Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz, sebelumnya saya minta maaf bila kata-kata saya terlalu “to the point”. Hal itu disebabkan karena saya tidak bisa merangkai kata-kata yang indah. Begini Pak Ustadz, saya terpaksa bercerai dengan suami saya karena dia telah pergi meninggalkan saya dan anak-anak demi wanita lain. Namun, dia mengajukan banding karena tidak puas dengan putusan hakim. Yang menjadi keberatannya adalah masalah “mahar”.
Pernikahan saya yang berujung pada perceraian ini merupakan pernikahan saya yang kedua kali dengannya. Sebelumnya saya pernah menikah dengannya, tepatnya pada tahun 1998. Alhamdulillah, kami dikaruniai 3 orang anak. Tapi karena sifatnya temperamental dan sering main perempuan, akhirnya kami pun bercerai pada tahun 2006. Pada perceraian kami yang pertama itu, ada satu hal yang unik. Saya tidak memperoleh nafkah iddah dan juga nafkah untuk anak-anak. Bahkan pembagian harta gono-gini mengalami proses yang rumit dan panjang.
Rumah yang kami tempati adalah rumah yang kami beli dari Mr. A setelah anak pertama kali lahir. Akan tetapi setelah sekian lama dibeli, sertifikat rumah itu belum juga dibalik-namakan olehnya, sehingga saya tidak bisa menuntut rumah itu sebagai harta gono-gini. Dia berkilah bahwa rumah itu bukan rumahnya, buktinya sertifikat rumah itu bukan atas namanya. Bahkan, sepertinya dia telah bersekongkol dengan mantan pemilik rumah itu, karena mantan pemilik rumah itu mengatakan bahwa suami saya hanya menumpang di rumahnya (ada pernyataan tertulis dari Mr. A). Hakim juga tidak memutuskan rumah tersebut milik siapa, karena suami saya sendiri tidak mengakui bahwa rumah tersebut sebagai miliknya. Saya sendiri tidak dapat membuktikan kebenarannya karena semua surat berharga disimpan oleh suami saya.
Setelah terjadi perceraian, saya dan anak-anak kembali ke rumah orangtua saya di Sumatera. Semua nafkah anak ditanggung oleh orangtua saya. Sementara suami saya dengan sukacitanya bisa menempati rumah itu bersama wanita lain yang dinikahinya secara sirri.
Awal tahun 2009, anak-anak ingin pergi berlibur ke Jakarta. Kebetulan saya memiliki saudara yang juga tinggal di Jakarta. Sebelum kami berangkat, orangtua saya berpesan kepada saya: “Coba hubungi ayah anak-anak, siapa tahu hati dan pikirannya terbuka saat melihat anak-anaknya yang sudah sekian lama tidak pernah dia temui dan dia nafkahi.”
Sesampainya di Jakarta, saya pun menghubungi dia. Dari sinilah, anak-anak saya dapat bertemu kembali dengan ayahnya, bahkan hampir setiap hari. Mau ga mau, saya juga bertemu dengannya, karena anak-anak tidak mau bertemu dengan ayahnya kalau tidak ditemani oleh saya. Dia pun membawa anak-anak ke rumahnya, rumah yang dulu kami tempati bersama. Kebetulan menurutnya, dia sudah berpisah dengan isteri sirrinya.
Waktu liburan tidak lama, anak-anak pun harus kembali ke sekolah. Sebelum kami pulang ke Sumatera, mantan suami saya itu mengajak saya untuk bersatu kembali, katanya demi anak-anak. Saya tidak langsung mengiyakan, bahkan saya meminta dia untuk memikirkan kembali niatannya itu. Tetapi dia terus mengejar saya. Bahkan setiap hari, dia selalu menelpon saya. Dia meminta maaf kepada saya dan mengakui semua kesalahan yang pernah dia lakukan dulu, lalu dia berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Bahkan dia bersedia memberikan rumah yang dia tempati itu sebagai maskawin atau mahar untuk saya.
Akhirnya kami pun menikah kembali pada akhir Maret 2009 dengan maskawin sebuah rumah (tercatat dalam buku nikah). Namun sayangnya, baru dua minggu usia pernikahan kami, penyakit lama suami saya kambuh lagi. Dia berhubungan kembali dengan mantan isteri sirrinya itu. Bahkan 2 minggu kemudian, suami saya benar-benar pergi meninggalkan rumah dan tinggal bersama wanita tersebut. Saya sudah berusaha menyadarkan dan merayunya agar dia mau kembali, tapi dia malah mengatakan bahwa dia salah mengambil keputusan saat menikah lagi dengan saya. Katanya, dia tidak bisa berpisah dari wanita itu, lalu dia mengirim SMS yang isinya dia menceraikan saya.
Setelah 6 bulan menunggu, akhirnya saya mengajukan gugatan cerai ke pengadilan dengan proses yang cukup lama (sekitar 6 bulan). Hakim pun mengabulkan gugatan cerai saya, lalu dia menetapkan bahwa rumah itu menjadi milik saya karena sudah dijadikan maskawin.
Seperti yang saya sebutkan di awal, suami saya merasa keberatan dengan keputusan hakim tersebut. Dia mengatakan bahwa dia tidak pernah memberikan rumah itu kepada saya karena rumah itu bukan miliknya. Padahal pada persidangan cerai, saya berhasil menemui Mr. A (si penjual rumah) dan mendapat pernyataan darinya bahwa rumah itu memang sudah dibeli oleh suami saya.
Sekarang suami saya sudah mengajukan memori banding ke PTA, lalu dia menemui Mr. A guna meminta agar Mr. A mau mencabut kembali pernyataannya yang mengatakan bahwa rumah itu sudah dibeli oleh suami saya. Saat ini, saya benar-benar mendapat tekanan dari dua pihak; pertama adalah dari suami saya yang mengajukan banding ke PTA dan mengklaim bahwa saya tidak berhak atas rumah itu, dan kedua adalah dari Mr. A yang menuduh saya telah menempati rumahnya tanpa izin. Lalu dia meminta saya untuk segera meninggalkan rumah itu, kalau tidak, dia akan menuntut saya dengan tuntutan pidana.
Pak Ustadz, saya benar-benar merasa tertekan dalam menghadapi masalah ini, walaupun saya tidak lupa untuk selalu memohon kepada ALLAH swt. agar Dia meringankan beban saya ini. Saya juga membutuhkan pencerahan dari Pak Ustadz. Langkah apa yang perlu saya lakukan? Lalu bagaimana pendapat Pak Ustadz mengenai status rumah tersebut?
Atas pencerahan dan penjelasan yang Ustadz berikan, saya ucapkan banyak terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
A-
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudariku yang terhormat, pertama saya ingin mengucapkan prihatin atas musibah yang menimpa Anda. Mudah-mudahan Anda diberi ketabahan dalam menghadapinya serta diberi kemudahan dan jalan keluar yang terbaik, amin. Dari cerita Anda yang cukup panjang dan mendetail itu, saya bisa membayangkan betapa tertekan dan terpukulnya hati Anda. “Sudah jatuh tertimpa tangga”, nampaknya itulah pepatah yang tepat untuk menggambarkan kondisi yang sedang Anda alami. Sebab, di samping harus menanggung rasa sakit akibat perlakuan suami yang tidak bertanggung jawab itu, Anda juga dihadapkan pada kasus perebutan rumah yang secara hukum telah menjadi milik Anda.
Saudariku, karena apa yang Anda sampaikan lebih banyak curhatnya daripada pertanyaan atau permohonan penjelasan, maka jawaban yang saya berikan pun tidak terlalu panjang. Namun demikian, saya berharap jawaban yang saya berikan ini dapat menjadi pencerahan bagi Anda dalam menghadapi masalah tersebut.
Bila ditinjau dari hukum Islam, rumah tersebut jelas telah menjadi milik Anda karena ia telah dijadikan sebagai maskawin untuk Anda. Sebagaimana diketahui, maskawin atau mahar merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh seorang laki-laki kepada wanita yang dinikahinya, seperti yang difirmankan ALLAH swt.: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” (QS. Ali ‘Imran [4]: 4) Bila maskawin itu tidak dibayarkan oleh suami, maka ia akan menjadi hutang baginya sampai kapanpun kecuali bila sang isteri mengikhlaskannya.
Jadi, baik menurut agama ataupun hukum, ibu bisa menang, apalagi pernyataan bahwa rumah itu dijadikan mahar tertulis di buku nikah. Buku nikah merupakan bukti yang kuat di pengadilan. Inilah yang dijadikan landasan hukum bagi hakim di pengadilan agama untuk menetapkan keputusan bahwa rumah itu telah menjadi milik Anda. Mudah-mudahan hal ini juga akan menjadi bahan pertimbangan oleh hakim di PTA nanti, amin.
Saudariku, menurut saya apa yang sedang dilakukan oleh suami ibu dengan meminta kepada Mr. A hanyalah rekayasa belaka. Dia berusaha untuk mencari celah agar rumah itu menjadi miliknya lagi, baik dengan memberikan kesaksian (sumpah) palsu ataupun membuat bukti palsu. Hal seperti itu bukan merupakan hal baru, tetapi sudah ada sejak zaman Nabi Yusuf (Lihat tulisan saya yang berjudul “Budaya Sumpah dan Kesaksian Palsu”, dengan mengklik link berikut: http://media-silaturahim.blogspot.com/2009/11/budaya-sumpah-dan-kesaksian-palsu.html ). Apalagi pada zaman sekarang ini, hal seperti itu sudah tidak asing lagi, bahkan ada di mana-mana, terutama di dunia peradilan. Keadilan seakan-akan sudah menjadi hal yang tidak penting lagi, yang penting adalah uang dan kepentingan.
Jadi saran saya, menghadapi hal seperti itu, serahkan sepenuhnya kepada ALLAH. Biarlah ALLAH yang mengaturnya, karena memang hanya Dia-lah Yang Maha Mengatur dan Maha Kuasa. Sering-seringlah shalat Hajat dan Dhuha. Kemudian berdoalah kepada-Nya dengan penuh kekhusyuan, usahakan sampai meneteskan air mata. Yakinlah bahwa bila kita memohon dengan sungguh-sungguh kepada ALLAH swt., insya ALLAH ALLAH akan mengabulkannya. Kemudian, banyak-banyaklah berdzikir dan memohon ampunan kepada-Nya. Bacalah kalimat berikut ini "Laailaaha illaa Anta, Subhaanaka innii kuntu minazh-zhaalimiin” (Ya Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk ke dalam golongan orang-orang yang zhalim). Kalau bisa, baca terus kalimat tersebut, dimanapun Anda berada, termasuk saat berada di kendaraan, kecuali di kamar mandi atau toilet. Usahakan jangan berhenti berdzikir kepada ALLAH, insya ALLAH hati akan tenang dan hidup kita akan selalu dibimbing oleh ALLAH swt.
Bila Anda mau mengikuti saran saya ini, insya ALLAH Anda akan merasakan kebahagiaan dan ketenangan sejati, walau apapun keputusan pengadilan nanti. Bahkan, mudah-mudahan Anda diberi jalan yang terbaik oleh ALLAH swt….Wallaahu A’lam…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar Anda