Kamis, 18 Agustus 2011

Akibat Hamil Sebelum Nikah

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ustadz yang saya hormati, tolong bantu saya apa yang harus saya lakukan. Saya seorang ibu dari 2 orang anak. Anak pertama saya meninggal ketika di kandungan usia 8,5 bulan, anak kedua saya saat ini usia 4 bulan. Pernikahan kami hampir 2 tahun. Pada saat menikah ternyata saya sudah hamil 1,5 bulan. Suami saya sangat baik dan sayang kepada keluarga, tapi 2 bulan terakhir ini suami saya berubah sikap.

Dia seorang pendiam, ketika saya tanya permasalahannya baru dia berkata seperti ini: "Ketika kita menikah, kamu dalam kondisi yang sedang hamil, karenanya pernikahan kita tidak sah." Betapa hancur hati saya kenapa baru saat ini dia memberitahukan hal itu. Saya bingung bagaimana dengan status saya dan anak kami (kebetulan anak kami perempuan)? Dia memberikan dua pilihan kepada saya:

  1. tidak usah mengulang pernikahan tetap seperti ini saja. atau,
  2. jika saya minta mengulang pernikahan, mending pisah saja.

Mohon bantuannya, sepertinya suami saya tidak ingin bersama saya lagi, padahal saya sendiri menginginkan agar keluarga kami menjadi keluarga yang bahagia. Bahkan seandainya pernikahan kami memang tidak sah, maka saya ingin segera memperbaikinya.

  1. Apa yang harus saya lakukan, apakah perlu menikah ulang dan bagaimana dengan pilihan di atas?
  2. Bagaimana dengan status saya dan anak kami?
  3. Bagaimana cara memperbaiki hubungan dan komunikasi dengan suami?

Mohon jawabannya. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

H-…..

Jawaban:

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Saudari H yang saya hormati, saya turut pritahin atas sikap suami Anda yang belakangan ini berubah. Apa yang dikatakan suami Anda ada benarnya jika memang Anda sudah hamil sebelum menikah, tapi itu hanya menurut satu pendapat saja. Sebab seperti yang pernah saya bahas pada konsultasi berjudul Hukum Menikahi Wanita Hamil dan Status Anak Di Luar Nikah, setidaknya ada tiga pendapat yang berkaitan dengan hukum menikahi wanita yang pernah berzina:

  1. Sebagian ulama termasuk sebagian sahabat seperti Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra` dan Ibnu Mas’ud, berpendapat bahwa wanita yang pernah berzina tidak boleh dinikahkan baik dengan laki-laki yang menzinahinya ataupun laki-laki yang baik (bukan pezina). Mereka mendasarkan pendapatnya itu pada firman Allah swt.: “Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.(QS. An-Nuur [24]: 3) Berdasarkan dalil tersebut pula, Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa seorang isteri yang berzina harus diceraikan oleh suaminya.
  2. Jumhur (mayoritas) ulama termasuk Abu Bakar dan Umar bin Khathab berpendapat bahwa wanita tersebut boleh dinikahkan, baik dengan orang yang menzinahinya ataupun dengan orang lain. Pendapat kedua ini didasarkan pada firman Allah swt. “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya yang lelaki dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nuur [24]: 32) Dalam hal ini, bila wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki yang menzinahi atau menghamilinya, maka tidak perlu ada istibra`. Istibra` adalah upaya untuk memastikan bahwa rahim seorang wanita telah benar-benar bersih dari air mani laki-laki yang telah menggaulinya. Masa istibra` ini adalah 6 bulan. Tujuan istibra` ini adalah untuk mendapat kepastian nasab. Untuk tujuan ini pula, maka Islam mensyariatkan adanya masa iddah. Oleh karena itu, menurut jumhur ulama, bila wanita yang hamil itu dinikahi oleh laki-laki yang benar-benar menghamilinya, maka hal itu dibolehkan dan tidak perlu menunggu hingga melahirkan. Lain halnya bila wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki lain, bukan laki-laki yang menghamilinya, maka pernikahan itu haram dilakukan kecuali setelah wanita itu melahirkan bayi yang dikandungnya dan telah melewati masa nifas. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi saw.: “Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk menuangkan air (maninya) pada tanaman milik orang lain.(HR. Abu Daud) Memang ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa meskipun dinikahi oleh laki-laki yang menzinahinya, sang wanita tetap harus menunggu hingga melahirkan, dengan dalil: “sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, masa ‘iddah mereka itu sampai melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Thalaaq [64]: 4)
  3. Pendapat ketiga adalah pendapat Imam Ahmad. Beliau mengharamkan seorang laki-laki menikahi wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Tapi bila sudah bertaubat, maka pernikahan itu dibolehkan.

Saudariku yang terhormat, nampaknya pendapat yang dilontarkan suami Anda adalah pendapat kedua yang membolehkan wanita yang pernah berzina untuk dinikahi, hanya saja harus menunggu waktu kelahiran. Namun, andaikata pendapat tersebut adalah pendapat yang diyakini suami Anda, menurut saya tidak semestinya dia memberikan pilihan seperti itu, apalagi pilihan pertama yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam. Sebab dengan pilihan seperti itu sementara menurutnya pernikahan Anda berdua tidak sah, berarti dia mengajak Anda untuk terus hidup berdua tanpa ikatan pernikahan yang sah. Na’udzubillaah min dzaalik. Andaikata dia komitmen dengan pendapatnya dan juga memiliki i’tikad yang baik, semestinya dia siap untuk mengulang kembali pernikahannya dengan Anda.

Jadi, mengenai pertanyaan Anda apa yang harus Anda lakukan, tanyakan kembali kepada diri Anda sendiri dan juga suami, pendapat mana yang Anda berdua yakini. Menurut saya pribadi, sebaiknya Anda jelaskan kepada suami tentang pendapat kedua, baik yang meyakini pernikahan itu sah dan tidak perlu menunggu waktu kelahiran ataupun pendapat yang meyakini pernikahan akan sah bila dilakukan setelah waktu kelahiran. Bila Anda berdua meyakini bahwa pernikahan itu sah, maka tidak perlu ada pengulangan akad nikah. Tapi bila ternyata Anda dan suami menganggap pernikahan itu tidak sah karena dilakukan saat Anda sedang hamil, maka tidak ada salahnya bila Anda berdua mengulang kembali pernikahan.

Berkaitan dengan pertanyaan kedua, saya juga pernah membahas tentang Status Anak Di Luar Nikah. Berikut kutipannya:

“Adapun mengenai status anak yang lahir dari hubungan di luar nikah, memang ada yang berpendapat seperti pendapat yang Anda sebutkan. Pendapat tersebut didasarkan pada hadits yang berbunyi: “(Status) seorang anak adalah bagi (pemilik) firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah (kerugian dan penyesalan).” (HR. Bukhari dan Muslim) Yang dimaksud dengan firasy adalah kasur. Jadi, makna hadits tersebut adalah bahwa nasab (garis keturunan) seorang anak akan dinisbatkan kepada pemilik firasy atau laki-laki yang menggauli ibunya secara sah. Bila pemilik firasy itu adalah suami yang sah, maka nasab anak tersebut berhak dinisbatkan kepadanya. Namun bila pemilik firasy itu bukan suami yang sah, maka nasab anak yang lahir tidak boleh dinisbatkan kepadanya. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa bila anak itu lahir 6 bulan setelah pernikahan antara ibunya dengan laki-laki yang menghamilinya, maka anak itu merupakan anak yang sah tanpa harus ada ikrar (pengakuan) dari laki-laki yang menghamilinya itu. Sedangkan bila dia lahir di bawah 6 bulan setelah pernikahan, maka sah atau tidaknya nasab sang anak tergantung pada ikrar laki-laki yang menghamilinya.”

Adapun mengenai pertanyaan ketiga, ada baiknya Anda berbicara baik-baik dengan suami. Berusahalah untuk menjelaskan kepadanya hukum yang saya jelaskan di atas, mudah-mudahan dia bisa memahaminya dengan baik. Ingat, hindarilah emosi karena ia tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Jangan lupa pula, untuk bertaubat kepada ALLAH atas dosa zina yang pernah Anda lakukan, dan memohonlah pertolongan kepada-Nya. Wallaahu A’lam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda