Kamis, 06 Mei 2010

Masih Ada Hutang, Bagaimana Nasib Almarhum Ayah Kami?

Assalamualaikum Wr. Wb.
Apa kabar Ustadz? Semoga Ustadz dan keluarga selalu dalam lindungan Allah swt.. Ustadz, saya ingin memohon bantuan Ustadz untuk masalah yang sedang dihadapi keluarga kami yang sebenarnya sudah cukup lama terjadi namun hingga sekarang masih mengganjal di hati kami.
Sebenarnya saya agak bingung mau mulai dari mana. Begini Ustadz, almarhum ayah saya kira2 tahun 1995 (tidak terlalu yakin) menjual tanah milik beliau kepada 3 orang pembeli. Karena berdasarkan rencana tata kota, tanah tersebut akan dijadikan jalan by pass dan batas DMJ jalan (istilahnya konsilidiasi), maka masih ada kelebihan tanah. Sebenarnya ayah saya ingin menjual seluruh tanah tersebut, tapi salah satu pembeli (si O) yang membeli tanah di posisi pinggir jalan yang sebenarnya juga berminat membeli seluruhnya, tidak mau mengambil tanah tersebut, dengan alasan takut nanti tanah yang dibelinya akan banyak terpakai untuk rencana tata kota tersebut. Karena itulah dibuat perjanjian di atas segel antara ayah dan si O tersebut,
bahwa si O akan membeli sisa tanah tersebut setelah selesai masalah konsilidiasi rencana tata kota tersebut dengan harga yang sama saat si O membeli tanah yang telah dibeli sebelumnya yaitu dengan harga Rp. 40.000/m2, (perjanjian ini kami ketahui setelah ayah tiada). Padahal harga tanah saat konsilidasi selesai melonjak menjadi 10 kali lipat.
Kira-kira tahun 1997/1998, ayah saya sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit ibu kota provinsi tempat saya tinggal dalam jangka waktu yang cukup lama dan membutuhkan biaya yang cukup besar. Karena tidak ingin terlalu merepotkan kami, anak2 beliau, tanpa sepengetahuan kami, ternyata ayah meminjam uang untuk tambahan biaya rumah sakit kepada si O yang
diantarkan beliau saat menjenguk ayah di rumah sakit. Pada saat itu si O menyerahkan kwitansi tanda terima uang sebesar
Rp. 2.000.000,- yang ditanda tangani oleh ayah saya sebagai tanda terima uang pinjaman. Waktu itu kami sekeluarga benar2
berlinangan air mata, karena tidak menyangka ayah akan berbuat seperti itu, dan kami benar2 tidak merasa enak kepada ayah.
April 1999, ayah kami berpulang ke Rahmatullah. Tentu sebagai ahli waris Alharmahum, kami pun berkewajiban untuk menyelesaikan
utang piutang Almarhum yang masih ada, termasuk masalah uang pinjaman ayah kepada si O. Pada saat kami mendatangi Si O untuk membayar utang ayah, si O tidak mau menerima uang itu dengan 2 alasan:

1. Si O ingin membeli sisa tanah yang ia beli dulu dengan utang Almarhum ayah dengan harga sama, yaitu Rp 40.000,
dengan alasan ayah kami dulu telah berjanji dan janji ayah adalah merupakan utang. Sebagai ahli waris kami merasa
keberatan, apalagi bagaimana si O menghargai tanah tersebut. Kami pun memutuskan untuk tidak akan menjual tanah tersebut.

2. Si O mengatakan bahwa uang yang dipinjamkan kepada ayah kami adalah merupakan hasil penjualan kalung emasnya, dan si O pun ingin kami menggantinya dengan emas sebanyak yang ia jual dulu. Hal ini tidak disebutkan dalam perjanjian sebelumnya, bahkan tidak dicantumkan dalam kwitansi. Tapi demi lunasnya utang ayah, kami bersedia membayarnya dengan emas. Pada saat itu kami pergi ke toko emas guna menanyakan: "Dengan uang 2 juta rupiah di tahun 1997, berapa gram emaskah
yang didapat pada saat itu?" Sesuai dengan informasi itulah, akhirnya kami membeli perhiasan emas dengan harga di tahun 1999
(harganya lebih dari 2 kali lipat).
Tapi walaupun telah kami belikan perhiasan emas, namun si O tetap tidak mau menerimanya. Dia tetap bersikeras ingin dikompensasikan ke sisa tanah warisan ayah kami dengan harga Rp 40.000 per meter, dan kurang lebihnya akan diperhitungkan kemudian. Yang ingin saya tanyakan:
1. Dengan tidak maunya kami menjual tanah tersebut, apakah berarti almarhum ayah kami masih terikat utang?
2. Dengan tidak bersedianya si O menerima piutangnya, bagaimanakah nasib ayah kami di mata Allah berkaitan dengan utang tersebut?
Ustadz, kami mohon bantuan bagaimana jalan keluar dari masalah kami ini, agar ayah kami tenang. Karena tepat bulan April tahun ini,
telah 11 tahun ayah pergi meninggalkan kami. Kami ingin Mendiang tenang di alam sana. Atas perhatian dan jawabannya, kami haturkan
ribuan terima kasih....
Wassalamualaikum Wr. Wb.

R-....

Jawaban:

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.
Ibu R yang saya hormati, setelah menganalisa masalah yang dialami keluarga Anda dan -tentunya- setelah memohon petunjuk ALLAH swt.,
akhirnya saya beranikan diri untuk menjawabnya. Di antara kewajiban seorang anak terhadap orangtuanya setelah orangtua meninggal dunia
adalah melaksanakan janji-janji yang belum dipenuhinya dan melunasi hutang-hutangnya, sebagaimana disabdakan oleh Nabi saw. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu 'Usaid Malik bin Rabi'ah As-Sa'idi ra., bahwa Abu 'Usaid berkata: "Ketika kami sedang berada di dekat Rasulullah, tiba-tiba seorang lelaki dari Bani Salamah datang kepada beliau, lalu dia
berkata: 'Wahai Rasulullah, masih adakah (kewajiban) berbakti kepada kedua orangtuaku setelah keduanya meninggal dunia?'
Rasulullah saw. pun menjawab: 'Ya (masih ada), yaitu mendoakan keduanya, memohonkan ampunan untuk keduanya, melaksanakan
janji keduanya setelah keduanya meninggal dunia, membina silaturahim dengan saudara-saudaranya dan memuliakan sahabat keduanya."
(HR. Abu Daud)
Hadits ini jelas menegaskan bahwa upaya untuk melaksanakan janji-janji yang pernah diucapkan oleh orangtua semasa hidupnya
namun belum sempat dilaksanakannya hingga ajal menjemputnya, merupakan kewajiban anaknya, bahkan dikatagorikan sebagai
upaya untuk berbakti kepada orangtua setelah dia meninggal dunia. Termasuk ke dalam katagori melaksanakan janji orangtua tersebut
adalah melunasi hutang-hutangnya. Ini merupakan satu hal yang sangat penting karena menyangkut nasib orangtua di akhirat,
seperti yang pernah saya jelaskan pada konsultasi berjudul: "Meninggal Tapi Masih Punya Hutang". Dalam konsultasi tersebut, saya menyebutkan beberapa hadits, antara lain:
1. Dalam sebuah riwayat dari Abu Qatadah disebutkan bahwa suatu ketika, ada jenazah seorang laki-laki yang dibawa ke hadapan
Rasulullah saw. untuk dishalatkan. Rasulullah saw. bersabda: “Kalian saja yang menyalatkan sahabat kalian itu, sebab dia masih memiliki hutang.” Mendengar itu, Abu Qatadah berkata: “Hutang itu aku yang menanggungnya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya: “Apakah sampai lunas?” Abu Qatadah menjawab: “Ya, sampai lunas.” Rasulullah saw. pun menyalatkan jenazah tersebut.
2. Pada riwayat yang lain, Rasulullah saw. bersabda: “Jiwa (ruh) seorang Mukmin akan tergantung (terkatung-katung) selama
dia masih memiliki hutang.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Berdasarkan hadits-hadits ini, maka dalam prosesi pengurusan jenazah, biasanya pihak keluarga si mayyit mengatakan:
"Apabila ada masalah hutang piutang yang berkaitan dengan almarhum, maka mohon segera disampaikan kepada kami, pihak keluarga."
Hal ini dimaksudkan agar di mata ALLAH, si mayit bisa terbebas dari berbagai macam tanggungan, termasuk hutang piutang.
Bahkan bila tidak ada pihak keluarga yang siap menanggungnya, maka dianjurkan kepada siapapun yang memiliki kemampuan,
untuk menanggungnya. Hal ini seperti yang telah dilakukan oleh Abu Qatadah.
Berdasarkan hal ini, maka ibu tidak perlu khawatir akan nasib ayahanda. Sebab, seperti yang ibu katakan tadi, ibu dan ahli waris
lainnya siap untuk menanggung semua hutang dan janji yang belum dilaksanakan oleh ayahanda. Dengan demikian, maka ayahanda
pun terbebas dari segala macam tanggungan duniawi (hutang piutang). Sekarang tinggal doakan saja ayahanda agar dosa-dosanya
diampuni ALLAH swt. dan amal kebajikannya diterima oleh-Nya, kemudian selesaikanlah semua tanggungan dan janji yang masih ada.
Namun, melihat apa yang pernah terjadi antara ayahanda dengan si O, ada beberapa hal penting yang ingin saya jelaskan agar
dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Anda dan keluarga dalam menyelesaikan masalah hutang piutang dan janji ayahanda.
1. Masalah janji yang dilakukan antara ayahanda dengan si O mengenai jual beli tanah, dari segi hukum janji tersebut batal (tidak sah).
Setidaknya ada dua hal yang menjadi faktor penyebab batalnya perjanjian tersebut:
Pertama: Perjanjian tersebut merupakan perjanjian jual beli yang mengandung unsur gharar (spekulasi). Sebab, kedua belah pihak
(terutama pembeli) tidak tahu persis kondisi barang yang akan dibeli, baik menyangkut kuantitas ataupun nilai jualnya pasca terjadinya konsolidasi tersebut. Bisa jadi tanah itu lebih sedikit dari harapan sehingga dapat merugikan pihak pembeli, atau malah harganya yang melonjak tinggi seperti kenyataan yang terjadi sehingga dapat merugikan pihak penjual.
Apalagi dengan kondisi seperti itu, harga sudah ditetapkan terlebih dahulu, bukan disesuaikan dengan kondisi yang akan datang.

Jual beli seperti ini dilarang karena dapat merugikan salah satu pihak, padahal Islam sangat menjaga hak pihak-pihak yang terlibat dalam suatu transaksi (akad). Sebagai dalil mengenai diharamkannya jual beli yang mengandung unsur gharar ini, saya kutipkan sabda Nabi saw. sebagai berikut:
"Jangan kamu membeli ikan yang masih berada di dalam air, karena jual beli seperti itu adalah jual beli tipuan." (HR. Ahmad,
Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi). Jual beli ikan seperti ini dianggap mengandung gharar karena belum diketahui pasti sifat-sifat
ikan tersebut, baik kuantitas maupun kualitasnya.
Kedua: Jual beli tersebut dikaitkan dengan suatu syarat, seperti ucapan penjual kepada pembeli: "Saya jual kereta ini bulan depan,
setelah gajian." Menurut jumhur (mayoritas) ulama, jual beli seperti ini batal karena mengandung unsur ketidakpastian.
Dari kedua alasan tersebut, maka meskipun telah terjadi perjanjian antara ayahanda dengan si O untuk menjual tanah tersebut pasca konsolidasi, menurut saya pribadi isi perjanjian itu sudah batal sejak awal sehingga tidak perlu dilaksanakan. Hal ini diperkuat dengan hadits lain yang menyatakan bahwa persyaratan yang ditetapkan (dalam suatu akad) akan batal bila bertentangan dengan ketentuan syariat. Nabi saw. bersabda:

“Seorang muslim wajib menunaikan persyaratan yang telah disepakati kecuali persyaratan yang mengharamkan yang halal
atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi, Daruquthni, Baihaqi dan Ibnu Majah)

2. Mengenai hutang yang akan dibayarkan kepada si O, menurut hukum Islam, apa yang dilakukan oleh si O sama sekali tidak
benar. Andaikata dia memang memberikan pinjaman uang itu setelah menjual emasnya, maka yang seharusnya diserahterimakan
kepada ayahanda adalah emas. Adapun permasalahan penjualan emas itu atas perintah ayahanda, tidak termasuk ke dalam akad tersebut. Dengan demikian, bila yang diserahkan emas, maka harus diganti dengan emas (atau nilainya dari emas tersebut). Tapi bila yang diserahkan uang,
maka harus diganti pula dengan uang. Kecuali, bila memang ada bukti tertulis yang menyatakan bahwa pada saat itu si O tidak
memiliki uang, hanya emas. Kemudian hasil penjualan emas itulah yang diserahkan kepada ayahanda sebagai pinjaman untuknya.

Menanggapi sikap si O pada kedua masalah di atas, ada satu hal yang ingin kembali saya tekankan di sini, dengan tujuan agar dapat menjadi
pelajaran yang harus diperhatikan oleh setiap Muslim. Yaitu, bahwa Islam memerintahkan kepada kita untuk tetap memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan ketika kita hendak melakukan penuntutan hak, termasuk dalam masalah hutang piutang. Artinya, kita harus memperhatikan kondisi orang yang akan kita tuntut dan juga harus memberikan keringanan, bukan malah mempersulitnya. Sebab, walau bagaimanapun, orang yang meminjam uang itu (bila Muslim), maka dia juga merupakan saudara kita. Allah swt. berfirman: “dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang itu) lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 280)
Ayat ini ditutup dengan firman-Nya: "Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang itu) lebih baik bagimu jika kamu mengetahui".
Ini mengisyaratkan bahwa apabila kita masih diberi kelonggaran oleh ALLAH, maka kita dianjurkan untuk menyedekahkan piutang kita. Tetapi bila kita memang tidak memiliki kelonggaran seperti itu sehingga kita tidak bisa menyedekahkannya, maka setidaknya kita dituntut untuk memberikan keringanan, bukan mempersulit seperti yang dilakukan si O. Wallaahu a'lam....
Demikian yang bisa saya jelaskan, mudah-mudahan bermanfaat, amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda