* Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Bismillah…Ana ada sedikit pertanyaan mengenai hal mahar. Jadi ana punya saudara, dia cerita dia menikah dengan biaya sendiri sampai uangnya habis sama sekali. Karena istrinya berasal dari Bali dan dia dari Jawa, tepatnya malang. Ana salut sama dia karena dia berusaha membiayai semua sendiri. Permasalahannya dia lupa membayar maharnya, dan sekarang dia punya niatan membayarnya. Bagaimana hukum dan dalilnya?? Mohon pencerahan.
Jazakumullah
* Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
* Hari al-Jannah
* Jawaban:
* Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Terima kasih atas pertanyaan dan perhatiannya. Pertanyaan Anda sangat menarik karena pengalaman saudara Anda cukup unik dan boleh dikatakan jarang terjadi di negeri kita, Indonesia. Sebab, mayoritas pernikahan yang ada di Indonesia dilakukan dengan menyebutkan kadar mahar dan kebanyakan dibayar secara kontan, dengan kadar dan jenis mahar yang berbeda-beda sesuai kemampuan pengantin laki-laki. Tetapi sayangnya, Anda tidak menyebutkan apakah saat dilakukan akad nikah, saudara Anda menyebutkan waktu pembayaran sisa mahar ataukah tidak. Ada perbedaan hukum antara keduanya, seperti yang akan dijelaskan di bawah nanti.
Mahar atau mas kawin adalah harta atau pekerjaan yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan sebagai pengganti dalam sebuah pernikahan menurut kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak, atau berdasarkan ketetapan dari si hakim. Dalam bahasa Arab, mas kawin sering disebut dengan istilah mahar, shadaq, faridhah dan ajr.
Mahar merupakan salah satu syarat sahnya sebuah akad nikah. Dalam hal ini, al-Qur’an memerintahkan kepada calon suami untuk membayar mahar: “Berikanlah maskawin mahar kepada perempuan (yang kau nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan, kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa` [4]: 4).
Berdasarkan ayat tersebut, para ulama sepakat bahwa mahar hukumnya wajib bagi seorang laki-laki yang hendak menikah, baik mahar tersebut disebutkan atau tidak disebutkan. Bila sebuah pernikahan dilakukan tanpa memakai mahar, maka pernikahan tersebut tidak sah karena mahar termasuk salah satu syarat sahnya sebuah pernikahan.
Pembayaran mahar boleh dilakukan secara tunai (kontan) dan boleh juga dicicil. Hal ini didasarkan pada firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” QS. Al-Maidah [5]: 1] Memenuhi pembayaran mahar adalah termasuk bagian dari memenuhi akad, sebab segala jenis yang menjadi persyaratan dalam akad termasuk bagian dari akad tersebut. Pembayaran mahar boleh dicicil bila sudah ada kesepakatan sebelumnya.
Bila pembayaran mahar itu dilakukan tidak secara tunai, maka pembayaran sisa maharnya dilakukan tergantung kesiapan pengantin laki-laki saat melakukan akad nikah atau sebelum akad nikah dilakukan. Bila pengantin laki-laki menyebutkan waktu tertentu, misalnya satu tahun setelah pernikahan, maka sisa mahar tersebut harus dibayar persis setelah waktu setahun pernikahan. Tetapi bila dia tidak menyebutkan waktu tertentu untuk membayar sisa maharnya itu, misalnya dengan mengatakan: “Sisa maharnya akan saya bayar sampai saya betul-betul ada cukup uang“, maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama:
* Imam Syafi’i berpendapat bahwa mahar tersebut batal karena dipandang majhul, tidak jelas waktu pembayaran sisanya. Maharnya dianggap batal, karenanya pengantin laki-laki harus membayar mahar mitsil. Misalnya, apabila si suami dan si wanita sepakat dengan mahar satu juta, kemudian si suami membayar setengahnya yakni 500 ribu ketika akad dan sisanya ia tangguhkan, namun, tidak menyebutkan waktu tertentu pembayarannya, maka menurut Imam Syafi’i, mahar yang disepakati tadi tidak sah dan harus dibatalkan. Sebagai gantinya, si suami harus membayar mahar mitsil. Mahar Mitsil adalah mahar yang sebanding atau yang sama dengan mahar orang lain. Maksudnya, calon suami harus melihat berapa besar mas kawin yang diterima oleh bibi atau tante calon pengantin wanita dari pihak ayahnya, atau berapa mas kawin yang diterima oleh bibi bapak wanita tersebut. Apabila misalnya tante dari pihak bapaknya ketika menikah dahulu menerima mas kawin sebesar tujuh ratus lima puluh ribu rupiah, maka si calon suami pun harus membayar mas kawin untuk wanita tersebut minimal tujuh ratus lima puluh ribu rupiah.
* Imam Maliki berpendapat, bila pengantin laki-laki tidak menyebutkan waktu tertentu untuk membayar sisa maharnya itu, atau menyebutkan waktu tertentu tapi ia mengatakan: “sampai isteri saya meninggal atau sampai terjadi perceraian“, maka akadnya menjadi tidak sah. Namun, apabila si suami tersebut telah menyetubuhi isterinya, maka si suaminya harus membayar mahar mitsil.
* Sedangkan Imam Hanbali dan Imam Hanafi berpendapat, bila pengantin laki-laki tidak menyebutkan waktu tertentu untuk membayar sisa maharnya itu, maka hal itu sah-sah saja. Waktu pembayaran sisanya boleh ditangguhkan sampai salah satunya meninggal dunia atau terjadi perceraian.
Meskipun dibolehkan penundaan, tentunya sesuai kesepakatan pada saat akad pernikahan, akan tetapi Rasulullah saw. sangat mewanti-wanti agar kita tidak lupa atau tidak membayar mahar sama sekali. Beliau bersabda: “Syarat-syarat yang paling berhak kalian sempurnakan ialah kalian menyempurnakan mahar yang dengannya kalian telah menghalalkan kehormatan isteri kalian.” (Muttafaqun ‘alaih) Wallaahu A’lam…..
Untuk download buku tentang fikih pernikahan yang membahas secara khusus tentang permasalahan mahar, klik:
http://www.ziddu.com/download/6155290/fiqhM04_mahar.pdf.html