Rabu, 24 November 2010

10 Dzulhijjah, Mana Yang Benar?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya mau bertanya tentang waktu Idul Adha. Rasanya sudah beberapa kali kita menyaksikan adanya perbedaan penentuan waktu hari raya umat Islam antara pemerintah kita dengan pemerintah Arab Saudi, termasuk hari raya Idul Adha tahun ini. Pemerintah Arab Saudi menetapkan Idul Adha jatuh pada tanggal 16 November, sementara pemerintah kita menetapkan tanggal 17. Mana yang benar dan mana yang harus kita ikuti, Ustadz? Terus terang, dalam masalah penentuan hari raya Idul Adha, saya pribadi lebih sreg untuk mengikuti keputusan pemerintah Arab Saudi. Sebab berdasarkan pengetahuan saya yang mungkin masih sangat dangkal, Idul Adha yang dirayakan pada tanggal 10 Dzulhijjah sangat berkaitan erat dengan rangkaian ibadah haji termasuk wukuf yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah. Seperti yang kita ketahui, semua rangkaian ibadah haji dilaksanakan di Arab Saudi, bukan di negara kita. Apakah pandangan saya ini bisa dibenarkan, Ustadz? Mohon petunjuknya. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
N -…..

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara N yang saya hormati, sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya karena baru bisa menjawab pertanyaan yang Anda ajukan, padahal semestinya pertanyaan ini dijawab sebelum kita merayakan Idul Adha. Mudah-mudahan meskipun terlambat, jawaban yang saya berikan masih tetap bermanfaat, amin….
Memang benar seperti yang Anda katakan, hari raya Idul Adha sangat erat kaitannya dengan rangkaian ibadah haji yang semuanya dilaksanakan di Arab Saudi. Namun, hal itu tidak serta merta dapat dijadikan alasan yang kuat bagi kita untuk mengikuti keputusan pemerintah Arab Saudi dalam kaitannya dengan penentuan waktu Idul Adha. Artinya, sah-sah saja Anda mengikuti keputusan tersebut, tapi –menurut saya- hal itu bukanlah karena Arab Saudi merupakan tempat dilaksanakannya rangkaian ibadah haji sehingga semua umat Islam harus merujuk ke sana, melainkan karena ru`yah yang dilakukan suatu negeri dapat berlaku bagi negeri-negeri lain, tanpa dibatasi oleh mathla’ atau bujur astronomi.
Saudara N yang saya hormati, mengenai pertanyaan Anda “mana yang benar dan mana yang harus saya ikuti”, saya tidak berani mengklaim mana yang benar. Sebab, masalah penentuan waktu hari raya Idul Adha (yang ditentukan sejak masuknya hilal bulan Dzulhijjah) sama seperti penentuan jatuhnya 1 Ramadhan dan 1 Syawal, semuanya masih sebatas ijtihad para ulama. Karena permasalahan mengenai penentuan 1 Ramadhan pernah saya bahas, maka di sini saya hanya ingin mengutip kembali penjelasan saya mengenai itu dan juga penjelasan beberapa kawan, dengan harapan dapat dijadikan pijakan dalam menyikapi adanya perbedaan penentuan waktu hari raya umat Islam.

Penjelasan Saya Mengenai Penentuan 1 Ramadhan:
Di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti di Indonesia, sering terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam mengenai penentuan 1 Ramadhan atau 1 Syawal. Munculnya perbedaan ini disebabkan karena dua hal:
1. Perbedaan pemahaman terhadap hadits Rasulullah saw. yang dijadikan sebagai dasar penentuan awal Ramadhan atau awal Syawal. Hadits tersebut berbunyi:
“Berpuasalah kalian karena melihat bulan, dan berbukalah (berhari rayalah) kalian karena melihatnya. Jika mendung telah menghalangi kalian, maka sempurnakanlah (genapkanlah) hitungan Sya’ban.” (HR. Muslim) Sebagian ulama memahami kata “ru`yah” (melihat) dalam hadits tersebut dengan arti ru`yah basyariah haqiqiyah (penglihatan dengan mata kepala manusia), sementara sebagian ulama yang lain memahaminya dengan arti ru`yah maknawiyah (dengan hitung-hitungan astronomi). Dari sini, maka muncullah dua metode penentuan awal Ramadhan, yaitu metode hisab astronomi yang biasa dipakai oleh Muhammadiyyah dan Persis, dan metode ru`yah yang biasa dipakai oleh warga NU dan Hizbut Tahrir.
Pada tahun ini, melalui Maklumat Nomor : 06/MLM/I.0/E/2009, PP Muhammadiyah telah mengumumkan penetapan tanggal 1 Ramadhan 1430 H bertepatan dengan hari Sabtu Pahing, tanggal 22 Agustus 2009. Hal serupa juga dilakukan oleh Persis. Sementara NU belum menetapkan 1 Ramadhan karena berdasarkan metode yang dipakainya, penentuan awal Ramadhan harus dilakukan melalui ru`yah dengan menggunakan mata kepala terlebih dahulu.
2. Perbedaan penentuan awal Ramadhan juga bisa disebabkan karena adanya perbedaan cara pandang mengenai matla’ (tempat terbitnya fajar dan terbenamnya matahari). Perbedaan ini terjadi di kalangan ulama yang menggunakan metode ru’yah sebagai alat untuk menentukan awal Ramadhan atau awal Syawal. Ada sebagian ulama yang berpegang pada prinsip matla’, maksudnya setiap negeri mempunyai ru`yah tersendiri, sesuai dengan koordinat bujur dan lintangnya. Di antara ulama yang berpendapat seperti itu adalah Imam Syafi’i. Sementara itu, jumhur fuqaha (mayoritas ahli fikih) tidak berpegang pada prinsip matla’ tersebut, sehingga –menurut mereka- ru`yah yang dilakukan suatu negeri dapat berlaku bagi negeri-negeri lain, tanpa dibatasi oleh mathla’ atau bujur astronomi. Pendapat kedua ini diikuti oleh kelompok Hizbut Tahrir (HTI), sehingga ketika salah satu negara Islam mengumumkan telah melihat hilal, maka kelompok HTI segera merujuk kepada hasil ru`yah negara tersebut. Sebenarnya pendapat ini juga diikuti oleh Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI). Hanya saja, komisi tersebut menegaskan bahwa hal itu memerlukan pembentukan lembaga yang berstatus sebagai “Qadi (Hakim) Internasional” yang dipatuhi oleh seluruh negara-negara Islam. Karena lembaga seperti itu belum ada, maka yang berlaku adalah ketetapan pemerintah masing-masing negara.
Bagi sebagian orang, terkadang adanya perbedaan seperti disebutkan di atas sering membuat bingung. Apalagi di saat menentukan awal Syawal yang merupakan hari raya bagi umat Islam. Mungkin saja terpikir dalam benak mereka, mengapa hari raya umat Islam berbeda? Ada yang sekarang, ada yang besok, ada yang lusa? Mana yang benar? Kami harus mengikuti yang mana?
Penentuan awal Ramadhan atau awal Syawal merupakan permasalahan ijtihadi yang didasarkan pada pemahaman masing-masing kelompok terhadap teks-teks Al-Qur`an ataupun hadits. Dalam hal ini, sah-sah saja bila masing-masing kelompok mengaku pendapatnya benar, asalkan tidak mengaku hanya pendapat merekalah yang benar. Yang perlu ditekankan adalah, sikap toleransi dan menghormati pendapat orang lain. Bila umat Islam memperhatikan hal ini, maka sejuta perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’iyyah seperti itu tidak akan pernah menjadi persoalan bagi umat Islam.
Bila kita lihat Sunah Nabi, perbedaan pendapat seperti itu juga ditolerir Baginda Rasulullah saw.. Dalam Shahih Bukhari, 2/436, disebutkan sebuah riwayat dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda kepada para sahabat: “Jangan ada seorang pun yang shalat ashar kecuali di kampung bani Quraidhah.”
Saat mereka masih berada di dalam perjalanan, waktu Ashar tiba. Maka, sebagian dari mereka berkata: “Kita tidak boleh shalat sebelum kita sampai di tempat tujuan.” Mereka pun akhirnya shalat Ashar di perkampungan Bani Quraidhah, meskipun sesampainya di sana waktu shalat Ashar telah lewat. Sementara sebagian yang lain berkata: “Sebaiknya kita shalat di sini saja, karena maksud perkataan Nabi itu adalah agar kita mempercepat perjalanan sehingga kita telah sampai di perkampungan Bani Quraidhah sebelum waktu Ashar tiba.” Ketika hal itu dilaporkan kepada Nabi, beliau sama sekali tidak mengingkari apa yang mereka lakukan.
Dengan demikian, maka adanya perbedaan mengenai penentuan awal Ramadhan ataupun awal Syawal di kalangan umat Islam tidak semestinya menimbulkan perselisihan di antara mereka. Bila kenyataan yang terjadi seperti itu, maka perbedaan tersebut tidak akan menjadi persoalan bagi mereka. Masing-masing kelompok dipersilahkan untuk mengikuti pendapat mana yang menurutnya benar. Lain halnya bila yang terjadi adalah sebaliknya, dimana perbedaan tersebut menyebabkan terjadinya perselisihan atau pertikaian di antara kaum Muslimin. Dalam kondisi seperti itu, masing-masing kelompok harus bersikap legowo dan tidak boleh mengikuti ego masing-masing. Mereka harus mengutamakan persatuan umat Islam. Sebab walau bagaimanapun, persatuan umat jauh lebih penting dan harus lebih diutamakan daripada sekedar mempertahankan pendapat masing-masing. Wallaahu A’lam….
Penjelasan Ustadz Azharul Fuad (Pengasuh Group Kuliah Tujuh Menit):
Dalam menyikapi perbedaan hasil ijtihad tentang penentuan hari-hari ibadah dalam Islam, kita mengenal sebuah prinsip yang telah dipegang para ulama sepanjang masa. Prinsip itu adalah bahw asetiap umat Islam boleh dan berhak utk bertanya kepada para ahli agama, meski para ahli agama berbeda pendapat dalam memberikan jawabannya. Tentu saja selama semua jawaban itu tidak keluar dari ijtihad yang telah diupayakan sedemikian rupa agar mendekati kebenaran. Kalau ternyata hasil ijtihad itu masih berbeda juga, maka orang yang mengikuti salah satu ijtihad itu tidak bisa disalahkan, juga tidak berdosa Itulah prinsip & pedoman dalam menyikapi perbedaan hasil ijtihad para ulama. Maka hari mana saja yang kita pilih untuk berlebaran haji nanti, boleh dan sah untuk kita ambil. Karena memang dimungkinkan terjadinya perbedaan hari raya untuk beberapa wilayah yang berbeda. Hal seperti itu sudah terjadi jauh sebelum zaman kita, yaitu sejak zaman shahabat.
Wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah 1431) telah ditetapkan oleh pemerintah Saudi jatuh pada hari Senin, 15 November 2010 (Jadi Idul Adha di Saudi pada tanggal 16 November 2010, berbeda dengan kalender Indonesia yaitu pada tanggal 17 November 2010). Namun sebagaimana kita tahu bahwa keputusan itu tidak diambil mewakili seluruh ulama dunia, melainkan hanya oleh mufti Saudi. Maka keputusan tersebut tidak lain adalah hasil ijtihad juga. Akan lain nilainya seandainya Saudi itu melibatkan seluruh dunia Islam, di mana sudah ada komitmen bersama utk menetapkan hari yang sama berdasarkan apa yang telah disepakati. Kalau seandainya ada sekelompok umat Islam yang sudah berkomitmen, namun tiba-tiba melanggar dan tidak mau patuh, maka bolehlah pihak yang menyendiri itu dipersalahkan. Selama tidak pernah terjadi komitmen itu, serta masing-masing negara berijtihad sendiri-sendiri. Jika ada negeri yang menetapkan lebaran haji berbeda dengan ketetapan pemerintah Saudi, tidak bisa kita menyalahkan mereka. Sebab ketetapan pemerintah Saudi itu tidak lain hanya hasil ijtihad yang tidak mengikat. Hanya kebetulan saja tongkat kekuasaan ada di tangan pemerintah yang sdg berkuasa, sehingga seolah-olah dunia Islam harus selalu ''mengekor'' kepada hasil ijtihad mereka. Sekarang yang jadi pertanyaan adalah: Apakah ada peraturan yang mengharuskan bahwa siapa yang berkuasa di wilayah Makkah, lantas berhak mengatur ijtihad ulama di negara-negara Islam lainnya?
Di masa kejayaan khilafah Islamiyah, pusat kekuasaan tidak berada di tangan pemerintah Saudi Arabia, melainkan di tangan para khalifah yang berkedudukan di Damaskus, Baghdad, atau Istambul. Makkah dan sekitarnya hanya menjadi bagian wilayah pusat khilafah Islam. Nah, saat ini yang menjadi penguasa di Makkah adalah pemerintahan kerajaan Saudi Arabia. Mereka inilah yang menentukan jatuhnya hari wuquf di Arafah. Dan secara otomatis, seluruh jamaah haji dari berbagai penjuru dunia juga mengikuti hasil ijtihad ulama dan penguasa negeri itu.
Sebagaimana kita tahu, ada dua cara dalam menentukan tanggal bulan qamariyah, yaitu dengan cara rukyat langsung dan dengan cara hisab. Baik rukyat atau hisab, keduanya sama-sama memberikan kemungkinan perbedaan hasil. Maksudnya, meski sama-sama pakai rukyatul-hilal, msh sangat dimungkinkan hasilnya berbeda antara satu ahli rukyat dengan ahli rukyat lainnya. Begitu juga dengan hisab, meski sama-sama menggunakan hisab, hasilnya tetap sangat mungkin berbeda antara para ahli hisab.
Misalnya utk menentukan jatuhnya tanggal 9 Dzulhijjah nanti, kita bisa mendapatkan hasil rukyat dengan beberapa versi, ada yang bilang jatuh hari Senin dan ada yang hari Selasa. Hal yang sama juga bisa terjadi bila kita gunakan hisab. Jadi paling tidak ada 3 perbedaan yang terjadi, yaitu antara:
- Ahli rukyat vs ahli hisab
- Ahli rukyat vs ahli rukyat
- Ahli hisab vs ahli hisab
Ahli rukyat yang satu sangat mgkn berbeda pendapat dengan ahli rukyat yang lain. Mungkin di satu negara ada beberapa ahli rukyat, tapi masing-masing tidak saling berkonfirmasi, lgsg, main tetapkan sendiri kesimpulannya. Inilah yang selama ini terjadi di negeri kita. Kita tidak pernah kekurangan ahli rukyat. Tiap daerah punya para ahli rukyat. Sayangnya, mereka bekerja sendiri-sendiri, atau maksimal hanya bekerja utk kelompoknya. Seandainya ada seorang ahli rukyat yang melihat hilal, blm tentu ahli rukyat yang lain mau menerima hasil rukyat saudaranya itu. Alasannya bisa macam-macam, terkadang krn urusan politis, lain partai, lain ormas atau lain aliran ilmu, bisa membuat mereka tidak mau saling berkomitmen. Apalagi antara ahli rukyat dengan ahli hisab, biasanya mereka jarang akur.
Sebagai contoh, seorang ahli rukyat menyatakan telah melihat hilal, tiba-tiba ditentang oleh ahli hisab begitu saja. Argumennya, krn saat itu tidak dimungkinkan terjadinya rukyat lantaran kurang dari sekian derajat, atau beragam alasan lainnya. Seolah2 apapun yang dilihat oleh ahli rukyat itu tidak pernah benar kecuali bila telah sesuai dengan hasil hisab para ahli hisab. Lalu para ahli rukyat akan mengeluarkan argumentasi bahwa dalil dari Rasulullah SAW hanya dengan merukyat hilal, bkn dengan hisab. Dan urusannya tidak akan selesai. Antara sesama ahli hisab juga tidak selalu kompak. Rupanya ilmu hisab itu punya sekian banyak versi. Meski kesannya ilmiyah, tetapi yang eksak itu hanya angkanya saja, sedangkan utk mengambil kesimpulannya, msh begitu banyak pertimbangan lainnya. Wajar bila seorang ahli hisab berbeda hasil hitungannya dengan temannya yang juga ahli hisab juga. Maka kesimpulannya, selama masing-masing merasa yakin dan tidak mau mengalah, tidak akan ada terjadi kesamaan hasil penentuan hari lebaran sampai kiamat. Sebab masing-masing bersikukuh dengan argumentasinya, ditambah tidak pernah merasa ijtihad org lain itu mungkin benar.
Seharusnya, meski masing-masing ahli baik ahli rukyat atau pun ahli hisab berhak punya pendapat masing-masing, tetapi mereka harus legowo bila pendapatnya tidak dipakai sebagai pendapat resmi di suatu negara. Atau paling tidak, mereka harus belajar utk bisa berkomitmen antar sesama mereka dalam menetapkan tanggal hijriyah itu, tidak bersikukuh dengan apa yang dimilikinya. Toh, semua itu hanya ijtihad belaka, tidak ada satu pun yang lgsg ditetapkan dari langit, karena wahyu sudah terputus hari ini.
Sebenarnya peran pemerintah sangat dibutuhkan, asalkan pemerintah punya sosok figur yang sepakat dihormati, diagungkan dan diterima oleh semua kalangan ahli hisab dan rukyat di negeri itu. Yang jadi masalah skrg ini justru itu, sosok figur pemerintah skrg ini sangat rendah di mata para ahli hisab dan rukyat. Lebih parah lagi, pemerintah malah membuat sendiri lembaga hisab dan rukyat versinya sendiri. Yang dipakai utk menetapkan jatuhnya lebaran itu hanya dari mereka yang duduk di lembaga versi pemerintah itu saja, versi yang lain meski diundang datang dalam sidang itsbat, semuanya hanya formalitas belaka. Tidak terjadi kajian ilmiah yang mendasar dan fokus pada titik masalahnya.
Blm lagi kalau kita angkat masalah ini ke tingkat international, maka masalahnya akan semakin rumit lagi. Sebab masing-masing negara merasa diri mereka punya hak preogratif utk menentukan sendiri hari-hari besar agama, tanpa harus berkomitmen dengan ulama hisab dan rukyat di berbagai negara. Saya pribadi berpendapat, krn agama memerintahkan kita utk mengikuti "pemerintah" yang sah, maka alangkah baiknya semua pihak mengikuti apa yang ditetapkan oleh pemerintah, walaupun berbeda dengan Saudi. Namun, jika anda lebih yakin kepada ijtihad pemerintah Saudi pun tidak apa2. Karena toh pada dasarnya, semua itu adalah hasil ijtihad para ulama yang dibenarkan oleh agama.

Wallaahu a'lam...

Komentar Dr. M. Faiq Sulaifi di Mediasilaturahim.com:
Bismillah, ketentuan masuknya Ramadhan dan keluarnya hendaknya dikembalikan kepada keputusan Pemerintah RI. Karena Hari Raya, Puasa adalah ibadah jama’i yang dipimpin oleh imam dalam hal ini adalah penguasa. Rasulullah SAW bersabda:
“Hari Idul Fitri adalah orang-orang berbuka (bersama-sama) dan Idul Adlha adalah hari orang-orang menyembelih (bersama-sama).” (HR. Tirmidzi: 731 dari Aisyah RA, hadits shahih gharib)
Rasulullah SAW juga bersabda: “Puasa adalah hari kalian berpuasa dan idul fitri adalah hari kalian beridul fitri (bersama-sama) dan idul adha adalah hari kalian menyembelih kurban (bersama-sama).” (HR. Tirmidzi: 633, Ibnu Majah: 1650 dari Abu Hurairah RA) At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ulama menafsiri hadits di atas bahwa berpuasa dan berbuka itu bersama jama’ah (imam kaum muslimin) dan mayoritas manusia.” (Tuhfatul Ahwadzi: 2/235).
Al-Allamah Abul Hasan As-Sindi Al-Hindi berkata: “Yang jelas dari makna hadits di atas adalah bahwa urusan ini (penentuan hari raya dan puasa) tidak ada celah bagi individu untuk menentukan masalah ini dan tidak boleh seseorang bersendirian dalam hari raya dan puasa, tetapi urusan ini harus dikembalikan kepada imam (penguasa) dan jama’ah masyarakatnya dan wajib bagi masing-masing individu untuk mengikuti penguasa dan masyarakatnya. (Hasyiyah Ibni Majah As-Sindi:3/431)
Imam yang memiliki legalitas adalah Pemerintah melaului Depagnya, bukan PBNU, PP Muhammadiyah, PP Persis, mursyid thariqat atau Amir LDII, karena melihat tafsir ayat “WA ULIL AMRI MINKUM” tentang pemerintah yang wajib dita’ati(QS. An-Nisa: 59) yang merujuk pada penguasa yang MAUJUD (memiliki legalitas, aparat, perangkat) bukan Imam yang MA’DUM (abstrak) seperti pimpinan berbagai organisasi atau sekte.
Menurut Ibnu Taimiyah bahwa kalau ada seseorang melihat hilal sendirian dan persaksiannya ditolak oleh pemerintah dengan alasan apapun maka ia tetap MENGIKUTI KEPUTUSAN PEMERINTAH. (Lihat Majmu’ Fatawa: 6/65) Yang demikian karena ijtihad ini (tentang hari raya) tidak menjadi tugas individu atau kelompok tetapi sudah menjadi IJTIHAD PENGUASA dalam rangka menyatukan kaum muslimin.
Pada zaman pemerintahan Umar bin Khathtab RA suatu waktu ada 2 orang melihat hilal Syawal kemudian salah satunya tetap puasa (karena tidak ingin menyelisihi masyarakat yang masih berpuasa) yang satunya berhari raya sendirian. Ketika permasalahan ini sampai kepada Umar RA maka beliau berkata kepada orang yang berhari raya sendirian: “Seandainya tidak ada temanmu yang ikut melihat hilal maka kamu akan saya pukul.” (Majmu’ Fatawa: 6/75) Dalam riwayat lain akhirnya Umar meng-isbat bahwa hari itu adalah hari raya dan menyuruh kaum muslimin unuk membatalkan puasa mereka berdasarkan kesaksian 2 orang tersebut. (Mir’atul Mafatih: 12/303-304)
Suatu ketika Masruq (seorang tabi’in) dijamu oleh Aisyah RA, ia berkata: “Tidak ada yang menghalangiku dari puasa ini (Arafah) kecuali karena takut ini sudah Idul Adha.” Maka Aisyah menolak alasannya dengan mengatakan: “Idul Adha adalah hari orang-orang beridul adha bersama-sama dan idul fitri adalah hari orang-orang beridul fitri bersama-sama.” (Silsilah Shahihah Al-Albani: 1/223) Ini karena Masruq telah menyendiri dari puasanya penduduk Madinah.
Suatu ketika Yahya bin Abu Ishaq (seorang tabi’in) melihat hilal Syawal sekitar dhuhur atau lebih dan ada beberapa orang yang ikut berbuka dengannya. Kemudian ia dan beberapa orang mendatangi Anas bin Malik RA (sahabat Nabi SAW) dan memberitahukan kepada beliau perihal rukyat hilal Syawal dan beberapa orang berbuka (membatalkan puasanya) pada hari itu. Maka beliau berkata: “Adapun aku maka telah genap aku berpuasa 31 hari karena Al-Hakam bin Ayyub (penguasa ketika itu) telah berkirim surat kepadaku bahwa beliau berpuasa sebelum puasanya orang-orang.Dan aku benci untuk berbeda hari raya dengan beliau dan puasaku akan aku sempurnakan sampai nanti malam.” (Zaadul Ma’aad: /37)
Dan yang semakna adalah kasus penolakan Ibnu Abbas RA (sahabat Nabi) terhadap kesaksian Kuraib (tabi’in) yang telah merukyat hilal Syawal di Syam bersama Mu’awiyah RA (sahabat Nabi) pada hari Jum’at karena bertentangan dengan puasa dan hari raya warga dan otoritas kota Madinah yang berhari raya Sabtu.Dalam kasus ini Kuraib menyendiri dari penduduk kota Madinah. (Subulus Salam: 2/462)
Maka saya berpesan pada pemilik situs ini agar menyampaikan tulisan saya ini kepada mereka-mereka yang egois yang bangga dengan ijtihadnya sendiri baik dengan hisab atau rukyat dalam keadaan menyelisihi isbatnya pemerintah maka sadar atau tidak mereka telah berupaya memecah belah umat.
JIka orang-orang egois itu bertanya bahwa kadang-kadang penguasa bertindak tidak adil seperti menolak persaksian rukyat karena beda madzhab atau alasan politis dsb?
Maka Rasulullah SAW menjawab:
“Mereka (penguasa) itu shalat untuk kalian. Jika ijtihad mereka benar maka pahalanya untuk kalian, kalau ijtihad mereka keliru maka pahalanya tetap atas kalian dan dosanya ditimpakan atas mereka.” (HR. Bukhari: 653) Semoga ini dapat menjadi bahan renungan di tengah-tengah upaya penyatuan hari raya kaum muslimin Indonesia.

Wallaahu A'lam

1 komentar:

  1. Tarikh Tasyri’ Shaum Arafah dan Iedul Adha
    عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ
    Dari Anas, ia berkata, “Rasulullah saw. datang ke Madinah, dan mereka mempunyai dua hari yang mereka bermain-main pada keduanya pada masa jahiliyyah. Maka beliau bersabda, ‘Sungguh Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Hari Adha dan Hari Fitri’.” H.r. Ahmad, Musnad Ahmad, XXIV:114, No. 11568; Abu Daud, Sunan Abu Daud, III:353, No. 959. Dan redaksi di atas versi Ahmad.
    Sehubungan dengan hadis itu para ulama menerangkan bahwa Ied yang pertama disyariatkan adalah Iedul Fitri, kemudian Iedul Adha. Keduanya disyariatkan pada tahun ke-2 hijrah. (Lihat, Shubhul A’sya, II:444; Bulughul Amani, juz VI:119; Subulus Salam, I:60)
    Dalam hal ini para ulama menerangkan:
    وَإِنَّمَا كَانَ يَوْمُ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عِيدًا لِجَمِيعِ هَذِهِ الْأُمَّةِ إشَارَةً لِكَثْرَةِ الْعِتْقِ قَبْلَهُ كَمَا أَنَّ يَوْمَ النَّحْرِ هُوَ الْعِيدُ الْأَكْبَرُ لِكَثْرَةِ الْعِتْقِ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ قَبْلَهُ إذْ لَا يَوْمَ يُرَى أَكْثَرُ عِتْقًا مِنْهُ
    “Yaum fitri dari Ramadhan (ditetapkan) sebagai ied bagi semua umat ini tiada lain sebagai isyarat karena banyaknya pembebasan (dari neraka), sebagaimana hari Nahar, yang dia itu ied akbar, karena banyaknya pembebasan (dari nereka) pada hari Arafah sebelum Iedul Adha. Karena tidak ada hari yang dipandang lebih banyak pembebasan daripada hari itu (Arafah)” (Lihat, Hasyiah al-Jumal, VI:203; Hasyiah al-Bajirumi ‘alal Manhaj, IV:235)
    Keterangan di atas menunjukkan bahwa Shaum Arafah mulai syariatkan bersamaan dengan Iedul Adha, yaitu tahun ke-2 hijriah. Keduanya disyariatkan setelah syariatkannya Shaum Ramadhan dan Iedul Fitri pada tahun yang sama.
    Adapun ibadah haji (termasuk di dalamnya wukuf di Arafah) mulai disyariatkan pada tahun ke-6 hijriah sebagaimana dinyatakan oleh Jumhur ulama (lihat, Fathul Bari, III:442). Namun menurut Ibnu Qayyim disyariatkan tahun ke-9/ke-10 Hijriah. (lihat, Zaadul Ma’ad, II:101, Manarul Qari, III:64)
    Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa
    (a) Waktu tasyri’ Shaum Arafah dan Iedul Adha lebih dahulu daripada tasyri’ wukuf di Arafah.
    (b) Wukuf di Arafah bukan muqaddamah wujud shaum Arafah dan Iedul Adha.

    BalasHapus

Terima kasih atas komentar Anda