Rabu, 18 November 2009

Ditelantarkan Suami, Apakah Jatuh Thalak?

* Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Saya memiliki suami yang alhamdulillah taat luar biasa kepada ibunya. Bagi suami saya, ibunya adalah segala-galanya. Perkataannya adalah perintahnya. Bahkan saat ini, suami telah meninggalkan saya dan bayi kami (yang kini berusia 21 bulan) tanpa ada berita apapun selama dua bulan. Hal itu dia lakukan agar dia dapat menikah dengan wanita pilihan ibunya. Sebab dengan pilihan ibunya itu, kondisi ekonomi keluarganya di kampung bisa meningkat. Bagaimana seharusnya tindakan saya? Apa tindakan suami saya itu bisa dibenarkan?

Apakah nanti setelah 3 bulan 10 hari setelah kepergian suami saya itu, bisa dikatakan bahwa saya telah menjalani masa ‘iddah? Salahkah saya jika setelah itu saya mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan, dengan alasan suami telah menelantarkan saya dan juga anak kami. Perlu diketahui, sampai sekarang suami tidak pernah peduli dengan kabar kami, bahkan untuk mengirim SMS guna menanyakan kabar kami saja tidak pernah. Mohon penjelasannya, terima kasih.

* Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

* D - ……

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Menuruti perintah kedua orangtua -termasuk ibu- adalah kewajiban seorang anak dan merupakan wujud baktinya kepada mereka. Sebagaimana pernah saya jelaskan pada konsultasi yang berjudul “Hukum Mendoakan Orangtua Yang Non-Muslim”, berbakti kepada kedua orangtua merupakan satu amaliah yang sangat mulia, dan hal ini didasarkan pada firman Allah swt.: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Israa` [17]: 23)

Bahkan dalam kaitannya dengan masalah berbakti kepada ibu, telah diriwayatkan sebuah Hadits dari Abu Hurairah, bahwa dia berkata, “Seorang lelaki pernah mendatangi Rasulullah, lalu dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu.’ Lelaki itu bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu.’ Lelaki itu bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu.’ Lelaki itu bertanya (lagi), ‘Kemudian siapa lagi?’ Lelaki itu menjawab, ‘Bapakmu.’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hanya saja perlu diingat, menuruti perintah orangtua ini dibolehkan (bahkan diwajibkan) selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam. Dalam kasus yang sedang ibu hadapi, saya melihat adanya pelanggaran terhadap syariat yang telah dilakukan suami, karena dia telah menelantarkan isteri dan anaknya. Jadi menurut saya, apa yang telah dilakukan suami ibu itu salah, karena dengan menelantarkan isteri dan anaknya, berarti dia telah melanggar perintah Allah untuk memperlakukan isteri dengan baik seperti yang difirmankan Allah dalam QS. An-Nisaa` (4): 19: “dan bergaullah dengan mereka secara patut.”

Tapi dengan kepergian suami begitu saja tidak serta merta jatuh thalak, karena sesaat setelah Anda dan suami melakukan akad nikah, suami telah mengucapkan shighat taklik (ikrar atau janji) yang berbunyi: “Saya membaca shighat taklik atas isteri saya sebagai berikut: Sewaktu-waktu saya:

Meninggalkan isteri saya dua tahun berturut-turut,

Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,

Atau saya menyakiti badan / jasmani isteri saya,

Atau saya membiarkan (tidak mempedulikan) isteri saya enam bulan lamanya,

kemudian isteri saya tidak ridha dan mengadukan halnya ke Pengadilan Agama, dan pengaduannya itu dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan tersebut, dan isteri saya membayar sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sebagai ‘iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah thalak saya satu kepadanya.” (Dikutip dari Buku Nikah)

Berdasarkan hal tersebut, sebaiknya ibu hubungi dulu suami ibu dan ingatkan kepadanya akan janji atau ikrarnya tersebut. Bila dia tidak menggubris, kemudian ibu tidak ridha (tidak menerima) sikapnya itu, maka ibu berhak mengadukan masalah ini ke Pengadilan Agama, dengan menggunakan salah satu alasan yang tertera pada shighat taklik di atas. Dalam hal ini, ibu bisa menggunakan alasan kedua (tidak memberi nafkah wajib selama tiga bulan) bila ibu tidak ridha atas perlakuan suami tersebut. Menurut saya, alasan ini sangat tepat karena dengannya ibu tidak perlu menunggu dalam waktu lama guna mendapatkan kepastian hukum, sehingga status ibu pun tidak terkatung-katung dalam waktu yang lama. Tetapi sekali lagi, semua ini tergantung apakah ibu ridha atau tidak terhadap perlakuan suami ibu.

Sebelum saya tutup, ada satu pernyataan ibu yang ingin saya koreksi, yaitu pernyataan mengenai masa ‘iddah. Dalam pertanyaan, ibu menyebutkan bahwa masa ‘iddah adalah 3 bulan 10 hari. Padahal, tidak ada masa ‘iddah seperti yang ibu sebutkan. Yang ada adalah sebagai berikut:

Tiga kali quru` (masa suci), bagi wanita yang diceraikan suaminya.

4 bulan 10 hari, bagi wanita yang ditinggal mati suaminya.

Sampai melahirkan, bagi wanita yang hamil.

Masa ‘iddah ini terhitung sejak jatuhnya thalak atau sejak hari kematian suami, dan bukan sejak kepergian suami pada kasus dimana seorang wanita ditinggal pergi oleh suaminya. Demikian penjelasan dari saya, mudah-mudahan bermanfaat. Wallaahu A’lam….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda