Rabu, 23 Februari 2011

Hukum Wanita Yang Dipaksa Berzina

|Cetak Halaman|


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, saya mau tanya. Saya punya saudara perempuan yang dipaksa untuk melakukan perzinaan dengan seorang lelaki yang telah beristri. Apakah dia harus menikah dengan orang yang menzinainya? Sementara saudara saya itu tidak ingin menyakiti hati anak dan isteri lelaki tersebut.

Saudara perempuan saya itu sekarang sedang bekerja di luar negeri. Bila memang dia wajib menikah dengan lelaki tersebut, bagaimana dengan perwaliannya? Apakah dia boleh menikah di sana sementara seluruh walinya ada di Indonesia, dengan kemampuan finansial yang pas-pasan. Wajibkah mereka menikah? Terima kasih atas jawabannya.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

A-…

Jawaban:

Saudara A yang saya hormati, jawaban untuk pertanyaan Anda sebenarnya pernah saya singgung pada konsultasi berjudul “Hukum Menikahi Wanita Hamil dan Status Anak Di Luar Nikah”. Di sini, sengaja saya kutipkan kembali poin-poin yang berkaitan dengan permasalahan yang Anda tanyakan:

“Mengenai hukum menikahi wanita yang pernah berzina itu, sedikitnya ada 3 pendapat:

Pertama: Sebagian ulama termasuk sebagian sahabat seperti Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra` dan Ibnu Mas’ud, berpendapat bahwa wanita yang pernah berzina tidak boleh dinikahkan baik dengan laki-laki yang menzinahinya ataupun laki-laki yang baik (bukan pezina). Mereka mendasarkan pendapatnya itu pada firman Allah swt.: “Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.” (QS. An-Nuur [24]: 3) Berdasarkan dalil tersebut pula, Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa seorang isteri yang berzina harus diceraikan oleh suaminya.

Kedua: Jumhur (mayoritas) ulama termasuk Abu Bakar dan Umar bin Khathab berpendapat bahwa wanita tersebut boleh dinikahkan, baik dengan orang yang menzinahinya ataupun dengan orang lain. Pendapat kedua ini didasarkan pada firman Allah swt. “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya yang lelaki dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur [24]: 32) Dalam hal ini, bila wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki yang menzinahi atau menghamilinya, maka tidak perlu ada istibra`. Istibra` adalah upaya untuk memastikan bahwa rahim seorang wanita telah benar-benar bersih dari air mani laki-laki yang telah menggaulinya. Masa istibra` ini adalah 6 bulan. Tujuan istibra` ini adalah untuk mendapat kepastian nasab. Untuk tujuan ini pula, maka Islam mensyariatkan adanya masa iddah. Oleh karena itu, menurut jumhur ulama, bila wanita yang hamil itu dinikahi oleh laki-laki yang benar-benar menghamilinya, maka hal itu dibolehkan dan tidak perlu menunggu hingga melahirkan. Lain halnya bila wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki lain, bukan laki-laki yang menghamilinya, maka pernikahan itu haram dilakukan kecuali setelah wanita itu melahirkan bayi yang dikandungnya dan telah melewati masa nifas. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi saw.: “Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk menuangkan air (maninya) pada tanaman milik orang lain.” (HR. Abu Daud) Memang ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa meskipun dinikahi oleh laki-laki yang menzinahinya, sang wanita tetap harus menunggu hingga melahirkan, dengan dalil: “sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, masa ‘iddah mereka itu sampai melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Thalaaq [64]: 4)

Ketiga: Pendapat ketiga adalah pendapat Imam Ahmad. Beliau mengharamkan seorang laki-laki menikahi wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Tapi bila sudah bertaubat, maka pernikahan itu dibolehkan.”

Saudara A yang saya hormati, dari ketiga pendapat yang saya sebutkan di atas, tidak ada satupun yang mewajibkan pernikahan antara wanita yang berzina dengan lelaki yang menzinahinya. Jumhur ulama hanya sebatas “membolehkan” saja, tidak sampai pada tahap mewajibkan. Oleh karena itu, meskipun –sesuai penuturan Anda- saudara perempuan Anda dipaksa untuk melakukan perzinahan, dia tidak serta merta harus dinikahkan dengan lelaki tersebut, karena memang tidak ada ketentuan yang mewajibkan seperti itu. Andaikata dia harus dinikahkan, menurut saya, itu karena faktor/pertimbangan lain yang lebih menekankan aspek “mashlahah”. Artinya, dia harus dinikahkan dengan laki-laki tersebut karena hal itu lebih baik daripada bila dia tidak dinikahkan dengannya. Sebagai contoh, lebih baik dia dinikahkan, karena bila tidak, maka mereka berdua akan terus larut dalam perzinaan.

Dengan demikian, wajib atau tidaknya saudara perempuan Anda dinikahkan dengan laki-laki tersebut sangat kondisional dan harus memperhatikan kondisi-kondisi yang ada, termasuk kondisi laki-laki tersebut yang sudah beristeri dan beranak. Namun, andaikata sesuai pertimbangan “kemashlahatan” yang telah dilakukan, keduanya memang sebaiknya dinikahkan, maka Anda tidak perlu bingung dengan masalah perwalian. Sebab, saudara perempuan Anda itu berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan baginya untuk menghadirkan orang-orang yang berhak menjadi wali dalam pernikahannya. Dalam kondisi adanya halangan seperti, maka dia dibolehkan menikah dengan menggunakan wali hakim, sesuai sabda Nabi saw.: “Penguasa (as-sulthan) adalah wali bagi orang (perempuan) yang tidak punya wali.” (HR. Al-Arba'ah, kecuali Nasa'i) Wallahu A'lam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda