kami/kita), maka kata kerjanya menggunakan huruf nuun di bagian depannya. Hal ini dapat kita lihat pada firman Allah:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ

Sedangkan bila subyeknya أَنْتُمْ (kalian laki-laki), maka kata kerjanya menggunakan huruf taa` di bagian depannya, sementara di bagian akhirnya menggunakan tambahan huruf wawu dan nuun. Ini seperti yang dapat kita lihat pada firman Allah:

كّلاَّ سَوْفَ تَعْلَمُوْنَ، ثُمَّ كَلاَّ سَوْفَ تَعْلَمُوْنَ

Bagi Anda yang ingin mengajarkan bahasa Arab dengan metode ini, diharapkan Anda untuk sering melatih siswa berbicara dengan bahasa Arab di awal pelajaran. Anda harus memancing siswa dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan sederhana dalam bahasa Arab, seperti yang telah diajarkan pada bagian conversation. Bahkan, ketika Anda ingin menyuruh siswa untuk membaca ataupun menulis, Anda juga harus menyampaikan perintah itu dalam bahasa Arab. Dengan demikian, diharapkan siswa akan terlatih untuk berbicara dalam bahasa Arab sejak awal.

Untuk mendownload pelajaran ketiga, klik judul tulisan.

Rabu, 03 Februari 2010

Hukum Rentenir

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, mohon pembahasannya tentang riba, terutama yang berkaitan dengan rentenir. Bagaimana hukumnya menurut Al-Qur`an dan Sunnah. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
S - …..

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Definisi Riba:
Dalam bahasa Arab, kata “riba” berasal dari kata “rabaa yarbuu” yang berarti tumbuh, berkembang atau bertambah. Jadi menurut bahasa, riba berarti kelebihan atau tambahan.
Sedangkan menurut istilah, riba adalah kelebihan harta dalam suatu muamalah (baca: transaksi) dengan tidak ada imbalan atau gantinya. Sebagai contoh, Fadhil meminjam uang kepada Fauzan sebesar Rp. 100.000,- untuk satu bulan. Tetapi Fauzan tidak mau meminjamkannya kecuali bila Fadhil mau mengembalikannya sebesar Rp. 110.000,- pada saat jatuh tempo. Dalam terminologi fiqih, kelebihan uang Rp. 10.000,- yang harus dibayarkan Fadhil itu disebut dengan riba.

Macam-macam Riba:
Secara garis besar, riba terbagi menjadi dua, yaitu:
Pertama: Riba al-fadhl; Yang dimaksud dengan riba al-fadhl adalah kelebihan pada salah satu harta sejenis yang diperjualbelikan dengan ukuran syara’ (timbangan atau takaran). Misal, 1 kg gula dijual dengan 1 ¼ kg gula lainnya. Kelebihan ¼ kg gula dalam jual beli ini disebut dengan riba al-fadhl.
Kedua: Riba an-nasii’ah; Yang dimaksud dengan riba an-nasii’ah adalah kelebihan atas piutang yang diberikan orang yang berhutang kepada orang yang menghutanginya karena adanya faktor penundaan waktu pembayaran. Misal, Badu berhutang kepada Budi sejumlah Rp. 200.000,- yang pembayarannya dijanjikan bulan depan, dengan syarat pengembalian itu dilebihkan menjadi Rp. 250.000,-.

Hukum Riba:
Riba merupakan perbuatan yang dibenci dan diharamkan Allah swt.. Dalam QS. Al-Baqarah (2): 275, Allah swt. berfirman: “dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Bahkan dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. Mengatagorikan riba sebagai salah satu dari 7 dosa besar yang harus dihindari (HR. Muslim). Kemudian di Hadits yang lain, Rasulullah saw. melaknat kedua belah pihak yang melakukan transaksi riba dan juga orang yang menjadi saksi dalam transaksi tersebut (HR. Abu Daud).
Dalam Islam, pengharaman riba ini tidak dilakukan dalam satu kali tahap, melainkan dilakukan secara gradual (bertahap). Hal ini disebabkan karena praktek riba (yang merupakan tradisi kaum Yahudi) sudah mengakar di kalangan masyarakat Arab pada saat itu, sama seperti kebiasaan meminum khamar. Menurut Al-Maraghir, seorang mufasir asal Mesir, pengharaman riba dilakukan dalam empat tahap:
Pertama: Allah hanya menegaskan bahwa riba bersifat negatif. Allah berfirman: “Dan suatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah di sisi Allah.” (QS. Ar-Ruum [30]: 39)
Kedua: Allah memberi isyarat tentang keharaman riba melalui kecaman-Nya terhadap praktek riba di kalangan masyarakat Yahudi. Allah berfirman: “Dan disebabkan mereka makan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang lain dengan jalan yang batil.” (QS. An-Nisaa` [4]: 161)
Ketiga: Allah yang mengharamkan riba yang berlipat ganda. Dia berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (QS. Ali Imran [3]: 130) Pada ayat ini, hanya riba yang berlipat ganda saja yang diharamkan.
Keempat: Allah mengharamkan riba secara total dalam segala bentuknya, baik yang berlipat ganda ataupun tidak. Dia berfirman: “dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah [2]: 275)

Praktek Riba Zaman Sekarang:
Sedikitnya ada dua praktek riba yang berkembang saat ini:
Pertama: Rentenir; Praktek riba seperti ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat kita, terutama di daerah-daerah tertentu. Semua ulama sepakat mengharamkan praktek riba tersebut karena dianggap sama persis dengan praktek riba yang berkembang di kalangan masyarakat Jahiliyah dulu, yang kemudian diharamkan oleh Islam. Unsur “menzhalimi” yang terkandung dalam praktek ini sangat kentara. Sebab, hutang yang awalnya hanya Rp. 300 juta bisa saja menjadi Rp. 500 juta atau –bahkan- lebih bila orang yang berhutang tidak segera melunasinya.
Kedua: Bunga bank; Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum bunga bank, apakah termasuk katagori riba ataukah tidak, saya pribadi menganggap bunga bank termasuk riba, sehingga ia pun diharamkan. Pembahasan mengenai bunga bank pernah saya jelaskan pada konsultasi yang berjudul “Hukum Bunga Bank”. Berikut kutipannya:
“Pembahasan mengenai hukum bunga bank sangat berkaitan dengan pembahasan tentang riba dalam Islam. Pada prinsipnya, para ulama sepakat bahwa hukum riba adalah haram, sesuai dengan firman Allah swt. dalam QS. Al-Baqarah (2): 275: ”Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Hanya saja, para ulama berbeda pendapat apakah bunga bank termasuk riba yang diharamkan tersebut ataukah tidak? Munculnya perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena sistem perekonomian perbankan belum ada pada zaman dulu, apalagi pada zaman Rasulullah saw.. Bahkan, pembahasan tentang bunga bank itu sendiri baru dapat ditemukan dalam literatur-literatur fiqih kontemporer.
Wahbah az-Zuhali, seorang pakar fiqih asal Syria, berpendapat bahwa bunga bank termasuk riba yang diharamkan oleh Islam. Wahbah az-Zuhaili mengatagorikan bunga bank sebagai riba an-nasii`ah karena –menurutnya- bunga bank itu mengandung unsur kelebihan uang tanpa imbalan dari pihak penerima, dengan menggunakan tenggang waktu.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, Kairo. Para ulama yang tergabung dalam lembaga ini berpendapat bahwa meskipun sistem perekonomian suatu negara tidak bisa maju tanpa bank, namun karena sifat bunga itu merupakan kelebihan dari pokok utang yang tidak ada imbalan bagi orang yang berpiutang dan sering menjurus kepada sifat adh’aafan mudhaa’afatan (berlipat ganda) apabila utang tidak dibayar tepat waktu, maka lembaga ini pun menetapkan bahwa bunga bank termasuk riba yang diharamkan syara’.
Tetapi ada sebagian ulama yang mengaitkan keharaman riba tersebut dengan unsur azh-zhulm (penganiayaan atau penindasan). Artinya, bila pinjaman yang diberikan itu tidak menyebabkan orang lain merasa teraniaya atau tertindas maka ia tidak dikatagorikan sebagai riba yang diharamkan, meskipun dilakukan dengan sistem bunga. Di antara ulama yang berpendapat seperti itu adalah Muhammad Rasyid Ridha, seorang mufasir dari Mesir. Menurutnya, tidaklah termasuk ke dalam pengertian riba bila seseorang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk diinvestasikan sambil menetapkan kadar tertentu baginya dari hasil usaha tersebut. Hal ini disebabkan karena transaksi seperti itu menguntungkan kedua belah pihak.
Sementara itu, Muhammad Quraish Shihab –mufasir Indonesia-, setelah menganalisa ayat-ayat yang berkaitan dengan riba, asbab an-nuzulnya, dan pendapat berbagai mufasir, menyimpulkan bahwa ’illat (sebab) dari keharaman riba itu adalah sifat azh-zhulm (aniaya), seperti yang disebutkan di akhir ayat 279 dari Surah Al-Baqarah. Oleh sebab itu, yang diharamkan itu adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekedar kelebihan atau penambahan jumlah utang.
Wallaahu A’lam….
(Referensi Utama: Fiqh Muamalah, Dr. H. Nasrun Haroen, MA; Penerbit Gaya Media Pratama, Jakarta)