(Tulisan ini dikutip dari buku berjudul “Zaujaat An-Nabiy” (Isteri-isteri Nabi) karya Prof. Dr. Jasim Muhammad Al-Muthawwa’.)
Seorang wanita pernah menghadang langkahku, kemudian dia berkata kepadaku, “Mengapa laki-laki bisa menikah dengan banyak wanita sedangkan wanita tidak dapat menikah dengan banyak laki-laki?” Saya berkata kepadanya, “Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa wanita tidak dapat menikah dengan banyak laki-laki?” Dia sangat terkejut dengan pertanyaanku itu, dan saya dapat merasakan bahwa dia sangat shock. Tetapi kemudian, dia dapat mengendalikan dirinya, lalu dia berkata, “Dari perkataanmu itu, aku dapat memahami bahwa aku dapat menikah dengan banyak laki-laki?”
Saya menjawab, “Ya.”
Dia berkata, “Sungguh, tidak ada seorangpun sebelummu yang pernah mengucapkan perkataan seperti ini!”
Saya berkata, “Perkataanmu itu tidak benar, bahkan para ahli fikih telah mengatakan hal itu.”
Dia berkata, “Apakah kamu masih tetap pada pendapatmu itu?”
Saya menjawab, “Ya.”
Dia berkata lagi, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”
Saya menjawab, “Dalam syariat Islam, jika hati seorang wanita telah terpikat kepada laki-laki lain, kemudian dia ingin menikah dengannya, maka dia berhak meminta kepada suaminya untuk menceraikannya, atau dia dapat mengadukan masalah itu ke pengadilan sehingga pengadilan-lah yang akan memisahkan mereka berdua dengan cara-cara perceraian yang telah diatur oleh syariat Islam.”
Dia berkata, “Apakah perkataanmu itu benar?”
Saya menjawab, “Ya.”
Dia berkata lagi, “Akan tetapi, saya ingin menikah dengan beberapa orang laki-laki dalam waktu yang bersamaan.”
Saya berkata, “Jika kamu hamil, kemudian kamu melahirkan seorang anak, maka tahukah kamu dari suami yang manakah anakmu itu?”
Wanita itu terdiam sejenak, kemudian dia berkata, “Demi Allah, perkataanmu itu benar.”
Saya berkata lagi kepadanya, “Hal itu adalah disebabkan karena tiang garis keturunan itu adalah milik laki-laki. Seandainya syariat Islam membolehkan seorang wanita untuk berpoliandri, niscaya dalam masyarakat kita, akan terjadi kekacauan dalam menentukan garis keturunan.”
Dia berkata, “Jika demikian, maka berarti kita membolehkan wanita-wanita yang telah mencapai usia menopouse (tidak dapat melahirkan lagi) atau wanita-wanita yang telah melakukan operasi pengikatan leher rahimnya untuk berpoliandri!”
Saya berkata, “Perkataanmu memang benar, akan tetapi bagaimana kita dapat menerapkan sistem qawâmah (kepemimpinan laki-laki atas wanita) jika seorang wanita memiliki dua atau tiga suami?”
Dia berkata, “Wahai Abu Muhammad, sungguh setiap kali aku membuka satu pintu masalah, maka kamu pun akan menutupnya!”
Saya berkata, “Wahai Saudariku yang terhormat, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah adalah Maha Adil, dan Dia tidak pernah menzhalimi manusia dengan sesuatu apapun. Ketika Dia mensyariatkan (menetapkan) satu agama untuk kita, maka dalam pensyariatan-Nya itu terdapat keadilan yang bersifat absolut, meski dalam masalah poligami sekalipun. Meskipun demikian, Allah telah memberikan sejumlah cara kepada wanita dalam menyikapi aturan tentang poligami ini, di antaranya adalah:
1- Dalam Islam, sebuah pernikahan tidak dapat dilakukan dengan menggunakan paksaan. Oleh karena itu, bagi seorang wanita yang tidak mau dimadu, dia dibolehkan untuk menolak poligami yang dilakukan oleh suaminya itu yaitu dengan cara menuntut cerai. Dia berhak melakukan hal itu, karena Islam tidak pernah memaksanya agar mau dimadu.
2- Bagi wanita yang merasa khawatir jika suaminya akan berpoligami, maka Islam telah memberikan kepadanya hak untuk mengajukan syarat agar dia tidak dimadu ketika hendak melakukan akad nikah.
3- Ketika telah terjadi hubungan percintaan yang diharamkan antara seorang wanita dengan laki-laki lain selain suaminya, maka dia dibolehkan untuk menuntut cerai meskipun suaminya menolak. Dalam pengadilan agama, wanita itu akan mendapat dukungan untuk bercerai (Hal ini adalah seperti telah dijelaskan di atas).
4- Selain itu, disyariatkannya poligami adalah karena adanya kebutuhan masyarakat ataupun individu terhadapnya. Ketahuilah bahwa ada aturan-aturan dan syarat-syarat tertentu dalam poligami. Jadi, pintu poligami tidaklah terbuka lebar bagi orang-orang yang ingin memanfaatkan ‘fasilitas’ poligami tersebut. Barangsiapa yang ingin menikah lagi dengan isteri kedua, maka dia diwajibkan untuk bertindak adil, lalu dia juga diharuskan untuk memberi nafkah, memberikan jaminan tempat tinggal, serta memenuhi hak-hak lainnya yang telah ditentukan oleh syariat.”
Wanita itu berkata lagi, “Demi Allah, perkataanmu sangatlah indah. Akan tetapi, apa dosa isteri pertama ketika suaminya menikah lagi dengan isteri kedua? Mengapa Islam tidak memperhatikan perasaannya?”
Saya pun balik bertanya, “Apa dosa isteri kedua ketika dia tidak dinikahi oleh laki-laki tersebut? Bukankah termasuk hal yang indah jika Islam juga memperhatikan kebutuhan dan perasaan wanita tersebut? Apakah kamu tidak ingat tentang realitas yang terjadi di masyarakat Barat dimana di dalamnya terdapat kekacauan dan kebiasaan berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan sejumlah aturan dan syarat-syarat tertentu serta tidak memperhatikan hak-hak tertentu, sehingga prosentase anak yang dilahirkan di luar pernikahan di sebagian negara Barat pun mencapai 60%. Bahkan setiap hari, jumlah penderita AIDS akibat pergaulan bebas yang baru masuk ke dalam panti rehabilitasi penderita AIDS mencapai 7500 orang.”
Wanita itu berkata, “Akan tetapi, aku sama sekali tidak mengatakan bahwa sistem kehidupan masyarakat Barat merupakan sistem yang benar.”
Saya berkata, “Sesungguhnya kamu telah mengkritik aturan poligami dalam Islam, dan sungguh aku telah menjelaskan kepadamu tentang aturan tersebut dan tentang sistem sosial kemasyarakatan di Barat. Inilah dua pandangan yang berasal dari dua peradaban yang berbeda. Jika kamu memiliki pandangan lain tentang solusi bagi sejumlah problematika sosial, maka kemukakanlah sehingga kita dapat mendiskusikannya. Kemudian kita dapat melihat apakah proyek yang kamu kemukakan itu adalah lebih baik daripada proyek Islam dan Barat itu? Ketahuilah bahwa di antara aturan yang harus diperhatikan dalam menyampaikan sebuah kritikan adalah bahwa orang yang menyampaikan kritikan itu harus memberikan alternatif solusi lain.”
Dia berkata, “Aku tidak memiliki satu solusi atau satu alternatif pun. Aku hanyalah seorang kritikus saja.”
Saya berkata, “Jadi, bagaimana pendapatmu tentang angka-angka berikut ini? Di Amerika, perbandingan antara laki-laki dengan perempuan adalah 1:4, demikian pula di Swedia dan Rusia. Sedangkan di Afrika dan negara-negara Khalij, perbandingannya adalah 1:3; di China 1:10; dan di Jepang 1:6. Lalu, bagaimana pendapatmu tentang hal tersebut?”
Kemudian saya berkata, “Pasca perang dunia ke-2, Jerman telah meminta kepada pihak al-Azhar di Mesir untuk menjelaskan tentang aturan poligami sehingga aturan itu dapat diterapkan di sana. Akan tetapi, pihak Vatikan berusaha untuk menghalangi proyek ini. Lalu, apa pendapatmu tentang hal itu?”
Wanita itu menjawab, “Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan kepadamu. Akan tetapi, aku dapat mengatakan kepadamu bahwa aturan poligami dalam Islam merupakan aturan yang bagus dan benar-benar adil. Meskipun demikian, aku tidak rela jika aturan itu diterapkan pada diriku.”
Saya berkata, “Inilah yang seharusnya kamu katakan di awal pertemuan kita, sehingga kamu tidak akan menghukumi aturan poligami itu hanya berdasarkan hawa nafsu dan keingananmu saja. Aku ingin menambahkan penjelasan kepadamu bahwa perasaan yang ada dalam dirimu itu telah diperhatikan oleh Islam, dan sebagaimana telah kami sebutkan tadi, Islam telah memberikan kebebasan kepadamu untuk menentukan pilihan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar Anda