Khalifah Abdul Malik bin Marwan memiliki seorang putera. Dia meminta kepada puteri Sa’id bin Musayyib untuk menjadi isteri bagi puteranya, Al-Walid bin Abdul Malik, yang dicalonkan sebagai khalifah sepeninggal ayahnya nanti. Tetapi ulama besar itu (Sa’id bin Musayyib) menolak lamaran tersebut. Sang Khalifah pun merayunya dengan menggunakan harta, tetapi Sa’id bin Musayyib tetap tidak mau. Akhirnya, Sang Khalifah mengancamnya, tetapi Sa’id bin Musayyib sama sekali tidak takut terhadap ancaman tersebut. Pada suatu pagi, Abdullah bin Abi Wada’ah mengetuk pintu rumah Syeikh Sa’id bin Musayyib. Abdullah adalah seorang yang selalu menghadiri majlis Syeikh Sa’id dan mengikuti pelajaran-pelajaran yang disampaikannya. Tetapi selama beberapa hari, dia telah absen. Dia pun masuk dan langsung duduk.
Syeikh Sa’id bertanya kepadanya: “Kenapa kamu absen?” Abdullah menjawab: “Isteriku meninggal dunia, karena itu aku pun sibuk mengurusi pemakamannya.” Syeikh Sa’id berkata: “Mengapa kamu tidak memberitahu kami hingga kami pun dapat menghadiri pemakamannya?” Di akhir pembicaraan, Abdullah hendak berdiri (untuk pulang). Tetapi junjungan pada tabi’in, Syeikh Sa’id, berkata kepadanya: “Apakah kamu telah menemukan wanita lain sebagai penggantinya?” Abdullah menjawab: “Semoga Allah merahmatimu. Adakah orang yang mau menikahkan puterinya denganku, karena aku ini orang yang tidak memiliki apa-apa kecuali dua atau tiga dirham saja!” Syeikh Sa’id berkata: “Akulah orangnya!” Abdullah pun terkejut, lalu dia bertanya: “Engkau akan melakukan hal itu?” Syeikh Sa’id menjawab: “Ya.”
Kemudian Syeikh Sa’id berkata: “Panggillah beberapa orang Anshar ke sini!” Setelah mereka datang, Syeikh Sa’id pun memuji Allah dan membaca shalawat Nabi saw., lalu dia menikahkan Abdullah (dengan puterinya) dengan mahar sebesar 3 dirham. Sungguh hanya dengan tiga dirham saja!! Itulah mahar seorang anak perempuan yang hendak dipinang oleh Khalifah Abdul Malik untuk putera mahkotanya dengan mahar emas, berapapun yang ia mau!!
Setelah itu, Abdullah pulang ke rumahnya. Saat itu, dia sedang berpuasa. Dia berbuka puasa hanya dengan menggunakan sepotong roti dan minyak. Tidak lama kemudian, ada seseorang yang mengetuk pintu rumahnya. Abdullah pun membuka pintu, dan ternyata dia mendapati Syeikh Sa’id telah berada di depan pintu. Abdullah pun terkejut, lalu dia berkata: “Mengapa engkau tidak menyuruh orang untuk memanggilku saja, niscaya aku akan mendatangimu.” Syeikh Sa’id menjawab: “Sungguh kamu lebih pantas untuk didatangi, karena tadinya kamu adalah seorang laki-laki yang menduda, dan sekarang kamu sudah menikah. Karena itu, aku pun tidak mau kamu melewati malam ini seorang diri. Ini isterimu!!” Syeikh Sa’id bergeser sedikit, dan ternyata pengantin perempuan telah berdiri di belakangnya dalam keadaan tertutup (mengenakan hijab). Syeikh Sa’id pun menyuruhnya maju ke arah pintu, lalu dia menyerahkannya kepada Abdullah, dan setelah itu dia pun pergi. Tidak lama kemudian, para tetangga berdatangan (guna memberikan ucapan selamat).
Abdullah menceritakan: “Ketika aku masuk untuk menemuinya (di dalam kamar), ternyata dia adalah wanita yang paling cantik, paling hapal Kitabullah (Al-Qur`an), paling mengetahui Sunah Rasulullah, dan paling mengetahui tentang hak-hak suami. Jika ada satu masalah, kemudian para ahli fikih tidak mampu untuk menemukan jawabannya, maka aku menemukan jawaban itu pada isteriku. Aku bertanya kepadanya tentang ilmu (pengetahuan)nya berkaitan dengan masalah tersebut.” (Munkaraat Al-Afraah, karya sekelompok ulama Al-Azhar, hal. 95, cet. Maktabah At-Tau’iyyah.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar Anda