Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustazd, bagaimana hukumnya bermadzhab, apakah kita wajib berpegang pada satu madzhab saja? Apakah boleh kita berpegang kepada suatu madzhab dalam mengerjakan suatu amal, sedangkan dalam kasus atau amal yang lain kita berpegang kepada madzhab yg lain? Mohon pencerahannya. Terima kasih banyak.
Wassalaamu’alaikum Wr. Wb.
Destamal
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Dalam bahasa Arab, kata “madzhab” berasal dari kata “dzahaba ilaihi” yang artinya pergi atau condong kepadanya, atau bisa diartikan “itulah pendapat yang dipegang oleh…”. Bila dikatakan “dzahaba ilaihi Hasan”, maka artinya “itulah pendapat yang diikuti Hasan”. Jadi, madzhab sangat terkait dengan pendapat seseorang, atau dalam istilah fikihnya disebut dengan “ijtihad”.
Ijtihad sendiri merupakan upaya manusia untuk menarik kesimpulan hukum yang bersumber dari Al-Qur`an dan Hadits. Sebagai upaya manusia, tentunya sebuah ijtihad bisa saja benar dan bisa saja salah. Tetapi bila seseorang telah berijtihad dengan sungguh-sungguh, dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang ada, maka walaupun hasil ijtihadnya salah, hasil ijtihadnya itu tetap dihargai Allah swt..
Dalam sebuah hadits disebutkan: “Barangsiapa yang berijtihad, kemudian ijtihadnya itu benar, maka dia akan mendapatkan dua pahala. Tetapi bila dia berijtihad, kemudian ijtihadnya itu salah, maka dia akan mendapatkan satu pahala.”
Dari sini, maka saya berkesimpulan bahwa tidak ada kewajiban bagi kita untuk hanya mengikuti satu madzhab saja. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa tidak ada satu nash pun baik Al-Qur`an ataupun hadits yang mengisyaratkan kewajiban seperti itu. Bahkan, Rasulullah saw. sendiri tidak pernah mewajibkan kepada para sahabat untuk bertanya kepada satu orang saja ketika ada satu masalah yang berkaitan dengan agama. Siapa saja yang memiliki pengetahuan tentang masalah tersebut, boleh dijadikan rujukan. Hal ini senada dengan firman Allah:
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS An-Nahl: 43)
Imam Syafi’i yang dikenal sebagai seorang imam besar dalam ilmu fikih saja pernah merevisi madzhabnya. Ketika tinggal di Irak, beliau memakai qaulul qadim (pendapat lama)nya. Tetapi ketika pindah ke Mesir, beliau memakai qaulul jadid (pendapat baru)nya. Ini menunjukkan bahwa pendapat seseorang, sekalipun seorang imam tersohor sekelas Imam Syafi’i, tidak bersifat muthlak alias sudah pasti benar.
Hanya saja perlu diperhatikan, meskipun kita tidak diwajibkan untuk mengikuti satu madzhab tertentu, kita tidak boleh juga mempermainkan hukum atau yang dikenal dengan istilah hiilah. Artinya, seseorang tidak boleh mengikuti madzhab seorang imam dalam salah satu cabang masalah, tetapi pada cabang-cabang yang lain, dia mengikuti madzhab imam yang lain dengan niat untuk mengambil enaknya saja. Sebagai contoh, dalam masalah pernikahan, seseorang mengikuti madzhab imam tertentu yang tidak mewajibkan adanya saksi. Tetapi di sisi lain, dia juga mengikuti madzhab imam yang lain tidak mensyaratkan adanya wali. Tentunya hal seperti itu dapat dikatagorikan sebagai upaya untuk mencari celah-celah hukum yang dilakukan guna mengambil hal yang termudah dalam masalah tertentu.
Mungkin kekhawatiran akan terjadinya hiilah seperti itulah yang telah menyebabkan sebagian ulama mewajibkan kepada kita untuk berpegang pada satu madzhab tertentu saja. Wallaahu A’lam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar Anda