Kamis, 08 April 2010

Batasan Berbakti Kepada Orangtua

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam kenal, Pak! Bapak dan keluarga apa kabar? Pak, saya termasuk anggota Group Pecinta Qur’an dan Sunnah. Saya mau tanya sedikit, sebenarnya definisi berbakti kepada orangtua itu sebatas apa? Maksudnya, sejauhmana seorang anak harus berbakti kepada ibunya? Apakah semua permintaan dan kehendak ibunya harus dituruti agar tidak menjadi anak yang durhaka? Bukannya orangtua juga bisa salah, Pak? Apakah pada saat itu kita boleh memberi saran atau masukan?
Di sini, saya ingin cerita sedikit tentang pengalaman pribadi teman saya. Suami teman saya takut sekali menolak kemauan ibunya ataupun menegur ibunya (bila sang ibu melakukan kesalahan), karena sang ibu gampang sekali melontarkan kata-kata “anak durhaka”. Terkadang untuk hal-hal yang sepele saja, kata-kata seperti itu sering keluar dari mulutnya. Kalau seperti itu bagaimana, Pak?
Bahkan untuk mendapatkan maaf dari sang ibu, suami teman saya itu harus mencium kaki ibunya dulu. Padahal –menurut saya- masalanya sepele sekali. Awalnya, sang ibu pergi ke pasar bersama suami teman saya itu. Di pasar, sang ibu menawar suatu barang dengan harga tertentu. Tapi setelah penjual menyetujui harga yang ditawar sang ibu, sang ibu malah menawar lagi dengan harga yang lebih murah. Melihat itu, suami teman saya pun langsung menegur ibunya karena dia khawatir sang penjual akan marah (dan nampaknya dia memang sudah marah). Maksud hati ingin mengingatkan sang ibu, eh malah sang ibu marah-marah kepada anaknya. Lalu dia melontarkan kata-kata “anak durhaka”.
Kisah di atas hanyalah salah satu contoh saja, Pak. Mungkin masih banyak lagi kejadian-kejadian serupa yang sebenarnya berawal dari masalah-masalah sepele. Bagaimana kita harus menyikapi ibu seperti itu, Pak?
Selain itu, sang ibu tidak mau “lepas” dari anaknya. Dia terlalu manja kepada suami teman saya itu. Padahal untuk isteri dan anaknya saja, suami saya itu jarang punya waktu karena pekerjaannya sangat banyak, sampai-sampai jarang ada hari libur. Apa mungkin hal itu disebabkan karena ibunya sudah janda, jadi dia ingin bermanja-manjaan dengan anaknya? Kalau seperti itu, bagaimana caranya agar suami teman saya itu bisa bersikap adil dalam mengurus ibu, anak dan juga isterinya?
Oya Pak, ada satu pertanyaan lagi, apa benar dalam Al-Qur`an ada ayat yang menegaskan bahwa semua harta anak laki-laki adalah hak ibunya? Jika benar, lalu siapa yang berkewajiban menafkahi isteri dan anaknya? Mohon jawabannya, Pak! Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
D-……

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Salam kenal juga, Bu. Alhamdulillah saya dan keluarga dalam keadaan sehat wal‘afiat. Si kecil yang beberapa hari lalu dirawat di rumah sakit pun sekarang sudah kembali ceria dan menyenangkan seperti sediakala. Mudah-mudahan ukhti dan keluarga juga demikian adanya, amin ya Robbal-‘alamin.
Seperti yang pernah saya singgung dalam salah satu konsultasi sebelumnya, birrul waalidain atau berbakti kepada orangtua merupakan amal kebajikan yang sangat besar nilainya di mata Allah swt.. Karenanya, dalam beberapa ayat Al-Qur`an, perintah untuk berbakti kepada orangtua disandingkan dengan perintah untuk menyembah Allah, seperti pada firman-Nya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Israa` [17]: 23)
Bila kita perhatikan, perintah untuk berbakti kepada orangtua dalam ayat tersebut bersifat umum. Belum ada batasan-batasan tertentu. Tetapi kemudian pengertian yang terkandung dalam ayat ini ditakhshish (dipersempit) dengan firman Allah pada ayat lain: “Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orangtuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.” (QS. Al-‘Ankabuut [28]: 8)
Dari ayat kedua ini, dapat difahami bahwa tidak semua perintah orangtua harus dituruti. Bila orangtua menyuruh kita untuk keluar dari agama Islam atau untuk melakukan kemusyrikan, maka kita wajib menolaknya. Inilah yang pernah dilakukan oleh Sa’ad bin Abi Waqash kepada ibunya.
Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash ra., bahwa dia berkata: “Aku adalah seorang laki-laki yang berbakti kepada ibuku. Ketika aku masuk Islam, ibu berkata: ‘Agama apa yang kamu peluk itu, wahai Sa’ad? Kamu harus meninggalkan agamamu itu, atau aku tidak akan makan dan minum sampai aku mati, sehingga kamu akan dicemooh (oleh orang-orang) karena kematianku, dan akan dikatakan kepadamu: ‘Wahai Sang Pembunuh ibunya.’ Aku menjawab: ‘Ibu, janganlah engkau melakukan itu, karena aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini karena alasan apapun.’ Setelah melihat sang ibu mogok makan selama satu hari satu malam, Sa’ad berkata: ‘Wahai ibuku, demi Allah, ketahuilah bahwa seandainya engkau memiliki seratus nyawa, kemudian nyawa-nyawa itu keluar dari dirimu satu persatu, maka aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini.’” Melihat kesungguhan Sa’ad, sang ibu pun akhirnya menghentikan aksi mogok makannya itu.
Selain itu, pengertian firman Allah dalam QS. Al-Israa` (17): 23 juga ditakhshish (dipersempit) oleh Hadits Nabi saw. yang berbunyi: “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah.” Secara tegas, Hadits ini menjelaskan bahwa seorang Muslim dilarang untuk menaati perintah siapapun -termasuk orangtua- yang mengandung unsur kemaksiatan kepada Allah, Sang Khaliq. Yang dimaksud dengan “maksiat” (kemaksiatan) adalah perbuatan mendurhakai atau tidak mematuhi perintah Allah (dan Rasul-Nya), atau melanggar aturan Allah. Dari sini, maka para ulama pun mendefinisikan term “birrul waalidain” (berbakti kepada orangtua) dengan definisi sebagai berikut: Berbakti kepada kedua orangtua adalah berbuat baik kepada mereka, memenuhi hak-hak mereka, dan menaati mereka dalam hal-hal yang bersifat sunah dan mubah, bukan pada hal-hal yang sifatnya wajib atau haram. Artinya, seorang anak harus menuruti perintah orangtuanya selama perintah itu tidak untuk meninggalkan perbuatan yang wajib hukumnya ataupun melakukan perbuatan yang diharamkan. Sebagai contoh, bila seorang ibu menyuruh anaknya untuk melakukan satu pekerjaan tertentu, yang dengannya dia harus meninggalkan shalat, maka sang anak wajib untuk menolak perintah tersebut. Demikian pula bila sang ibu menyuruh anak laki-lakinya meninggalkan begitu saja (menelantarkan) isteri dan anaknya agar dia menikah dengan wanita pilihan ibunya, maka sang anak harus menolak perintah tersebut, karena menelantarkan isteri dan anak merupakan perbuatan yang dilarang Allah swt..
Tetapi perlu diingat, andaikata seorang anak terpaksa harus menolak perintah orangtuanya karena perintah tersebut bertentangan dengan aturan Allah (yang bersifat wajib atau haram), maka penolakan itu harus disampaikan dengan cara yang baik, dengan perkataan yang halus dan tidak bernada “membentak”, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah swt.: “dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Israa` [17]: 23) Selain itu, sang anak juga harus tetap memperlakukan orangtuanya dengan baik, meskipun ada perbedaan pandangan di antara mereka. Allah swt. berfirman: “…..dan janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman [31]: 15)
Saudariku yang terhormat, pada kasus yang Anda sebutkan, saya melihat bahwa sang anak belum wajib untuk menolak kemauan sang ibu. Sebab, masalah tawar menawar dalam jual beli merupakan satu hal yang sifatnya mubah (tidak terkait dengan hukum wajib ataupun haram seperti yang dijelaskan di atas). Apalagi dalam kajian fikih muamalah, dikenal istilah khiyar majlis, yaitu hak untuk meneruskan atau membatalkan akad (transaksi) selama kedua belah pihak belum berpisah dari tempat transaksi. Bahkan menurut Imam Syafi’I dan Hanbali, sang ibu masih boleh membatalkan transaksi yang dilakukannya itu meskipun sudah dilakukan ijab qabul (serah terima uang dan barang), selama mereka belum berpisah.
Menurut hemat saya, andaikata sang anak memang ingin memberikan masukan pada saat itu karena hal seperti itu dianggap tidak baik menurut adat/kebiasaan/etika (meskipun dibolehkan secara hukum), maka dia harus ektra hati-hati dan harus melihat kondisi sang ibu. Jangan sampai niat baiknya itu akan menyinggung perasaan sang ibu. Apalagi bila dia tahu bahwa ibunya termasuk tipe orang yang sangat sensitif.
Kalau saya boleh menilai, suami teman Anda itu termasuk orang yang sangat berhati-hati dan khawatir bila dirinya tidak bisa meraih ridha orangtua. Bahkan dia rela untuk mencium kaki sang ibu hanya untuk mendapatkan maaf darinya. Mungkin dia ingin mengamalkan Hadits Nabi saw.: “Ridha Allah terletak pada ridha kedua orangtua, dan murka Allah terletak pada murka kedua orangtua.”
Tetapi dia juga harus ingat, jangan sampai hal itu menyebabkan dia melalaikan tugas dan kewajibannya sebagai suami dan ayah. Dia dituntut harus benar-benar bersikap adil sehingga tidak ada yang dikorbankan, meskipun dalam hal pelayanan, orangtua harus tetap didahulukan. Dalam sebuah Hadits shahih disebutkan sebuah kisah tentang 3 orang yang masuk ke dalam gua, tetapi kemudian pintu gua tersebut tertutup oleh batu. Batu itu baru bisa digeser setelah setiap orang di antara mereka berdoa kepada Allah dengan menyebutkan amal kebajikannya masing-masing. Salah seorang di antara mereka adalah orang yang sangat berbakti kepada orangtuanya. Dia berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai kedua orangtua yang sudah lanjut usia, seorang isteri dan juga seorang anak. Aku menggembala untuk (menghidupi) mereka. Setelah aku mengandangkan ternak, aku memerah susunya. Lalu aku mulai memberikan susu itu kepada kedua orangtuaku sebelum aku memberikannya kepada anakku.” (HR. Muslim)
Dari penjelasan di atas, saya berani mengatakan bahwa bila suami teman Anda itu bisa bersikap seperti itu dengan tidak melalaikan kewajibannya sebagai suami dan ayah, maka teman Anda itu sangat beruntung. Dia seharusnya rela dan mendukung sikap suaminya itu. Sebab, bisa jadi saat tua nanti, dia dan juga suaminya itu akan diperlakukan seperti itu oleh anak dan menantunya.
Mengenai pertanyaan terakhir, saya tegaskan bahwa tidak ada satu ayat atau Hadits pun yang menyatakan bahwa semua harta anak laki-laki adalah hak ibunya. Memang ada satu riwayat yang mengisyaratkan bahwa seorang ayah boleh membelanjakan harta anaknya, tetapi itu merupakan kekhususan yang diberikan Allah kepada ayah, dan hal itu hanya boleh dilakukan secara tidak berlebihan dan tidak memudharatkan anaknya.Tapi dari segi hukum, harta itu tetap milik anaknya, bukan milik ayahnya. Oleh karenanya, ketika sang anak meninggal, maka harta itu harus dibagikan kepada semua ahli waris, termasuk ayah dan ibu. Bila anak laki-laki itu memiliki anak atau saudara, maka ibu hanya mendapat seperenam. Tetapi bila dia tidak mempunyai siapa-siapa kecuali ayah ibunya (yang masih hidup), maka sang ibu mendapat sepertiga bagian dari harta yang ditinggalkan (Lihat QS. An-Nisaa` [4]: 11)
Demikian yang bisa saya jelaskan, mudah-mudahan bermanfaat. Wallaahu A’lam….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda