Kamis, 28 Januari 2010

Meninggal Tapi Masih Punya Hutang

Assalamualaikum Wr. Wb.
Saya mau bertanya mengenai hutang piutang, Pak Ustadz.
Begini pak, saya meminjamkan uang kepada si Fulan, dan si Fulan menjanjikan akan memberikan sejumlah imbalan setiap bulannya (saya tidak meminta). Tetapi baru 1 bulan berjalan si Fulan sudah mengingkari janjinya. Sampai akhirnya si Fulan ini meninggal dunia sebelum melunasi hutangnya.
Pada waktu penyerahan uang, saya membuat suatu pernjanjian di atas materai berikut kwitansi serah terima uang (jumlahnya tidak sedikit). Si Fulan memberikan jaminan berbentuk akte jual beli sebuah tanah (namun sayangnya nilai jaminan tersebut tidak sebanding dengan pinjaman Fulan). Ahli warisnya masih kecil-kecil belum cukup umur, sementara istrinya sudah bercerai. Orang tua si Fulan masih ada dan mempunyai perusahaan walaupun bukan perusahaan besar. Perusahaan ini dikelola oleh kakak dari si Fulan (dikarenakan orangtuanya sudah berusia 74 thn). Sekarang orangtuanya bermaksud menjual 1 buah rumah dengan harga yang mahal. Jika uang hasil penjualan rumah itu digunakan untuk membayar hutang Fulan, masih banyak sisa yang bisa dibagikan kepada anak-anaknya yg lain.
Yang ingin saya tanyakan:
1. Sekarang hutang tersebut menjadi tanggung jawab siapa?
2. Apabila pihak keluarga Fulan tidak mau membayar hutang tersebut bagaimana?
3. Bagaimanakah nasib si Fulan di alam Barzah sana?
Terimakasih Pak atas jawabannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
I -….

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudariku yang terhormat, sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan Anda, ada satu hal yang ingin saya konfirmasikan kepada Anda. Tadi Anda mengatakan bahwa si Fulan menjanjikan imbalan setiap bulannya kepada Anda, kemudian Anda dan dia membuat suatu perjanjian di atas materai. Yang ingin saya tanyakan: Apakah dalam perjanjian tersebut disebutkan bahwa si Fulan harus membayar hutangnya (pokok pinjaman) berikut imbalan yang dijanjikannya? Apakah pemberian imbalan tersebut menjadi kewajiban bagi si Fulan? Dan apakah kesediaan Anda untuk memberikan pinjaman itu dipengaruhi oleh janji imbalan si Fulan ataukah tidak? Artinya, Anda mau memberikan pinjaman itu karena adanya janji imbalan. Seandainya tidak ada, maka Anda tidak akan memberikan pinjaman.
Hal ini perlu saya tekankan agar dapat menjadi pelajaran bagi para pembaca. Perlu diketahui bahwa bila jawaban untuk ketiga pertanyaan tersebut atau salah satunya adalah “ya”, maka transaksi hutang piutang yang Anda lakukan dengan si Fulan itu mengandung unsur riba. Sebab, imbalan yang dijanjikan si Fulan itu merupakan kelebihan yang wajib dibayarkan kepada Anda, selain pokok pinjaman, meskipun imbalan itu bukan atas permintaan Anda. Padahal riba merupakan perbuatan yang jelas-jelas diharamkan Allah swt., seperti disebutkan dalam firman-Nya: “dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah[2]: 275)
Tetapi bila jawaban untuk ketiga pertanyaan tersebut adalah “tidak”, maka transaksi hutang piutang yang Anda lakukan itu tidak mengandung unsur riba. Perbedaan antara keduanya memang sangat tipis, tapi untuk membedakannya kita cukup bertanya: “Apakah imbalan tersebut menjadi kewajiban bagi si Fulan ataukah tidak?” Bila ya, maka hutang piutang itu mengandung unsur riba. Berbeda halnya bila imbalan atau kelebihan itu benar-benar atas kerelaan si Fulan dan tidak dijadikan beban kewajiban baginya. Artinya, si Fulan mau memberi imbalan atau tidak, itu tidak jadi masalah.
Dari sini, maka saya sarankan kepada Anda, bila nanti pihak keluarga Fulan mau melunasi pinjaman tersebut, sebaiknya Anda hanya meminta pokok pinjamannya saja.
Saudariku yang terhormat, untuk menjawab ketiga pertanyaan Anda, saya akan menyampaikan dua prinsip Islam yang berkaitan dengan hutang piutang:
Pertama: Prinsip pemeliharaan hak; Islam telah menetapkan sejumlah aturan yang berkaitan dengan hutang piutang dengan tujuan untuk memelihara hak masing-masing pihak, terutama hak orang yang memberikan pinjaman/hutang. Di antara aturan yang dimaksud adalah aturan bahwa orang yang berhutang harus mengembalikan harta yang dipinjamnya tepat waktu, syukur-syukur sebelum waktu yang dijanjikan. Sebab, Rasulullah saw. menganggap perbuatan menunda-nunda hutang bagi orang yang sudah mampu membayarnya sebagai sebuah kezhaliman. Beliau bersabda: “Menunda-nunda pembayaran hutang bagi orang yang sudah mampu (membayarnya) adalah sebuah kezhaliman.”
Dalam sejumlah hadits, Rasulullah saw. sangat mewanti-wanti agar jangan sampai seorang Muslim meninggal dunia dalam keadaan masih meninggalkan hutang. Dalam sebuah riwayat dari Abu Qatadah disebutkan bahwa suatu ketika, ada jenazah seorang laki-laki yang dibawa ke hadapan Rasulullah saw. untuk dishalatkan. Rasulullah saw. bersabda: “Kalian saja yang menyalatkan sahabat kalian itu, sebab dia masih memiliki hutang.” Mendengar itu, Abu Qatadah berkata: “Hutang itu aku yang menanggungnya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya: “Apakah sampai lunas?” Abu Qatadah menjawab: “Ya, sampai lunas.” Rasulullah saw. pun menyalatkan jenazah tersebut.
Bahkan pada riwayat yang lain, Rasulullah saw. bersabda: “Jiwa (ruh) seorang Mukmin akan tergantung (terkatung-katung) selama dia masih memiliki hutang.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Mungkin hadits terakhir inilah yang melatarbelakangi pertanyaan ketiga Anda, yaitu mengenai nasib si Fulan di alam Barzakh. Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa seorang yang meninggal dunia dalam keadaan masih memiliki tanggungan hutang akan mengalami suatu ganjalan (ketidaknyamanan) di alam Barzakh nanti, sebelum hutang itu dilunasi oleh keluarganya ataupun diikhlaskan oleh orang yang menghutanginya. Tetapi bagaimana bentuk ganjalan dan seberapa besar ganjalan itu, hanya Allah yang mengetahuinya.
Oleh karena itu, Rasulullah saw. memerintahkan agar ketika ada seorang Mukmin yang meninggal dunia dalam keadaan masih memiliki hutang, hendaknya ada orang yang mau melunasi hutang tersebut, baik dari pihak keluarga ataupun pihak lain, seperti yang diisyaratkan dalam hadits kedua yang diriwayatkan dari Abu Qatadah tersebut.
Berdasarkan hal itu, maka dalam kasus yang Anda hadapi, sudah semestinya pihak keluarga Fulan (kakak dan orangtua Fulan) bersedia untuk melunasi hutang si Fulan bila mereka menginginkan agar Fulan tidak mengalami suatu ganjalan (ketidaknyamanan) akibat tanggungan hutangnya yang belum dilunasi itu.
Kedua: Prinsip pelaksanaan dan penuntutan hak; Dalam Islam, hak seseorang harus dilaksanakan dan ditunaikan. Hak Anda untuk mendapatkan kembali uang yang dipinjam si Fulan pun harus ditunaikan oleh si Fulan. Bahkan, seandainya Fulan masih hidup, Anda berhak menggugatnya ke pengadilan, karena transaksi hutang piutang Anda memiliki bukti tertulis. Tetapi karena si Fulan telah meninggal dunia, maka berdasarkan poin pertama di atas, pihak keluarganya-lah yang semestinya melunasinya. Karena itu, Anda berhak meminta keluarga Fulan untuk melunasi hutang tersebut. Tetapi perlu diingat, Islam juga memerintahkan kepada kita untuk tetap memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan ketika kita melakukan penuntutan hak, termasuk dalam masalah hutang piutang. Allah swt. berfirman: “dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang itu) lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 280)
Perhatikan, bagaimana Al-Qur`an memerintahkan kita untuk memberikan kelapangan bila orang yang berhutang memang benar-benar tidak mampu untuk mengembalikan hutangnya, yaitu dengan cara memberi tangguh waktu pembayaran atau bahkan dengan cara mengikhlaskannya bila kita mengharapkan balasan yang lebih baik dari Allah swt..
Hal senada juga pernah disampaikan oleh Baginda Rasulullah saw. dalam sabdanya: “Barangsiapa yang memberi keringanan kepada orang yang berhutang atau menghapus hutangnya, maka dia akan berada di bawah naungan Arsy pada hari kiamat.”
Berdasarkan prinsip penuntutan hak tersebut, maka bila ternyata keluarga Fulan tidak mau melunasi hutang-hutang Fulan, maka Anda berhak menuntut ke pengadilan. Tetapi dalam pengadilan Islam, hakim hanya bisa memaksa keluarga Fulan untuk melunasi hutang si Fulan dengan menggunakan aset-aset yang dimiliki Fulan atau dengan harta yang benar-benar menjadi hak Fulan. Hakim tidak bisa memaksa mereka untuk melunasinya dengan harta mereka, kecuali bila dalam harta mereka itu juga ada hak si Fulan. Inilah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. saat sejumlah orang menuntut agar harta mereka yang dipinjamkan kepada Muadz bin Jabal dikembalikan, dimana pada saat itu Muadz baru saja mengalami pailit. Setelah membayar hutang Mu’adz dengan sisa harta yang dimilikinya, dimana sisa harta tersebut belum cukup untuk melunasi semua hutang yang ada, Rasulullah saw. bersabda kepada mereka: “Tidak ada yang bisa diberikan kepada kalian selain itu.” (HR. Daruquthni dan Hakim)
Meskipun demikian, hakim akan menyarankan keluarga Fulan untuk melunasi sisa hutang Fulan dari harta mereka dengan menjelaskan kondisi si Fulan di alam Barzakh bila hutang-hutangnya belum dilunasi, seperti yang telah dijelaskan pada poin pertama. Tetapi bila keluarga Fulan bersedia melunasinya, maka pelunasan itu dilakukan dengan tetap mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan seperti yang disebutkan di atas. Karena itu, saya sarankan kepada Anda, sebaiknya Anda menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan terlebih dahulu dengan mengadakan ash-shulh (kesepakatan) dengan pihak keluarga Fulan. Wallaahu A’lam….

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum,
    Teman saya pernah berhutang saat akad tidak ada perjanjian membayar lebih hanya itikad baik untuk memberi pinjaman tanpa apapun. Namun setelah beberapa bulan dia memberikan janji membayar lebih (padahal saat itu saya tidak menagih dan meminta tambahan)sebagai rasa terima kasih karena telah membantu dia meminjamkan uang untuk melancarkan usahanya dan saya menyetujuinya.
    Setelah beberapa tahun saya tagih utang + janjinya. Saya merasa sampai saat ini berdosa dan berusaha untuk menghubungi dia tidak berhasil untuk minta ridho & maaf.

    Bagaimana menurut Antum?

    Jazakallah...

    BalasHapus

Terima kasih atas komentar Anda