Tampilkan postingan dengan label Konsultasi Keluarga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Konsultasi Keluarga. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 Agustus 2011

Akibat Hamil Sebelum Nikah

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ustadz yang saya hormati, tolong bantu saya apa yang harus saya lakukan. Saya seorang ibu dari 2 orang anak. Anak pertama saya meninggal ketika di kandungan usia 8,5 bulan, anak kedua saya saat ini usia 4 bulan. Pernikahan kami hampir 2 tahun. Pada saat menikah ternyata saya sudah hamil 1,5 bulan. Suami saya sangat baik dan sayang kepada keluarga, tapi 2 bulan terakhir ini suami saya berubah sikap.

Dia seorang pendiam, ketika saya tanya permasalahannya baru dia berkata seperti ini: "Ketika kita menikah, kamu dalam kondisi yang sedang hamil, karenanya pernikahan kita tidak sah." Betapa hancur hati saya kenapa baru saat ini dia memberitahukan hal itu. Saya bingung bagaimana dengan status saya dan anak kami (kebetulan anak kami perempuan)? Dia memberikan dua pilihan kepada saya:

  1. tidak usah mengulang pernikahan tetap seperti ini saja. atau,
  2. jika saya minta mengulang pernikahan, mending pisah saja.

Mohon bantuannya, sepertinya suami saya tidak ingin bersama saya lagi, padahal saya sendiri menginginkan agar keluarga kami menjadi keluarga yang bahagia. Bahkan seandainya pernikahan kami memang tidak sah, maka saya ingin segera memperbaikinya.

  1. Apa yang harus saya lakukan, apakah perlu menikah ulang dan bagaimana dengan pilihan di atas?
  2. Bagaimana dengan status saya dan anak kami?
  3. Bagaimana cara memperbaiki hubungan dan komunikasi dengan suami?

Mohon jawabannya. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

H-…..

Jawaban:

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Saudari H yang saya hormati, saya turut pritahin atas sikap suami Anda yang belakangan ini berubah. Apa yang dikatakan suami Anda ada benarnya jika memang Anda sudah hamil sebelum menikah, tapi itu hanya menurut satu pendapat saja. Sebab seperti yang pernah saya bahas pada konsultasi berjudul Hukum Menikahi Wanita Hamil dan Status Anak Di Luar Nikah, setidaknya ada tiga pendapat yang berkaitan dengan hukum menikahi wanita yang pernah berzina:

  1. Sebagian ulama termasuk sebagian sahabat seperti Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra` dan Ibnu Mas’ud, berpendapat bahwa wanita yang pernah berzina tidak boleh dinikahkan baik dengan laki-laki yang menzinahinya ataupun laki-laki yang baik (bukan pezina). Mereka mendasarkan pendapatnya itu pada firman Allah swt.: “Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.(QS. An-Nuur [24]: 3) Berdasarkan dalil tersebut pula, Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa seorang isteri yang berzina harus diceraikan oleh suaminya.
  2. Jumhur (mayoritas) ulama termasuk Abu Bakar dan Umar bin Khathab berpendapat bahwa wanita tersebut boleh dinikahkan, baik dengan orang yang menzinahinya ataupun dengan orang lain. Pendapat kedua ini didasarkan pada firman Allah swt. “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya yang lelaki dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nuur [24]: 32) Dalam hal ini, bila wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki yang menzinahi atau menghamilinya, maka tidak perlu ada istibra`. Istibra` adalah upaya untuk memastikan bahwa rahim seorang wanita telah benar-benar bersih dari air mani laki-laki yang telah menggaulinya. Masa istibra` ini adalah 6 bulan. Tujuan istibra` ini adalah untuk mendapat kepastian nasab. Untuk tujuan ini pula, maka Islam mensyariatkan adanya masa iddah. Oleh karena itu, menurut jumhur ulama, bila wanita yang hamil itu dinikahi oleh laki-laki yang benar-benar menghamilinya, maka hal itu dibolehkan dan tidak perlu menunggu hingga melahirkan. Lain halnya bila wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki lain, bukan laki-laki yang menghamilinya, maka pernikahan itu haram dilakukan kecuali setelah wanita itu melahirkan bayi yang dikandungnya dan telah melewati masa nifas. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi saw.: “Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk menuangkan air (maninya) pada tanaman milik orang lain.(HR. Abu Daud) Memang ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa meskipun dinikahi oleh laki-laki yang menzinahinya, sang wanita tetap harus menunggu hingga melahirkan, dengan dalil: “sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, masa ‘iddah mereka itu sampai melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Thalaaq [64]: 4)
  3. Pendapat ketiga adalah pendapat Imam Ahmad. Beliau mengharamkan seorang laki-laki menikahi wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Tapi bila sudah bertaubat, maka pernikahan itu dibolehkan.

Saudariku yang terhormat, nampaknya pendapat yang dilontarkan suami Anda adalah pendapat kedua yang membolehkan wanita yang pernah berzina untuk dinikahi, hanya saja harus menunggu waktu kelahiran. Namun, andaikata pendapat tersebut adalah pendapat yang diyakini suami Anda, menurut saya tidak semestinya dia memberikan pilihan seperti itu, apalagi pilihan pertama yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam. Sebab dengan pilihan seperti itu sementara menurutnya pernikahan Anda berdua tidak sah, berarti dia mengajak Anda untuk terus hidup berdua tanpa ikatan pernikahan yang sah. Na’udzubillaah min dzaalik. Andaikata dia komitmen dengan pendapatnya dan juga memiliki i’tikad yang baik, semestinya dia siap untuk mengulang kembali pernikahannya dengan Anda.

Jadi, mengenai pertanyaan Anda apa yang harus Anda lakukan, tanyakan kembali kepada diri Anda sendiri dan juga suami, pendapat mana yang Anda berdua yakini. Menurut saya pribadi, sebaiknya Anda jelaskan kepada suami tentang pendapat kedua, baik yang meyakini pernikahan itu sah dan tidak perlu menunggu waktu kelahiran ataupun pendapat yang meyakini pernikahan akan sah bila dilakukan setelah waktu kelahiran. Bila Anda berdua meyakini bahwa pernikahan itu sah, maka tidak perlu ada pengulangan akad nikah. Tapi bila ternyata Anda dan suami menganggap pernikahan itu tidak sah karena dilakukan saat Anda sedang hamil, maka tidak ada salahnya bila Anda berdua mengulang kembali pernikahan.

Berkaitan dengan pertanyaan kedua, saya juga pernah membahas tentang Status Anak Di Luar Nikah. Berikut kutipannya:

“Adapun mengenai status anak yang lahir dari hubungan di luar nikah, memang ada yang berpendapat seperti pendapat yang Anda sebutkan. Pendapat tersebut didasarkan pada hadits yang berbunyi: “(Status) seorang anak adalah bagi (pemilik) firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah (kerugian dan penyesalan).” (HR. Bukhari dan Muslim) Yang dimaksud dengan firasy adalah kasur. Jadi, makna hadits tersebut adalah bahwa nasab (garis keturunan) seorang anak akan dinisbatkan kepada pemilik firasy atau laki-laki yang menggauli ibunya secara sah. Bila pemilik firasy itu adalah suami yang sah, maka nasab anak tersebut berhak dinisbatkan kepadanya. Namun bila pemilik firasy itu bukan suami yang sah, maka nasab anak yang lahir tidak boleh dinisbatkan kepadanya. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa bila anak itu lahir 6 bulan setelah pernikahan antara ibunya dengan laki-laki yang menghamilinya, maka anak itu merupakan anak yang sah tanpa harus ada ikrar (pengakuan) dari laki-laki yang menghamilinya itu. Sedangkan bila dia lahir di bawah 6 bulan setelah pernikahan, maka sah atau tidaknya nasab sang anak tergantung pada ikrar laki-laki yang menghamilinya.”

Adapun mengenai pertanyaan ketiga, ada baiknya Anda berbicara baik-baik dengan suami. Berusahalah untuk menjelaskan kepadanya hukum yang saya jelaskan di atas, mudah-mudahan dia bisa memahaminya dengan baik. Ingat, hindarilah emosi karena ia tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Jangan lupa pula, untuk bertaubat kepada ALLAH atas dosa zina yang pernah Anda lakukan, dan memohonlah pertolongan kepada-Nya. Wallaahu A’lam…

Selasa, 19 Juli 2011

Cinta Lama Bersemi Kembali

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Yth. Pengasuh konsultasi, saya seorang single parent, usia 43 tahun, memiliki satu orang anak yang usianya menjelang remaja. Suami telah menghadap Yang Maha Kuasa hampir 11 tahun yang lalu, dalam usia pernikahan yang belum genap 3 tahun.



Selama masa kesendirian ini, saya mengkonsentrasikan diri untuk membesarkan anak sembari mendekatkan diri kepada Tuhan dan mencari hikmah atas ujian yang saya hadapi ini. Alhamdulillah saya bisa tegar dan bisa menjalani kesendirian ini.



Tapi ternyata ujian Tuhan datang lagi sebulan yang lalu, tiba-tiba seseorang dari masa lalu saya menelpon. Surprise, karena kami telah hilang komunikasi selama 20 tahun. Waktu itu, jarak yang memisahkan sehingga kami kesulitan untuk berkomunikasi, karena setelah menamatkan kuliah, saya pulang ke kampung halaman. Dia laki-laki terbaik yang pernah dekat dalam kehidupan saya. Tapi dulu kami sama-sama remaja yang lugu sehingga tak pernah ada terucap kata sayang di antara kami.



Dia baru tahu kesendirian saya setelah kami cerita tentang keluarga masing-masing. Setelah itu kami intens sms ataupun telpon. Bahkan dia mengirimi suatu benda yang didalamnya terukir nama kami berdua. Dari komunikasi-komunikasi yang kami lakukan, terungkap fakta-fakta sebagai berikut:

1.Kami masih sama-sama saling mengingat satu sama lain, meskipun waktu yang cukup lama telah memisahkan kami. Sebenarnya dia menelpon saya karena tiba-tiba dia ingat saya dan langsung mencari info tentang keberadaan saya.

2.Kami sama-sama masih menyimpan rasa yang dulu, alias kami masih saling menyayangi.

3. Kami berdua masih berharap suatu hari nanti kami akan berjodoh.

4. Selama ini kami masih saling mencari info satu sama lain.

5. Ternyata kami sama-sama pernah berdoa agar suatu hari kami bisa bertemu kembali, dan Tuhan mengabulkannya sekarang.

6. Dia ingin berjumpa denganku, tapi aku menolak ajakannya karena takut fitnah, karena kesendirianku rentan akan fitnah.

7. Dia pernah mengatakan bahwa saya adalah cinta pertamanya, karena itu dia pun sangat sulit untuk melupakan saya, meskipun dia telah berkeluarga hampir 15 tahun. Sementara bagi saya, dia adalah laki-laki yang terbaik, karena itu pula sulit bagi saya untuk melupakannya meskipun dulu pertemuan kami sangat singkat dan tak pernah terucap kata sayang di antara kami. Dulu kami sama-sama pendiam, dia hanya memberikan perhatian dengan pemberian-pemberian berupa apa saja.



Saya menyadari kami sekarang sedang bermain api. Saya coba untuk pending komunikasi, bahkan dua kali pernah mencoba untuk memutuskan komunikasi. Namun, yang terjadi malah saya selalu menangis dan tak bisa tidur. Akhirnya hal itu hanya bertahan 1 hari, setelah itu saya kembali mengirim sms.



Sampai sekarang istrinya belum tahu komunikasi kami. Sebenarnya ada kekhawatiran bila komunikasi kami ini diketahui oleh isterinya, apalagi kami sempat bertukar foto by phone, dan ternyata fotoku itu dia print dan disimpan untuk dipandang bila dia sedang merindukan saya. Tapi saya tidak memungkiri kalau saya merasa bahagia bisa berkomunikasi kembali dengannya. Saya mulai rindu dengan sms-sms darinya, rindu dengan suaranya, dan rindu dengan panggilan sayang darinya.



Apa yang harus saya lakukan sekarang? Bukankah Allah melarang memutuskan silaturahmi, dan apakah yang terjadi sekarang juga karena doa-doaku. Mohon solusinya. Terima kasih…

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

D-….



Jawaban:



Wa’alaikumussalam Wr. Wb.



Saudari D yang saya hormati, mengenai apa yang harus Anda lakukan, hal itu sangat tergantung dari pihak ketiga yaitu isteri dari laki-laki yang Anda cintai itu, apakah dia mengizinkan suaminya untuk menikah lagi ataukah tidak. Sebab, permasalahan ini bukan hanya berkaitan dengan hukum pernikahan dalam Islam saja, melainkan juga dengan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan yang berlaku di negara kita, Indonesia.



Bila sang isteri mengizinkan, maka saya kira Anda sudah mengetahui jawaban saya mengenai apa yang harus Anda lakukan. Ya, Anda harus meminta laki-laki tersebut untuk segera menikahi Anda. Hal ini dimaksudkan agar Anda dan dia tidak terus terjerat oleh tali cinta yang akan menjerumuskan Anda berdua ke dalam “lubang” kemaksiatan, bahkan bisa jadi akan mengantarkan Anda berdua ke dalam perbuatan zina yang sangat dibenci ALLAH swt., sesuai firman-Nya: ““Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji ( fahisyah ) dan suatu jalan yang buruk.(QS. Al-Israa`: 32 )



Namun bila ternyata sang isteri tidak mengizinkan karena mungkin dia termasuk wanita yang tidak mau dimadu atau tidak setuju dengan poligami, maka sebaiknya Anda menghentikan “permainan” api cinta tersebut. Sebab bila kenyataannya seperti itu, sementara Anda masih berkeinginan untuk tetap menjalin cinta dengannya, maka setidaknya ada dua kemungkinan:

1. Anda menikah dengannya secara sembunyi-sembunyi atau yang biasa disebut oleh masyarakat kita dengan istilah “nikah sirri”. Dalam hal ini, laki-laki tersebut akan menikahi Anda tanpa sepengetahuan isteri pertamanya. Walau dari sisi hukum Islam, pernikahan seperti ini dibolehkan asalkan memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya, namun saya pribadi sangat tidak menyarankan. Sebab bila ditinjau dari nilai-nilai akhlak, pernikahan seperti itu seringkali menimbulkan banyak kebohongan, terutama pada pihak laki-laki yang Anda cintai. Biasanya, laki-laki yang menikah lagi dengan cara seperti ini, seringkali berbohong kepada isteri pertamanya, padahal junjungan kita Nabi Muhammad saw. sangat tidak menyukai perbuatan dusta sebagaimana ditegaskan dalam sabda beliau: “Wajib atasmu berlaku jujur, karena sesungguhnya jujur itu membawa kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan itu membawa ke surga. Seseorang akan terus berlaku jujur dan memilih kejujuran hingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhkanlah dirimu dari dusta, karena sesungguhnya dusta itu membawa kepada kedurhakaan, dan sesungguhnya durhaka itu membawa ke neraka. Dan seseorang akan terus berlaku dusta dan memilih kedustaan hingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta". (HR. Muslim) Belum lagi bila nantinya Anda dikaruniai anak dari pernikahan sirri tersebut, akan banyak kesulitan yang Anda berdua hadapi.

2. Anda tetap menjalin hubungan cinta dengannya tanpa ada pernikahan, atau yang biasa disebut oleh masyarakat kita dengan istilah “selingkuh”. Walaupun saya yakin Anda bisa menjaga diri sehingga Anda dapat terhindar dari perbuatan zina, namun menurut saya hal ini sangat tidak baik dan bertentangan dengan syariat Islam. Sebab seperti yang saya katakan di atas, hal ini akan menyebabkan Anda berdua terus terjerumus dalam “lubang” kemaksiatan, walaupun bukan kemaksiatan dalam pengertian zina (hubungan seksual).



Dari sini, maka saran saya, sebaiknya Anda pastikan apakah laki-laki yang Anda cintai itu mendapat izin dari isterinya untuk menikah lagi ataukah tidak, dan hal itu bisa Anda lakukan dengan cara memintanya untuk menanyakan hal itu kepada isterinya. Bila jawabannya ya, maka saya kira itu jawaban ALLAH atas doa yang pernah Anda berdua panjatkan kepada-Nya. Namun bila jawabannya tidak, maka bisa jadi itu adalah ujian ALLAH atas kesendirian Anda, atau –bahkan- bisa jadi itu godaan syetan yang dimaksudkan untuk menghalangi upaya Anda untuk mendekatkan diri kepada ALLAH, apalagi di saat Anda sedang berkonsentrasi untuk membesarkan anak sembari mendekatkan diri kepada Tuhan. Wallaahu A’lam….

Selasa, 12 Juli 2011

Ingin Cerai Karena Hati Selalu Hampa

Ingin Cerai Karena Hati Selalu Hampa

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Mohon petunjuknya, apa yang bisa dilakukan bila ingin bercerai dari suami. Sebenarnya saya sudah terbiasa beranggapan bahwa pernikahan hanyalah sebatas status sosial saja sehingga semua terlihat adem ayem. Namun sesungguhnya ada kegersangan di dalam hati, karena mengubur banyak harapan keindahan berumah tangga. Mungkin karena berulang kali tersakiti, bahkan empat kali membina rumah tangga, tapi bayangan menjadi orang yang pernah tersakiti selalu mengikuti. Mohon maaf, bukannya saya tidak mensyukuri nikmat Allah, namun saya tidak ingin berada dalam kehampaan hati sepanjang hidup saya. Alasan apa yang bisa digunakan bila ingin berpisah. Mohon petunjuknya. Terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


S-…..


Jawaban:


Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudari S yang saya hormati, pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang bertujuan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, penuh mawaddah dan rahmah. Hal ini seperti ditegaskan dalam firman ALLAH swt.: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum [30]: 21)




Seperti yang pernah saya katakan sebelumnya, bila salah satu pihak merasa bahwa tujuan tersebut tidak tercapai, maka dia berhak untuk tidak meneruskan perjalanan bahtera rumah tangganya. Bagi laki-laki berhak menjatuhkan thalak secara langsung dan bisa juga melalui pengadilan, sementara bagi perempuan bisa mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Namun karena pernikahan merupakan ikatan yang suci yang harus dijaga, maka kedua belah pihak harus berhati-hati dalam menggunakan hak tersebut. Karena itu pula, maka Rasulullah saw. menegaskan bahwa meskipun thalak dibolehkan, namun ia sangat tidak disukai. Bahkan tidak tanggung-tanggung, Rasulullah menganggap wanita yang menuntut cerai tanpa alasan yang dibenarkan sebagai wanita yang munafik, seperti ditegaskan dalam sabda beliau: ““Para istri yang minta cerai (pada suaminya) adalah wanita-wanita munafik.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud).


Dari sini, maka para ulama menetapkan sejumlah alasan yang dengannya seorang isteri bisa mengajukan gugatan cerai:


  1. Adanya penyiksaan secara fisik, mental ataupun emosional
  2. Bila tidak ada lagi ketidakcocokkan antara suami isteri, sehingga sering terjadi perselisihan di antara mereka, sementara kemungkinan dilakukannya ishlah

    (perbaikan) sangat kecil.
  3. Adanya pengkhianatan.
  4. Bila suami yang semestinya bertindak sebagai pencari nafkah tidak lagi bertanggung jawab atas hal tersebut.


Menurut saya pribadi, tidak ada salahnya bila Anda mencoba untuk merubah keadaan. Berusahalah untuk menghilangkan bayangan menjadi orang yang pernah tersakiti itu perlahan-lahan. Sebab, bayangan itulah yang menyebabkan Anda merasakan kehampaan hati. Berilah sugesti kepada diri Anda, bahwa sebenarnya Anda termasuk wanita yang beruntung. Sebab, tidak sedikit wanita yang sulit mendapatkan pasangan hidup, sementara Anda bisa berkali-kali. Namun sayang, Anda tidak memanfaatkan kesempatan itu dengan baik. Anda lebih pasrah pada keadaan dan tidak mencoba untuk merubahnya. Anda juga memiliki persepsi yang salah tentang pernikahan sejak awal Anda menikah, dimana Anda menganggapnya hanyalah sebatas status sosial saja.

Saudari S yang saya hormati, bagi seorang Mukmin, kebahagiaan bisa dicapai kapan saja, dimana saja, dan dalam kondisi apa saja, bahkan dalam kondisi yang sangat tidak menyenangkan. Hal ini digambarkan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya: ““Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin. Semua perkara (yang menimpanya) adalah kebaikan baginya dan tidaklah hal ini terjadi kecuali hanya pada diri seorang mukmin. Jika dia tertimpa sesuatu menyenangkan, dia bersyukur maka hal ini adalah baik baginya. Dan jika tertimpa musibah dia bersabar maka itu juga baik baginya.” (HR. Muslim) Namun untuk sampai pada tahap itu, kita harus berusaha keras dan tidak hanya berpasrah pada keadaan saja. Intinya, kebahagiaan itu tidak datang dengan sendiri, namun harus diupayakan. Termasuk dalam hal berumah tangga, kita harus menganggap kehidupan rumah tangga sebagai benih yang selalu dirawat dan diurus, hingga pada akhirnya akan membuahkan hasil yang menggembirakan.

Saran saya, perbanyaklah dzikir kepada ALLAH swt., karena hanya dengan dzikir kepada-Nya, hati akan selalu merasa tenang, nyaman dan bahagia. “[yaitu] Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan dzikir hati menjadi tentram.” (QS. ar-Ra’d : 28) Wallaahu A’lam…

Senin, 04 Juli 2011

Sudah Bercerai Tapi Masih 1 Ranjang

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya mau tanya, sahkah jika seorang isteri menceraikan suaminya tanpa sepengetahuan suami, dengan alasan selama 30 tahun menikah suami tidak pernah memberikan nafkah? Namun anehnya mereka masih tinggal satu rumah, apa hukumnya menurut Islam jika mereka masih tinggal satu rumah dan masih tidur satu ranjang? Sang isteri akan memberi tahu bahwa sang suami sudah diceraikan apabila dia menyakiti isterinya lagi. Demikian pertanyaan saya, Pak Ustadz. Terima kasih atas jawaban yang diberikan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
J-….

Jawaban:

Wa’alaikumsalam Wr. Wb.
Saudara J yang saya hormati, dalam Islam yang memiliki hak untuk menjatuhkan thalak secara langsung adalah laki-laki (suami), bukan wanita (isteri). Dalam hal ini, seorang suami berhak dan berwenang untuk menggunakan hak tersebut tanpa mengenal tempat dan waktu. Tetapi meskipun seorang isteri tidak memiliki hak seperti itu, dia berhak meminta sang suami untuk menceraikannya tetapi dengan syarat sang isteri harus menyerahkan sejumlah harta kepada suaminya. Dia juga berhak mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan bila ada hal-hal tertentu yang menyebabkan dirinya berfikiran untuk tidak meneruskan bahtera rumah tangganya. Dalam hal ini, pihak Pengadilan (hakim)lah yang akan menjatuhkan thalak.

Di antara hal-hal yang dimaksud adalah seperti yang disebutkan dalam ta’liq thalak, yaitu:
1. Bila suami meninggalkan isteri saya dua tahun berturut-turut.
2. Bila suami tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya.
3. Bila suami menyakiti badan / jasmani isterinya.
4. Bila suami membiarkan (tidak mempedulikan) isterinya selama enam bulan.

Bila ada salah satu dari keempat hal tersebut yang dilakukan oleh suami, sementara sang isteri tidak ridha dan mengadukan hal tersebut ke Pengadilan Agama, lalu pengadilan menerima dan mengabulkan pengaduan tersebut, maka jatuhlah thalak satu.

Saudara J yang saya hormati, dari pertanyaan Anda, nampaknya memang ada salah satu poin dari keempat poin yang disebutkan dalam ta’liq thalak di atas, karena –menurut penuturan Anda- sang suami tidak memberi nafkah kepada isterinya selama 30 tahun. Namun seperti yang saya katakan di atas, isteri tidak memiliki hak untuk menjatuhkan thalak. Bila dia tidak ridha dengan kondisi seperti itu, lalu dia ingin memutuskan tali pernikahan, maka dia harus mengajukan gugatan ke pengadilan. Bila gugatannya disetujui hakim, barulah jatuh talak. Atau, dia bisa meminta suami untuk menceraikannya. Bila suami menyetujuinya dan kemudian menjatuhkan talak, saat itu barulah jatuh talak.

Jadi seorang isteri tidak bisa menceraikan suaminya seorang diri, apalagi tanpa sepengetahuan suami seperti yang Anda katakan di atas, kecuali bila dia mengajukan gugatan ke pengadilan dan gugatannya itu disetujui oleh hakim.

Dalam kasus yang Anda tanyakan, saya tidak melihat adanya salah satu dari kedua hal yang saya sebutkan pada paragraph sebelumnya, yang dapat menyebabkan jatuhnya talak. Karena itu, -menurut hukum Islam- sepasang suami isteri tersebut masih terikat dalam ikatan pernikahan yang sah, sehingga sah-sah saja bila mereka masih tinggal satu rumah dan masih tidur satu ranjang.

Namun bila yang Anda maksud dalam pertanyaan di atas adalah bahwa sang isteri telah mengajukan gugatan ke pengadilan karena dia tidak ridha dengan sikap suami yang tidak menafkahinya selama 30 tahun, kemudian gugatan itu disetujui oleh pengadilan hingga jatuhlah talak satu, maka haram hukumnya mereka tinggal satu rumah lagi, apalagi tidur satu ranjang. Wallaahu A’lam….

Kamis, 16 Juni 2011

Suami Impoten, Isteri Tuntut Cerai

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pertanyaan saya singkat saja, Pak Ustadz. Bolehkah seorang isteri menuntut cerai bila tiba-tiba suaminya menderita impoten, padahal dulunya tidak? Apakah bila dia menuntut cerai, dia akan dikatagorikan sebagai wanita yang munafik? Syukron katsiron atas jawabannya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

X-…

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudari X yang saya hormati, di antara tujuan pernikahan –seperti yang sering kita dengar- adalah untuk membangun rumah tangga yang dilandasi oleh perasaan cinta, sayang dan tenteram. Hal ini seperti ditegaskan ALLAH swt. dalam firman-Nya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Ruum [30 ]: 21)

Namun dalam perjalanan mengarungi bahtera rumah tangga seringkali muncul ombak-ombak besar yang mungkin akan mempengaruhi kondisi psikologis salah satu pihak, atau bahkan kedua-duanya. Hal ini biasanya menyebabkan salah satu pihak akan mengambil keputusan (atau meminta) untuk tidak meneruskan perjalanan tersebut. Salah satu ombak besar yang saya maksud adalah munculnya penyakit impoten yang diderita suami.

Dalam banyak kasus, kondisi seperti itu memang akan mempengaruhi keharmonisan rumah tangga. Hal ini disebabkan karena kebutuhan akan seks bukan hanya milik laki-laki, tetapi juga milik perempuan. Karena itulah maka Islam sangat memperhatikan hal tersebut, bahkan mengatagorikannya sebagai hak isteri yang harus diperhatikan oleh suami. Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah bertanya kepada Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash: “Wahai Abdullah, aku mendengar berita bahwa kamu bangun di malam hari dan berpuasa di siang hari, benarkah itu?" Abdullah bin ‘Amr menjawab: "Benar." Rasulullah saw. pun bersabda: "Jangan kamu lakukan itu; tetapi tidur dan bangunlah, berpuasa dan berbukalah, karena sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atas dirimu, kedua matamu memiliki hak atas dirimu, tamumu memiliki hak atas dirimu, dan istrimu memiliki hak atas dirimu.” (HR. Bukhari)

Bahkan masalah impotensi ini telah dibahas oleh para ahli fikih zaman dulu. Setidaknya, ada dua pendapat mengenai hal tersebut:

  1. Bila suami impoten, maka tidak jatuh faskh (pembatalan pernikahan). Ini adalah pendapat Hakam bin ‘Uyainah dan Daud yang didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, bahwa dia berkata: “Suatu ketika isteri Rifa'ah datang menemui Nabi saw. Ia berkata : ‘Dulu aku adalah isteri Rifa'ah, tetapi dia telah menceraikanku dengan talak tiga. Setelah itu aku menikah dengan ‘Abdurrahman bin Zubair, akan tetapi sesuatu yang ada padanya seperti hudbatuts-tsaub (ujung kain) (maksudnya, terlalu lembek sehingga tidak bisa digunakan untuk berhubungan badan-ed).’ Rasulullah saw. pun tersenyum mendengarnya, lalu beliau bersabda : ‘Apakah kamu ingin kembali kepada Rifa'ah? Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya (Abdurrahman) dan ia pun merasakan madumu….’” (HR. Muslim)
  2. Impotensi merupakan aib (cacat) yang dapat menyebabkan jatuhnya faskh, tentunya setelah si suami diberi tenggang waktu untuk mencoba melakukan hubungan intim lagi, agar terbukti bahwa dirinya benar-benar impoten. Pendapat ini merupakan pendapat Umar, Utsman, Mughirah bin Tsu’bah, Sa’id bin Musayyab, Atha`, serta para ulama berikutnya termasuk Imam Hanafi, Maliki dan Syafi’i. Menurut mereka, hadits yang diriwayatkan Muslim tersebut tidak menunjukkan bahwa laki-laki tersebut impoten, karena jika benar-benar impoten, maka Rasulullah tidak mungkin mengatakan “Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya (Abdurrahman) dan ia pun merasakan madumu….” Sebab, orang yang benar-benar impoten tidak mungkin dapat mewujudkan hal tersebut. Hal ini juga diperkuat oleh beberapa riwayat lain yang menunjukkan bahwa wanita tersebut berdusta karena ingin kembali kepada suaminya yang pertama.

Saya pribadi lebih cenderung pada pendapat kedua. Karena itu, -menurut saya- isteri berhak untuk menentukan pilihan, apakah dia akan meneruskan perjalanan bahtera rumah tangganya ataukah tidak. Hal ini disebabkan karena hubungan seksual termasuk salah satu tiang penting dalam membina rumah tangga. Namun dalam hal ini, isteri tetap dituntut untuk bijaksana. Jika memang hanya masalah ini yang menjadi penghambat keharmonisan rumah tangga, maka dia harus memberikan kesempatan kepada suaminya untuk berobat, karena bisa jadi penyakit tersebut hanya bersifat sementara. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud: “Diberikan waktu satu tahun. Apabila ia mampu mendatangi (mampu menjimai kembali) istrinya, (maka pernikahan itu diteruskan). Jika tidak, maka (boleh) dipisahkan (cerai) antara keduanya.” (HR Daruquthni) Bahkan alangkah mulianya lagi bila ternyata isteri tidak mau menggunakan haknya sama sekali atau dia terus memberikan dukungan moral dan doa agar suaminya sembuh dari penyakit tersebut, karena yang dia butuhkan hanyalah cinta dan kasih sayang suami, atau mungkin karena pertimbangan lain seperti karena pertimbangan anak.

Namun, bila ternyata penyakit impoten yang diderita suami tidak kunjung sembuh, meskipun sudah diberi tenggang waktu untuk berobat, sementara si isteri tidak tahan dengan kondisi seperti itu, maka dia berhak menggunakan haknya, dan dia tidak dikatagorikan sebagai wanita munafik seperti yang disebutkan dalam hadits Nabi saw.: “Para istri yang minta cerai (pada suaminya) adalah wanita-wanita munafik.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud). Dalam kondisi seperti ini, hakim pun berhak untuk menjatuhkan faskh. Wallahu A’lam…

Kamis, 19 Mei 2011

Nikah Dengan Syarat Yang Memberatkan

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ustadz, saya mau bertanya tentang hukum pernikahan. Ada seorang teman wanita yang Alhamdulillah sudah seperti keluarga saya sendiri. Kebetulan sekarang dia sedang ada masalah. Dia menikah sudah sekitar satu tahun lebih, dan sekarang sudah dikaruniai seorang putera.

Beberapa minggu terakhir ini dia dan suaminya meninggalkan rumah ibunya karena ada perselisihan antara suaminya dengan ibunya. Awalnya dia dan ibunya tinggal di Bekasi, sementara suaminya tinggal dan bekerja di daerah Bogor. Si suami ingin agar anak istrinya ikut tinggal di Bogor, karena suami merasa sudah capek harus pulang setiap akhir bulan. Namun sang ibu melarang dengan dalih bahwa sudah ada perjanjian sebelum menikah, yang menyatakan bahwa si isteri harus tinggal bersama ibunya meski suami bekerja dan tinggal di luar kota.

Adapun alasan mengapa suami ingin mengajak isterinya tinggal bersamanya, antara lain sebagai berikut:

1. Karena kebutuhan nafkah bathin.

2. Kerinduannya kepada sang anak yang sering mengganggu konsentrasinya dalam bekerja.

3. Merasa sudah tidak mampu menahan godaan dari luar (kebutuhan bathin).

4. Jarak yang jauh, sehingga menambah biaya hidup untuk ongkos pulang.

Yang saya tanyakan, apakah dibenarkan adanya perjanjian seperti yang dikemukakan oleh si ibu sebelum menikah? Saya mohon bimbingannya, ya Ustadz. Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

R-….

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudara R yang saya hormati, model pernikahan dengan perjanjian seperti itu memang ada dalam kajian Ilmu Fikih. Bahkan sebagian ulama membolehkannya selama syarat yang ditetapkan tidak bertentangan dengan ketentuan syariat. Di antara ulama yang membolehkan pernikahan dengan syarat setelah pernikahan si isteri tidak diajak pindah ke negeri lain atau pindah rumah adalah Syaikh Muhammad bin Ibrahim.

Menurutnya, bila seorang wanita dan walinya sepakat untuk tidak melangsungkan pernikahan kecuali dengan syarat seperti itu, maka syarat tersebut sah dan harus dipenuhi. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Uqbah bin Amr bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya syarat-syarat yang paling berhak dipenuhi adalah syarat yang telah kamu sepakati dalam pernikahan."

Dalam sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Atsram disebutkan bahwa ada seorang laki-laki yang menikah dengan seorang wanita, dimana wali wanita tersebut mensyaratkan puterinya tetap tinggal bersama keluarganya. Tetapi suatu saat, sang suami ingin mengajak isterinya pindah. Melihat itu, keluarga si isteri pun melaporkan hal tersebut kepada Umar bin Khathab. Beliau pun membenarkan syarat tersebut. Namun bila si isteri rela diajak untuk pindah, maka sang suami boleh membawa pindah. [(Fatawa wa Rasail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Juz 10/143)

Namun Imam Hanafi dan Imam Syafi’i tidak membolehkan syarat seperti itu, karena menurut mereka berdua syarat yang dibolehkan dalam akad pernikahan hanyalah syarat yang memang pada dasarnya merupakan bagian dari akad nikah, seperti syarat agar suami menafkahi isterinya, syarat agar memperlakukannya dengan baik dan lain sebagainya. Sedangkan syarat-syarat yang tidak termasuk bagian dalam akad nikah, meskipun di dalamnya terdapat manfaat bagi salah satu pihak, seperti syarat agar isteri tidak dimadu, syarat agar isteri tidak dibawa keluar rumah (pindah rumah), serta syarat-syarat lainnya yang sejenis, dianggap sebagai syarat yang batil, tidak harus dipenuhi dan tidak mempengaruhi sah tidaknya akad nikah yang dilakukan.

Letak perbedaan antara kedua pendapat tersebut sebenarnya lebih pada batasan mana syarat yang dianggap sah dan mana syarat yang dianggap batil. Menurut saya, pendapat kedua lebih tepat dan lebih cocok dengan kondisi kehidupan sekarang yang lebih kompleks. Pernikahan dengan syarat agar si isteri tidak boleh pindah rumah (padahal terkadang suami harus tinggal di luar kota atau -bahkan- di luar negeri) dapat menyebabkan berbagai masalah dalam rumah tangga, yang pada akhirnya dapat menyebabkan retaknya hubungan rumah tangga dan juga terdorongnya seseorang untuk melakukan perbuatan yang tidak diridhai ALLAH swt.. Masalah-masalah yang dimaksud di antaranya adalah seperti yang Anda pada poin alasan mengapa suami isterinya tinggal bersamanya.

Namun meskipun saya lebih menyarankan kepada teman Anda untuk mengikuti pendapat kedua, ada baiknya masalah ini diselesaikan secara baik-baik (secara kekeluargaan) sehingga tidak menimbulkan perselisihan antara orangtua dengan anaknya. Sebab walau bagaimanapun, teman Anda itu harus tetap menghormati orangtuanya, meskipun dia sudah menjadi isteri orang lain. Saya yakin, selalu ada solusi yang terbaik bila kita mau berusaha menyelesaikan masalah dengan akal yang jernih tanpa dibarengi dengan emosi. Wallaahu A’lam….(Fz)

Source: www.ddtravel.co.id

Senin, 09 Mei 2011

Sebuah Dilema: Ibu Atau Suami?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ustadz, ada sepasang suami isteri yang awalnya begitu bahagia, meskipun suami belum memiliki pekerjaan yang mapan. Melihat kondisi pekerjaan suami yang masih serabutan, sang isteri terus menyemangati suaminya agar lebih giat dalam mencari nafkah. Namun akhir-akhir ini kebahagiaan sepasang suami isteri itu mulai pudar akibat campur tangan orangtua si isteri yang kebetulan secara materi lebih mapan.

Awalnya orangtua isteri begitu prihatin melihat kondisi kehidupan anak dan menantunya yang tergolong belum mapan dan masih sering kekurangan, sehingga setiap bulan dia masih memberikan subsidi kepada keduanya. Namun saat ada masalah antara suami isteri tersebut, orangtua si isteri membela anaknya dan mengungkit-ungkit semua pemberian (subsidi) yang selama ini dia berikan, padahal sebenarnya masalahnya tidak terlalu besar dan bisa diselesaikan dengan baik. Sekarang orangtua isteri sudah membenci menantunya sendiri karena –menurutnya- menantunya itu tidak bisa apa-apa dan hanya bisa numpang hidup kepadanya. Dia pun selalu menjelek-jelekkan menantunya di depan anaknya sendiri. Karena sikap orangtua si isteri itulah, sang suami jadi tersinggung dan merasa dihina.

Pak Ustadz, sekarang si isteri sedang dalam dilema, apakah dia harus berada pada pihak orangtua (ibu)nya ataukah suaminya? Setiap malam, dia selalu menangis karena bingung memikirkan apa yang harus dia lakukan. Bila membela sang ibu, dia khawatir dicap durhaka kepada suami, demikian pula sebaliknya. Menurut Ustadz, bagaimana sebaiknya sikap si isteri?? Terima kasih Ustadz.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

T-….

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudari T yang saya hormati, masalah dalam rumah tangga memang akan bertambah rumit dengan adanya campur tangan pihak ketiga yang kurang bijaksana. Bukannya solusi yang didapat, melainkan bertambah runyamnya masalah yang dihadapi, bahkan dapat berujung pada perceraian.

Sebenarnya masalah seperti itu tidak akan terjadi bila orangtua si isteri lebih bijaksana dan benar-benar menginginkan kebahagiaan untuk anaknya. Idealnya saat membantu anak dan menantunya, seharusnya dia melakukannya dengan ikhlas, sehingga itu akan menjadi amal kebaikan yang dapat mendatangkan pahala baginya meskipun bantuan itu diberikan kepada anak dan menantunya sendiri. Tidak sepatutnya dia mengungkit-ungkit kembali pemberian yang telah dilakukan karena hal itu justru akan menggugurkan pahala kebaikan tersebut, sesuai firman ALLAH swt.: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).(QS. Al-Baqarah [2]: 264)

Hal itu juga dapat menjadi pemicu retaknya hubungan rumah tangga anaknya, apalagi bila hal itu dilakukan di saat sedang ada masalah antara anaknya dengan menantunya sendiri.

Masalah seperti itu juga tidak akan terjadi bila masing-masing pihak -terutama suami dan isteri- lebih dewasa dalam menghadapi masalah yang terjadi dalam hubungan rumah tangga mereka. Dalam kasus di atas, semestinya mereka menyelesaikan sendiri masalah yang mereka hadapi, tanpa harus melibatkan pihak ketiga. Tentunya hal itu bisa terwujud bila keduanya tetap menjaga kerahasiaan masalah di antara mereka, termasuk kepada orangtua mereka masing-masing, kecuali bila sudah bisa diselesaikan dengan baik. Saya yakin, masalah apapun bisa terselesaikan secara damai selama kedua belah pihak (suami-isteri) tidak mempertahankan egonya masing-masing dan tidak menggunakan emosi ataupun perasaannya secara berlebihan.

Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan tadi bisa dijadikan acuan bagi siapa saja yang menginginkan keutuhan rumah tangganya termasuk sepasang suami isteri yang Anda ceritakan di atas, tentunya bila nantinya ALLAH menghendaki mereka berdua bisa ishlah kembali dan berhasil melewati masalah tersebut dengan baik.

Saudari T yang saya hormati, kunci solusi dari masalah yang Anda tanyakan sebenarnya ada pada diri si isteri. Dia harus bisa memainkan peran sebagai mediator atau penengah yang baik. Tentunya hal itu akan terwujud bila dia tidak terus larut dalam perasaan dan kebingungannya. Menurut saya, tidak ada yang perlu dibingungkan atau dianggap sebagai dilema, karena dua-duanya baik ibu ataupun suami merupakan dua orang yang harus dihormati dan ditaati olehnya. Jadi permasalahan yang sesungguhnya bukan terletak pada siapa yang harus dibela dan diikuti perkataannya, tetapi lebih pada bagaimana cara untuk mendamaikan keduanya?

Menurut saya, cara yang terbaik adalah dengan melakukan pendekatan emosional, baik dengan suami maupun dengan ibu. Sebelum si isteri mendamaikan antara suaminya dengan ibunya, dia harus berbicara dari hati ke hati dengan suaminya terlebih dahulu. Dia harus melakukannya secara dewasa dengan mengenyampingkan emosi dan perasaannya. Pada saat itu, dia harus menunjukkan komitmennya untuk tetap mempertahankan bahtera rumah tangganya (terutama demi anak bila sudah ada anak) dan untuk merajut kembali “benang” kebahagiaan yang saat ini sedikit terurai. Bila suami mau menerima ishlah dengan ibu mertuanya, bila perlu suami dan isteri tersebut membuat komitmen-komitmen baru yang tujuannya untuk meminimalisir terjadinya hal serupa di masa-masa mendatang.

Si isteri juga harus berbicara dari hati ke hati dengan ibunya. Dia harus berusaha mengambil hati sang ibu sehingga beliau mau menerima menantunya apa adanya, sebagaimana beliau dulu mau menerimanya sebagai menantu. Saya yakin, hati seorang ibu lebih mudah untuk ditaklukkan karena pada hakekatnya semua ibu menginginkan hal yang terbaik untuk anaknya (termasuk kebahagiaan). Tentunya jangan lupa untuk senantiasa memohon pertolongan ALLAH swt..

Belum lama ini, ada yang konsultasi kepada saya dengan masalah yang hampir sama dengan masalah di atas, namun lebih rumit dan tinggal selangkah lagi menuju gerbang perceraian. Kebetulan yang tersinggung adalah pihak isteri dan ibunya sehingga terjadi konflik antara si isteri dan ibunya dengan orangtua (ayah dan ibu) suaminya. Alhamdulillah dengan izin ALLAH, dengan saran yang intinya tidak jauh berbeda dengan apa yang saya sampaikan di atas, sepasang suami isteri itu kembali hidup rukun. Konflik antara si isteri dengan orangtua suaminya pun sudah terselesaikan dengan baik. Wallaahu A’lam….
Source: www.ddtravel.co.id

Rabu, 09 Maret 2011

Sekamar Bertiga (Suami, Isteri & Ibu Mertua)

|Cetak Halaman|


Sekamar Bertiga (Suami, Isteri & Ibu Mertua)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Ustadz, saya punya masalah rumah tangga. Secara detailnya, saya mungkin tidak bisa menjelaskannya di sini. Tapi intinya, saat ini saya sedang kesal dengan suami. Sebab menurut suami, saat kami pulang ke kampung nanti, kamar mama (ibu mertua saya) dan kamar kami dijadikan satu. Jadi satu kamar nanti diisi 3 orang. Saya tidur bersama suami, sementara mama tidur di kamar sebelah yang hanya dipisahkan oleh sekat pembatas. Jadi tidak ada privacy di antara kami.

Menurut suami, hal itu disebabkan karena mama takut tidur sendirian. Yang ingin saya tanyakan, apakah Islam membolehkan hal seperti itu? Ayat atau hadits apa yang menjelaskan tentang aurat lahir dan aurat batin. Terima kasih atas jawabannya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

X-….

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Saudari X yang saya hormati, masalah yang Anda dan suami hadapi sebenarnya hampir mirip dengan sejumlah masalah yang dikonsultasikan saudara-saudara kita yang lain, seperti pada konsultasi berjudul “Batasan Berbakti Kepada Kedua Orangtua” dan “Petunjuk Dari ALLAH Ataukah Dari Syetan”, dimana masalah yang Anda hadapi bersinggungan dengan permasalahan berbakti kepada kedua orangtua. Dalam hal ini, bila Anda dan suami tidak berhati-hati dalam mengambil sikap, hal itu bisa menyinggung perasaan orangtua (mama). Bahkan, dalam kasus seperti ini ada sebagian orangtua yang menganggap anaknya sebagai anak yang durhaka. Oleh karena itu, Anda dan suami dituntut untuk lebih bijak dalam menyikapinya.

Keharusan adanya privacy –terutama privacy antara suami-isteri- seperti yang Anda inginkan, sudah jauh-jauh hari diperhatikan oleh Islam. Perhatikanlah firman ALLAH swt. dalam QS. An-Nuur ayat 58 yang berbunyi:

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. An-Nuur : 58)

Ayat di atas menjelaskan tentang tiga waktu yang biasanya seseorang –termasuk suami isteri- berada dalam keadaan terbuka auratnya, atau bisa jadi sedang berhubungan badan. Karena itu, walaupun budak-budak dan anak-anak kecil yang belum baligh dibolehkan masuk tanpa izin pada waktu-waktu lain, mereka harus meminta izin terlebih dahulu dalam ketiga waktu tersebut. Dari sini, jelas bahwa Islam sangat menghargai privacy seseorang, apalagi suami-isteri. Ayat tersebut memang khusus tentang budak dan anak-anak kecil, tapi dapat difahami secara mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik), bila budak-budak dan anak-anak kecil saja, tidak dibolehkan, maka apalagi orang dewasa.

Hal ini diperkuat oleh firman ALLAH swt. dalam ayat berikutnya: "Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nuur:59)

Saudari X yang saya hormati, apa yang Anda khawatirkan cukup beralasan. Namun karena hal ini berkaitan dengan orangtua, maka Anda dan suami harus berhati-hati. Bicarakanlah dengan suami barangkali ada solusi yang terbaik, apalagi bila Anda dan suami tinggal di kampung hanya sementara waktu saja. Wallaahu A'lam....

Rabu, 23 Februari 2011

Hukum Wanita Yang Dipaksa Berzina

|Cetak Halaman|


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, saya mau tanya. Saya punya saudara perempuan yang dipaksa untuk melakukan perzinaan dengan seorang lelaki yang telah beristri. Apakah dia harus menikah dengan orang yang menzinainya? Sementara saudara saya itu tidak ingin menyakiti hati anak dan isteri lelaki tersebut.

Saudara perempuan saya itu sekarang sedang bekerja di luar negeri. Bila memang dia wajib menikah dengan lelaki tersebut, bagaimana dengan perwaliannya? Apakah dia boleh menikah di sana sementara seluruh walinya ada di Indonesia, dengan kemampuan finansial yang pas-pasan. Wajibkah mereka menikah? Terima kasih atas jawabannya.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

A-…

Jawaban:

Saudara A yang saya hormati, jawaban untuk pertanyaan Anda sebenarnya pernah saya singgung pada konsultasi berjudul “Hukum Menikahi Wanita Hamil dan Status Anak Di Luar Nikah”. Di sini, sengaja saya kutipkan kembali poin-poin yang berkaitan dengan permasalahan yang Anda tanyakan:

“Mengenai hukum menikahi wanita yang pernah berzina itu, sedikitnya ada 3 pendapat:

Pertama: Sebagian ulama termasuk sebagian sahabat seperti Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra` dan Ibnu Mas’ud, berpendapat bahwa wanita yang pernah berzina tidak boleh dinikahkan baik dengan laki-laki yang menzinahinya ataupun laki-laki yang baik (bukan pezina). Mereka mendasarkan pendapatnya itu pada firman Allah swt.: “Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.” (QS. An-Nuur [24]: 3) Berdasarkan dalil tersebut pula, Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa seorang isteri yang berzina harus diceraikan oleh suaminya.

Kedua: Jumhur (mayoritas) ulama termasuk Abu Bakar dan Umar bin Khathab berpendapat bahwa wanita tersebut boleh dinikahkan, baik dengan orang yang menzinahinya ataupun dengan orang lain. Pendapat kedua ini didasarkan pada firman Allah swt. “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya yang lelaki dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur [24]: 32) Dalam hal ini, bila wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki yang menzinahi atau menghamilinya, maka tidak perlu ada istibra`. Istibra` adalah upaya untuk memastikan bahwa rahim seorang wanita telah benar-benar bersih dari air mani laki-laki yang telah menggaulinya. Masa istibra` ini adalah 6 bulan. Tujuan istibra` ini adalah untuk mendapat kepastian nasab. Untuk tujuan ini pula, maka Islam mensyariatkan adanya masa iddah. Oleh karena itu, menurut jumhur ulama, bila wanita yang hamil itu dinikahi oleh laki-laki yang benar-benar menghamilinya, maka hal itu dibolehkan dan tidak perlu menunggu hingga melahirkan. Lain halnya bila wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki lain, bukan laki-laki yang menghamilinya, maka pernikahan itu haram dilakukan kecuali setelah wanita itu melahirkan bayi yang dikandungnya dan telah melewati masa nifas. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi saw.: “Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk menuangkan air (maninya) pada tanaman milik orang lain.” (HR. Abu Daud) Memang ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa meskipun dinikahi oleh laki-laki yang menzinahinya, sang wanita tetap harus menunggu hingga melahirkan, dengan dalil: “sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, masa ‘iddah mereka itu sampai melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Thalaaq [64]: 4)

Ketiga: Pendapat ketiga adalah pendapat Imam Ahmad. Beliau mengharamkan seorang laki-laki menikahi wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Tapi bila sudah bertaubat, maka pernikahan itu dibolehkan.”

Saudara A yang saya hormati, dari ketiga pendapat yang saya sebutkan di atas, tidak ada satupun yang mewajibkan pernikahan antara wanita yang berzina dengan lelaki yang menzinahinya. Jumhur ulama hanya sebatas “membolehkan” saja, tidak sampai pada tahap mewajibkan. Oleh karena itu, meskipun –sesuai penuturan Anda- saudara perempuan Anda dipaksa untuk melakukan perzinahan, dia tidak serta merta harus dinikahkan dengan lelaki tersebut, karena memang tidak ada ketentuan yang mewajibkan seperti itu. Andaikata dia harus dinikahkan, menurut saya, itu karena faktor/pertimbangan lain yang lebih menekankan aspek “mashlahah”. Artinya, dia harus dinikahkan dengan laki-laki tersebut karena hal itu lebih baik daripada bila dia tidak dinikahkan dengannya. Sebagai contoh, lebih baik dia dinikahkan, karena bila tidak, maka mereka berdua akan terus larut dalam perzinaan.

Dengan demikian, wajib atau tidaknya saudara perempuan Anda dinikahkan dengan laki-laki tersebut sangat kondisional dan harus memperhatikan kondisi-kondisi yang ada, termasuk kondisi laki-laki tersebut yang sudah beristeri dan beranak. Namun, andaikata sesuai pertimbangan “kemashlahatan” yang telah dilakukan, keduanya memang sebaiknya dinikahkan, maka Anda tidak perlu bingung dengan masalah perwalian. Sebab, saudara perempuan Anda itu berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan baginya untuk menghadirkan orang-orang yang berhak menjadi wali dalam pernikahannya. Dalam kondisi adanya halangan seperti, maka dia dibolehkan menikah dengan menggunakan wali hakim, sesuai sabda Nabi saw.: “Penguasa (as-sulthan) adalah wali bagi orang (perempuan) yang tidak punya wali.” (HR. Al-Arba'ah, kecuali Nasa'i) Wallahu A'lam...

Minggu, 06 Februari 2011

Salahkah Bila Saya Menuntut Cerai

|Cetak Halaman|


Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Suami saya sampai sekarang masih menjalin hubungan dengan mantan pacarnya. Yang saya tahu, mereka intensif komunikasi lewat inbox,sms maupun telpon. Hal itu sudah dimulai sejak kami menikah 12 tahun yang lalu. Suami saya sendiri pernah mengaku bahwa dirinya tidak bisa melupakan wanita itu. Awalnya, saya kuat untuk menahan perasaan, dan saya hanya berharap suatu saat suami saya akan sadar dan bisa melupakan wanita itu sehingga dia bisa lebih fokus kepada kami, anak isterinya (Alhamdulillah kami sudah dikaruniai 2 orang anak).

Tetapi ternyata sampai detik ini, mereka masih tetap berhubungan. Hal itu membuat saya sangat down. Hingga saya pun merasa sudah tidak sanggup lagi untuk hidup bersama suami. Suatu ketika, saya pernah meminta cerai kepadanya, tetapi dia malah marah dan menampar saya. Dia menuduh saya telah mempermainkan perasaannya. Saya bingung harus bagaimana? Selama 12 tahun ini saya sudah cukup menderita, lahir maupun batin. Salahkah bila saya meminta cerai?? Mohon arahannya, Pak Ustadz.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
X-…..


Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudari X yang saya hormati, rasanya sudah berapa kali saya memberikan jawaban terhadap konsultasi serupa yang diajukan oleh saudari-saudari kita yang lain. Agar lebih gamblang, saya sarankan sebaiknya Anda melihat kembali konsultasi-konsultasi serupa yang pernah saya bahas, seperti konsultasi berjudul “Suamiku Selingkuh Dengan Wanita Lain (Part 1)” dan “Suami Selingkuh Dengan Wanita Lain (Part 2)".

Di sini, saya hanya ingin menekankan bahwa sekarang di hadapan Anda ada beberapa kemungkinan yang dapat Anda pilih. Tentunya saya berharap Anda akan memilih kemungkinan yang terbaik.

1. Anda tetap meneruskan pernikahan Anda dengan membiarkan kondisi seperti yang ada sekarang. Anda tidak bisa menerima kehadiran wanita lain yang mungkin menurut Anda telah merusak keharmonisan rumah tangga Anda, namun Anda tidak mau berusaha untuk merubah keadaan. Tentunya hal ini bukanlah pilihan yang terbaik buat Anda karena Anda harus mengarungi bahtera rumah tangga dalam keadaan batin tersiksa terus, dan mungkin akan banyak dosa yang Anda dan suami lakukan (terutama karena tidak bisa menahan emosi). Hal ini juga tidak baik bagi anak-anak Anda karena pasti akan mempengaruhi kejiwaan mereka. Bahkan menurut saya, hal ini juga tidak baik bagi suami Anda, karena Anda terus membiarkannya terus larut dalam kemaksiatan.

2. Anda tetap meneruskan pernikahan Anda namun Anda sedikit membuka hati untuk menerima kehadiran wanita lain sebagai isteri yang sah bagi suami Anda. Mungkin pilihan ini akan terasa pahit bagi Anda, namun bila Anda mengambil pilihan ini, berarti Anda telah membuka sedikit peluang kebajikan, paling tidak Anda telah menyelamatkan suami dari kemaksiatan yang dia lakukan dengan wanita lain (walaupun –maaf- tidak sampai berhubungan badan). Namun, baik tidaknya pilihan ini sangat tergantung pada keikhlasan Anda. Melihat uraian Anda di atas, nampaknya pilihan ini tidak cocok untuk Anda, karena –nampaknya- Anda termasuk wanita yang tidak bisa menerima kehadiran wanita lain sebagai isteri kedua suami Anda.

3. Anda tetap meneruskan pernikahan dengan suami dalam keadaan Anda tidak mau menerima kehadiran wanita tersebut, namun Anda mau berusaha keras untuk memperbaiki keadaan, sehingga suami Anda benar-benar mau melupakan wanita tersebut dan lebih fokus kepada Anda dan anak-anak. Nampaknya Anda pernah mengharapkan hal itu terjadi, walaupun akhirnya sekarang harapan itu hampir pupus. Saudariku, bila Anda masih mengharapkan hal itu terjadi, saya sarankan sebaiknya Anda berusaha lebih keras. Tunjukkan kepadanya bahwa Anda benar-benar mencintainya, kemudian lakukanlah hal-hal yang disukainya dan hindarilah hal-hal yang tidak disukainya. Berusahalah semampu mungkin agar Anda benar-benar menjadi “tambatan hatinya” sehingga dia tidak berpindah ke lain hati. Yakinlah bahwa perubahan tidak akan datang dengan sendirinya, tapi harus diupayakan, sesuai firman ALLAH swt.: “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka merubah diri-diri mereka." (QS. ar-Ra'du [13]: 11) Salah satu upaya untuk merubahnya, Anda juga harus bersikap tegas. Jangan Anda terkesan sebagai wanita yang lemah yang bisa dipermainkan begitu saja oleh suami. Namun tegas bukan berarti harus menggunakan emosi, hindari semaksimal mungkin penggunaan emosi. Jangan lupa, berdoalah kepada ALLAH dengan serius, kalau bisa setelah shalat tahajjud. Memohonlah kepada ALLAH agar Dia memberi hidayah kepada suami Anda. Yakinlah bila Anda berdoa dengan serius, maka ALLAH akan mengabulkan doa Anda seperti disebutkan dalam firman-Nya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. al-Baqarah [2]: 186).

4. Kemungkinan terakhir adalah Anda tidak mau meneruskan pernikahan dengan suami alias Anda menuntut cerai darinya, seperti yang sekarang terfikir dalam benak Anda. Seperti yang pernah saya jelaskan pada konsultasi-konsultasi sebelumnya, hal itu boleh saja Anda lakukan, karena itu hak Anda. Apalagi Anda merasa sangat tertekan hidup bersama dengannya, terutama di saat dia terkadang bersikap kasar terhadap Anda padahal dialah yang telah melakukan kesalahan. Walaupun secara sekilas, pilihan ini nampaknya terbaik bagi Anda agar Anda dapat cepat terbebas dari masalah yang sedang Anda hadapi sekarang, namun hal itu belum tentu menjadi pilihan yang terbaik buat Anda, apalagi buat anak-anak Anda. Karena itu, janganlah Anda menuruti emosi sesaat saja. Pikirkanlah matang-matang bila Anda ingin mengambil pilihan ini. Untuk itu, sebaiknya Anda memohon petunjuk kepada ALLAH swt. langsung, karena hanya Dia-lah Dzat Yang Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya. Wallaahu A’lam….

Sabtu, 25 Desember 2010

Suamiku Selingkuh Dengan Wanita Lain (Part 2)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, bagaimana kabarnya? Maaf sudah mengganggu, saya ingin curhat masalah rumah tangga saya. Saya sudah 6 tahun menikah dan dikaruniai 1 anak laki-laki usia 3 tahun . Pada bulan November tahun 2009 suami saya ketahuan selingkuh dengan seorang gadis. Sewaktu ditanya, ternyata sudah 5 bulan mereka berhubungan. Tetapi pada bulan November itu, suami saya berjanji akan memutuskan hubungannya. Saya pun menemui gadis itu, dan dia pun menyetujuinya. Menurutnya, dia mau berhubungan dengan suami saya karena katanya tinggal menunggu surat cerai, padahal waktu itu rumah tangga kami tidak ada apa-apa.
Setelah ditelusuri, ternyata hubungan mereka masih berlanjut sampai bulan Mei 2010 tahun ini. Sakit sekali hati ini, Pak Ustadz, karena saya sudah 2 kali diselingkuhi. Yang pertama dulu waktu sudah tunangan, suami saya selingkuh. Tapi saya memaafkannya, dan kami pun menikah. Setelah bulan Mei itu, hati saya selalu diselimuti dengan ketidakpercayaan terhadap suami saya. Hati saya selalu tidak tenang, ditambah lagi sikap suami yang tertutup dan selalu pulang malam. Hp-nya pun selalu disembunyikan, hingga bertambahlah rasa curiga saya terhadap suami.
Semua itu mencapai klimaksnya pada bulan November lalu. Saya akhirnya pulang ke rumah orangtua, lalu saya menceritakan semuanya kepada orangtua. Jadi sudah hampir 2 bulan saya berada di rumah orangtua. Yang saya bingungkan sekarang adalah, saya ingin kembali kepada suami tetapi keluarga saya tetap kekeuh agar saya bercerai dengan suami. Semua itu karena suami pernah berjanji tidak akan mengulangi semua kesalahannya, namun ternyata dia mengingkarinya. Bagaimana ini, Pak Ustadz. Tolong saya, bagaimana saya harus berbuat? Saya bingung bagaimana menghadapi keluarga saya? Saya minta solusi dari Pak Ustadz, dan apakah tidak salah jika saya kembali lagi kepada suami? Terimakasih atas perhatian dan waktunya. Semoga ALLAH membalas semua kebaikan Pak Ustadz, amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
X-…

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudari X yang saya hormati, sebelumnya saya mohon maaf atas keterlambatan jawaban yang saya berikan. Saya juga turut prihatin atas masalah yang Anda hadapi. Mudah-mudahan ALLAH memberikan jalan keluar yang terbaik, dan mudah-mudahan ALLAH membuka mata hati suami Anda, amin.

Menyikapi masalah yang Anda hadapi, sebaiknya anda cepat mengambil langkah-langkah ishlah / perbaikan. Jangan berlarut-larut membiarkannya dengan cara tinggal di rumah orangtua tanpa mau menjalin komunikasi dengan suami, karena hal itu justru akan menambah runyam masalah. Nampaknya bahtera rumah tangga Anda masih bisa diselamatkan, karena seperti yang Anda katakan, Anda ingin kembali lagi kepada suami. Mudah-mudahan suami Anda juga memiliki keinginan yang sama. Bila memang demikian adanya, maka kendala hanya ada pada orangtua Anda. Saya kira hal itu tidak terlalu sulit bila Anda berdua telah berkomitmen untuk memperbaiki keadaan yang ada.
Sebagai wanita, Anda memang berhak untuk menuntut cerai bila suami selingkuh dengan wanita lain, sebagaimana Anda juga boleh menuntut cerai bila ternyata suami menikah lagi sementara Anda tidak mau dimadu. Itu hak Anda! Dan inilah yang dijadikan alasan orangtua Anda agar Anda bercerai saja dengan suami. Tapi menurut saya, alangkah egoisnya Anda bila Anda cepat mengambil langkah seperti itu sementara ada kemungkinan lain yang mungkin lebih baik, terutama untuk masa depan anak Anda. Karena itu, singkirkanlah rasa egois itu dan cobalah membicarakan masalah ishlah itu dengan suami sebelum Anda membicarakannya dengan orangtua. Bicaralah dengan logika dan berusahalah semaksimal mungkin untuk tidak menggunakan emosi, karena emosi tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Buatlah komitmen baru dan mintalah suami untuk berjanji tidak mengulangi hal serupa. Tekankan kepada suami masalah masa depan anak, seperti dengan menanyakan kepadanya: "Menurutmu apa yang terbaik untuk anak kita, bukan terbaik untukku ataupun untukmu?" Saya yakin bila dalam masalah seperti itu, seorang suami atau isteri mau menggunakan logika dan mengenyampingkan hawa nafsu, emosi, ataupun perasaannya, pasti dia akan mengutamakan kepentingan anaknya daripada kepentingan dirinya sendiri.
Seperti yang pernah saya jelaskan dalam konsultasi serupa, sebagai wanita Anda harus bersikap tegas dalam menghadapi masalah seperti yang sedang Anda hadapi sekarang. Jangan terkesan sebagai wanita lemah yang mudah dipermainkan suami sehingga suami mudah sekali mengingkari janjinya. Katakan kepadanya dengan nada sedikit mengancam: "Bila terulang kembali, aku tidak mau bersatu lagi." Jangan takut, itu hanya gertakan. Mudah-mudahan suami akan berfikir 1000 kali bila ingin mengulangi kesalahan serupa.
Bila suami benar-benar mau berjanji dan membuat komitmen baru, barulah Anda mengutarakan kepada orangtua tentang niatan Anda untuk kembali kepada suami. Bila perlu, ajaklah suami untuk membantu menjelaskan masalah itu kepada orangtua. Dengan cara seperti itu, saya yakin hati orangtua Anda akan luluh. Namun bila ternyata suami lebih mengutamakan kepentingannya sendiri dan lebih memilih berpisah, maka yakinlah bahwa mungkin itulah yang terbaik untuk Anda dan juga anak Anda. Jangan bersedih karena di balik semua itu pasti ada hikmah. Jangan lupa, sebelum Anda mngikuti saran saya tersebut, alangkah baiknya bila Anda beristikharah terlebih dahulu guna memohon petunjuk ALLAH swt.. Wallahu a'lam.

Rabu, 08 Desember 2010

Ibuku Selingkuh

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Afwan Ustadz, saya mau tanya. Sekarang ini saya sedang bingung. Saya takut salah langkah dan salah ucap. Saya ada masalah dengan ibu kandung saya sendiri. Kurang lebih 1 tahun ini, saya curiga ibu saya selingkuh dengan laki-laki lain. Nenek saya yang tinggal satu rumah dengan ibu juga cerita mengenai hal itu. Terakhir saya memberanikan diri untuk menelpon ibu guna membicarakan hal itu kepadanya, karena waktu nenek saya tanya ibu dimana, beliau menjawab bahwa ibu sedang makan. Karena saya interogasi, akhirnya ibu mengaku bahwa teman yang mengajaknya makan itu adalah laki-laki yang sudah beristeri. Saat itu saya sangat marah, tapi suara saya tidak tinggi. Saya katakan kepada ibu: “Hati-hati bu, nanti jadi fitnah!” Ibu saya malah marah. Beliau meyakinkan bahwa tidak ada apa-apa antara beliau dengan laki-laki itu.
Namun, saya punya banyak bukti bahwa telah terjadi sesuatu di antara mereka. Saya harus bagaimana, Ustadz? Waktu nelpon ibu, sempet juga sih suara saya agak tinggi, tepatnya pas saya mengingatkan ibu bahwa ayah sedang beribadah haji. Saya harus bagaimana, Ustadz? Pasti ibu sangat kesal. Jawaban Ustadz saya tunggu. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
A-….

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudari A yang saya hormati, menurut saya apa yang Anda lakukan sudah tepat, karena itulah yang semestinya kita lakukan bila ada orang yang melakukan sesuatu yang melanggar aturan agama, apalagi bila dia adalah orang terdekat kita. Apa yang Anda lakukan termasuk bagian dari amar makruf nahi mungkar. Apa yang dilakukan ibu Anda dianggap telah melanggar aturan agama karena seorang laki-laki tidak boleh berdua-duaan dengan seorang wanita yang bukan mahramnya, tanpa ada orang ketiga yang menemaninya. Sebab, dalam kondisi seperti itu, syetan gampang sekali masuk guna menjerumuskan mereka ke dalam hal-hal yang dilarang agama. Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah seorang di antara kalian berkhalwat dengan seorang wanita, karena yang ketiganya adalah syetan.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad) Syetan akan menggoda manusia dengan berbagai cara, dan makan bersama seperti yang dilakukan oleh ibu Anda termasuk salah satunya.
Namun, Anda harus ingat, ketidaksukaan Anda terhadap apa yang dilakukan ibu harus disampaikan dengan cara yang baik, dengan perkataan yang halus dan tidak bernada “membentak”, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah swt.: “dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Israa` [17]: 23) Selain itu, Anda juga harus tetap memperlakukannya dengan baik meskipun ada sikap atau perilakunya yang tidak Anda sukai. Walau bagaimana pun dia adalah ibu kandung Anda yang harus Anda hormati dan sayangi. Allah swt. berfirman: “…..dan janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman [31]: 15)
Sebagai solusi, sebaiknya Anda bicara empat mata dengan ibu mengenai hal itu, jangan hanya melalui telpon. Ingatkan ibu Anda dengan cara yang santun bahwa hal itu tidak baik dan dapat menimbulkan fitnah, apalagi –seperti yang Anda katakan- Anda memiliki banyak bukti yang menunjukkan bahwa ibu Anda selingkuh dengan laki-laki tersebut. Bila ibu masih tetap seperti itu sementara bukti-bukti yang Anda miliki cukup kuat, maka ingatkan ibu dengan nada sedikit mengancam, seperti Anda akan memberitahukan hal itu kepada ayah. Saya kira hal itu sudah cukup membuat ibu Anda takut. Bahkan menurut saya, kuat atau tidak kuat bukti yang Anda miliki, apa yang dilakukan ibu Anda dengan makan berdua-duaan dengan laki-laki lain sudah tidak benar. Jadi, Anda harus tetap mengingatkannya. Namun sekali lagi, jangan pakai emosi, dan harus tetap menjaga sopan santun. Semoga berhasil. Wallaahu A’lam….

Senin, 01 November 2010

CERAI DALAM KEADAAN EMOSI

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz, saya ingin bertanya: Bagaimana hukumnya bila seorang suami mengatakan cerai kepada isterinya dalam keadaan emosi berat? Apakah hal itu sudah dianggap jatuh thalak? Bagaimana pula hukumnya bila hal itu sering dilakukan? Bila mereka masih tetap tinggal satu rumah, bukankah mereka harus membayar denda? Bagaimana tanggapan Ustadz menurut tinjauan Islam? Terima kasih sebelumnya atas jawaban yang diberikan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
N-…..

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara N yang saya hormati, ulama berbeda pendapat mengenai kriteria atau persyaratan jatuhnya thalak. Ada sebagian ulama yang mempermudah persyaratan jatuhnya thalak. Mereka berpendapat bahwa thalak akan jatuh bila seorang laki-laki mengucapkan kata “cerai” baik dalam keadaan bercanda ataupun serius, marah ataupun tidak. Pendapat mereka ini didasarkan pada sabda Nabi saw.: “Tiga perkara yang apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh dianggap serius, dan apabila dilakukan dengan bergurau juga dianggap serius, yaitu nikah, thalak dan rujuk.” (HR. Tirmidzi)
Ada pula ulama yang memperketat persyaratan jatuhnya thalak. Mereka berpendapat bahwa thalak tidak jatuh kecuali bila dilakukan dalam keadaan sadar. Bila seseorang menjatuhkan thalak kepada isterinya dalam keadaan tidak sadar, baik karena faktor emosi berat ataupun karena faktor-faktor lainnya, maka thalaknya dianggap tidak sah. Hal ini didasarkan pada Hadits Nabi saw.: “Tidak sah thalak dalam ketidaksadaran.” Abu Dawud menafsirkan kata “ketidaksadaran” dalam Hadits tersebut dengan kondisi marah berlebihan yang menyebabkan ingatan seseorang tertutup sehingga dia akan mengucapkan perkataan yang tidak diinginkannya.
Di sini, saya mencoba memadukan pengertian kedua Hadits tersebut, yaitu bahwa Hadits pertama lebih bersifat preventif, dengan maksud agar setiap Muslim lebih berhati-hati dalam menjaga pernikahannya. Hendaknya dia tidak mudah menjatuhkan thalak dan tidak bermain-main dengan kata "thalak", karena pernikahan adalah sebuah ikatan yang harus dijaga kesuciannya. Andaikata dia memang ingin menjatuhkan thalak, maka harus dipikir matang-matang. Dia juga harus lebih bisa menahan emosi karena emosi merupakan faktor terbesar jatuhnya thalak. Terkadang saat sedang emosi, seseorang dengan sadar menceraikan isterinya tanpa memikirkan terlebih dahulu hal-hal yang akan terjadi setelahnya. Sehingga tidak sedikit orang yang menyesal setelah perceraian itu terjadi.
Namun bila ternyata emosinya begitu luar biasa sehingga dia tidak bisa lagi menyadari apa yang dia katakan, maka thalak yang dijatuhkan pada saat itu dianggap tidak sah, seperti yang disinyalir pada Hadits kedua. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa emosi manusia bertingkat-tingkat, ada yang sedemikian besar, sehingga seseorang tidak menyadari ucapan atau tindakannya. Bila ini yang terjadi, maka ucapan talak ketika itu tidak mengakibatkan perceraian. Tetapi bila saat sedang emosi seseorang masih dapat menyadari apa yang diucapkan, maka tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa ucapan tersebut telah berdampak hukum atau menyebabkan jatuhnya thalak.
Dalam kaitannya dengan kasus yang Anda tanyakan, perlu dilihat kembali apakah orang yang bersangkutan menyadari apa yang dia ucapkan saat sedang emosi berat ataukah tidak? Bila ya, maka berarti sudah jatuh thalak, sehingga dia dan isterinya tidak boleh lagi tinggal satu rumah, apalagi berhubungan badan. Bila sampai terjadi hubungan badan, maka dianggap telah berbuat zina. Tetapi bila tidak menyadari apa yang dia ucapkan, maka berarti belum jatuh thalak.
Di sinilah pentingnya kita harus berupaya keras untuk melatih diri kita agar lebih dapat menahan emosi yang merupakan salah satu karakter orang yang bertakwa, sebagaimana difirmankan ALLAH swt. dalam surah Ali ‘Imran (3): 133-134: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabb-mu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang menginfakkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” Wallaahu A’lam….
NB: Baca juga konsultasi berjudul: "Bila Suami Mengatakan 'Pisah', Apakah Jatuh Thalak?", dengan mengklik link berikut: http://media-silaturahim.blogspot.com/2009/11/bila-suami-mengatakan-pisah-apakah.html