Sabtu, 31 Juli 2010

Subuh Akbar

Assalamualaikum Wr. Wb

HADIRILAH...

"SUBUH AKBAR"
......
Tema : Indonesia Bertauhid

Tempat : Masjid Fathullah UIN Ciputat

Penceramah :

- Ustad Jefri Al-Bukhari
- Ustad Soleh Mahmud
- Ustad Ahmad Shonhaji
- Ustad Amirul Senjayadin

Rundown Acara :

- Adzan Subuh & iqomah : 04.44 - 04.55 WIB
- Sholat (Imam & Doa) : 04.55 - 05.15 WIB
- Pembukaan : 05.15 - 05.25 WIB
- Sambutan Panitia : 05.25 - 05.35 WIB
- Sambutan subuh.net : 05.35 - 05.45 WIB
- Ceramah dan Doa : 05.45 - 07.45 WIB
- Penutupan : 07.45 - 08.00 WIB


Terima kasih atas perhatiannya.

Wassalam

Subuh.Net

Senin, 26 Juli 2010

Bila Isteri Menuntut Cerai, Bolehkan Suami-Isteri Bersatu Kembali?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Semoga Ustadz dan keluarga selalu dalam lindungan ALLAH swt., amin. Ustadz, saya adalah seorang laki-laki yang sudah bercerai dengan isteri saya. Sebenarnya bukan saya yang menginginkan perceraian, namun isteri sayalah yang mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Sampai sekarang saya masih sedikit shock dan belum mengerti mengapa isteri saya menuntut cerai. Sebab selama 5 tahun pernikahan, hampir tidak ada perselisihan besar di antara kami. Perselisihan kecil memang terkadang terjadi, namun intensitasnya tidak terlalu sering, dan itu pun tidak berlangsung lama. Selain itu, saya tidak pernah melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan tidak pula menelantarkannya. Namun, apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur. Palu hakim sudah diketok dan pengadilan pun menerima gugatan cerai isteri saya.
Jujur, hati kecil saya sebenarnya masih mencintainya dan saya ingin bersatu lagi dengannya. Apalagi, bila mengingat masa depan anak saya yang masih berusia 2 tahun. Namun, saya pernah dengar bahwa bila pihak wanita yang menuntut cerai (khulu’), maka sepasang suami isteri tersebut tidak boleh bersatu lagi untuk selamanya. Apakah benar seperti itu, Ustadz? Dan apakah benar seorang wanita yang menuntut cerai tanpa ada alasan yang kuat dilaknat ALLAH? Bila saya ingin kembali lagi dengannya, apa hal itu mungkin? Bila mungkin, langkah-langkah apa yang perlu saya lakukan menurut Ustadz? Mohon saran dan jawabannya. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
X-…….

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudaraku yang terhormat, saya turut prihatin atas masalah yang menimpa Anda. Dalam kasus yang Anda hadapi, ada beberapa kemungkinan faktor yang menyebabkan isteri Anda menuntut cerai. Bisa jadi karena ada sikap Anda yang tidak menyenangkan hatinya namun dia tidak mau mengungkapkannya secara terus terang, atau bisa jadi karena dia tidak mencintai Anda dan tidak mau berusaha untuk menumbuhkan dan memupuk rasa cintanya kepada Anda. Bahkan, bisa jadi karena adanya tekanan dari keluarganya atau ada laki-laki lain yang telah memikat hatinya.
Secara hukum, apa yang dilakukan isteri Anda sah-sah saja meskipun hal itu dilakukan tanpa ada alasan yang kuat seperti adanya kekerasan dalam rumah tangga, atau karena Anda telah menelantarkannya, atau alasan-alasan lain seperti yang disebutkan dalam sighat ta’lik talak, seperti yang tercantum dalam buku nikah. Bahkan, hal itu juga dibolehkan hanya karena isteri tidak bisa mencintai suami. Sebab, tujuan utama pernikahan adalah membina rumah tangga yang sakinah, penuh mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang). Dari sini, maka bila salah satu pihak (suami atau isteri) sudah merasa tidak nyaman, maka ia boleh memutuskan untuk tidak meneruskan perjalanan bahtera rumah tangganya. Bila isteri yang sudah merasa tidak nyaman, maka dia boleh melakukan khulu’, yaitu menebus dirinya dari kekuasaan suami dengan menyerahkan sejumlah harta kepadanya. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan kemudharatan yang akan menimpa wanita, baik karena sikap suaminya yang tidak baik (zhalim) maupun karena dia tidak bisa lagi tinggal bersama orang yang tidak dicintainya.
Namun perlu diingat, karena pernikahan merupakan ikatan suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga SAMARA (sakinah, mawaddah dan rahmah) yang merupakan unsur terpenting dalam pembentukan masyarakat yang baik, maka Islam agak sedikit menutup pintu ini, walaupun tidak 100% menutupnya. Artinya, Islam berusaha agar hal seperti itu tidak terjadi. Namun andaikata memang harus terjadi, maka hal itu dibolehkan. Tentunya berdasarkan pertimbangan adanya kemashlahatan (kebaikan) bagi kedua belah pihak. Karena itu, maka pembolehan khulu’ ini pun dikaitkan dengan kekhawatiran akan terjadinya pelanggaran terhadap hukum-hukum ALLAH, seperti disebutkan pada firman-Nya: “Jika kamu khawatir keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum ALLAH, maka tidak ada dosa bagi keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 229) Hal ini dimaksudkan agar wanita tidak menggunakan fasilitas khulu’ ini semaunya, tanpa ada pertimbangan kemashlahatan. Demikian pula dengan hakim, dia tidak boleh mengabulkan permohonan khulu’ begitu saja tanpa ada pertimbangan kemashlahatan dan sebelum berusaha untuk menyatukan kembali suami isteri yang akan bercerai itu.
Selain itu, meskipun secara hukum seorang wanita dibolehkan untuk melakukan khulu’ tanpa ada alasan yang kuat seperti adanya kekerasan dalam rumah tangga ataupun alasan-alasan lainnya, namun secara etika hal itu sangat tidak baik. Karena itu, Rasulullah saw. bersabda: “Setiap wanita yang menuntut thalak (cerai) kepada suaminya tanpa ada alasan yang dibenarkan agama, maka haram baginya mencium semerbak surge.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi) Dalam riwayat lain disebutkan: “Wanita-wanita yang melakukan khulu’ adalah wanita-wanita yang munafik.” (HR. Tirmidzi) Maksudnya adalah wanita yang menuntut cerai tanpa ada alasan yang kuat.
Saudaraku yang terhormat, kasus khulu’ pertama yang terjadi pada zaman Rasulullah saw. menimpa keluarga Tsabit bin Qais dan Jamilah binti Salul. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Jamilah binti Salul datang menghadap Nabi saw. dan berkata: “Demi ALLAH, aku tidak mencela Tsabit karena agama atau akhlaknya, tetapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam. Sungguh aku tidak tahan hidup bersamanya karena aku benci kepadanya.” Rasulullah pun bertanya: “Apakah kamu mau mengembalikan kebun miliknya?” Jamilah menjawab: “Ya.” Maka, Rasulullah saw. pun memerintahkan suaminya (Tsabit) untuk mengambil kembali kebun miliknya. (HR. Ibnu Majah)
Dalam kasus khulu’, perlu diingat pula bahwa suami hanya dibolehkan untuk mengambil tebusan dari isterinya bila tidak ada perbuatan nusyuz/pelanggaran yang dilakukan suami, seperti menyakiti atau menzhalimi isteri. Bila ada nusyuz, dia tidak boleh mengambil tebusan itu. Imam Malik berkata: “Aku senantiasa mendengar hadits tersebut dari para ulama, dan hal itu telah kami sepakati bersama, yaitu bila seseorang (suami) tidak menganiaya, tidak menyakiti isterinya dan tidak melakukan perbuatan buruk kepadanya, sementara sang isteri ingin berpisah darinya, maka dihalalkan bagi suami untuk mengambil tebusan dari isterinya seperti yang telah dilakukan oleh Nabi saw. terhadap isteri Tsabit bin Qais. Namun, bila suami berbuat nusyuz dengan menyakiti atau menganiaya isterinya, maka apa yang diambil suami harus dikembalikan kepada isterinya.”
Mengenai pertanyaan Anda, apakah Anda berdua boleh bersatu kembali atau tidak, perlu diketahui bahwa apa yang pernah Anda dengar itu bukan satu-satunya pendapat yang ada dalam masalah ini. Para ulama berbeda pendapat apakah khulu’ termasuk ke dalam katagori thalak ataukah fasakh (pembatalan akad)? Diriwayatkan dari Utsman, Ali, Ibnu Mas’ud dan sekelompok tabi’in, bahwa khulu’ termasuk katagori thalak. Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Abu Hanifah dan Imam Syafi’i dalam salah satu qaul (pendapat)nya.
Imam Malik berkata: “Barangsiapa yang berniat khulu’ dengan maksud menjatuhkan thalak dua atau tiga, maka konsekuensinya pun berlaku. Artinya, bila dengan khulu’ itu seorang suami berniat menjatuhkan thalak tiga, maka jatuhlah thalak tiga sehingga sang isteri tidak boleh dinikahi kembali olehnya kecuali setelah dinikahi oleh orang lain.”
Ada pula yang berpendapat bahwa khulu’ termasuk katagori fasakh (pembatalan akad nikah), dan bukan thalak kecuali dengan niat. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Thawus, Ikrimah, Ishak dan Imam Ahmad. Pendapat ini didasarkan pada sebuah riwayat dari Ibnu Abbas bahwa Ibrahim bin Sa’ad bin Abi Waqqas pernah bertanya kepadanya: “Seorang laki-laki telah menthalak isterinya dengan dua thalak, kemudian sang isteri melakukan khulu’ kepada suaminya, apakah suami boleh menikahinya kembali?” Ibnu Abbas pun menjawab: “Ya, suami boleh menikahinya, karena khulu’ tidak termasuk katagori thalak.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/405)
Ibnu Taimiyyah berkata : “Pendapat yang telah kami jelaskan, bahwasanya khulu’ merupakan fasakh yang memisahkan wanita dari suaminya. Khulu’ yang dilakukan dengan lafazh apa saja adalah shahih, sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash dan ushul. Oleh karena itu, seandainya seorang lelaki memisahkan isterinya dengan tebusan (khulu’) beberapa kali, maka ia masih boleh menikahinya, baik dengan lafazh thalak maupun selainnya.”
Berdasarkan penjelasan di atas, maka Anda perlu melihat kembali vonis yang dijatuhkan hakim pengadilan. Saya yakin, dalam hal ini hakim pengadilan akan mempertimbangkan faktor kemashlahatan Anda berdua. Andaikata hakim mengikuti pendapat yang pertama, pasti dia hanya akan memerintahkan suami untuk menceraikan isterinya dengan satu thalak (jatuh thalak 1).
Saudaraku, bila memang ternyata putusan pengadilan masih memberikan peluang bagi Anda berdua untuk bersatu kembali, sementara keinginan Anda untuk bersatu kembali dengan mantan isteri Anda begitu kuat, maka hanya satu saran yang ingin saya sampaikan kepada Anda. Memohonlah petunjuk kepada ALLAH dengan cara melakukan istikharah agar Anda tidak jatuh ke lubang yang sama atau Anda akan mengalami kegagalan untuk kedua kalinya dalam menggayuh bahtera rumah tangga. Sebab, sikap isteri Anda yang menuntut cerai tanpa ada alasan yang kuat, menunjukkan bahwa komitmennya untuk membina keluarga SAMARA kurang kuat. Namun, hal itu juga tidak bisa dipastikan 100%, karena ada kemungkinan pula dia telah bertaubat dan menyesali apa yang telah dia lakukan setelah dia berpisah dari Anda, atau setelah dia memikirkan masa depan anaknya. Karena itu, tidak ada jalan yang paling tepat kecuali dengan memohon petunjuk kepada Dzat Yang Maha Mengetahui, ALLAH swt.., agar Anda mendapatkan pilihan yang terbaik. Wallaahu A’lam….

Rabu, 14 Juli 2010

Suamiku Selingkuh Dengan Wanita Lain

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam kenal Ustadz. Saya adalah seorang wanita yang sudah menikah selama 4 tahun, tapi sampai sekarang belum dikaruniai anak. Ustadz, saya ingin bercerita tentang kehidupan rumah tangga saya. Semoga Ustadz berkenan memberikan nasehat kepada saya.
Sejak tahun pertama pernikahan, saya sudah dihadapkan pada suatu cobaan yang sangat berat. Suami saya berselingkuh dengan wanita lain. Selama 2 bulan, saya ditinggalkan oleh suami tanpa ada pesan apapun. Pada saat itu, saya memutuskan untuk bekerja. Setelah 1 bulan saya bekerja, tiba-tiba suami saya datang dan meminta saya untuk kembali. Saya pun menerima ajakan suami. Selama 6 bulan sejak itu, kami hidup rukun. Namun sayangnya, kejadian yang sama terulang kembali.
Suami saya meminta maaf lagi, dan saya pun menerima permintaan maafnya. Ustadz, kejadian seperti itu sudah 3 kali terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pernikahan kami. Tapi Alhamdulillah, sedikit demi sedikit suami saya mulai berubah. Sekarang suami saya bekerja di Jakarta. Sudah setahun lebih dia bekerja di sana. Namun, hingga sekarang dia tidak kunjung mengajak saya untuk hidup bersama-sama di Jakarta. Bila saya bertanya kenapa saya tidak boleh ikut, dia selalu menjawab bahwa waktunya belum tepat.
Sekarang saya tinggal dengan mertua. Ustadz, saya selalu diliputi rasa ketakutan dan kekhawatiran bila kejadian yang sama terulang kembali. Saya benar-benar ingin hidup bersama suami, membangun rumah tangga yang semestinya dimana didalamnya ada kami berdua. Apa yang harus saya lakukan, Ustadz? Sebelum dan sesudahnya, saya ucapkan terima kasih. Semoga Ustadz berkenan memberikan nasehatnya kepada saya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
X-….
Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Salam kenal juga, wahai Saudariku. Mudah-mudahan silaturahim kita diridhai ALLAH swt., amin ya Robbal-‘alamiin. Pada zaman sekarang ini, perselingkuhan merupakan hal yang sudah tidak aneh lagi. Banyak laki-laki dan wanita yang sudah menikah yang terlibat kasus perselingkuhan. Faktor penyebabnya pun beraneka ragam, di antaranya:
1. Ingin menghindari masalah rumah tangga atau masalah pribadi.
2. Memiliki keimanan dan ketakwaan yang rendah.
3. Gemar bermain cinta dengan yang bukan isteri/suami resmi.
4. Memiliki nafsu birahi yang tinggi dan tidak terkontrol.
5. Mempunyai sifat dan bakat playboy/playgirl sejak sebelum menikah.
6. Suami atau isteri tidak bisa membahagiakan/menyenangkan dirinya.
7. Sifat mau menang sendiri atau ego pada pasangan.
8. Rasa ingin coba-coba bagaimana rasanya selingkuh.
9. Pertengkaran dalam rumah tangga.
10. Tidak menepati janji suci/komitmen pernikahan.
11. Dorongan atau pengaruh buruk dari lingkungan sekitar yang tidak baik.
12. Pasangan resmi tidak jujur ketika belum menikah sehingga menimbulkan kekecewaan.
13. Hobi yang menjurus ke arah perselingkuhan seperti clubbing, pijat, chatting dan lain-lain. (Sumber: http://id.shvoong.com)
Secara umum, faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua:
1. Faktor internal yang meliputi sifat atau karakter dasar suami/isteri dan kondisi rumah tangga.
2. Faktor eksternal yang meliputi pengaruh lingkungan dan kebiasaan buruk.
Saudariku, dalam kasus yang Anda hadapi, nampaknya perselingkuhan yang dilakukan suami Anda lebih disebabkan karena karakter dasar suami Anda yang –menurut saya- kurang baik. Bisa jadi karena suami memiliki keimanan dan ketakwaan yang rendah, gemar bercinta dengan wanita yang bukan isterinya, atau karakter-karakter yang tidak baik lainnya seperti yang telah disebutkan di atas. Mohon maaf, saya berani mengatakan seperti itu karena saya melihat kasus perselingkuhan ini sudah muncul pada tahun pertama pernikahan. Padahal, tahun pertama pernikahan merupakan tahun yang terindah dalam perjalanan rumah tangga hampir setiap pasangan suami-isteri, sehingga kemungkinan terjadinya perselingkuhan yang disebabkan oleh faktor-faktor lain kecil sekali.
Saya yakin, ketika ada seorang suami/isteri yang melakukan perselingkuhan pada tahun pertama pernikahan, maka hal itu lebih disebabkan karena faktor karakter yang buruk. Tentunya, hal itu juga disebabkan karena dia tidak memegang komitmen pernikahan, yaitu untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, penuh mawaddah dan rahmah seperti yang disinyalir dalam firman ALLAH swt.: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Ruum [30]: 21)
Selain itu, perselingkuhan tersebut terjadi hingga tiga kali hanya dalam usia pernikahan 4 tahun. Ini menunjukkan bahwa suami Anda sudah terbiasa dengan hal itu sehingga sulit baginya untuk meninggalkan kebiasaan buruk tersebut. Apalagi, seperti yang Anda katakan, perselingkuhan itu terjadi lagi di saat rumah tangga Anda berdua sudah mulai rukun, hingga 6 bulan berjalan.
Saudariku, untuk merubah karakter buruk tersebut memang tidak mudah. Namun, hal itu bukan berarti tidak mungkin, asalkan Anda berdua mau berusaha untuk merubahnya. Apalagi seperti yang Anda katakan, saat ini sudah mulai ada perubahan pada diri suami Anda. Untuk mewujudkan hal itu, dibutuhkan kerja keras dan doa. Bila Anda benar-benar masih ingin hidup bersama dengan suami, maka tetaplah bersabar dan bantulah suami untuk berubah! Tunjukkan kepadanya bahwa Anda benar-benar mencintainya, kemudian lakukanlah hal-hal yang disukainya dan hindarilah hal-hal yang tidak disukainya. Berusahalah semampu mungkin agar Anda benar-benar menjadi “tambatan hatinya” sehingga dia tidak berpindah ke lain hati. Yakinlah bahwa perubahan tidak akan datang dengan sendirinya, tapi harus diupayakan, sesuai firman ALLAH swt.: “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka merubah diri-diri mereka." (QS. ar-Ra'du [13]: 11)
Salah satu upaya untuk merubahnya, Anda juga harus bersikap tegas. Jangan Anda terkesan sebagai wanita yang lemah yang bisa dipermainkan begitu saja oleh suami Anda. Karena kalau Anda masih seperti itu, maka Anda akan selalu dipermainkan dan kejadian serupa akan terulang kembali. Sekali-kali Anda perlu bersikap tegas kepadanya, seperti dengan memberi ancaman “Kalau terulang kembali, maka aku tidak mau bersatu lagi”. Anda tidak perlu takut, itu hanya sekedar gertakan. Mudah-mudahan suami Anda akan berfikir dua kali bila ingin mengulangi kembali kebiasaan buruknya itu.
Jangan lupa pula untuk selalu berdoa kepada ALLAH swt. agar suami diberi hidayah oleh-Nya. Ingatlah, bahwa doa merupakan senjata orang Mukmin. Yakinlah, bila kita memohon dengan kesungguhan hati kepada-Nya, maka Dia akan mengabulkan permohanan kita. Dalam kaitannya dengan alasan suami agar Anda tidak tinggal bersamanya saat ini, Anda harus husnuzh-zhon (berprasangka baik). Anggaplah bahwa apa yang dia katakan memang benar begitu adanya. Bersabarlah dan berusahalah terus untuk merubah diri suami Anda. Mudah-mudahan berhasil, amin. Wallaahu A’lam….

Senin, 05 Juli 2010

Mengqadha (Membayar) Puasa Dam Haji Tamattu’

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz, saya ada pertanyaan: Beberapa tahun yang lalu, saya berangkat haji dan mengambil haji tamattu’. Namun karena keterbatasan dana yang saya bawa, saya tidak bisa membeli seekor kambing untuk membayar dam (denda). Sayangnya lagi, saya tidak sempat melakukan puasa tiga hari di Mekkah, dan sampai saat ini saya tidak melakukan apa-apa untuk mengganti dam haji tamattu’ tersebut. Karena saya belum mendapat jawaban atas permasalahan saya itu, maka saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Bolehkah saya menyembelih hewan dam itu sekarang padahal pelaksanaan hajinya sudah saya lakukan beberapa tahun yang lalu?
2. Jika boleh, bolehkah saat ini saya menyembelih hewan dam tersebut di tanah air dan dibagikan kepada fakir miskin atau anak-anak yatim sebagai pengganti dam haji tamattu’ yang saya lakukan beberapa tahun lalu, ataukah saya harus menyembelihnya di kota Mekkah?
3. Bolehkah saya mengganti dam tersebut dengan berpuasa selama sepuluh hari berturut-turut di tanah air?
Mohon Ustadz berkenan mencarikan jawabannya karena permasalahan ini sudah lama mengganjal di hati saya. Syukran katsiran atas jawaban Ustadz.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
S-….

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudaraku yang terhormat, kasus yang Anda hadapi termasuk unik dan jarang ditemui sehingga saya pribadi agak kesulitan saat mencari tahu tentang hukumnya. Beberapa kitab sudah saya buka, namun saya tidak menemukan pembahasan khusus mengenai kasus yang Anda hadapi itu. Namun demikian, setelah berusaha memahami kasus tersebut, dan –tentunya- setelah memohon petunjuk ALLAH swt., saya memberanikan diri untuk menjawabnya. Tapi perlu diingat, apa yang saya sampaikan di sini hanyalah pendapat pribadi yang saya simpulkan dari beberapa dalil, sehingga bisa saja benar dan bisa saja salah. Karena itu, bila nanti Anda menemukan pendapat dengan dalil yang lebih kuat, saya sarankan kepada Anda untuk mengikuti pendapat tersebut. Saya juga berharap, dengan dimuatnya kasus yang Anda hadapi ini di website atau blog saya, mudah-mudahan ada di antara saudara-saudara kita yang memiliki pendapat dengan dalil yang lebih kuat mau memberikan sharing mengenai kasus tersebut.
Saudaraku, saya kira Anda sudah banyak mengetahui tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah haji, termasuk mengenai haji tamattu’. Namun tidak ada salahnya bila di sini saya mencoba untuk menjelaskan kembali tentang pengertian haji tamattu’, dengan tujuan agar saudara-saudara kita yang lain dapat mengetahuinya.
Haji tamattu’ adalah melakukan ibadah umrah dan ibadah haji secara terpisah, dengan mendahulukan ibadah umrah terlebih dahulu daripada ibadah haji. Dalam haji tamattu’ ini, setelah jama’ah selesai melaksanakan rangkaian ibadah umrah yang meliputi ihram, thawaf dan sa’i, mereka dibolehkan untuk bertahallul (mencukur rambut). Setelah itu, mereka pun boleh melepas kain ihramnya dan boleh bersenang-senang (tamattu’) karena sudah terbebas dari segala macam larangan ihram. Mereka tinggal menunggu tanggal 8 Dzulhijjah, dimana pada saat itu mereka harus berihram lagi guna melaksanakan rangkaian ibadah haji.
Karena sifatnya yang lebih ringan, haji model ini pun banyak diminati oleh jama’ah haji, termasuk yang berasal dari Indonesia. Namun perlu diingat, karena adanya unsur kemudahan (rukhshah) itulah, maka jama’ah yang memilih haji model ini diwajibkan untuk membayar dam atau denda, yaitu menyembelih seekor kambing. Bila tidak mampu, maka dapat diganti dengan berpuasa selama 10 hari; 3 hari di tanah suci dan 7 hari di tanah air. Ketentuan ini sesuai dengan firman ALLAH swt.: “Apabila kamu dalam keadaan aman, maka barangsiapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) hadyu (hewan sembelihan) yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itu seluruhnya sepuluh (hari).” (QS. Al-Baqarah [2]: 196)
Firman ALLAH di atas, disebutkan setelah firman-Nya: “Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena ALLAH….” Ini berarti bahwa kita diperintahkan untuk menyempurnakan ibadah haji dan umrah dengan melengkapi semua rukun dan wajib haji yang telah ditetapkan syariat, dengan tujuan agar ibadah haji dan umrah kita benar-benar mencapai kesempurnaan. Khusus untuk hal-hal yang tidak termasuk rukun haji, pelaksanaannya bisa diwakilkan oleh orang lain atau bisa diganti dengan hal lain yang sifatnya lebih ringan, seperti haji ifrad bisa diganti dengan haji tamattu’, sebagai keringanan (rukhshah) dari ALLAH swt.. Namun, jama’ah haji yang melakukan hal itu, diwajibkan untuk membayar dam atau denda. Jadi, pembayaran dam yang Anda tanyakan di atas sama sekali tidak termasuk rukun yang mempengaruhi sah atau tidaknya ibadah haji. Pembayaran dam tersebut diwajibkan guna menyempurnakan ibadah haji.
Saudaraku, karena Anda telah memutuskan untuk mengambil haji tamattu’ sebagai pengganti haji ifrad, maka Anda dikenai kewajiban membayar dam, yaitu menyembelih kambing. Namun seperti yang Anda katakan, pada saat itu Anda tidak sempat untuk berpuasa, sehingga Anda sama sekali belum dianggap membayar dam yang sudah menjadi kewajiban bagi Anda. Dalam kasus Anda, menurut saya pembahasan yang paling tepat adalah mengqadha puasa sebagai pengganti dam haji tamattu’ dan bukan mengqadha pelaksanaan dam tamattu’. Dengan demikian, maka Anda tidak perlu menyembelih hewan dam seperti yang Anda tanyakan pada poin no. 1 dan no. 2. Karena itu, Anda hanya dikenai kewajiban untuk mengqadha puasa sebagai pengganti dam haji tamattu’. Bila kewajiban itu belum dilakukan, maka ia akan menjadi hutang bagi Anda sampai kapanpun, yaitu hutang Anda kepada ALLAH swt.. Karenanya, mayoritas ulama berpendapat bahwa barangsiapa meninggal dalam keadaan masih memiliki tanggungan puasa kafarah, seperti puasa untuk kafarah zhihar atau puasa wajib sebagai dam haji tamattu’, maka ahli warisnya harus memberi makanan atas nama orang yang meninggal tersebut, setiap hari satu orang miskin dan tidak perlu diqadha puasanya.
Namun karena Anda masih hidup, maka Anda masih dikenai kewajiban untuk mengqadha puasa tujuh hari yang wajib dilakukan di negara asal, tidak boleh diganti dengan memberi makan orang miskin selama Anda masih mampu untuk melaksanakannya. Sedangkan puasa tiga hari yang wajib dilakukan di musim haji harus diganti dengan memberi makan orang miskin. Sebab di samping tempat pelaksanaannya berbeda, waktu pelaksanaannya juga sudah lewat.
Saudaraku, dalam kasus pembayaran kafarah ini, faktor penyesalan (taubat) dan kesungguhanlah yang sangat menentukan. Bila Anda sungguh-sungguh untuk membayar kafarah tersebut sesuai dengan pendapat yang saya sampaikan di atas, atau mungkin pendapat lain yang lebih kuat, maka yakinlah bahwa ALLAH swt. akan menerimanya. Ingatlah, bahwa ALLAH tidak membebani seseorang kecuali sesuai kesanggupannya (Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 286). Hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap orang yang dikenai kewajiban membayar kafarah karena melakukan hubungan badan dengan isterinya di siang hari di bulan Ramadhan, dimana pada saat itu orang tersebut tidak mampu membebaskan seorang budak ataupun puasa (dua bulan berturut-turut) dan juga tidak mampu memberi makan (enam puluh orang miskin), maka gugurlah kewajibannya membayar kafarah, karena tidak ada beban syari’at kecuali kalau ada kemampuan. Berdasarkan hal itu, maka Rasulullah saw. pun menggugurkan kewajiban membayar kafarah bagi orang tersebut. Beliau malah memberinya satu wadah korma untuk diberikan kepada keluarganya. Wallaahu A’lam….
NB: Bagi yang ingin sharing pendapat dengan dalil yang lebih kuat seputar kasus ini, silahkan tulis komentar di bagian bawah artikel ini, atau kirim email ke abunabilazahra@yahoo.com, atau kirim pesan ke inbox facebook saya (Fatkhurozi Chafas). Insya ALLAH komentar yang disertai dengan dalil-dalil yang mendukungnya akan diterbitkan di bawah artikel ini. Terima kasih....