Sabtu, 11 Juni 2011

Surat Rumah Warisan Ayah Atas Nama Ibu

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Begini Pak Ustadz, saya ingin menanyakan beberapa hal mengenai (harta) waris:

1. Apa definisi dari (harta) waris itu?
2. Apa sajakah yang termasuk (harta) waris itu?
3. Jika surat-surat rumah atau tanah peninggalan ayah semuanya atas nama ibu (ibu masih ada / belum meninggal), apakah juga termasuk (harta) waris ayah? Sebab, sampai sekarang ibu beranggapan bahwa jika surat-surat rumah dan tanah itu atas namanya, maka rumah dan tanah itu telah menjadi miliknya dan tidak termasuk (harta) waris.
4. Apakah hukumnya jika (harta) waris tersebut dijual tanpa sepengetahuan salah seorang anak, meskipun anak-anak yang lain mengetahuinya?

Mohon penjelasannya Ustadz, sebelumnya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
A-…..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara A yang saya hormati, saya akan mencoba menjawab pertanyaan Anda satu persatu:
  1. Definisi harta waris: Menurut bahasa, harta waris (atau dalam bahasa arabnya “al-miiraats”) berasal dari kata waratsa yaritsu irtsan miiraatsan, yang berarti “berpindahnya sesuai dari seseorang kepada orang lain, atau dari satu kaum kepada kaum yang lain”. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan waris atau miiraats adalah berpindahnya hak kepemilikan atas sesuatu dari orang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup.

  2. Berdasarkan pengertian di atas, maka yang termasuk katagori harta waris adalah segala sesuatu yang menjadi hak milik orang yang meninggal dunia, baik berupa materi seperti uang, rumah, tanah dan lain-lain, ataupun berupa hak dan manfaat seperti hak cipta dari suatu karya, manfaat dari rumah yang disewakan dan lain-lain. Khusus untuk harta yang berupa “hak dan manfaat” ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah ia bisa diwariskan ataukah tidak.

  3. Jawaban dari pertanyaan ketiga hampir sama dengan jawaban yang saya berikan pada konsultasi berjudul “Curhat Soal Warisan Orangtua”. Dalam konsultasi tersebut, saya menegaskan bahwa berdasarkan kaidah, “An-Naasu yahkumuuna bizh-zhawaahir wallaahu yahkumu bil-bawaathin” (Manusia menghukumi sesuatu berdasarkan hal-hal yang sifatnya lahiriah [bukti-bukti fisik], sedangkan Allah menghukumi sesuatu berdasarkan hal-hal yang sifatnya batiniyah), maka semestinya rumah dan tanah tersebut telah menjadi hak milik ibu, bukan ayah. Namun di kalangan masyarakat kita, terkadang pencantuman nama isteri dalam sertifikat tanah atau rumah suami hanya bersifat formalitas belaka, yang salah satu tujuannya untuk menghindari atau meminimalisir pajak. Jadi, pencantuman tersebut tidak berpengaruh terhadap pemindahan hak milik dari suami kepada isteri, karena pada saat pengurusan surat itu sebenarnya suami tidak berniat untuk menghibahkannya kepada sang isteri. Karenanya, perlu dicek kembali apakah ayah benar-benar telah menghibahkan rumah dan tanah tersebut kepada ibu dengan bukti pencantuman nama ibu dalam sertifikat tersebut, ataukah pencantuman itu hanya formalitas belaka? Kedua hal tersebut jelas memiliki implikasi yang sangat berbeda. Bila ayah benar-benar telah menghibahkannya kepada ibu, maka tanah tersebut telah menjadi milik ibu sehingga ia tidak menjadi harta warisan ayah saat ayah meninggal dunia. Ia hanya akan menjadi harta waris setelah ibu meninggal dunia. Namun, bila ternyata ayah belum menghibahkannya kepada ibu, maka ia termasuk harta waris dari sang ayah yang harus dibagikan kepada semua ahli waris yang ada, termasuk ibu (isteri ayah) dan anak-anaknya. Hal itu disebabkan karena pembicaraan mengenai harta (termasuk harta waris) tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai hak milik; siapa yang memiliki harta tersebut?

  4. Bila ada harta waris yang dijual oleh orangtua (ayah atau ibu yang masih hidup) tanpa sepengetahuan salah seorang anaknya (padahal anak tersebut sudah baligh dan dianggap mampu memanage sendiri harta miliknya), maka tindakan tersebut merupakan tindakan yang melanggar aturan Islam. Sebab dalam kondisi seperti itu, terutama bila masing-masing ahli waris belum mendapatkan kepastian bagiannya, maka semua ahli waris masih berserikat atas kepemilikan harta tersebut. Oleh karena itu, bila ada salah seorang ahli waris yang ingin menjualnya, dia harus memberitahukannya kepada semua ahli waris yang berserikat atas kepemilikan harta tersebut. Hal ini perlu diperhatikan karena persoalan warisan merupakan persoalan yang sangat sensitif, yang dapat merusak hubungan antara seseorang dengan kerabatnya, saudaranya atau bahkan dengan orangtuanya sendiri. Karena itu, hendaknya seorang Muslim mengikuti aturan-aturan waris yang telah ditetapkan oleh Islam. Saran saya, bicarakan baik-baik mengenai hal ini kepada ibu. Mudah-mudahan Anda akan mendapatkan solusi yang terbaik dan sesuai aturan syariat. Wallaahu A’lam….
Fatkhurozi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda