Tampilkan postingan dengan label Konsultasi Agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Konsultasi Agama. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Juni 2011

Hukum Budidaya Kodok Untuk Dijual

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Mau tanya, Pak Ustadz, apa hukum dari memelihara kodok untuk dijual, halal atau haram? Terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

A-….

Jawaban:

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.

Hukum memelihara kodok untuk dijual sangat tergantung pada hukum kodok itu sendiri. Bila Anda meyakini bahwa kodok itu haram, maka memeliharanya untuk dijual juga haram. Demikian pula sebaliknya, bila Anda meyakini bahwa kodok itu halal, maka memeliharanya untuk dijual juga halal. Sengaja saya menggunakan kata "Bila Anda meyakini", karena dalam masalah hukum kodok, ada dua pendapat seperti yang pernah saya bahas pada konsultasi berjudul "Apakah Kodok Halal?". Berikut kutipannya:

“Sama seperti hukum kepiting, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum swike atau kodok. Sebagian besar ulama mengharamkan kodok dengan dalil hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Utsman Al-Quraisy:


Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Utsman Al-Quraisy, bahwa ada seorang tabib (dokter) yang bertanya kepada Rasulullah saw. tentang kodok yang dipergunakan dalam campuran obat, maka Rasulullah saw. melarang membunuhnya. (HR Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa’i).

Berdasarkan hadits ini, para ulama mengharamkan kodok. Sebab dalam hadits tersebut, Rasulullah saw. melarang untuk membunuhnya. Sebuah kaidah mengatakan bahwa hewan-hewan yang dilarang untuk dibunuh, hukumnya haram dimakan. Seandainya boleh dimakan, niscaya Rasulullah tidak akan mengeluarkan larangan tersebut. Ada juga ulama yang mengharamkan kodok, karena bagi kebanyakan orang, kodok termasuk ke dalam katagori hewan yang menjijikkan. Ada pula yang mengharamkannya karena kodok termasuk binatang yang bisa hidup di dua alam.

Berbeda dengan ulama di atas, Imam Malik menghalalkan hewan kodok. Imam Malik berpendapat seperti itu karena hadits di atas tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa kodok termasuk hewan yang najis atau diharamkan. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan, selama tidak ada nash atau dalil yang secara jelas mengharamkan binatang tertentu, maka hukumnya halal dan boleh dimakan.

Tetapi perlu diingat, bila sudah diketahui bahwa ada jenis kodok yang mengandung racun, maka hukumnya haram. Sebab, binatang seperti itu merupakan binatang yang membahayakan manusia. Padahal segala sesuatu yang membahayakan manusia, dihukumi sebagai sesuatu yang haram.

Pertanyaannya, kita mau ikut pendapat yang mana? Apakah pendapat pertama yang mengharamkan kodok ataukah pendapat kedua yang menghalalkannya? Menurut saya, semua kembali kepada masing-masing individu. Yang terpenting, kita tahu alasan atau dasar hukumnya. Sebab, permasalahan seperti ini merupakan permasalahan ijtihadi yang tidak patut dibesar-besarkan, apalagi dijadikan alasan untuk menyudutkan satu kelompok Islam hingga menyebabkan terjadinya perselisihan atau perpecahan di kalangan umat Islam.”

Mengenai hukum budidaya kodok, MUI sendiri membolehkannya selama tujuan budi daya itu hanya untuk diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Karena menurut MUI, mengutip masalah jumhur ulama, semua binatang yang hidup tidak najis, dan boleh dimanfaatkan kulitnya (dimasak), kecuali anjing dan babi. Wallaahu A’lam….

Jumat, 06 Mei 2011

Bolehkah Umrah Berkali-kali Dalam Setahun?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, masyarakat Indonesia banyak sekali yang pergi umrah berkali-kali, bahkan ada yang setahun lebih dari sekali. Belum lagi saat berada di Mekkah, banyak jama’ah Indonesia yang pergi ke Tan’im atau Ji’ranah untuk mengambil miqat guna melakukan umrah kedua, ketiga, dan seterusnya. Bukankah hal itu termasuk perbuatan bid’ah yang tidak pernah diajarkan Rasulullah saw., karena beliau tidak pernah umrah lebih dari sekali dalam setahun? Terima kasih atas penjelasannya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

H-…..

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudara H yang saya hormati, apa yang Anda katakan memang benar. Rasulullah saw. dan juga mayoritas sahabat tidak pernah melakukan umrah lebih dari sekali dalam setahun. Ibrahim An-Nakha’i berkata: “Nabi dan para sahabat tidak melakukan umrah kecuali sekali dalam setahun. Mereka tidak melakukannya dua kali dalam setahun. Menambah apa yang tidak mereka lakukan adalah sesuatu yang tidak disukai.”

Pendapat ini juga didasarkan pada surat Rasulullah yang ditujukan kepada Umar bin Hazm, yang di dalamnya disebutkan kalimat “Sesungguhnya umrah adalah haji kecil.” Di sini, Rasulullah saw. menyebut ibadah umrah dengan istilah al-hajj al-ashghar (haji kecil), sementara dalam Al-Qur`an ibadah haji diistilahkan dengan “al-hajj al-akbar” (haji besar) (Lihat QS. At-Taubah [9]: 3). Bila ibadah haji atau haji besar disyariatkan hanya sekali dalam setahun, maka demikian pula dengan ibadah umrah atau haji kecil. Berdasarkan hal itu, maka Imam Malik berpendapat bahwa hukum mengulang-ulang umrah lebih dari sekali dalam setahun adalah makruh.

Namun, pendapat ini bukan satu-satunya pendapat yang ada dalam masalah tersebut. Sejumlah ulama termasuk Imam Syafi’i dan dan Imam Hanbali membolehkan hal itu. Mereka menganggapnya sebagai amalan yang sunah hukumnya, dan bagi orang yang melakukannya tidak dikenai dam. Pendapat ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, Ibnu Umar dan Anas bin Malik. Mereka mendasarkan pendapat tersebut pada amalan Aisyah ra. yang pernah menunaikan ibadah umrah dua kali dalam sebulan atas perintah Nabi saw., umrah pertama dilakukan bersamaan dengan haji qirannya dan umrah kedua dilakukan setelah haji.

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum melakukan umrah berkali-kali dalam setahun. Seperti yang biasa saya tekankan, perbedaan seperti ini hanyalah perbedaan pendapat (ikhtilaf) pada masalah-masalah furu’iyyah (cabang) yang semestinya tidak menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Apalagi masing-masing pendapat merupakan hasil ijtihad para ulama yang didasarkan pada dalil-dalil tertentu. Wallaahu A’lam….(Fz)

Bolehkah Haji Tanpa Mahram?

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Ustadz saya mau tanya. Sudah lama saya ingin menunaikan ibadah haji, alhamdulillah sekarang saya sudah memiliki kemampuan dari segi finansial. Namun masih ada ganjalan, karena sebenarnya saya ingin pergi bersama suami, tapi kondisi suami tidak memungkinkan karena dia sakit-sakitan. Yang ingin saya tanyakan, bolehkah saya pergi haji tanpa didampingi suami? Sebab saya pernah dengar bahwa haji seorang wanita tidak sah bila tidak didampingi oleh mahramnya. Mohon penjelasannya, terima kasih.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

B-....

Jawaban:

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.

Saudari B yang saya hormati, semua ulama sepakat bahwa seorang wanita juga dikenai kewajiban menunaikan ibadah haji bila telah memiliki kemampuan /istitha'ah, sebagaimana firman Allah swt.:

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.(QS. Ali Imran [3] : 97)

Hanya saja terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai persyaratan adanya mahram. Sebagian ulama mensyaratkan adanya mahram bagi wanita, sementara sebagian yang lain hanya mensyaratkan adanya faktor keamanan atas diri wanita tersebut, dan hal itu bisa terwujud dengan adanya beberapa wanita yang bisa dipercaya.

Berikut adalah pendapat ulama mengenai hal tersebut:

1. Imam Malik dan Imam Syafi'i berpendapat bahwa adanya mahram bagi wanita tidak menjadi syarat haji. Pendapat ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Aisyah, Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Atha', Ibnu Sirin dan Al-Auza'i. Suatu ketika Aisyah ra. pernah ditanya: "Apakah seorang wanita harus bepergian (untuk haji) bersama mahramnya?", beliau pun menjawab: "Tidak semua wanita memiliki mahram."

Pendapat ini juga didasarkan pada sebuah Hadits Shahih yang diriwayatkan Bukhari:

فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لَتَرَيْنَ الظَّعِيْنَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الْحِيْرَةَ حَتَّى تَطُوْفَ بِالْكَعْبَةِ لاَ تَخَافُ أَحَدًا إِلاَّ اللهَ

"Jika kamu berumur panjang niscaya kamu akan melihat seorang perempuan melakukan perjalanan sendiri dari Hira (saat ini di wilayah Irak) hingga (sampai di Mekah dan) melakukan thawaf di sekeliling Ka’bah. Dia tidak takut kepada seorang pun kecuali dari Allah.(HR. Bukhari)

Saat ditanya mengenai wanita yang tidak memiliki mahram, beberapa ulama terkenal memberikan jawaban sebagai berikut:

- Imam Malik: Ia boleh keluar (pergi haji) bersama sekelompok wanita.

- Imam Hammad: Ia boleh bepergian bersama orang-orang yang shaleh.

- Al-Auza'i: Ia boleh bepergian bersama sekelompok orang yang bisa dipercaya.

- Imam Syafi'i: Ia boleh keluar bersama seorang wanita lainnya yang bisa dipercaya.

2. Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat bahwa adanya mahram merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang wanita yang akan menunaikan ibadah haji. Pendapat ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Hasan, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha'i, Thawus, Asy-Sya'bi, Ishaq, Ats-Tsauri dan Ibnu Mundzir. Pendapat ini didasarkan pada Hadits Shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَاذُوْ مَحْرَمٍ, وَلاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

"Seorang laki-laki tidak boleh berdua-duaan (di suatu tempat) bersama seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya, dan seorang wanita tidak boleh bepergian kecuali bersama mahramnya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari penjelasan di atas, maka bila memungkinkan, sebaiknya Anda pergi bersama mahram lain selain suami, seperti ayah, ayah mertua, anak laki-laki, saudara laki-laki dan lain sebagainya. Namun bila tidak memungkinkan baik karena faktor biaya ataupun faktor-faktor lainnya, maka yakinlah dengan pendapat pertama. Namun jangan lupa harus tetap meminta izin dari suami terlebih dahulu. Wallaahu A'lam....(Fz)
Source: www.ddtravel.co.id

Bolehkah Haji Tanpa Mahram?

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Ustadz saya mau tanya. Sudah lama saya ingin menunaikan ibadah haji, alhamdulillah sekarang saya sudah memiliki kemampuan dari segi finansial. Namun masih ada ganjalan, karena sebenarnya saya ingin pergi bersama suami, tapi kondisi suami tidak memungkinkan karena dia sakit-sakitan. Yang ingin saya tanyakan, bolehkah saya pergi haji tanpa didampingi suami? Sebab saya pernah dengar bahwa haji seorang wanita tidak sah bila tidak didampingi oleh mahramnya. Mohon penjelasannya, terima kasih.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

B-....

Jawaban:

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.

Saudari B yang saya hormati, semua ulama sepakat bahwa seorang wanita juga dikenai kewajiban menunaikan ibadah haji bila telah memiliki kemampuan /istitha'ah, sebagaimana firman Allah swt.:

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.(QS. Ali Imran [3] : 97)

Hanya saja terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai persyaratan adanya mahram. Sebagian ulama mensyaratkan adanya mahram bagi wanita, sementara sebagian yang lain hanya mensyaratkan adanya faktor keamanan atas diri wanita tersebut, dan hal itu bisa terwujud dengan adanya beberapa wanita yang bisa dipercaya.

Berikut adalah pendapat ulama mengenai hal tersebut:

1. Imam Malik dan Imam Syafi'i berpendapat bahwa adanya mahram bagi wanita tidak menjadi syarat haji. Pendapat ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Aisyah, Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Atha', Ibnu Sirin dan Al-Auza'i. Suatu ketika Aisyah ra. pernah ditanya: "Apakah seorang wanita harus bepergian (untuk haji) bersama mahramnya?", beliau pun menjawab: "Tidak semua wanita memiliki mahram."

Pendapat ini juga didasarkan pada sebuah Hadits Shahih yang diriwayatkan Bukhari:

فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لَتَرَيْنَ الظَّعِيْنَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الْحِيْرَةَ حَتَّى تَطُوْفَ بِالْكَعْبَةِ لاَ تَخَافُ أَحَدًا إِلاَّ اللهَ

"Jika kamu berumur panjang niscaya kamu akan melihat seorang perempuan melakukan perjalanan sendiri dari Hira (saat ini di wilayah Irak) hingga (sampai di Mekah dan) melakukan thawaf di sekeliling Ka’bah. Dia tidak takut kepada seorang pun kecuali dari Allah.(HR. Bukhari)

Saat ditanya mengenai wanita yang tidak memiliki mahram, beberapa ulama terkenal memberikan jawaban sebagai berikut:

- Imam Malik: Ia boleh keluar (pergi haji) bersama sekelompok wanita.

- Imam Hammad: Ia boleh bepergian bersama orang-orang yang shaleh.

- Al-Auza'i: Ia boleh bepergian bersama sekelompok orang yang bisa dipercaya.

- Imam Syafi'i: Ia boleh keluar bersama seorang wanita lainnya yang bisa dipercaya.

2. Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat bahwa adanya mahram merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang wanita yang akan menunaikan ibadah haji. Pendapat ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Hasan, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha'i, Thawus, Asy-Sya'bi, Ishaq, Ats-Tsauri dan Ibnu Mundzir. Pendapat ini didasarkan pada Hadits Shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَاذُوْ مَحْرَمٍ, وَلاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

"Seorang laki-laki tidak boleh berdua-duaan (di suatu tempat) bersama seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya, dan seorang wanita tidak boleh bepergian kecuali bersama mahramnya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari penjelasan di atas, maka bila memungkinkan, sebaiknya Anda pergi bersama mahram lain selain suami, seperti ayah, ayah mertua, anak laki-laki, saudara laki-laki dan lain sebagainya. Namun bila tidak memungkinkan baik karena faktor biaya ataupun faktor-faktor lainnya, maka yakinlah dengan pendapat pertama. Namun jangan lupa harus tetap meminta izin dari suami terlebih dahulu. Wallaahu A'lam....(Fz)
Source: www.ddtravel.co.id

Minggu, 17 April 2011

Hukum Memelihara Anjing

Hukum Memelihara Anjing

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, mohon dijelaskan bagaimana hukumnya jika seorang Muslim memelihara anjing di rumahnya. Sepengetahuan saya, air liur anjing itu najis bila terkena anggota tubuh kita. Sekarang ini banyak sekali kaum Muslim yg memelihara anjing, bahkan ada yang sampai membawanya tidur bersamanya, digendong dan dipeluk, dengan alasan menyukai bentuknya yg lucu.
Demikian pertanyaan saya, Pak Ustadz. Terima kasih.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
E-...

Jawaban:
Wa'alaikumussalam Wr. Wb.

Saudari E yang saya hormati, dalam kajian fikih, permasalahan yang Anda tanyakan berkaitan dengan pembahasan:
1. Hukum anjing: Apakah anjing itu najis secara keseluruhan ataukah hanya bagian-bagian tertentu saja? Meskipun para ulama sepakat bahwa najis anjing termasuk najis mughaladhah sesuai sabda Nabi saw.: “Sucinya benjana salah seorang di antara kalian ketika dijilat anjing, adalah dengan cara membasuhnya sebanyak tujuh kali, yang pertama dicampur dengan tanah(HR. Bukhari dan Muslim), namun mereka berbeda pendapat apakah kenajisan itu hanya pada air liurnya saja ataukah pada semua anggota tubuh anjing. Imam Hanafi berpendapat bahwa yang najis dari anjing hanyalah air liurnya, mulutnya dan kotorannya, sementara bagian-bagian yang lain tidak najis. Imam Maliki berpendapat bahwa badan anjing itu tidak najis kecuali hanya air liurnya saja. Sedangkan Imam Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa seluruh tubuh anjing itu hukumnya najis berat, termasuk keringatnya. Jadi, bukan hanya air liurnya saja.

Bila kita mengikuti pendapat Imam Syafi'i dan Hanbali, maka sudah barang tentu kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhi anjing agar kita terhindar dari najis yang disebabkan oleh sentuhan anggota tubuhnya. Lain halnya bila kita mengikuti pendapat Imam Malik yang lebih longgar, karena menurutnya yang najis dari anjing hanyalah air liurnya saja. Namun pendapat siapapun yang kita ikuti, rasanya apa yang dilakukan oleh sebagian Muslim yang menggendong dan memeluk anjing sangatlah berlebihan dan bertentangan dengan ketentuan syariat. Sebab dengan cara seperti itu, baik badan, pakaian ataupun tempat-tempat tertentu di dalam rumahnya yang bisa jadi digunakan untuk beribadah, sangat sulit terhindar dari najis.

2. Keberadaan anjing di dalam rumah yang menyebabkan Malaikat tidak mau masuk ke dalamnya. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw.: “Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing atau gambar (dari makhluk yang bernyawa)” (HR. Bukhari) Bila dikaitkan dengan penjelasan no. 1, bisa jadi Malaikat tidak mau memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing karena hampir dapat dipastikan rumah tersebut tidak steril dari najis mughaladhah. Namun hal itu tidak serta merta menyebabkan hukum memelihara anjing menjadi haram, karena ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa memelihara anjing untuk tujuan tertentu dibolehkan, seperti untuk memburu binatang dan untuk menjaga ladang atau ternak. Namun bila ada orang Muslim yang ingin memelihara anjing untuk tujuan tertentu (termasuk untuk tujuan menjaga rumah), maka dia harus memperhatikan kedua hal tersebut. Dia harus berhati-hati terhadap najis anjing dan andaikata dia ingin memeliharanya untuk menjaga rumah, maka dia harus membuatkannya tempat khusus yang berada di luar rumah, bukan di dalamnya. Wallaahu A'lam....(Fz)

Source: www.ddtravel.co.id

Sabtu, 22 Januari 2011

Petunjuk Dari ALLAH Ataukah Dari Syetan?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya ingin bertanya serta minta nasehat dan saran tetang apa yang harus saya lakukan. Begini ceritanya, salah satu keluarga saya ada yang mengalami kemasukan jin. Pada awal kemasukan, dia meminta kami semua mendoakan agar dia bisa kembali, karena katanya dia akan dibawa ke ‘arsy. Saya tidak mengerti apakah yang dia maksud itu adalah ‘arsy dalam al-Qur`an yang artinya singgasana ALLAH. Di sini saya sudah yakin, dia pasti kemasukan jin. Sebab sepengetahuan saya, tidak ada satupun makhluk yang bisa sampai ke sana.
Setelah kami semua berdoa, menurutnya dia pun turun dengan dibawa oleh dua malaikat. Setelah dia sadar (menurut versi orang-orang yang ada di sekitarnya kecuali saya), dia mengatakan bahwa dirinya melihat Malaikat Jibril. Anehnya lagi, jika ada orang yang membantahnya, dia malah mengaku dirinya sebagai Malaikat Malik. Dia juga merasa dirinya sebagai roh suci yang dikembalikan ke dunia. Setiap hari, kerjaannya selalu menasehati orang-orang yang ada di sekitarnya (baca: keluarga) setelah melakukan pengobatan, dengan mengatakan si A diguna-gunai oleh si B.
Ada salah satu saudaranya yang sudah termakan oleh perkataannya, yang mengatakan bahwa setelah selesai shalat tahajjud, dia mendapat ilham/petunjuk dari ALLAH. Tapi anehnya, petunjuknya itu selalu mengarah kepada fitnah dan adu domba. Karena itulah, saya sangat mengharapkan saran dan masukan dari Pak Ustadz mengenai hal itu.
Satu lagi, Pak Ustadz. Di sini, posisi saya adalah sebagai anak dari orang yang mengaku mendapat ilham setelah shalat tahajjud itu. Ketika saya membantah dengan mengatakan bahwa itu adalah kerjaan syetan, dia malah menganggap saya kesurupan. Saya sangat bingung, apakah saya dianggap sebagai anak yang durhaka bila saya membantahnya? Terima kasih, Pak Ustadz.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
X-….

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudari X yang saya hormati, apa yang terjadi pada diri orang yang Anda ceritakan tersebut bukanlah hal baru. Tidak sedikit orang yang mengaku dirinya sebagai nabi ataupun malaikat, dan hal itu bisa disebabkan karena sejumlah faktor, diantaranya adalah ritual yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Ritual seperti itu sangat membuka peluang bagi syetan untuk masuk ke dalam diri seseorang, yang tujuannya tidak lain adalah untuk menjerumuskannya ke jalan yang sesat.
Dalam kasus di atas, saya pribadi sangat yakin bahwa apa yang dialami oleh orang tersebut juga merupakan perbuatan syetan. Apalagi seperti yang Anda katakan, nasehat yang dia berikan selalu mengarah kepada fitnah dan adu domba. ALLAH swt. telah menjelaskan hal itu dalam beberapa ayat, diantaranya:
“Sesungguhnya syetan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang, maka berhentilah kamu (mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. al-Maidah: 91)
“Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan; karena sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syetan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS. al Baqarah: 168)
“Syetan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir)." (QS. al-Baqarah: 268)
Semua itu dilakukan syetan guna menjerumuskan manusia ke dalam neraka, sebagai wujud balas dendamnya kepada Adam yang menyebabkan dirinya diusir dari surga, seperti disebutkan dalam firman ALLAH: “Iblis berkata : ‘Karena Engkau telah memvonis aku sesat, pasti aku akan halangi mereka (yakni manusia ) dari jalan-Mu yang lurus, kemudian aku akan datangi mereka dari depan, dari belakang, dari sebelah kanan dan dari sebelah kirinya, lalu Engkau tidak akan mendapati kebanyakan dari mereka orang-orang yang bersyukur.’” ( Qs. al-A’raf : 16 )
Dalam menjalankan misinya itu, syetan menggunakan berbagai macam cara. Bahkan, terkadang dengan menggunakan cara yang terkesan baik dalam pandangan manusia seperti dalam bentuk nasehat, atau melalui metode pengobatan yang gampang sekali untuk mempengaruhi orang. Karena itu, sebagai Muslim kita dituntut untuk selalu waspada terhadap tipu daya syetan.
Mengenai pertanyaan terakhir Anda, yakinlah bahwa penolakan Anda itu tidak dianggap sebagai sikap durhaka, karena kita tidak dibenarkan untuk menuruti kemauan orangtua yang mengandung kemaksiatan kepada ALLAH (termasuk kemusyrikan). “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.” (QS. Al-‘Ankabuut: 8)
Dari ayat ini, dapat difahami bahwa tidak semua perintah orangtua harus dituruti. Bila orangtua menyuruh kita untuk keluar dari agama Islam atau untuk melakukan kemusyrikan, maka kita wajib menolaknya. Inilah yang pernah dilakukan oleh Sa’ad bin Abi Waqash kepada ibunya.
Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash ra., bahwa dia berkata: “Aku adalah seorang laki-laki yang berbakti kepada ibuku. Ketika aku masuk Islam, ibu berkata: ‘Agama apa yang kamu peluk itu, wahai Sa’ad? Kamu harus meninggalkan agamamu itu, atau aku tidak akan makan dan minum sampai aku mati, sehingga kamu akan dicemooh (oleh orang-orang) karena kematianku, dan akan dikatakan kepadamu: ‘Wahai Sang Pembunuh ibunya.’ Aku menjawab: ‘Ibu, janganlah engkau melakukan itu, karena aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini karena alasan apapun.’ Setelah melihat sang ibu mogok makan selama satu hari satu malam, Sa’ad berkata: ‘Wahai ibuku, demi Allah, ketahuilah bahwa seandainya engkau memiliki seratus nyawa, kemudian nyawa-nyawa itu keluar dari dirimu satu persatu, maka aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini.’” Melihat kesungguhan Sa’ad, sang ibu pun akhirnya menghentikan aksi mogok makannya itu.
Namun perlu diingat, andaikata seorang anak terpaksa harus menolak perintah orangtuanya karena perintah tersebut bertentangan dengan aturan Allah (yang bersifat wajib atau haram), maka penolakan itu harus disampaikan dengan cara yang baik, dengan perkataan yang halus dan tidak bernada “membentak”, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah swt.: “dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Israa`: 23) Selain itu, sang anak juga harus tetap memperlakukan orangtuanya dengan baik, meskipun ada perbedaan pandangan di antara mereka. Allah swt. berfirman: “…..dan janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)
Demikian yang bisa saya jelaskan, mudah-mudahan bermanfaat. Wallaahu A’lam….

Rabu, 24 November 2010

10 Dzulhijjah, Mana Yang Benar?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya mau bertanya tentang waktu Idul Adha. Rasanya sudah beberapa kali kita menyaksikan adanya perbedaan penentuan waktu hari raya umat Islam antara pemerintah kita dengan pemerintah Arab Saudi, termasuk hari raya Idul Adha tahun ini. Pemerintah Arab Saudi menetapkan Idul Adha jatuh pada tanggal 16 November, sementara pemerintah kita menetapkan tanggal 17. Mana yang benar dan mana yang harus kita ikuti, Ustadz? Terus terang, dalam masalah penentuan hari raya Idul Adha, saya pribadi lebih sreg untuk mengikuti keputusan pemerintah Arab Saudi. Sebab berdasarkan pengetahuan saya yang mungkin masih sangat dangkal, Idul Adha yang dirayakan pada tanggal 10 Dzulhijjah sangat berkaitan erat dengan rangkaian ibadah haji termasuk wukuf yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah. Seperti yang kita ketahui, semua rangkaian ibadah haji dilaksanakan di Arab Saudi, bukan di negara kita. Apakah pandangan saya ini bisa dibenarkan, Ustadz? Mohon petunjuknya. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
N -…..

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara N yang saya hormati, sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya karena baru bisa menjawab pertanyaan yang Anda ajukan, padahal semestinya pertanyaan ini dijawab sebelum kita merayakan Idul Adha. Mudah-mudahan meskipun terlambat, jawaban yang saya berikan masih tetap bermanfaat, amin….
Memang benar seperti yang Anda katakan, hari raya Idul Adha sangat erat kaitannya dengan rangkaian ibadah haji yang semuanya dilaksanakan di Arab Saudi. Namun, hal itu tidak serta merta dapat dijadikan alasan yang kuat bagi kita untuk mengikuti keputusan pemerintah Arab Saudi dalam kaitannya dengan penentuan waktu Idul Adha. Artinya, sah-sah saja Anda mengikuti keputusan tersebut, tapi –menurut saya- hal itu bukanlah karena Arab Saudi merupakan tempat dilaksanakannya rangkaian ibadah haji sehingga semua umat Islam harus merujuk ke sana, melainkan karena ru`yah yang dilakukan suatu negeri dapat berlaku bagi negeri-negeri lain, tanpa dibatasi oleh mathla’ atau bujur astronomi.
Saudara N yang saya hormati, mengenai pertanyaan Anda “mana yang benar dan mana yang harus saya ikuti”, saya tidak berani mengklaim mana yang benar. Sebab, masalah penentuan waktu hari raya Idul Adha (yang ditentukan sejak masuknya hilal bulan Dzulhijjah) sama seperti penentuan jatuhnya 1 Ramadhan dan 1 Syawal, semuanya masih sebatas ijtihad para ulama. Karena permasalahan mengenai penentuan 1 Ramadhan pernah saya bahas, maka di sini saya hanya ingin mengutip kembali penjelasan saya mengenai itu dan juga penjelasan beberapa kawan, dengan harapan dapat dijadikan pijakan dalam menyikapi adanya perbedaan penentuan waktu hari raya umat Islam.

Penjelasan Saya Mengenai Penentuan 1 Ramadhan:
Di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti di Indonesia, sering terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam mengenai penentuan 1 Ramadhan atau 1 Syawal. Munculnya perbedaan ini disebabkan karena dua hal:
1. Perbedaan pemahaman terhadap hadits Rasulullah saw. yang dijadikan sebagai dasar penentuan awal Ramadhan atau awal Syawal. Hadits tersebut berbunyi:
“Berpuasalah kalian karena melihat bulan, dan berbukalah (berhari rayalah) kalian karena melihatnya. Jika mendung telah menghalangi kalian, maka sempurnakanlah (genapkanlah) hitungan Sya’ban.” (HR. Muslim) Sebagian ulama memahami kata “ru`yah” (melihat) dalam hadits tersebut dengan arti ru`yah basyariah haqiqiyah (penglihatan dengan mata kepala manusia), sementara sebagian ulama yang lain memahaminya dengan arti ru`yah maknawiyah (dengan hitung-hitungan astronomi). Dari sini, maka muncullah dua metode penentuan awal Ramadhan, yaitu metode hisab astronomi yang biasa dipakai oleh Muhammadiyyah dan Persis, dan metode ru`yah yang biasa dipakai oleh warga NU dan Hizbut Tahrir.
Pada tahun ini, melalui Maklumat Nomor : 06/MLM/I.0/E/2009, PP Muhammadiyah telah mengumumkan penetapan tanggal 1 Ramadhan 1430 H bertepatan dengan hari Sabtu Pahing, tanggal 22 Agustus 2009. Hal serupa juga dilakukan oleh Persis. Sementara NU belum menetapkan 1 Ramadhan karena berdasarkan metode yang dipakainya, penentuan awal Ramadhan harus dilakukan melalui ru`yah dengan menggunakan mata kepala terlebih dahulu.
2. Perbedaan penentuan awal Ramadhan juga bisa disebabkan karena adanya perbedaan cara pandang mengenai matla’ (tempat terbitnya fajar dan terbenamnya matahari). Perbedaan ini terjadi di kalangan ulama yang menggunakan metode ru’yah sebagai alat untuk menentukan awal Ramadhan atau awal Syawal. Ada sebagian ulama yang berpegang pada prinsip matla’, maksudnya setiap negeri mempunyai ru`yah tersendiri, sesuai dengan koordinat bujur dan lintangnya. Di antara ulama yang berpendapat seperti itu adalah Imam Syafi’i. Sementara itu, jumhur fuqaha (mayoritas ahli fikih) tidak berpegang pada prinsip matla’ tersebut, sehingga –menurut mereka- ru`yah yang dilakukan suatu negeri dapat berlaku bagi negeri-negeri lain, tanpa dibatasi oleh mathla’ atau bujur astronomi. Pendapat kedua ini diikuti oleh kelompok Hizbut Tahrir (HTI), sehingga ketika salah satu negara Islam mengumumkan telah melihat hilal, maka kelompok HTI segera merujuk kepada hasil ru`yah negara tersebut. Sebenarnya pendapat ini juga diikuti oleh Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI). Hanya saja, komisi tersebut menegaskan bahwa hal itu memerlukan pembentukan lembaga yang berstatus sebagai “Qadi (Hakim) Internasional” yang dipatuhi oleh seluruh negara-negara Islam. Karena lembaga seperti itu belum ada, maka yang berlaku adalah ketetapan pemerintah masing-masing negara.
Bagi sebagian orang, terkadang adanya perbedaan seperti disebutkan di atas sering membuat bingung. Apalagi di saat menentukan awal Syawal yang merupakan hari raya bagi umat Islam. Mungkin saja terpikir dalam benak mereka, mengapa hari raya umat Islam berbeda? Ada yang sekarang, ada yang besok, ada yang lusa? Mana yang benar? Kami harus mengikuti yang mana?
Penentuan awal Ramadhan atau awal Syawal merupakan permasalahan ijtihadi yang didasarkan pada pemahaman masing-masing kelompok terhadap teks-teks Al-Qur`an ataupun hadits. Dalam hal ini, sah-sah saja bila masing-masing kelompok mengaku pendapatnya benar, asalkan tidak mengaku hanya pendapat merekalah yang benar. Yang perlu ditekankan adalah, sikap toleransi dan menghormati pendapat orang lain. Bila umat Islam memperhatikan hal ini, maka sejuta perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’iyyah seperti itu tidak akan pernah menjadi persoalan bagi umat Islam.
Bila kita lihat Sunah Nabi, perbedaan pendapat seperti itu juga ditolerir Baginda Rasulullah saw.. Dalam Shahih Bukhari, 2/436, disebutkan sebuah riwayat dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda kepada para sahabat: “Jangan ada seorang pun yang shalat ashar kecuali di kampung bani Quraidhah.”
Saat mereka masih berada di dalam perjalanan, waktu Ashar tiba. Maka, sebagian dari mereka berkata: “Kita tidak boleh shalat sebelum kita sampai di tempat tujuan.” Mereka pun akhirnya shalat Ashar di perkampungan Bani Quraidhah, meskipun sesampainya di sana waktu shalat Ashar telah lewat. Sementara sebagian yang lain berkata: “Sebaiknya kita shalat di sini saja, karena maksud perkataan Nabi itu adalah agar kita mempercepat perjalanan sehingga kita telah sampai di perkampungan Bani Quraidhah sebelum waktu Ashar tiba.” Ketika hal itu dilaporkan kepada Nabi, beliau sama sekali tidak mengingkari apa yang mereka lakukan.
Dengan demikian, maka adanya perbedaan mengenai penentuan awal Ramadhan ataupun awal Syawal di kalangan umat Islam tidak semestinya menimbulkan perselisihan di antara mereka. Bila kenyataan yang terjadi seperti itu, maka perbedaan tersebut tidak akan menjadi persoalan bagi mereka. Masing-masing kelompok dipersilahkan untuk mengikuti pendapat mana yang menurutnya benar. Lain halnya bila yang terjadi adalah sebaliknya, dimana perbedaan tersebut menyebabkan terjadinya perselisihan atau pertikaian di antara kaum Muslimin. Dalam kondisi seperti itu, masing-masing kelompok harus bersikap legowo dan tidak boleh mengikuti ego masing-masing. Mereka harus mengutamakan persatuan umat Islam. Sebab walau bagaimanapun, persatuan umat jauh lebih penting dan harus lebih diutamakan daripada sekedar mempertahankan pendapat masing-masing. Wallaahu A’lam….
Penjelasan Ustadz Azharul Fuad (Pengasuh Group Kuliah Tujuh Menit):
Dalam menyikapi perbedaan hasil ijtihad tentang penentuan hari-hari ibadah dalam Islam, kita mengenal sebuah prinsip yang telah dipegang para ulama sepanjang masa. Prinsip itu adalah bahw asetiap umat Islam boleh dan berhak utk bertanya kepada para ahli agama, meski para ahli agama berbeda pendapat dalam memberikan jawabannya. Tentu saja selama semua jawaban itu tidak keluar dari ijtihad yang telah diupayakan sedemikian rupa agar mendekati kebenaran. Kalau ternyata hasil ijtihad itu masih berbeda juga, maka orang yang mengikuti salah satu ijtihad itu tidak bisa disalahkan, juga tidak berdosa Itulah prinsip & pedoman dalam menyikapi perbedaan hasil ijtihad para ulama. Maka hari mana saja yang kita pilih untuk berlebaran haji nanti, boleh dan sah untuk kita ambil. Karena memang dimungkinkan terjadinya perbedaan hari raya untuk beberapa wilayah yang berbeda. Hal seperti itu sudah terjadi jauh sebelum zaman kita, yaitu sejak zaman shahabat.
Wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah 1431) telah ditetapkan oleh pemerintah Saudi jatuh pada hari Senin, 15 November 2010 (Jadi Idul Adha di Saudi pada tanggal 16 November 2010, berbeda dengan kalender Indonesia yaitu pada tanggal 17 November 2010). Namun sebagaimana kita tahu bahwa keputusan itu tidak diambil mewakili seluruh ulama dunia, melainkan hanya oleh mufti Saudi. Maka keputusan tersebut tidak lain adalah hasil ijtihad juga. Akan lain nilainya seandainya Saudi itu melibatkan seluruh dunia Islam, di mana sudah ada komitmen bersama utk menetapkan hari yang sama berdasarkan apa yang telah disepakati. Kalau seandainya ada sekelompok umat Islam yang sudah berkomitmen, namun tiba-tiba melanggar dan tidak mau patuh, maka bolehlah pihak yang menyendiri itu dipersalahkan. Selama tidak pernah terjadi komitmen itu, serta masing-masing negara berijtihad sendiri-sendiri. Jika ada negeri yang menetapkan lebaran haji berbeda dengan ketetapan pemerintah Saudi, tidak bisa kita menyalahkan mereka. Sebab ketetapan pemerintah Saudi itu tidak lain hanya hasil ijtihad yang tidak mengikat. Hanya kebetulan saja tongkat kekuasaan ada di tangan pemerintah yang sdg berkuasa, sehingga seolah-olah dunia Islam harus selalu ''mengekor'' kepada hasil ijtihad mereka. Sekarang yang jadi pertanyaan adalah: Apakah ada peraturan yang mengharuskan bahwa siapa yang berkuasa di wilayah Makkah, lantas berhak mengatur ijtihad ulama di negara-negara Islam lainnya?
Di masa kejayaan khilafah Islamiyah, pusat kekuasaan tidak berada di tangan pemerintah Saudi Arabia, melainkan di tangan para khalifah yang berkedudukan di Damaskus, Baghdad, atau Istambul. Makkah dan sekitarnya hanya menjadi bagian wilayah pusat khilafah Islam. Nah, saat ini yang menjadi penguasa di Makkah adalah pemerintahan kerajaan Saudi Arabia. Mereka inilah yang menentukan jatuhnya hari wuquf di Arafah. Dan secara otomatis, seluruh jamaah haji dari berbagai penjuru dunia juga mengikuti hasil ijtihad ulama dan penguasa negeri itu.
Sebagaimana kita tahu, ada dua cara dalam menentukan tanggal bulan qamariyah, yaitu dengan cara rukyat langsung dan dengan cara hisab. Baik rukyat atau hisab, keduanya sama-sama memberikan kemungkinan perbedaan hasil. Maksudnya, meski sama-sama pakai rukyatul-hilal, msh sangat dimungkinkan hasilnya berbeda antara satu ahli rukyat dengan ahli rukyat lainnya. Begitu juga dengan hisab, meski sama-sama menggunakan hisab, hasilnya tetap sangat mungkin berbeda antara para ahli hisab.
Misalnya utk menentukan jatuhnya tanggal 9 Dzulhijjah nanti, kita bisa mendapatkan hasil rukyat dengan beberapa versi, ada yang bilang jatuh hari Senin dan ada yang hari Selasa. Hal yang sama juga bisa terjadi bila kita gunakan hisab. Jadi paling tidak ada 3 perbedaan yang terjadi, yaitu antara:
- Ahli rukyat vs ahli hisab
- Ahli rukyat vs ahli rukyat
- Ahli hisab vs ahli hisab
Ahli rukyat yang satu sangat mgkn berbeda pendapat dengan ahli rukyat yang lain. Mungkin di satu negara ada beberapa ahli rukyat, tapi masing-masing tidak saling berkonfirmasi, lgsg, main tetapkan sendiri kesimpulannya. Inilah yang selama ini terjadi di negeri kita. Kita tidak pernah kekurangan ahli rukyat. Tiap daerah punya para ahli rukyat. Sayangnya, mereka bekerja sendiri-sendiri, atau maksimal hanya bekerja utk kelompoknya. Seandainya ada seorang ahli rukyat yang melihat hilal, blm tentu ahli rukyat yang lain mau menerima hasil rukyat saudaranya itu. Alasannya bisa macam-macam, terkadang krn urusan politis, lain partai, lain ormas atau lain aliran ilmu, bisa membuat mereka tidak mau saling berkomitmen. Apalagi antara ahli rukyat dengan ahli hisab, biasanya mereka jarang akur.
Sebagai contoh, seorang ahli rukyat menyatakan telah melihat hilal, tiba-tiba ditentang oleh ahli hisab begitu saja. Argumennya, krn saat itu tidak dimungkinkan terjadinya rukyat lantaran kurang dari sekian derajat, atau beragam alasan lainnya. Seolah2 apapun yang dilihat oleh ahli rukyat itu tidak pernah benar kecuali bila telah sesuai dengan hasil hisab para ahli hisab. Lalu para ahli rukyat akan mengeluarkan argumentasi bahwa dalil dari Rasulullah SAW hanya dengan merukyat hilal, bkn dengan hisab. Dan urusannya tidak akan selesai. Antara sesama ahli hisab juga tidak selalu kompak. Rupanya ilmu hisab itu punya sekian banyak versi. Meski kesannya ilmiyah, tetapi yang eksak itu hanya angkanya saja, sedangkan utk mengambil kesimpulannya, msh begitu banyak pertimbangan lainnya. Wajar bila seorang ahli hisab berbeda hasil hitungannya dengan temannya yang juga ahli hisab juga. Maka kesimpulannya, selama masing-masing merasa yakin dan tidak mau mengalah, tidak akan ada terjadi kesamaan hasil penentuan hari lebaran sampai kiamat. Sebab masing-masing bersikukuh dengan argumentasinya, ditambah tidak pernah merasa ijtihad org lain itu mungkin benar.
Seharusnya, meski masing-masing ahli baik ahli rukyat atau pun ahli hisab berhak punya pendapat masing-masing, tetapi mereka harus legowo bila pendapatnya tidak dipakai sebagai pendapat resmi di suatu negara. Atau paling tidak, mereka harus belajar utk bisa berkomitmen antar sesama mereka dalam menetapkan tanggal hijriyah itu, tidak bersikukuh dengan apa yang dimilikinya. Toh, semua itu hanya ijtihad belaka, tidak ada satu pun yang lgsg ditetapkan dari langit, karena wahyu sudah terputus hari ini.
Sebenarnya peran pemerintah sangat dibutuhkan, asalkan pemerintah punya sosok figur yang sepakat dihormati, diagungkan dan diterima oleh semua kalangan ahli hisab dan rukyat di negeri itu. Yang jadi masalah skrg ini justru itu, sosok figur pemerintah skrg ini sangat rendah di mata para ahli hisab dan rukyat. Lebih parah lagi, pemerintah malah membuat sendiri lembaga hisab dan rukyat versinya sendiri. Yang dipakai utk menetapkan jatuhnya lebaran itu hanya dari mereka yang duduk di lembaga versi pemerintah itu saja, versi yang lain meski diundang datang dalam sidang itsbat, semuanya hanya formalitas belaka. Tidak terjadi kajian ilmiah yang mendasar dan fokus pada titik masalahnya.
Blm lagi kalau kita angkat masalah ini ke tingkat international, maka masalahnya akan semakin rumit lagi. Sebab masing-masing negara merasa diri mereka punya hak preogratif utk menentukan sendiri hari-hari besar agama, tanpa harus berkomitmen dengan ulama hisab dan rukyat di berbagai negara. Saya pribadi berpendapat, krn agama memerintahkan kita utk mengikuti "pemerintah" yang sah, maka alangkah baiknya semua pihak mengikuti apa yang ditetapkan oleh pemerintah, walaupun berbeda dengan Saudi. Namun, jika anda lebih yakin kepada ijtihad pemerintah Saudi pun tidak apa2. Karena toh pada dasarnya, semua itu adalah hasil ijtihad para ulama yang dibenarkan oleh agama.

Wallaahu a'lam...

Komentar Dr. M. Faiq Sulaifi di Mediasilaturahim.com:
Bismillah, ketentuan masuknya Ramadhan dan keluarnya hendaknya dikembalikan kepada keputusan Pemerintah RI. Karena Hari Raya, Puasa adalah ibadah jama’i yang dipimpin oleh imam dalam hal ini adalah penguasa. Rasulullah SAW bersabda:
“Hari Idul Fitri adalah orang-orang berbuka (bersama-sama) dan Idul Adlha adalah hari orang-orang menyembelih (bersama-sama).” (HR. Tirmidzi: 731 dari Aisyah RA, hadits shahih gharib)
Rasulullah SAW juga bersabda: “Puasa adalah hari kalian berpuasa dan idul fitri adalah hari kalian beridul fitri (bersama-sama) dan idul adha adalah hari kalian menyembelih kurban (bersama-sama).” (HR. Tirmidzi: 633, Ibnu Majah: 1650 dari Abu Hurairah RA) At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ulama menafsiri hadits di atas bahwa berpuasa dan berbuka itu bersama jama’ah (imam kaum muslimin) dan mayoritas manusia.” (Tuhfatul Ahwadzi: 2/235).
Al-Allamah Abul Hasan As-Sindi Al-Hindi berkata: “Yang jelas dari makna hadits di atas adalah bahwa urusan ini (penentuan hari raya dan puasa) tidak ada celah bagi individu untuk menentukan masalah ini dan tidak boleh seseorang bersendirian dalam hari raya dan puasa, tetapi urusan ini harus dikembalikan kepada imam (penguasa) dan jama’ah masyarakatnya dan wajib bagi masing-masing individu untuk mengikuti penguasa dan masyarakatnya. (Hasyiyah Ibni Majah As-Sindi:3/431)
Imam yang memiliki legalitas adalah Pemerintah melaului Depagnya, bukan PBNU, PP Muhammadiyah, PP Persis, mursyid thariqat atau Amir LDII, karena melihat tafsir ayat “WA ULIL AMRI MINKUM” tentang pemerintah yang wajib dita’ati(QS. An-Nisa: 59) yang merujuk pada penguasa yang MAUJUD (memiliki legalitas, aparat, perangkat) bukan Imam yang MA’DUM (abstrak) seperti pimpinan berbagai organisasi atau sekte.
Menurut Ibnu Taimiyah bahwa kalau ada seseorang melihat hilal sendirian dan persaksiannya ditolak oleh pemerintah dengan alasan apapun maka ia tetap MENGIKUTI KEPUTUSAN PEMERINTAH. (Lihat Majmu’ Fatawa: 6/65) Yang demikian karena ijtihad ini (tentang hari raya) tidak menjadi tugas individu atau kelompok tetapi sudah menjadi IJTIHAD PENGUASA dalam rangka menyatukan kaum muslimin.
Pada zaman pemerintahan Umar bin Khathtab RA suatu waktu ada 2 orang melihat hilal Syawal kemudian salah satunya tetap puasa (karena tidak ingin menyelisihi masyarakat yang masih berpuasa) yang satunya berhari raya sendirian. Ketika permasalahan ini sampai kepada Umar RA maka beliau berkata kepada orang yang berhari raya sendirian: “Seandainya tidak ada temanmu yang ikut melihat hilal maka kamu akan saya pukul.” (Majmu’ Fatawa: 6/75) Dalam riwayat lain akhirnya Umar meng-isbat bahwa hari itu adalah hari raya dan menyuruh kaum muslimin unuk membatalkan puasa mereka berdasarkan kesaksian 2 orang tersebut. (Mir’atul Mafatih: 12/303-304)
Suatu ketika Masruq (seorang tabi’in) dijamu oleh Aisyah RA, ia berkata: “Tidak ada yang menghalangiku dari puasa ini (Arafah) kecuali karena takut ini sudah Idul Adha.” Maka Aisyah menolak alasannya dengan mengatakan: “Idul Adha adalah hari orang-orang beridul adha bersama-sama dan idul fitri adalah hari orang-orang beridul fitri bersama-sama.” (Silsilah Shahihah Al-Albani: 1/223) Ini karena Masruq telah menyendiri dari puasanya penduduk Madinah.
Suatu ketika Yahya bin Abu Ishaq (seorang tabi’in) melihat hilal Syawal sekitar dhuhur atau lebih dan ada beberapa orang yang ikut berbuka dengannya. Kemudian ia dan beberapa orang mendatangi Anas bin Malik RA (sahabat Nabi SAW) dan memberitahukan kepada beliau perihal rukyat hilal Syawal dan beberapa orang berbuka (membatalkan puasanya) pada hari itu. Maka beliau berkata: “Adapun aku maka telah genap aku berpuasa 31 hari karena Al-Hakam bin Ayyub (penguasa ketika itu) telah berkirim surat kepadaku bahwa beliau berpuasa sebelum puasanya orang-orang.Dan aku benci untuk berbeda hari raya dengan beliau dan puasaku akan aku sempurnakan sampai nanti malam.” (Zaadul Ma’aad: /37)
Dan yang semakna adalah kasus penolakan Ibnu Abbas RA (sahabat Nabi) terhadap kesaksian Kuraib (tabi’in) yang telah merukyat hilal Syawal di Syam bersama Mu’awiyah RA (sahabat Nabi) pada hari Jum’at karena bertentangan dengan puasa dan hari raya warga dan otoritas kota Madinah yang berhari raya Sabtu.Dalam kasus ini Kuraib menyendiri dari penduduk kota Madinah. (Subulus Salam: 2/462)
Maka saya berpesan pada pemilik situs ini agar menyampaikan tulisan saya ini kepada mereka-mereka yang egois yang bangga dengan ijtihadnya sendiri baik dengan hisab atau rukyat dalam keadaan menyelisihi isbatnya pemerintah maka sadar atau tidak mereka telah berupaya memecah belah umat.
JIka orang-orang egois itu bertanya bahwa kadang-kadang penguasa bertindak tidak adil seperti menolak persaksian rukyat karena beda madzhab atau alasan politis dsb?
Maka Rasulullah SAW menjawab:
“Mereka (penguasa) itu shalat untuk kalian. Jika ijtihad mereka benar maka pahalanya untuk kalian, kalau ijtihad mereka keliru maka pahalanya tetap atas kalian dan dosanya ditimpakan atas mereka.” (HR. Bukhari: 653) Semoga ini dapat menjadi bahan renungan di tengah-tengah upaya penyatuan hari raya kaum muslimin Indonesia.

Wallaahu A'lam

Rabu, 04 Agustus 2010

Haruskah Witir Dilakukan Setelah Tahajud?

(I)
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya mau mengajukan beberapa pertanyaan:
1. Shalat Witir itu sebaiknya dilakukan setelah shalat Isya/Tarawih atau setelah shalat Tahajud? Jika sudah dilakukan setelah shalat Isya/Tarawih, apakah nanti shalat Tahajudnya tetap sah karena tanpa shalat Witir lagi?
2. Jika saya hanya melakukan shalat sunnah Rawatib sebelum Subuh dan sesudah Maghrib saja, bagaimana hukumnya Pak Ustadz? Maksudnya, apakah ibadah yang saya lakukan itu tetap berpahala ataukah sia-sia karena tidak dilakukan semuanya?
Demikian pertanyaan saya, mohon penjelasannya. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
E -……..


(II)
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya ingin bertanya tentang shalat tahajud di bulan Ramadhan. Begini Pak Ustadz, jika kita ingin shalat tahajud di bulan Ramadhan dengan Witir, apakah shalat Witir pada shalat Tarawih kita kerjakan juga ataukah tidak usah karena akan dikerjakan bersamaan dengan shalat Tahajud nanti? Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
S -……

Jawaban:
Wa’alaikumsalam Wr. Wb.
Saudari E dan S yang saya hormati, sebelumnya saya mohon maaf karena baru sempat menjawab pertanyaan Anda berdua, terutama pertanyaan Saudari E yang sudah cukup lama dilontarkan. Mudah-mudahan keterlambatan ini tidak mengurangi nilai jawaban yang saya berikan. Pertanyaan Anda berdua sengaja saya muat secara bersamaan karena keduanya hampir mirip, yaitu mengenai shalat Witir, shalat Tarawih dan shalat Tahajud.
Ketiga shalat tersebut merupakan shalat-shalat sunnah yang dikerjakan di malam hari. Saya yakin pertanyaan Anda berdua di atas lebih disebabkan karena adanya kebiasaan mengerjakan shalat Witir setelah shalat Tarawih, dimana pada umumnya masyarakat kita terbiasa mengerjakan shalat Tarawih di awal waktu malam, sementara ada sebuah Hadits yang mengisyaratkan bahwa shalat Witir merupakan penutup shalat malam (termasuk shalat Tarawih dan shalat Tahajud). Padahal ada sebagian orang –termasuk Anda berdua- yang masih ingin mengerjakan shalat Tahajud yang pada umumnya dikerjakan di akhir waktu malam karena harus dikerjakan setelah tidur. Dari sinilah muncul kebingungan, apakah bila seseorang telah mengerjakan shalat Witir yang biasanya dijadikan satu paket dengan shalat Tarawih, lalu dia ingin mengerjakan shalat Tahajud di malam hari (setelah tidur), apakah dia harus menutup shalat Tahajudnya itu dengan shalat Witir lagi ataukah tidak, atau apakah dia tidak usah mengerjakan shalat Witir setelah selesai shalat Tarawih karena dia akan mengerjakannya setelah shalat Tahajud?
Saudari-saudariku yang terhormat, kebingungan yang Anda berdua rasakan juga pernah saya rasakan. Namun setelah melihat dan mengkaji dalil-dalil yang ada, saya dapat menyimpulkan bahwa istilah “shalat Witir adalah penutup shalat malam” tidak sepenuhnya benar. Sebab, ketika dikatakan sebagai penutup shalat malam, maka hal ini akan menimbulkan kesan bahwa seseorang tidak boleh melakukan Witir setelah shalat Tarawih/Isya bila dia ingin melakukan shalat Tahajud di akhir malam, atau seperti yang Anda tanyakan, bila seseorang tidak menutup shalat Tahajud dengan Witir maka shalat Tahajudnya tidak sah. Atau dengan ungkapan yang lebih singkat, melakukan shalat Witir di akhir semua shalat malam (termasuk Tahajud) adalah sebuah keharusan.
Istilah seperti itu muncul karena adanya sebuah Hadits yang berbunyi: “Jadikanlah Witir sebagai akhir shalat kalian di waktu malam". (HR. Bukhari) Meskipun disampaikan dengan menggunakan kata perintah, namun hal itu bukanlah sebuah keharusan, namun hanya sebatas anjuran. Artinya, seseorang boleh saja melakukan shalat Witir di awal waktu malam setelah shalat Tarawih/Isya, boleh di tengah waktu malam, dan boleh juga di akhir waktu malam yaitu setelah shalat Tahajud. Hanya saja, akan lebih disukai ALLAH bila shalat Witir itu dikerjakan di akhir semua shalat malam. Hal ini ditunjukkan oleh Hadits Nabi saw. yang berbunyi: "Barang siapa takut tidak bangun di akhir malam, maka witirlah pada awal malam, dan barang siapa berkeinginan untuk bangun di akhir malam, maka witirlah di akhir malam, karena sesungguhnya shalat pada akhir malam masyhudah (disaksikan)" (HR. Muslim)
Hadits kedua ini jelas menegaskan bahwa waktu pelaksanaan shalat Witir sangat kondisional atau sangat tergantung pada kemampuan seseorang apakah bisa bangun di malam hari ataukah tidak. Bila hampir dapat dipastikan bahwa dia bisa bangun malam karena sudah menjadi kebiasaan baginya, maka shalat Witir lebih dianjurkan untuk dikerjakan setelah shalat Tahajud. Namun bila dia khawatir tidak bisa bangun malam, maka sebaiknya shalat Witir dilakukan setelah shalat Tarawih. Bila dia sudah mengerjakan shalat Witir setelah shalat Tarawih/Isya, lalu dia bisa mengerjakan shalat Tahajud di malam itu juga, maka dia tidak perlu mengerjakan shalat Witir lagi. Kesimpulannya, sama sekali tidak ada keharusan untuk melakukan shalat Witir setelah shalat Tahajud.
Untuk Saudari E, setiap shalat sunah Rawatib (ba’diyah ataupun qobliyah) adalah shalat yang terpisah dengan shalat-shalat sunah Rawatib lainnya, bukan satu paket yang harus dikerjakan semuanya. Jadi, bila Anda hanya mengerjakan shalat sunah qobliyah (sebelum) Subuh dan sunah ba’diyah (sesudah) Maghrib saja, maka apa yang Anda lakukan itu tetap berpahala atau tidak sia-sia, asalkan benar-benar dilakukan dengan ikhlas karena ALLAH swt.. Wallaahu A’lam….

Senin, 05 Juli 2010

Mengqadha (Membayar) Puasa Dam Haji Tamattu’

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz, saya ada pertanyaan: Beberapa tahun yang lalu, saya berangkat haji dan mengambil haji tamattu’. Namun karena keterbatasan dana yang saya bawa, saya tidak bisa membeli seekor kambing untuk membayar dam (denda). Sayangnya lagi, saya tidak sempat melakukan puasa tiga hari di Mekkah, dan sampai saat ini saya tidak melakukan apa-apa untuk mengganti dam haji tamattu’ tersebut. Karena saya belum mendapat jawaban atas permasalahan saya itu, maka saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Bolehkah saya menyembelih hewan dam itu sekarang padahal pelaksanaan hajinya sudah saya lakukan beberapa tahun yang lalu?
2. Jika boleh, bolehkah saat ini saya menyembelih hewan dam tersebut di tanah air dan dibagikan kepada fakir miskin atau anak-anak yatim sebagai pengganti dam haji tamattu’ yang saya lakukan beberapa tahun lalu, ataukah saya harus menyembelihnya di kota Mekkah?
3. Bolehkah saya mengganti dam tersebut dengan berpuasa selama sepuluh hari berturut-turut di tanah air?
Mohon Ustadz berkenan mencarikan jawabannya karena permasalahan ini sudah lama mengganjal di hati saya. Syukran katsiran atas jawaban Ustadz.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
S-….

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudaraku yang terhormat, kasus yang Anda hadapi termasuk unik dan jarang ditemui sehingga saya pribadi agak kesulitan saat mencari tahu tentang hukumnya. Beberapa kitab sudah saya buka, namun saya tidak menemukan pembahasan khusus mengenai kasus yang Anda hadapi itu. Namun demikian, setelah berusaha memahami kasus tersebut, dan –tentunya- setelah memohon petunjuk ALLAH swt., saya memberanikan diri untuk menjawabnya. Tapi perlu diingat, apa yang saya sampaikan di sini hanyalah pendapat pribadi yang saya simpulkan dari beberapa dalil, sehingga bisa saja benar dan bisa saja salah. Karena itu, bila nanti Anda menemukan pendapat dengan dalil yang lebih kuat, saya sarankan kepada Anda untuk mengikuti pendapat tersebut. Saya juga berharap, dengan dimuatnya kasus yang Anda hadapi ini di website atau blog saya, mudah-mudahan ada di antara saudara-saudara kita yang memiliki pendapat dengan dalil yang lebih kuat mau memberikan sharing mengenai kasus tersebut.
Saudaraku, saya kira Anda sudah banyak mengetahui tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah haji, termasuk mengenai haji tamattu’. Namun tidak ada salahnya bila di sini saya mencoba untuk menjelaskan kembali tentang pengertian haji tamattu’, dengan tujuan agar saudara-saudara kita yang lain dapat mengetahuinya.
Haji tamattu’ adalah melakukan ibadah umrah dan ibadah haji secara terpisah, dengan mendahulukan ibadah umrah terlebih dahulu daripada ibadah haji. Dalam haji tamattu’ ini, setelah jama’ah selesai melaksanakan rangkaian ibadah umrah yang meliputi ihram, thawaf dan sa’i, mereka dibolehkan untuk bertahallul (mencukur rambut). Setelah itu, mereka pun boleh melepas kain ihramnya dan boleh bersenang-senang (tamattu’) karena sudah terbebas dari segala macam larangan ihram. Mereka tinggal menunggu tanggal 8 Dzulhijjah, dimana pada saat itu mereka harus berihram lagi guna melaksanakan rangkaian ibadah haji.
Karena sifatnya yang lebih ringan, haji model ini pun banyak diminati oleh jama’ah haji, termasuk yang berasal dari Indonesia. Namun perlu diingat, karena adanya unsur kemudahan (rukhshah) itulah, maka jama’ah yang memilih haji model ini diwajibkan untuk membayar dam atau denda, yaitu menyembelih seekor kambing. Bila tidak mampu, maka dapat diganti dengan berpuasa selama 10 hari; 3 hari di tanah suci dan 7 hari di tanah air. Ketentuan ini sesuai dengan firman ALLAH swt.: “Apabila kamu dalam keadaan aman, maka barangsiapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) hadyu (hewan sembelihan) yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itu seluruhnya sepuluh (hari).” (QS. Al-Baqarah [2]: 196)
Firman ALLAH di atas, disebutkan setelah firman-Nya: “Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena ALLAH….” Ini berarti bahwa kita diperintahkan untuk menyempurnakan ibadah haji dan umrah dengan melengkapi semua rukun dan wajib haji yang telah ditetapkan syariat, dengan tujuan agar ibadah haji dan umrah kita benar-benar mencapai kesempurnaan. Khusus untuk hal-hal yang tidak termasuk rukun haji, pelaksanaannya bisa diwakilkan oleh orang lain atau bisa diganti dengan hal lain yang sifatnya lebih ringan, seperti haji ifrad bisa diganti dengan haji tamattu’, sebagai keringanan (rukhshah) dari ALLAH swt.. Namun, jama’ah haji yang melakukan hal itu, diwajibkan untuk membayar dam atau denda. Jadi, pembayaran dam yang Anda tanyakan di atas sama sekali tidak termasuk rukun yang mempengaruhi sah atau tidaknya ibadah haji. Pembayaran dam tersebut diwajibkan guna menyempurnakan ibadah haji.
Saudaraku, karena Anda telah memutuskan untuk mengambil haji tamattu’ sebagai pengganti haji ifrad, maka Anda dikenai kewajiban membayar dam, yaitu menyembelih kambing. Namun seperti yang Anda katakan, pada saat itu Anda tidak sempat untuk berpuasa, sehingga Anda sama sekali belum dianggap membayar dam yang sudah menjadi kewajiban bagi Anda. Dalam kasus Anda, menurut saya pembahasan yang paling tepat adalah mengqadha puasa sebagai pengganti dam haji tamattu’ dan bukan mengqadha pelaksanaan dam tamattu’. Dengan demikian, maka Anda tidak perlu menyembelih hewan dam seperti yang Anda tanyakan pada poin no. 1 dan no. 2. Karena itu, Anda hanya dikenai kewajiban untuk mengqadha puasa sebagai pengganti dam haji tamattu’. Bila kewajiban itu belum dilakukan, maka ia akan menjadi hutang bagi Anda sampai kapanpun, yaitu hutang Anda kepada ALLAH swt.. Karenanya, mayoritas ulama berpendapat bahwa barangsiapa meninggal dalam keadaan masih memiliki tanggungan puasa kafarah, seperti puasa untuk kafarah zhihar atau puasa wajib sebagai dam haji tamattu’, maka ahli warisnya harus memberi makanan atas nama orang yang meninggal tersebut, setiap hari satu orang miskin dan tidak perlu diqadha puasanya.
Namun karena Anda masih hidup, maka Anda masih dikenai kewajiban untuk mengqadha puasa tujuh hari yang wajib dilakukan di negara asal, tidak boleh diganti dengan memberi makan orang miskin selama Anda masih mampu untuk melaksanakannya. Sedangkan puasa tiga hari yang wajib dilakukan di musim haji harus diganti dengan memberi makan orang miskin. Sebab di samping tempat pelaksanaannya berbeda, waktu pelaksanaannya juga sudah lewat.
Saudaraku, dalam kasus pembayaran kafarah ini, faktor penyesalan (taubat) dan kesungguhanlah yang sangat menentukan. Bila Anda sungguh-sungguh untuk membayar kafarah tersebut sesuai dengan pendapat yang saya sampaikan di atas, atau mungkin pendapat lain yang lebih kuat, maka yakinlah bahwa ALLAH swt. akan menerimanya. Ingatlah, bahwa ALLAH tidak membebani seseorang kecuali sesuai kesanggupannya (Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 286). Hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap orang yang dikenai kewajiban membayar kafarah karena melakukan hubungan badan dengan isterinya di siang hari di bulan Ramadhan, dimana pada saat itu orang tersebut tidak mampu membebaskan seorang budak ataupun puasa (dua bulan berturut-turut) dan juga tidak mampu memberi makan (enam puluh orang miskin), maka gugurlah kewajibannya membayar kafarah, karena tidak ada beban syari’at kecuali kalau ada kemampuan. Berdasarkan hal itu, maka Rasulullah saw. pun menggugurkan kewajiban membayar kafarah bagi orang tersebut. Beliau malah memberinya satu wadah korma untuk diberikan kepada keluarganya. Wallaahu A’lam….
NB: Bagi yang ingin sharing pendapat dengan dalil yang lebih kuat seputar kasus ini, silahkan tulis komentar di bagian bawah artikel ini, atau kirim email ke abunabilazahra@yahoo.com, atau kirim pesan ke inbox facebook saya (Fatkhurozi Chafas). Insya ALLAH komentar yang disertai dengan dalil-dalil yang mendukungnya akan diterbitkan di bawah artikel ini. Terima kasih....

Sabtu, 19 Juni 2010

Hukum Mengecat Rambut

Hukum Mengecat Rambut
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Semoga Ustadz dan keluarga senantiasa sehat dan dilindungi ALLAH swt., amin. Ustadz, saya mau menanyakan apakah boleh (sah) sholatnya seorang Muslimah yang mengecat rambutnya?
Saya pernah membaca, kalau tidak salah, kita dilarang mengecat rambut dengan warna hitam, apa itu benar? Kalau benar, apakah hal itu berarti bahwa selain warna hitam diperbolehkan?
Satu lagi Ustadz, bagaimana hukumnya bila saya mengecat
rambut dengan tujuan untuk menyenangkan hati suami, karena kebetulah saya adalah wanita berjilbab sehingga hanya suami yang akan melihat rambut saya?
Mohon penjelasannya Ustadz, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
E-……

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Terima kasih sebelumnya atas doa yang Anda panjatkan untuk kami. Semoga Anda dan keluarga juga selalu dalam bimbingan dan lindungan ALLAH swt., amin.
Saudariku yang terhormat, shalat seseorang tidak sah bila saat berwudhu atau melakukan mandi wajib, ada hal-hal yang menghalangi masuknya air ke bagian yang harus dibasuh, termasuk cat, lem ataupun pewarna rambut. Dengan demikian, maka bila Anda ingin mengecat rambut sebelum berwudhu atau mandi wajib, sebaiknya dengan menggunakan bahan yang tidak menghalangi masuknya air ke bagian yang harus dibasuh, seperti pohon inai dan katam. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar, disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik bahan yang dipakai untuk menyemir uban ialah pohon inai dan katam.” (HR. Tirmizi dan Ashabussunan)
Tetapi bila Anda ingin memakai cat rambut dengan bahan yang dapat menghalangi masuknya air, maka sebaiknya dilakukan setelah berwudhu atau mandi wajib, agar tidak menghalangi sahnya shalat.
Saudariku, sebenarnya larangan untuk menggunakan cat rambut berwarna hitam ditujukan bagi orang tua yang sudah beruban, dimana ubannya sudah merata. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Abu Bakar pernah membawa ayahnya, Abu Quhafah, menghadap Nabi saw.. Hal itu terjadi pada hari penaklukkan kota Mekkah. Maka, Nabi pun bersabda: “Ubahlah ini (uban) tetapi jauhilah warna hitam.” (HR. Muslim)
Dari sini, dapat difahami bahwa bagi orang yang belum beruban seperti Abu Quhafah, dibolehkan untuk menggunakan warna hitam, seperti yang dikatakan oleh Az-Zuhri: “Saat wajah kami masih terlihat muda, kami menyemir rambut dengan warna hitam. Tetapi setelah wajah kami terlihat mengerut dan gigi kami sudah tidak utuh, kami menghindari warna hitam.”

Dalam kaitannya dengan hukum mengecat rambut dengan warna hitam tersebut, ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Berikut saya sebutkan pendapat-pendapat tersebut:
• Imam Hanbali, Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa mengecat rambut dengan warna hitam makruh hukumnya kecuali bagi orang yang akan pergi berperang karena ada ijma’ (kesepakatan ulama) yang menyatakan kebolehannya.
• Imam Abu Yusuf (dari madzhab Hanafi) berpendapat bahwa mengecat rambut dengan warna hitam dibolehkan. Hal ini berdasarkan pada sabda Nabi saw.: “Sebaik-baik warna yang digunakan untuk mengecat rambut adalah warna hitam ini, karena ia lebih menarik bagi istri-istri kalian dan (dengannya) kalian terlihat lebih berwibawa di hadapan musuh-musuh kalian.” (Tuhfatul Ahwadzi, 5/436)
• Sedangkan Imam Syafi’i mengharamkan pemakaian warna hitam kecuali bagi orang-orang yang akan berperang. Pendapatnya itu didasarkan pada sabda Nabi saw.: “Pada pada akhir zaman nanti, akan ada orang-orang yang mengecat rambut mereka dengan warna hitam. Mereka itu tidak akan mencium bau surga.” (HR. Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
Mengenai pertanyaan terakhir Anda, bila memang niat Anda adalah untuk menyenangkan suami, dan memang suami sangat menyukainya, maka –menurut saya- hal itu sangat mulia di mata ALLAH selama hal itu bukan termasuk hal yang diharamkan-Nya. Di sini, ada satu hal yang ingin saya tekankan. Pada zaman sekarang ini, sudah semakin jarang wanita yang memiliki niat mulia seperti itu. Kebanyakan wanita berdandan agar keindahan wajah dan kemolekan tubuhnya dilihat oleh orang lain, bukan khusus untuk suaminya sendiri. Buktinya, banyak wanita yang lebih senang berdandan saat akan keluar rumah, baik untuk berbelanja ataupun untuk keperluan-keperluan lainnya. Bahkan tidak jarang yang berdandan secara berlebihan hingga terkesan menor atau seksi. Sementara saat berada di rumah atau saat berada di hadapan sang suami, mereka tidak mau berdandan. Alhasil, yang menikmati kecantikan wajahnya, keindahan dirinya dan bau wangi parfumnya justru orang lain, bukan suaminya sendiri. Suaminya hanya kebagian bau bawang atau bau jengkol yang dimakannya….Wallaahu A’lam….

Kamis, 10 Desember 2009

Hukum Pengobatan Alternatif

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ustad, mohon bantuannya. Saya mau tanya, Bapak mertua saya sedang sakit tumor dan udah dibawa ke dokter beberapa kali, tetapi belum ada tanda-tanda kesembuhan. Akhirnya, karena keterbatasan biaya, suami saya dan keluarga membawanya berobat ke tempat pengobatan alternatif di daerah Sukabumi. Pengobatan yang dilakukan adalah, bapak mertua saya masuk ke dalam sebuah ruangan ditemani dari jauh oleh adik ipar saya dan ibu mertua. Lalu perut Bapak mertua saya dibedah memakai pisau dengan membaca asma Allah. Tetapi anehnya, Bapak mertua tidak merasakan sakit sedikitpun ketika daging dan air dikeluarkan dari perutnya.

Anehnya lagi, setelah tindakan pembedahan itu selesai dilakukan, perut Bapak mertua kembali normal seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Menurut saya, hal itu sangat tidak masuk akal. Karenanya, saya khawatir orang yang mengobati tersebut bekerjasama dengan jin.

Nah, yang ingin saya tanyakan adalah apakah cara pengobatan yang dilakukan terhadap Bapak mertua saya itu dibolehkan? Sekedar informasi, kami sudah tidak punya biaya lagi untuk ke dokter, padahal kami sangat menginginkan kesembuhan bagi orangtua kami. Insya Allah bulan depan, suami saya akan kembali lagi membawa bapaknya untuk cek-up ke Sukabumi lagi. Mohon bantuannya Ustadz unTuk memberikan jawabannya. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih banyak, dan semoga Ustadz selalu dalam lindungan Allah swt.. Amin

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Jawaban:

F - ….


Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Kekhawatiran Anda bisa dimaklumi karena sebagai muslim, kita harus berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang diharamkan, termasuk dalam masalah pengobatan. Apalagi Rasulullah saw. pernah melarang kita untuk berobat dengan menggunakan sesuatu (obat atau pengobatan) yang haram. Termasuk ke dalam katagori pengobatan yang haram ini adalah pengobatan dengan menggunakan metode yang mengandung unsur-unsur syirik. Sebab sebagaimana diketahui, syirik adalah dosa yang paling besar di antara dosa-dosa besar lainnya. Apabila seseorang yang pernah berbuat syirik meninggal dunia sementara dirinya belum sempat bertaubat atas dosa tersebut, maka Allah tidak akan mengampuninya, sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Qur`an surah An-Nisaa ayat 48.

Mengenai pengobatan alternatif, memang ada sebagian orang yang diberi kelebihan oleh Allah swt. sehingga dia dapat mengobati orang lain seperti layaknya seorang dokter. Ada kalanya kelebihan itu datang sendiri dan ada kalanya kelebihan itu melalui sebuah proses pembelajaran. Tetapi perlu diingat, ada pula orang yang diberi kelebihan oleh Allah berupa istidraj, yang bertujuan untuk menyesatkan dirinya, seperti kelebihan yang dimiliki oleh para dukun. Jadi menurut saya, bila ada orang memiliki kelebihan bisa mengobati seperti yang Anda sebutkan di atas, tidak serta merta itu menggunakan bantuan jin. Untuk membedakannya, biasanya para ulama melihat apakah ada ritual-ritual yang menjurus kepada perbuatan syirik yang dilakukan oleh orang yang mengobati itu saat akan melakukan pengobatan, ataukah tidak. Ritual yang dimaksud seperti dengan menyembelih ayam cemani (ayam berwarna hitam), memakai kemenyan, memberikan sesajen, atau dengan menggunakan jenis-jenis ritual lainnya. Tetapi bila tidak ada ritual seperti itu, maka -menurut saya-, hal itu dibolehkan selama kita meyakini bahwa hanya Allah swt. yang Maha Menyembukan. Tabib hanyalah sebagai perantara saja, sama seperti dokter.

Satu lagi, biasanya untuk membedakannya, para ulama juga melihat amaliah orang yang mengobatinya. Maksudnya, apakah dia menjalankan syariat Allah (terutama shalat) dengan baik ataukah tidak?? Bila tidak, maka sebaiknya kita hindari. Perlu diketahui pula, dari kajian-kajian hadits yang pernah saya ikuti, alam jin sama seperti alam manusia. Ada jin yang mukmin dan ada pula jin yang kafir. Memang ada perbedaan pendapat mengenai hukum memperbantukan jin. Bagi ulama yang membolehkan, hal itu sama seperti kita memperbantukan seorang pembantu atau asisten dalam pekerjaan yang kita lakukan. Tetapi sekali lagi, asalkan tidak ada permintaan-permintaan tertentu dari jin tersebut yang diwujudkan dalam bentuk ritual-ritual yang menjurus ke perbuatan syirik. Demikian penjelasan sementara saya, mudah-mudahan dapat bermanfaat. Wallaahu A’lam….
Wassalamu’alaikum wr. wb.

Rabu, 11 November 2009

Haruskah Wanita Pakai Gamis?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, saya mau menanyakan tentang pakaian wanita:

1. Bagaimanakah menurut Islam cara berpakaian wanita; Apakah harus memakai gamis ataukah boleh menggunakan model lain asal longgar dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh?

2. Apa yang dimaksud dengan “pakaian luar” dalam QS. An-Nuur ayat 60? Mohon penjelasannya. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Petri Yanti

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

1. Baik dalam Al-Qur`an ataupun Hadits, tidak ada nash yang secara tegas menyebutkan ketentuan model pakaian yang harus dikenakan oleh seorang wanita Muslimah, apakah harus model gamis ataukah boleh model-model lain. Yang ada hanyalah ketentuan agar wanita Muslimah mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya, seperti disebutkan pada firman Allah swt.: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzaab [33]: 59)

Pada ayat lain, Allah swt. berfirman: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka…..” (QS. An-Nuur [24]: 31)

Pada kedua ayat yang sering dijadikan dalil kewajiban berjilbab tersebut, tidak disebutkan jenis atau model pakaian yang harus digunakan wanita Muslimah. Yang disebutkan hanyalah sifatnya saja, yaitu pada firman Allah: “mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya” dan firman-Nya: “menutupkan kain kudung ke dadanya”. Kedua lafazh tersebut mengisyaratkan bahwa pakaian yang harus dikenakan oleh wanita Muslimah adalah pakaian yang memiliki sifat dapat menutupi lekak-lekuk tubuhnya, termasuk bagian dada. Tujuannya jelas, yaitu untuk menutupi lekak-lekuk tubuh wanita yang dikhawatirkan dapat membangkitkan hasrat laki-laki yang melihatnya sehingga akan terjadi fitnah, atau dengan kata lain agar wanita Muslimah terhindar dari fitnah (hal buruk) yang dapat menimpanya. Tujuan ini terkandung pada firman Allah: “Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu”. Jadi menurut saya, apapun jenis atau model pakaiannya dibolehkan, asalkan memiliki sifat yang dapat mewujudkan tujuan tersebut.

Sayangnya, tidak sedikit wanita Muslimah yang kurang memperhatikan hal ini. Banyak di antara mereka yang tidak memakai jilbab, bahkan bangga dengan pakaian yang serba terbuka, baik di bagian atas ataupun bawahnya. Tidak sedikit pula wanita yang mengenakan jilbab tetapi jilbabnya itu terkesan hanya formalitas semata, karena hanya menutupi kepalanya saja, sementara pakaiannya begitu ketat hingga terlihat dengan jelas lekak-lekuk tubuhnya. Karenanya, terkadang mata laki-laki lebih melotot saat melihat wanita berjilbab seperti itu ketimbang melihat wanita yang tidak berjilbab tapi mengenakan pakaian yang tidak ketat. Di sini, bukan berarti saya menganggap bahwa wanita yang tidak berjilbab itu lebih baik, akan tetapi alangkah lebih baiknya bila setiap wanita yang berjilbab juga memperhatikan hal ini, sehingga niatannya untuk mengenakan jilbab benar-benar selaras dengan tujuan disyariatkannya jilbab, seperti yang telah dijelaskan di atas. Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan Hadits Nabi saw. yang berbunyi:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ

“Ada dua jenis penghuni neraka yang belum pernah aku lihat sebelumnya; (1) Satu kaum yang memegang cemeti yang berbentuk seperti ekor sapi lalu digunakan untuk memukul manusia lain, (2) Wanita-wanita yang berpakaian tetapi mereka terlihat seperti telanjang, mereka berlenggak-lenggok, dan kepala-kepala mereka seperti punuk unta.” (HR. Muslim)

2. Pada QS. An-Nuur (24): 60, sebenarnya tidak ada lafazh “pakaian luar”, itu hanya penafsiran. Lafazh sebenarnya adalah “tsiyaabahunna” (pakaian-pakaian mereka). Lengkapnya, ayat tersebut berbunyi: “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (pakaian luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan….” Para mufassir menafsirkan bahwa pakaian yang boleh ditanggalkan oleh wanita tersebut adalah pakaian yang jika dibuka, maka aurat wanita yang memakainya tidak ikut terbuka (masih tertutup). Yang termasuk katagori pakaian ini adalah mantel, jilbab dan sejenisnya. Jadi, yang dimaksud dengan pakaian tersebut bukanlah pakaian yang biasa kita istilahkan dengan “pakaian luar” (lawan pakaian dalam). Wallaahu A’lam….