Tampilkan postingan dengan label Keluarga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Keluarga. Tampilkan semua postingan

Rabu, 06 Januari 2010

Kebohongan Yang Dibolehkan

Diriwayatkan bahwa pada masa pemerintahan Umar bin Khathab ra., Ibnu Abi ‘Udzrah Ad-Du`ali menceraikan isteri-isteri yang telah dinikahinya. Ketika hal itu diketahui oleh masyarakat, dia pun segera menarik tangan Abdullah bin Arqam (dan mengajaknya pergi) hingga sampai di rumahnya. Kemudian dia berkata kepada isterinya: “Aku menyumpahmu dengan nama Allah (untuk menjawab pertanyaanku), apakah kamu membenciku?” Sang isteri berkata: “Jangan engkau menyumpahku dengan nama Allah!” Ibnu Abi ‘Udzrah berkata: “Sungguh aku menyumpahmu dengan nama Allah!” Sang isteri berkata: “Ya, aku membencimu!”

Mendengar itu, Ibnu Abi ‘Udzrah pun berkata kepada Abdullah bin Arqam: “Apakah kamu mendengarnya?” Mereka berdua pun pergi hingga akhirnya mereka sampai di tempat Umar bin Khathab ra.. Ibnu Abi ‘Udzrah berkata (kepada Umar): “Sesungguhnya kalian mengatakan bahwa aku telah menzhalimi isteri-isteriku dan menceraikan mereka. Tanyalah kepada Ibnu Arqam!” Umar bertanya kepada Ibnu Arqam, dan Ibnu Arqam pun memberitahukan kepada Umar (apa yang telah dilihatnya). Umar menyuruh seseorang untuk memanggil isteri Ibnu Abi ‘Udzrah. Wanita itu pun datang bersama pamannya.

Umar bertanya: “Apakah engkau yang mengatakan kepada suamimu bahwa engkau membencinya?” Wanita itu menjawab: “Sesungguhnya aku adalah orang yang pertama kali bertaubat dan kembali kepada agama Allah. Sungguh dia telah menyumpahku (untuk berkata terus terang), maka aku pun merasa berat untuk berbohong. Apakah aku boleh berdusta dalam hal ini, wahai Amirul Mukminin?” Umar menjawab: “Ya, silahkan berbohong! Jika salah seorang di antara kalian (kaum wanita) tidak menyukai salah seorang di antara kami (kaum laki-laki), maka janganlah dia mengatakannya secara terus terang, karena sesungguhnya sedikit sekali rumah tangga yang dibangun di atas dasar cinta. Orang-orang (kaum Muslimin) lebih sering bergaul (bermuamalah) dengan dasar Islam dan garis keturunan.” (Footnote: Syarh As-Sunnah, 13/120.)

Berbohong dibolehkan dalam kondisi seperti ini. Diriwayatkan dari Ummu Kultsum bin Uqbah, bahwa dia pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Yang dimaksud pendusta bukanlah orang yang berbohong dengan niat untuk mendamaikan sesama manusia, lalu dia menebarkan kebaikan atau mengucapkan perkataan yang baik.”

Ummu Kultsum berkata: “Aku tidak pernah mendengar Rasulullah saw. memberikan keringanan berkaitan dengan apa yang dikatakan oleh orang-orang (maksudnya perkataan dusta) kecuali dalam tiga hal, yaitu: peperangan, upaya untuk mendamaikan manusia, serta perkataan seorang laki-laki kepada isterinya dan perkataan seorang wanita kepada suaminya.” (Footnote: Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Ash-Shulh dan Muslim dalam kitab Al-Birr.)

Rabu, 16 Desember 2009

Suami Yang Pemurah Adalah Lebih Baik

Seorang wanita disunahkan dan dianjurkan untuk memilih suami yang pemurah dan sebisa mungkin menghindari suami yang bakhil, kikir dan sangat perhitungan. Diriwayatkan bahwa Mughirah bin Syu’bah ra. dan seorang pemuda Arab pernah melamar wanita yang sama. Pemuda itu adalah pemuda yang berparas tampan. Wanita yang dilamar itu pun mengirim surat kepada kedua laki-laki tersebut. Dia berkata: “Sesungguhnya kalian berdua telah melamarku, dan aku tidak akan memberikan jawaban kepada salah seorangpun di antara kalian berdua sebelum aku melihatnya dan mendengar perkataannya. Jika kalian mau, maka datanglah!”

Ketika Mughirah melihat pemuda pesaingnya itu, lalu dia mengetahui ketampanannya, penampilannya, serta usianya yang masih muda, dia pun merasa putus asa. Dia menyangka bahwa wanita itu tidak mungkin lebih memilih dirinya daripada pemuda tersebut. Karena itu, dia menghadap ke arah pemuda itu. Sungguh dia telah memikirkan (menemukan) jalan keluar. Dia pun bertanya kepada pemuda itu: “Sungguh engkau telah dikaruniai ketampanan, kegantengan dan kegagahan, tapi adakah hal lain yang engkau miliki?”

Pemuda itu menjawab: “Ya.” Lalu dia menyebutkan sejumlah kebaikan (kelebihan) yang dimilikinya, setelah itu dia pun diam. Mughirah ra. bertanya lagi kepadanya: “Bagaimana soal perhitunganmu (dalam masalah keuangan)?” Pemuda itu menjawab: “Tidak ada boleh sesuatupun yang jatuh (luput) dari pengawasanku. Bahkan, aku akan menghitung sesuatu yang lebih kecil daripada biji sawi!”

Mughirah berkata kepadanya: “Kalau aku, aku selalu meletakkan badrah (Footnote: Badrah adalah harta dalam jumlah yang cukup banyak. Ada pula yang berpendapat bahwa badrah adalah uang 10 ribu dirham.) di salah satu sudut rumah. Keluargaku bebas untuk membelanjakannya sesuka mereka. Aku sendiri tidak tahu bila badrah itu sudah habis kecuali bila mereka meminta kepadaku badrah yang lain.”

Mendengar itu, wanita tersebut berkata dalam hatinya: “Demi Allah, orang tua yang tidak terlalu perhitungan terhadapku lebih aku sukai daripada pemuda yang sangat perhitungan terhadapku, bahkan dalam masalah sekecil biji sawi.” Akhirnya, wanita itu pun menikah dengan Mughirah bin Syu’bah ra.. (Footnote: Tuhfah Al-‘Aruus, hal. 284, yang dikutip dari kitab Al-Adzkiyaa`, karya Ibnu Al-Jauzi.)

Rabu, 25 November 2009

Akhlak Adalah Dasar (Standar Utama) Untuk Memilih Suami

Dikisahkan bahwa ada seorang wanita badui yang dilamar oleh seorang pemuda. Dia sangat kagum terhadap ketampanan pemuda tersebut. Karena itu, dia pun tidak peduli lagi terhadap akhlak dan perilaku pemuda tersebut. Ketika ayahnya menasehatinya dengan mengatakan bahwa pemuda itu bukanlah orang yang shaleh (baik), dia pun tidak senang dengan nasehat itu. Bahkan, dia memastikan bahwa dirinya tidak mau menerima dan menolak nasehat ayahnya itu. Akhirnya, dia menikah dengan pemuda tersebut.

Sebulan setelah pernikahannya, sang ayah berkunjung ke rumahnya. Ketika itu, sang ayah melihat pada tubuh wanita itu terdapat tanda-tanda bekas pukulan yang dilakukan oleh suaminya. Sang ayah pura-pura tidak tahu, lalu dia bertanya kepadanya: “Bagaimana kabarmu, wahai puteriku?” Sang anak pun pura-pura memperlihatkan perasaan senang (bahagia). Tetapi kemudian sang ayah bertanya kepadanya: “Lalu tanda-tanda bekas pukulan apa yang ada di tubuhmu itu?” Mendengar itu, sang anak langsung menangis dan meratap dalam waktu yang cukup lama, kemudian dia berkata: “Wahai ayahku, apa yang harus aku katakan kepadamu? Sungguh aku tidak mematuhi perkataanmu dan aku telah memilih dia (suamiku) tanpa memperhatikan akhlak dan sikap baiknya terlebih dahulu.” (Footnote: Tuhfah Al-‘Aruus, hal. 77.)

Rabu, 11 November 2009

Keluhan Seorang Wanita

Seorang wanita pernah menghadap Umar ra. dan berkata: “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya suamiku selalu berpuasa pada waktu siang dan melakukan qiyamul-lail di malam harinya. Sungguh aku tidak suka dan mengadukan kepadamu sikapnya itu. Dia menghabiskan waktunya untuk melakukan ketaatan kepada Allah.” Umar berkata kepada wanita itu: “Sungguh suamimu adalah suami yang terbaik!” Wanita itu pun mengulangi lagi perkataannya, tetapi Umar tetap memberikan jawaban yang sama.

Mendengar itu, Ka’ab bin Suwar Al-Asadi berkata kepada Umar: “Wahai Amirul Mukminin, wanita ini mengadukan kepadamu sikap suaminya yang tidak pernah menggaulinya.” Umar bin Khathab ra. pun berkata kepada Ka’ab: “Seperti yang telah engkau fahami dari perkataannya, maka putuskanlah perkara mereka berdua itu!”

Ka’ab berkata: “Aku harus memanggil suaminya terlebih dahulu.” Suami wanita itu pun didatangkan kepada Ka’ab, lalu Ka’ab berkata kepadanya: “Sesungguhnya isterimu ini mengeluhkan sikapmu!” Suami wanita itu berkata: “Apakah ada kaitannya dengan makanan (yang dia makan) atau minuman (yang dia minum)?” Ka’ab menjawab: “Tidak ada kaitannya dengan kedua-duanya?”

Kemudian wanita itu berkata:

“Wahai Sang Hakim yang keputusannya sungguh bijaksana,

Sungguh urusan masjid (maksudnya, ibadah) suamiku ini telah melupakannya dari kasurku (menggauliku).

Ibadahnya (kepada Allah) telah menyebabkannya tidak suka untuk menggauliku,

Siang dan malam dia tidak pernah tidur.

Aku sama sekali tidak memuji (tidak senang kepada) sikapnya itu,

Maka, berilah keputusan (di antara kami), wahai Ka’ab! Dan janganlah engkau menyuruhnya pulang (sebelum ada keputusan)!”

Sang suami berkata:

“Yang membuatku tidak suka kepada kasurnya (menggaulinya) dan kamar mempelai,

Adalah karena pikiranku dibuat kacau (tidak tenang) oleh apa yang diturunkan (Allah),

Dalam surah An-Nahl dan dalam As-Sab’i Ath-Thiwaal (tujuh surah panjang),

Dan sungguh dalam Kitabullah banyak sekali terdapat peringatan yang keras.”

Ka’ab berkata kepada laki-laki itu:

“Sesungguhnya dia memiliki hak yang harus kamu penuhi, wahai laki-laki,

Bagiannya adalah seperempat dari waktumu, bagi orang yang mengerti.

Maka, berikanlah kepadanya (bagiannya itu) dan tinggalkanlah perasaan cemasmu itu!”

Kemudian Ka’ab berkata: “Sesungguhnya Allah telah menghalalkan untukmu (untuk menikahi) wanita-wanita lain dua, tiga, atau empat. (Karena kamu hanya menikah dengan satu wanita saja, maka jatah untuk ketiga wanita itu) yaitu 3 hari 3 malam dapat kamu gunakan untuk beribadah kepada Tuhanmu, sementara yang satu hari satu malam untuk isterimu.”

Mendengar penjelasan Ka’ab tersebut, Umar ra. berkata kepadanya: “Demi Allah, aku tidak tahu, mana di antara dua hal berikut ini yang aku kagumi? Apakah aku kagum terhadap pemahamanmu tentang masalah kedua orang itu ataukah terhadap keputusan yang engkau berikan? Sekarang pergilah (ke Bashrah) karena sesungguhnya aku telah mengangkatmu sebagai qadhi (hakim) di sana!” (Dikutip dari buku Al-Ahkaam As-Sulthaaniyyah, karya Al-Mawardi.)

Kamis, 05 November 2009

Mengapa Laki-Laki Bisa Berpoligami Sedangkan Wanita Tidak?

(Tulisan ini dikutip dari buku berjudul “Zaujaat An-Nabiy” (Isteri-isteri Nabi) karya Prof. Dr. Jasim Muhammad Al-Muthawwa’.)

Seorang wanita pernah menghadang langkahku, kemudian dia berkata kepadaku, “Mengapa laki-laki bisa menikah dengan banyak wanita sedangkan wanita tidak dapat menikah dengan banyak laki-laki?” Saya berkata kepadanya, “Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa wanita tidak dapat menikah dengan banyak laki-laki?” Dia sangat terkejut dengan pertanyaanku itu, dan saya dapat merasakan bahwa dia sangat shock. Tetapi kemudian, dia dapat mengendalikan dirinya, lalu dia berkata, “Dari perkataanmu itu, aku dapat memahami bahwa aku dapat menikah dengan banyak laki-laki?”

Saya menjawab, “Ya.”

Dia berkata, “Sungguh, tidak ada seorangpun sebelummu yang pernah mengucapkan perkataan seperti ini!”

Saya berkata, “Perkataanmu itu tidak benar, bahkan para ahli fikih telah mengatakan hal itu.”

Dia berkata, “Apakah kamu masih tetap pada pendapatmu itu?”

Saya menjawab, “Ya.”

Dia berkata lagi, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”

Saya menjawab, “Dalam syariat Islam, jika hati seorang wanita telah terpikat kepada laki-laki lain, kemudian dia ingin menikah dengannya, maka dia berhak meminta kepada suaminya untuk menceraikannya, atau dia dapat mengadukan masalah itu ke pengadilan sehingga pengadilan-lah yang akan memisahkan mereka berdua dengan cara-cara perceraian yang telah diatur oleh syariat Islam.”

Dia berkata, “Apakah perkataanmu itu benar?”

Saya menjawab, “Ya.”

Dia berkata lagi, “Akan tetapi, saya ingin menikah dengan beberapa orang laki-laki dalam waktu yang bersamaan.”

Saya berkata, “Jika kamu hamil, kemudian kamu melahirkan seorang anak, maka tahukah kamu dari suami yang manakah anakmu itu?”

Wanita itu terdiam sejenak, kemudian dia berkata, “Demi Allah, perkataanmu itu benar.”

Saya berkata lagi kepadanya, “Hal itu adalah disebabkan karena tiang garis keturunan itu adalah milik laki-laki. Seandainya syariat Islam membolehkan seorang wanita untuk berpoliandri, niscaya dalam masyarakat kita, akan terjadi kekacauan dalam menentukan garis keturunan.”

Dia berkata, “Jika demikian, maka berarti kita membolehkan wanita-wanita yang telah mencapai usia menopouse (tidak dapat melahirkan lagi) atau wanita-wanita yang telah melakukan operasi pengikatan leher rahimnya untuk berpoliandri!”

Saya berkata, “Perkataanmu memang benar, akan tetapi bagaimana kita dapat menerapkan sistem qawâmah (kepemimpinan laki-laki atas wanita) jika seorang wanita memiliki dua atau tiga suami?”

Dia berkata, “Wahai Abu Muhammad, sungguh setiap kali aku membuka satu pintu masalah, maka kamu pun akan menutupnya!”

Saya berkata, “Wahai Saudariku yang terhormat, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah adalah Maha Adil, dan Dia tidak pernah menzhalimi manusia dengan sesuatu apapun. Ketika Dia mensyariatkan (menetapkan) satu agama untuk kita, maka dalam pensyariatan-Nya itu terdapat keadilan yang bersifat absolut, meski dalam masalah poligami sekalipun. Meskipun demikian, Allah telah memberikan sejumlah cara kepada wanita dalam menyikapi aturan tentang poligami ini, di antaranya adalah:

1- Dalam Islam, sebuah pernikahan tidak dapat dilakukan dengan menggunakan paksaan. Oleh karena itu, bagi seorang wanita yang tidak mau dimadu, dia dibolehkan untuk menolak poligami yang dilakukan oleh suaminya itu yaitu dengan cara menuntut cerai. Dia berhak melakukan hal itu, karena Islam tidak pernah memaksanya agar mau dimadu.

2- Bagi wanita yang merasa khawatir jika suaminya akan berpoligami, maka Islam telah memberikan kepadanya hak untuk mengajukan syarat agar dia tidak dimadu ketika hendak melakukan akad nikah.

3- Ketika telah terjadi hubungan percintaan yang diharamkan antara seorang wanita dengan laki-laki lain selain suaminya, maka dia dibolehkan untuk menuntut cerai meskipun suaminya menolak. Dalam pengadilan agama, wanita itu akan mendapat dukungan untuk bercerai (Hal ini adalah seperti telah dijelaskan di atas).

4- Selain itu, disyariatkannya poligami adalah karena adanya kebutuhan masyarakat ataupun individu terhadapnya. Ketahuilah bahwa ada aturan-aturan dan syarat-syarat tertentu dalam poligami. Jadi, pintu poligami tidaklah terbuka lebar bagi orang-orang yang ingin memanfaatkan ‘fasilitas’ poligami tersebut. Barangsiapa yang ingin menikah lagi dengan isteri kedua, maka dia diwajibkan untuk bertindak adil, lalu dia juga diharuskan untuk memberi nafkah, memberikan jaminan tempat tinggal, serta memenuhi hak-hak lainnya yang telah ditentukan oleh syariat.”

Wanita itu berkata lagi, “Demi Allah, perkataanmu sangatlah indah. Akan tetapi, apa dosa isteri pertama ketika suaminya menikah lagi dengan isteri kedua? Mengapa Islam tidak memperhatikan perasaannya?”

Saya pun balik bertanya, “Apa dosa isteri kedua ketika dia tidak dinikahi oleh laki-laki tersebut? Bukankah termasuk hal yang indah jika Islam juga memperhatikan kebutuhan dan perasaan wanita tersebut? Apakah kamu tidak ingat tentang realitas yang terjadi di masyarakat Barat dimana di dalamnya terdapat kekacauan dan kebiasaan berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan sejumlah aturan dan syarat-syarat tertentu serta tidak memperhatikan hak-hak tertentu, sehingga prosentase anak yang dilahirkan di luar pernikahan di sebagian negara Barat pun mencapai 60%. Bahkan setiap hari, jumlah penderita AIDS akibat pergaulan bebas yang baru masuk ke dalam panti rehabilitasi penderita AIDS mencapai 7500 orang.”

Wanita itu berkata, “Akan tetapi, aku sama sekali tidak mengatakan bahwa sistem kehidupan masyarakat Barat merupakan sistem yang benar.”

Saya berkata, “Sesungguhnya kamu telah mengkritik aturan poligami dalam Islam, dan sungguh aku telah menjelaskan kepadamu tentang aturan tersebut dan tentang sistem sosial kemasyarakatan di Barat. Inilah dua pandangan yang berasal dari dua peradaban yang berbeda. Jika kamu memiliki pandangan lain tentang solusi bagi sejumlah problematika sosial, maka kemukakanlah sehingga kita dapat mendiskusikannya. Kemudian kita dapat melihat apakah proyek yang kamu kemukakan itu adalah lebih baik daripada proyek Islam dan Barat itu? Ketahuilah bahwa di antara aturan yang harus diperhatikan dalam menyampaikan sebuah kritikan adalah bahwa orang yang menyampaikan kritikan itu harus memberikan alternatif solusi lain.”

Dia berkata, “Aku tidak memiliki satu solusi atau satu alternatif pun. Aku hanyalah seorang kritikus saja.”

Saya berkata, “Jadi, bagaimana pendapatmu tentang angka-angka berikut ini? Di Amerika, perbandingan antara laki-laki dengan perempuan adalah 1:4, demikian pula di Swedia dan Rusia. Sedangkan di Afrika dan negara-negara Khalij, perbandingannya adalah 1:3; di China 1:10; dan di Jepang 1:6. Lalu, bagaimana pendapatmu tentang hal tersebut?”

Kemudian saya berkata, “Pasca perang dunia ke-2, Jerman telah meminta kepada pihak al-Azhar di Mesir untuk menjelaskan tentang aturan poligami sehingga aturan itu dapat diterapkan di sana. Akan tetapi, pihak Vatikan berusaha untuk menghalangi proyek ini. Lalu, apa pendapatmu tentang hal itu?”

Wanita itu menjawab, “Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan kepadamu. Akan tetapi, aku dapat mengatakan kepadamu bahwa aturan poligami dalam Islam merupakan aturan yang bagus dan benar-benar adil. Meskipun demikian, aku tidak rela jika aturan itu diterapkan pada diriku.”

Saya berkata, “Inilah yang seharusnya kamu katakan di awal pertemuan kita, sehingga kamu tidak akan menghukumi aturan poligami itu hanya berdasarkan hawa nafsu dan keingananmu saja. Aku ingin menambahkan penjelasan kepadamu bahwa perasaan yang ada dalam dirimu itu telah diperhatikan oleh Islam, dan sebagaimana telah kami sebutkan tadi, Islam telah memberikan kebebasan kepadamu untuk menentukan pilihan.”

Jumat, 16 Oktober 2009

Wanita Terbaik

Rasulullah saw. bersabda:

خَيْرُ النِّسَاءِ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلاَ تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَلاَ مَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

“Sebaik-baik wanita (isteri) adalah yang menyenangkan suaminya jika sang suami memandangnya, menaatinya jika sang suami memberikan perintah, dan tidak menyalahi kebaikan suaminya baik dalam urusan dirinya maupun hartanya, yang dengan melakukan hal-hal yang tidak disukai suaminya.” (HR. Nasa`i dan Ahmad)
Hadits di atas menjelaskan bahwa wanita muslimah yang terbaik adalah wanita yang mampu memikat hati suaminya, baik dengan cara menjaga diri dan rumah tangganya ataupun dengan menaati perintah-perintahnya. Ia adalah wanita yang selalu memperbarui hidupnya agar hati suami terus bergantung kepadanya. Ia adalah wanita yang mampu menjadi seorang ratu kecantikan yang memakai mahkota di kepalanya saat berada di hadapan sang suami.

Hal itu dapat diwujudkan dengan cara menghiasi dan mempercantik dirinya, selalu mengganti baju yang dipakainya atau merubah tata letak perabotan rumah tangganya, agar ketika sang suami pulang, dia akan mendapati hal-hal baru di dalam rumahnya. Akan lebih baik bila pada suatu hari seorang isteri memberikan kepada suaminya setangkai bunga yang indah, lalu di hari selanjutnya ia memberikan kepada suaminya sebuah baju baru, kemudian di hari ketiga ia memasakkan makanan kegemaran suami, lalu di hari keempat ia menyambut kedatangan suaminya dengan sambutan yang lain dari biasanya atau dengan memberikan kejutan-kejutan yang lain. Dengan cara seperti itu, maka setiap hari sang suami akan merasakan adanya hal-hal baru dalam hidupnya. Pada akhirnya, sang suami pun akan semakin mencintai isterinya dan tidak berpaling kepada wanita-wanita jalanan. Hal itu disebabkan karena ia merasa bahwa di rumahnya masih ada sosok wanita yang lebih bersih, suci, bertakwa, cantik, lembut dan baik hati daripada wanita-wanita lain.

Sayangnya pada masa sekarang ini, banyak wanita yang tidak memperhatikan hal tersebut. Buktinya, banyak wanita yang lebih senang berdandan saat akan keluar rumah, baik untuk berbelanja ataupun untuk keperluan-keperluan lainnya. Bahkan tidak jarang yang berdandan secara berlebihan hingga terkesan menor atau seksi. Sementara saat berada di rumah atau saat berada di hadapan sang suami, mereka tidak mau berdandan. Alhasil, yang menikmati kecantikan wajahnya, keindahan dirinya dan bau wangi parfumnya justru orang lain, bukan suaminya sendiri. Suaminya hanya kebagian bau bawang atau bau jengkol yang dimakannya….Wallaahu A’lam….

Minggu, 11 Oktober 2009

Mengajari Anak Shalat

Pembicaraan mengenai perintah shalat merupakan pembicaraan tentang salah satu aspek spiritual terpenting dalam kehidupan sang anak. Sebab membiasakan anak untuk mengerjakan shalat dalam masa kanak-kanak ini akan memberikan sejumlah hal besar yang bermanfaat baginya.

Hal pertama dan yang terpenting adalah menjelaskan tentang hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya secara praktis.

Kedua adalah mengajarkan kepada si anak untuk bersuci [thaharah] dan membersihkan diri pada saat akal mereka masih jernih dan perangai mereka masih steril, yaitu dengan cara mengajarkan kepadanya untuk membasuh anggota-anggota badannya yang mudah terkena kotoran dan faktor-faktor lingkungan lainnya seraya memanjatkan dzikir dan doa. Dengan demikian, maka sang anak pun akan terbiasa untuk melakukan sesuatu yang dapat menerangi hati dan melapangkan dadanya, sehingga sejak kecil ia pun menjadi orang yang bersinar baik lahir maupun batinnya.

Ketiga adalah mendidik anak untuk belajar disiplin dalam memelihara waktu dan menjaga berbagai aturan yang terkait dengan waktu, dengan cara-cara yang tidak mungkin baginya untuk melakukan kesalahan atau kekeliruan. Maksud dari semua itu adalah agar anak dapat mengetahui bahwa waktu merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan seorang muslim yang berjalan seiring dengan pergantian malam dan siang, dan bahwa dia merupakan bagian dari waktu yang ada.

Lebih jauh, hal itu juga dimaksudkan agar si anak dapat mengetahui bahwa Allah telah menentukan aturan-aturan waktu yang bertujuan agar ia mau berusaha untuk memanfaatkannya dengan baik, dengan metode dan cara-cara yang baik.

Karena begitu pentingnya shalat, dan agar sang anak lebih terdorong untuk selalu melaksanakannya, maka Rasulullah saw pun bersabda,

“Perintahlah anak-anakmu untuk (mengerjakan) shalat ketika mereka (berusia) tujuh tahun, dan pukullah mereka jika mereka meninggalkan shalat, padahal mereka sudah (berusia) sepuluh tahun. Lalu, pisahkanlah tempat tidur mereka (antara laki-laki dan perempuan).” (HR al-Hakim dan Abu Dawud )

Mengapa mereka sudah diperintah untuk shalat padahal mereka masih berusia tujuh tahun? Jawabannya adalah agar mereka terbiasa untuk melakukan shalat. Perintah tersebut dimaksudkan agar mereka selalu mengerjakan shalat selama tiga tahun, yaitu dari usia tujuh sampai sepuluh tahun. Tidak diragukan lagi bahwa waktu tiga tahun merupakan waktu yang cukup untuk membiasakan diri seseorang dalam mengerjakan shalat, apalagi jika pelajaran-pelajaran tentang shalat itu dapat diterimanya dengan baik, baik melalui perkataan maupun perbuatan.

Kemudian Rasulullah saw juga telah mengisyaratkan tentang pentingnya hukuman pukulan bagi seorang anak dengan maksud agar ia tidak meninggalkan shalat. Akan tetapi sebagimana telah disinggung oleh para ulama, pukulan ini harus dilakukan dengan tangan dan bukan dengan kayu, pukulan tersebut tidak boleh menyakitkan, dan tidak boleh dilakukan pada anggota-anggota tubuh yang dapat membuat si anak menjadi mati seperti wajah, kepala, tengkuk dan dada.

Selain itu, pukulan tersebut tidak boleh lebih dari tiga kali, dan tidak boleh dilakukan kecuali bertujuan untuk mendidik atau untuk menegakkan hukum-hukum Islam. Oleh karena itu pukulan tersebut tidak boleh dilakukan atas dasar dendam atau karena kebencian orang tua kepada anaknya. Sebab, pukulan tersebut akan dimintai pertanggung-jawabannya pada hari kiamat nanti.

Dalam kitabnya, Ibn ‘Abidin menjelaskan:

“Seorang anak boleh dipukul supaya dia mau melaksanakan shalat ketika dia telah genap berusia sepuluh tahun. Namun pukulan itu harus dilakukan dengan tangan dan bukan dengan kayu, dan pukulan itu pun tidak boleh lebih dari tiga kali.”

Ibn ‘Abidin menambahkan, “Zhahir perkataan tersebut menunjukkan bahwa dalam masalah lain selain shalat, seorang anak juga tidak boleh dipukul dengan tongkat.”

Ketika menjelaskan hadits Nabi saw yang berbunyi, “perintahkanlah anak-anak kalian untuk (mengerjakan) shalat ketika mereka (berusia) tujuh (tahun)”, penulis kitab ad-Dur al-Mukhtâr menjelaskan, “Menurut pendapat yang benar dalam masalah ini, ibadah puasa tidaklah berbeda dengan ibadah shalat”.

Ibn ‘Abidin berkata, “Maksud dari kedua riwayat tersebut adalah bahwa seorang anak harus diperintahkan untuk melaksanakan semua hal yang telah diperintahkan Allah dan menghindari semua yang dilarang-Nya.”

Ibn Abidin menjelaskan, “Dalam pembahasan tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan anak kecil telah dijelaskan bahwa seorang anak kecil telah diperintahkan untuk mandi dan mengulangi shalat yang dilakukan tanpa berwudhu. Namun ia tidak diperintahkan untuk mengulangi puasa, karena hal itu akan memberatkannya.”

Rabu, 07 Oktober 2009

14 Kiat Mendidik Anak Secara Islami

1. Buatlah sebuah perpustakaan Islam di dalam rumah yang berisikan buku-buku dan kisah-kisah yang Islami.

2. Memberikah perhatian mengenai kondisi rumah tangga dengan cermat dan berusaha mengenal teman-teman anak Anda.

3. Hendaknya Anda selalu membiasakan adanya musyawarah keluarga bersama anak-anak menyangkut persoalan yang berkaitan dengan anak. Anda boleh menyerahkan keuangan rumah kepada anak-anak Anda agar mereka melatih diri mengenai cara mengatur keuangan rumah tangga, sehingga akan membantu mereka setelah berumah tangga kelak. Sikap seperti itu terkadang dapat membuat anak berusaha untuk tidak mementingkan permintaan-permintaannya dan lebih memilih untuk mendahulukan kepentingan (kebutuhan) saudara laki-laki atau saudara perempuannya, atau bahkan sikapnya itu dilakukannya agar kehidupan keluarga tampak lebih baik.

4. Tanyakanlah kepada anak-anak Anda tentang keadaan sekolah dan para guru mereka. Jika terdapat cara berpikir mereka yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam maka berusahalah untuk memberikan pemahaman yang benar kepada mereka.

5. Jika salah seorang anak Anda meminta uang untuk memberi buku atau pakaian, maka Anda harus menanyakan kepadanya tentang sejauh mana kebutuhannya itu. Peringatkanlah mereka untuk menghindari sikap taklid buta, bid’ah, dan perbuatan-perbuatan munkar.

6. Biasakanlah anak-anak Anda untuk pergi ke pasar, dan ajarilah mereka cara memilih barang dan cara melakukan tawar menawar harga dengan para penjual. Kemudian, beritahukan pula kecurangan yang terkadang dilakukan oleh para pedagang menyangkut barang dagangan mereka atau menyangkut harga barang tersebut.

7. Belikanlah celengan untuk anak Anda yang masih kecil agar dia terbiasa menabung. Jika tidak dibiasakan sejak dini maka dia akan menemukan kesulitan nantinya untuk membiasakan dirinya dalam menabung ketika besar nanti.

8. Hendaknya Anda memberikan pengawasan kepada Anak Anda secara lembut, tidak dengan menakut-nakutinya. Jangan membuat anak-anak Anda kehilangan rasa percaya diri mereka. Berhati-hatilah dari sikap yang dapat mempersempit ruang nafas (gerak) anak dan bersikap terlalu mendetail dalam segala urusan anak, sehingga dapat berakibat negatif. Rumah tangga bukanlah sebuah perusahaan, dan seorang ayah juga bukan sosok malaikat yang diberikan tugas untuk mencatat segala keburukan anak. Selain itu, hendaknya Anda juga berhati-hati terhadap sikap menyepelekan pengawasan anak-anak dan sikap tidak memberikan pengawasan terhadap mereka. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah akan menanyakan kepada setiap pemimpin tentang apa yang dipimpinnya, apakah dia menjaga ataukah menyia-nyiakannya. Sampai-sampai seorang laki-laki pun akan ditanyakan tentang (kepemimpinannya) atas keluarganya.”

9. Berikanlah ciuman kepada anak-anak Anda. Sikap seperti itu tidak membuat wibawa Anda menjadi hilang. Rasulullah sendiri mencium Hasan bin Ali. Suatu ketika Al Aqra’ bin Habis At-Tamimi duduk-duduk bersama Rasulullah. Dia (Al Aqra’) bertanya: “Apakah kalian mencium anak-anak kalian? Aku memiliki sepuluh orang anak, akan tetapi aku tidak pernah mencium satu pun dari mereka.” Rasulullah memandang Al Aqra’ dan bersabda: “Siapa saja yang tidak menyayangi (orang lain) maka dia tidak akan disayangi.”

10. Hendaknya Anda selalu berusaha menghalangi (melawan) segala bentuk perilaku yang tercela yang dilakukan oleh anggota keluarga Anda. Ada sebuah hadits yang menyatakan: “Jika Rasulullah mendapatkan ada salah seorang dari anggota keluarga beliau yang berdusta maka beliau akan terus melawan sikap tersebut hingga dia (orang itu) bertaubat.” (HR. Ahmad)

11. Bermainlah bersama anak-anak Anda. Sebagian sahabat berkata: “Kami pergi bersama Rasulullah. Beliau mengundang kami untuk makan. Saat itu Husain terlihat sedang bermain di jalanan. Rasulullah lantas bergegas berdiri di hadapan orang-orang (kami) dan membentangkan kedua tangan beliau. Anak itu (Hasan) kemudian berlari ke sana dan kemari. Beliau membuat Hasan tertawa-tawa hingga akhirnya beliau meraih tangan Husain. Belialu lalu meletakkan salah satu tangan beliau pada bagian dagu Husain, sedangkan tangan beliau yang lain pada bagian tengkuk kepalanya.”

12. Hendaknya Anda mencari solusi pengganti yang Islami dari hal-hal yang biasa dilakukan oleh anak yang dilarang oleh syariat Islam. Tidak cukup hanya dengan mengatakan bahwa sesuatu itu haram atau merusak. Mintalah pertolongan kepada Allah. Kemudian berikanlah buku-buku Islami, majalah, cerita-cerita, kaset tape dan vcd, permainan-permainan menghibur yang Islami, dan olahraga yang bermanfaat bagi anak.

13. Sangat memungkinkan untuk membuat adanya kerjasama di antara keluarga-keluarga muslim yang terdapat dalam satu kawasan untuk saling bertukar ilmu dan pengetahuan yang Islami. Demikian pula, berusaha mendirikan pusat kebudayaan Islam yang memberikan pelayanan untuk orang lain dengan biaya yang sangat murah demi kepentingan anak-anak Anda. Hendaknya Anda ikut serta secara aktif dalam kesempatan-kesempatan kegiatan sosial dan kegiatan Islam. Juga, hendaknya Anda saling bertukar hadiah berupa sesuatu yang memiliki tujuan yang positif bersama kerabat, tetangga, dan para sahabat. Selain itu, berusahalah untuk memperbaiki hubungan yang sebelumnya sempat terganggu, dan ajarkanlah anak-anak Anda sikap seperti itu.

14. Hendaknya Anda dan isteri (suami) Anda menjadi suri tauladan bagi anak-anak Anda. Tidak diperbolehkan bagi Anda untuk berdusta, dan hendaknya Anda meminta anak-anak Anda untuk tidak berdusta.


(Dikutip dari buku “Kaifa Tus’id Zaujatak” karya Yasir Abdurrahman)

Jumat, 18 September 2009

Pernikahan Puteri Sa’id bin Musayyib

Khalifah Abdul Malik bin Marwan memiliki seorang putera. Dia meminta kepada puteri Sa’id bin Musayyib untuk menjadi isteri bagi puteranya, Al-Walid bin Abdul Malik, yang dicalonkan sebagai khalifah sepeninggal ayahnya nanti. Tetapi ulama besar itu (Sa’id bin Musayyib) menolak lamaran tersebut. Sang Khalifah pun merayunya dengan menggunakan harta, tetapi Sa’id bin Musayyib tetap tidak mau. Akhirnya, Sang Khalifah mengancamnya, tetapi Sa’id bin Musayyib sama sekali tidak takut terhadap ancaman tersebut. Pada suatu pagi, Abdullah bin Abi Wada’ah mengetuk pintu rumah Syeikh Sa’id bin Musayyib. Abdullah adalah seorang yang selalu menghadiri majlis Syeikh Sa’id dan mengikuti pelajaran-pelajaran yang disampaikannya. Tetapi selama beberapa hari, dia telah absen. Dia pun masuk dan langsung duduk.


Syeikh Sa’id bertanya kepadanya: “Kenapa kamu absen?” Abdullah menjawab: “Isteriku meninggal dunia, karena itu aku pun sibuk mengurusi pemakamannya.” Syeikh Sa’id berkata: “Mengapa kamu tidak memberitahu kami hingga kami pun dapat menghadiri pemakamannya?” Di akhir pembicaraan, Abdullah hendak berdiri (untuk pulang). Tetapi junjungan pada tabi’in, Syeikh Sa’id, berkata kepadanya: “Apakah kamu telah menemukan wanita lain sebagai penggantinya?” Abdullah menjawab: “Semoga Allah merahmatimu. Adakah orang yang mau menikahkan puterinya denganku, karena aku ini orang yang tidak memiliki apa-apa kecuali dua atau tiga dirham saja!” Syeikh Sa’id berkata: “Akulah orangnya!” Abdullah pun terkejut, lalu dia bertanya: “Engkau akan melakukan hal itu?” Syeikh Sa’id menjawab: “Ya.”


Kemudian Syeikh Sa’id berkata: “Panggillah beberapa orang Anshar ke sini!” Setelah mereka datang, Syeikh Sa’id pun memuji Allah dan membaca shalawat Nabi saw., lalu dia menikahkan Abdullah (dengan puterinya) dengan mahar sebesar 3 dirham. Sungguh hanya dengan tiga dirham saja!! Itulah mahar seorang anak perempuan yang hendak dipinang oleh Khalifah Abdul Malik untuk putera mahkotanya dengan mahar emas, berapapun yang ia mau!!


Setelah itu, Abdullah pulang ke rumahnya. Saat itu, dia sedang berpuasa. Dia berbuka puasa hanya dengan menggunakan sepotong roti dan minyak. Tidak lama kemudian, ada seseorang yang mengetuk pintu rumahnya. Abdullah pun membuka pintu, dan ternyata dia mendapati Syeikh Sa’id telah berada di depan pintu. Abdullah pun terkejut, lalu dia berkata: “Mengapa engkau tidak menyuruh orang untuk memanggilku saja, niscaya aku akan mendatangimu.” Syeikh Sa’id menjawab: “Sungguh kamu lebih pantas untuk didatangi, karena tadinya kamu adalah seorang laki-laki yang menduda, dan sekarang kamu sudah menikah. Karena itu, aku pun tidak mau kamu melewati malam ini seorang diri. Ini isterimu!!” Syeikh Sa’id bergeser sedikit, dan ternyata pengantin perempuan telah berdiri di belakangnya dalam keadaan tertutup (mengenakan hijab). Syeikh Sa’id pun menyuruhnya maju ke arah pintu, lalu dia menyerahkannya kepada Abdullah, dan setelah itu dia pun pergi. Tidak lama kemudian, para tetangga berdatangan (guna memberikan ucapan selamat).


Abdullah menceritakan: “Ketika aku masuk untuk menemuinya (di dalam kamar), ternyata dia adalah wanita yang paling cantik, paling hapal Kitabullah (Al-Qur`an), paling mengetahui Sunah Rasulullah, dan paling mengetahui tentang hak-hak suami. Jika ada satu masalah, kemudian para ahli fikih tidak mampu untuk menemukan jawabannya, maka aku menemukan jawaban itu pada isteriku. Aku bertanya kepadanya tentang ilmu (pengetahuan)nya berkaitan dengan masalah tersebut.” (Munkaraat Al-Afraah, karya sekelompok ulama Al-Azhar, hal. 95, cet. Maktabah At-Tau’iyyah.)

Selasa, 15 September 2009

Isteri Ideal

Pada suatu hari, seorang laki-laki shaleh yang bernama Tsabit bin Ibrahim tengah berada di sebuah jalan. Tiba-tiba jatuhlah sebutir buah apel dari sebuah kebun. Dia pun mengambil buah apel itu, lalu dia memakan separohnya. Tetapi kemudian, dia teringat bahwa buah itu bukan haknya. Maka, dia segera menemui tukang kebun dan berkata kepadanya: “Aku telah memakan separoh buah apel ini, maka ikhlaskanlah apa yang telah aku makan, dan ambillah separohnya lagi!” Tukang kebun itu menjawab: “Aku tidak berhak untuk mengikhlaskannya karena kebun itu bukan milikku, tetapi milik majikanku!” Tsabit bertanya: “Di mana rumah majikanmu itu hingga aku mendatanginya dan meminta keikhlasan darinya?” Tukang kebun itu menjawab: “Jarak antara tempatmu ini dengan tempatnya membutuhkan waktu satu hari satu malam.” Tsabit berkata: “Aku akan pergi ke tempatnya meskipun aku harus menempuh perjalanan jauh, karena sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda: ‘Setiap tubuh yang tumbuh dari makanan yang haram, maka sungguh neraka lebih pantas baginya.’” Tsabit pun pergi ke pemilik kebun tersebut. Dia mengetuk pintu rumah pemilik kebun, dan seorang laki-laki pun membukakan pintu untuknya. Tsabit berkata: “Berilah keikhlasan kepadaku untuk apel yang telah aku makan, dan ini separohnya lagi (yang belum aku makan)!”

Pemilik kebun tersebut memandangi Tsabit, lalu dia berkata: “Aku tidak akan memberikan keikhlasan kepadamu kecuali dengan satu syarat.” Tsabit bertanya: “Apa itu?” Pemilik kebun berkata: “Kamu harus menikahi puteriku!” Mendengar itu, Tsabit pun bergembira. Tetapi tidak lama kemudian, Sang Pemilik kebun menyebutkan ciri-ciri puterinya itu, maka Tsabit berkata: “Aku menerima lamaran puterimu itu (walau bagaimanapun kondisinya), dan aku akan menyerahkan kekurangannya itu kepada Tuhanku.”

Ayah perempuan yang hendak dinikahi itu memanggil dua orang saksi untuk menyaksikan akad nikah. Tidak lama kemudian, Sang Pemilik kebun menyuruh puterinya untuk memasuk kamar pengantin yang telah disiapkan. Tsabit juga ikut masuk ke dalam kamar tersebut, lalu dia berkata dalam hatinya: “Aku akan mengucapkan salam kepadanya meskipun aku tahu bahwa dia itu tuli. Biarlah para malaikat yang menjawab ucapan salamku itu!” Tsabit pun mengucapkan salam kepadanya, dan ternyata wanita itu menjawab ucapan salam Tsabit. Lalu dia berdiri di hadapan Tsabit dan meletakkan tangannya di atas tangin Tsabit. Tsabit berkata (dalam hatinya): “Apa yang sesungguhnya terjadi? Dia membalas ucapan salamku, berarti dia itu tidak bisu. Dia mendengar ucapan salamku, berarti dia itu tidak tuli. Dia bisa berdiri, berarti dia itu tidak lumpuh. Dia juga bisa mengulurkan tangannya, berarti dia itu tidak buta.”

Tsabit pun berkata kepadanya: “Sesungguhnya ayahmu telah memberitahukan kepadaku bahwa kamu itu tuli, bisu, lumpuh dan buta, tetapi ternyata aku tidak melihat sedikitpun apa yang diberitahukan oleh ayahmu itu.” Wanita yang telah menjadi isteri Tsabit itu menjawab: “Sesungguhnya ayahku telah memberitahukan kepadamu bahwa aku ini buta. Benar, aku adalah orang yang buta dari hal-hal yang haram, karena sesungguhnya mataku tidak pernah melihat hal-hal yang diharamkan Allah. Aku ini tuli dari hal-hal yang tidak membuat Allah ridha. Aku ini bisu karena lisanku tidak bergerak kecuali untuk berdzikir kepada Allah. Aku ini lumpuh karena kakiku tidak pernah mengantarkanku kepada hal-hal yang dapat membuat Allah murka.” Ketika Tsabit melihat wajah isterinya itu, ternyata wajahnya seperti bulan purnama. Tsabit pun menggaulinya hingga lahirlah darinya seorang anak laki-laki yang ilmunya memenuhi seluruh penjuru bumi. Dialah Abu Hanifah.

Minggu, 06 September 2009

Kisah Alqamah: Bahaya Durhaka Kepada Ibu

‘Alqamah adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw, yang taat, wara’ kuat beribadah dan rajin pula berderma. Ibunya masih hidup; rupanya beliau ini setelah berumah tangga, kurang memerhatikan ibunya. Karena itu, terpaksalah sang Ibu mondok sendirian, dan hal ini berlalu beberapa lama, sedang sang ibu belum juga mendapat santunannya menurut semestinya. Maka akibat dari pada itu, sang ibunda beliau agak kecewa dan berhati kecil terhadap anaknya ‘Alqamah yang kurang memeperhatikan dirinya itu.

Akhirnya pada suatu hari, ‘Alqamah jatuh sakit keras sehingga sanak saudara kaum familinya telah memenuhi rumahnya. Hanya Ibunya yang belum hadir. Sementara Alqamah dalam keadaan sakaratul maut, maka di antara yang hadir menalqinkan kalimat tauhid; LA ILAAHA ILLALLAH. Namun beliau tidak dapat mengikutinya, dan hal itu di ulang berkali-kali, namun ‘Alqamah belum juga dapat menirukannya, malah mulutnya tertutup dan ia membungkam seribu bahasa, hanya kelihatan susah dan gelisah dengan matanya yang membelalak kemabukan, seakan-akan ia minta tolong. Semua sahabat handaitolannya keheran-heranan, sebab mereka tahu benar bahwa ‘Alqamah ini seorang sahabat Nabi yang taat dan wara’, dan menurut mereka ia adalah teladan yang baik dicontoh selama hayatnya. Maka dari itu merekapun bingung sambil saling berbisik-bisik tanya menanya, mengapa beliau ini demikian, padahal ia adalah seorang sahabat Nabi yang shaleh.

Sementara itu, sebahagian sahabat yang hadir segera melaporkan kejadian ini kepada Rasulullah Saw., dan baginda mengutus beberapa sahabat pula untuk menjenguk ‘Alqamah dan melihat keadaan ‘Alqamah dari dekat, serta mencoba menalqinkan kalimat TAUHID lagi. Namun sesampainya mereka ditempat pembaringan Alqamah dan setekah mencoba menalqinkan kalimah Tauhid itu, perobahan Alqamah tidak ada sama sekali, malah nampaknya tambah gelisah dan tambah menakutkan pula.

Akhirnya dijemputlah Rasulullah Saw., dan beliaupun hadir di depan ‘Alqamah sahabat beliau yang setia itu. Dengan hati yang cemas penuh kasih sayang, Baginda menalqinkan kalimah tauhid, tetapi sayang seribu sayang ‘Alqamah dari pada mengikut, malah ia menggelengkan kepalanya. Nabipun tertegun dan kemudian menayakan pada hadirin, “Apakah Alqamah ini masih mempunyai Ibu kandung?” Hadirin ada yang menjawab “Masih ada”. Kemudian Beliau bertanya, “Di mana Ibu itu?” Istrinya menjawab, “Di sana, di dusun itu. Dia mondok sendirian, ya Rasulullah.”

Maka Rasulullah minta hadirkan Ibundanya itu. Setelah tiba, Nabipun lalu menanyakan kepadanya tentang hal ihwal Alqamah.

Dalam dialog itu ternyata sang Ibu ini ada berkecil hati atas sebahagian tindakan anaknya ini pada dirinya, setelah ia berumah tangga dan sampai detik ini, ia belum suka memaafkannya, meskipun Nabi sendiri telah memintanya.

Maka Nabi kita akhirnya memerintah para sahabat dan hadirin untuk mengumpulkan kayu api unggun dan minyaknya, tatkala itu sebahagian bertanya, buat apa ya Rasulullah, nabi menjawab dengan nada tegas : “Untuk membakar Alqamah ini, sebab lebih baik kita bakar sekarang saja bulat bulat dari pada kelak dibakar juga dalam api neraka jahannam.”

Mendengar putusan Nabi itu, Ibu kandung Alqamah tidak tega, bila anak kandungnya itu sampai dipanggang di matanya sendiri. Dari itu ia segera mendapatkan Nabi dan berkata “Wahai junjungan alam, janganlah dibakar anakku ini, biarlah kumaafkan segala kesalahannya itu dan aku relakan segala pengorbananku untuknya. Sembari ia naik saksi bahwa: Aku mengakui bahwa tiada Tuhan selain dari pada Allah, dan aku mengakui bahwa Muhammad benar benar Rasul-Nya. Dan untuk hadirin aku bersaksi bahwa benar benar anakku Alqamah ini, segala kesalahannya telah kumaafkan dan telah kurelakan.

Saat itu Nabi menyuruh sahabat untuk melihat Alqamah, ternyata sedang menarik nafasnya yang terakhir sambil mengucapkan kalimat tauhid, dengan muka yang jernih dan mata yang sayu memandang dengan bibir yang tersenyum : tersungging di bibir itu kalimat Thaiyibah :
لآاِلـهَ اِلاَّاللهُ

Ia kembali dengan tenang dan wajah berseri seri.

إِنَّاِلله وَإِنَّاإِلَيْـهِ رَاجِعُوْنَ

Alqamah telah kembali ke Rahmatullah dengan tenang.

Demikian satu contoh yang dapat kita ambil I’tibar betapa besar nilai Ibu bapak dalam diri sang anak kandungnya. Benar benar Maha Agunglah Allah dan Maha Pengampun.

(Diambil dari buku “Tanggung Jawab Keluarga” karya Buya Usman Husni/Pendiri Ponpes Al-Husna)

Download buku “Tanggung Jawab Keluarga”, klik:

http://www.ziddu.com/download/6285313/TanggungJawabKeluarga.zip.html

Kamis, 30 Juli 2009

Wasiat Nabi Untuk Calon Suami

Rasulullah saw. bersabda:
تخيروا لنطفكم فإن النساء يلدن أشباه إخوانهن وأخواتهن

“Pilihlah (tempat-tempat penyaluran) sperma kalian, (karena) sesungguhnya kaum perempuan itu akan melahirkan (anak-anak) yang perangainya mirip dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan mereka.”

Hadits di atas mengandung petunjuk kepada laki-laki yang ingin menikah agar memilih calon isteri yang shalehah, tumbuh dalam lingkungan yang baik, tumbuh dewasa dalam keluarga yang dikenal mulia dan baik, serta terlahir dari keturunan yang mulia. Sebab, sifat anak yang dilahirkan dari rahim seorang wanita, sedikit atau banyak pasti akan mirip dengan sifat wanita tersebut ataupun saudara-saudaranya. Dari sini, maka kita dapat menangkap rahasia di balik anjuran Nabi di atas, yaitu agar laki-laki Muslim dapat memiliki anak-anak yang berbudi pekerti luhur, berkarakter baik dan bermoral Islami.

Suatu ketika, Abu Al-Aswad Ad-Du’ali berkata kepada anak-anaknya: “Aku benar-benar telah berbuat baik kepada kalian sejak kalian masih kecil dan setelah kalian dewasa, bahkan sebelum kalian dilahirkan.” Mendengar itu, anak-anaknya bertanya: “Bagaimana ayah dapat berbuat baik kepada kami sebelum kami dilahirkan?” Abu Al-Aswad menjawab: “Yaitu dengan memilihkan untuk kalian seorang ibu yang baik.”

Berdasarkan penjelasan di atas, maka hendaknya seorang laki-laki Muslim harus benar-benar selektif dalam memilih wanita yang akan menjadi calon ibu bagi anak-anaknya. Jangan asal pilih, tapi harus benar-benar dipilih sesuai kriteria-kriteria yang ditetapkan agama, meskipun tidak sepenuhnya sesuai dengan kriteria-kriteria tersebut. Hal ini sesuai dengan perkataan Utsman bin Abu ‘Ash Ats-Tsaqafi, yang menyatakan bahwa laki-laki yang akan menikah adalah seperti orang yang akan bercocok tanam. Dia harus memperhatikan di mana dia akan meletakkan benihnya.

Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai nikah beda agama, di sini saya ingin menekankan bahwa hendaknya seorang laki-laki Muslim benar-benar memperhatikan dan mengamalkan hadits Nabi di atas. Sebab, pernikahan yang akan dia jalani bukan hanya sekedar main-main, tetapi sebuah ikatan suci yang akan menentukan masa depannya dan juga masa depan anak-anaknya. Karenanya, alangkah baiknya bila seorang laki-laki Muslim tidak menikah dengan wanita yang memiliki keyakinan berbeda. Kaidah seperti itu juga berlaku bagi wanita Muslimah. Artinya, seorang wanita Muslimah juga harus memilih laki-laki yang shaleh serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Wallaahu A’lam….

Kiat Membentuk Pribadi Anak

Imam Ghazali berkata dalam kitab Ihya Ulumiddin: “Ketahuilah, bahwasanya mendidik anak-anak kecil merupakan perkara yang sangat penting dan mendasar. Anak adalah amanah bagi kedua orangtuanya. Hatinya merupakan mutiara yang suci, berharga, dan masih kosong dari segala ukiran dan gambar (pengaruh luar).

Hati seorang anak siap menerima segala bentuk ukiran yang diukirkan padanya. Jika hatinya dipalingkan pada sesuatu maka niscaya dia akan berpaling (condong) padanya. Jika dia dibiasakan melakukan kebaikan dan diajarkan kebaikan maka dia akan tumbuh di atas pondasi kebaikan, dan dia akan berbahagia di dunia dan akhirat. Kedua orangtuanya akan ikut merasakan ganjaran pahala yang diterima olehnya kelak.

Setiap orang tua merupakan guru dan pendidik bagi anaknya. Jika anak dibiasakan melakukan keburukan dan perilakunya diacuhkan begitu saja seperti layaknya hewan ternak, maka dia akan hidup sengsara dan binasa. Sedangkan beban dosanya akan dilimpahkan pada lutut orang yang memberikan warna (nilai keburukan) kepadanya, dan juga akan dilimpahkan kepada walinya. Bagaimanapun usaha seorang ayah untuk menjaga anaknya dari api dunia, maka ketahuilah bahwasanya menjaganya dari api akhirat itu lebih utama. Menjaganya adalah dengan cara mendidik, memberikan pelajaran, mengajarkan kepadanya akhlak-akhlak yang baik, menjaganya dari teman yang berperangai buruk, tidak membiasakannya hidup mewah, dan tidak membuatnya cinta terhadap perhiasan dan kemewahan duniawi. Karena, jika sang anak mencintai dunia maka usianya akan dia sia-siakan untuk mencari kebahagiaan dunia di saat di dewasa nanti. Sehingga, dia akan binasa (celaka) selamanya.

Seorang anak harus selalu diawasi sejak dini, sejak akal pikirannya mulai tumbuh berkembang, dan di saat rasa malu pada dirinya mulai muncul. Jika seorang anak mulai malu dan meninggalkan suatu perbuatan tertentu, maka hal itu tidak lain karena cahaya akal sudah mulai terbit menyinari dirinya. Saat seperti itu adalah kabar gembira yang menunjukkan keseimbangan akal dan kesucian hatinya. Seorang anak baru akan memiliki akal pikiran yang sempurna ketika dia telah mencapai usia baligh (dewasa). Seorang anak yang pemalu tidak boleh diabaikan, akan tetapi hendaknya rasa malunya itu dibantu dan diarahkan ke arah yang positif.”

Imam Ghazali juga berkata: “Akhlak yang baik tidak akan tertanam kuat di dalam jiwa seseorang selama jiwa itu tidak dibiasakan untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik (terpuji) dan selama jiwa itu tidak meninggalkan seluruh perbuatan buruk. Akhlak yang terpuji juga tidak akan tertanam kuat di dalam jiwa seseorang jika jiwa tersebut tidak dibiasakan untuk memiliki kerinduan melakukan perbuatan-perbuatan terpuji dan menikmatinya, serta membenci perbuatan-perbuatan tercela dan merasa bersalah karenanya (karena melakukan perbuatan tercela).

Akhlak yang terpuji itu akan terwujud dengan cara membiasakan diri melakukan perbuatan-perbuatan terpuji, melihat orang-orang yang berperilaku terpuji, dan bersahabat dengan mereka. Mereka adalah sahabat dalam kebaikan dan saudara yang akan mengantarkan pada kemaslahatan. Tabiat seseorang itu biasanya tergantung pada tabiat orang lain. Demikian pula halnya dengan perbuatan baik dan buruk.

Yang paling pokok dalam mendidik anak adalah menjaganya dari sahabat-sahabat yang berperangai buruk. Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan baik dan memiliki fitrah yang baik. Kebiasaan dan pendidikanlah yang membentuk perilaku akhlaknya. Setiap kali seorang anak menunjukkan perilaku yang baik dan terpuji maka hendaknya anak tersebut dihargai, diberikan hadiah berupa sesuatu yang dapat membuatnya gembira, dan dipuji di hadapan banyak orang. Jika sang anak melakukan perbuatan buruk satu kali maka hendaknya berpura-pura tidak menghiraukan (acuh) terhadapnya.

Jika dia mengulangnya untuk kedua kali maka berikanlah teguran kepadanya secara sembunyi-sembunyi (tidak di hadapan orang lain). Jangan sering-sering menegurnya di setiap kesempatan, karena hal itu membuatnya merasa rendah (hina) dan teguran itu akan membekas pada hatinya. Seorang ayah hendaknya harus tetap memiliki wibawa di hadapan anak, yaitu dengan cara tidak menjelek-jelekkannya (mencercanya).”