Hari ini, insya Allah rakyat Indonesia akan melaksanakan pemilihan presiden yang merupakan bagian dari proses demokrasi. Mereka akan menyalurkan hak pilih mereka guna menentukan siapa yang akan menjadi orang nomer satu di negeri tercinta ini.
Jantung ketiga pasangan capres yang ikut dalam pilpres tahun 2009 pun mulai berdebar-debar. Mereka akan bertarung guna menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin bagi 250 juta lebih penduduk negeri yang terletak di garis katulistiwa ini.
Sebagai warga negara yang ingin memiliki andil dalam menentukan arah negara ini, sekecil apapun andil tersebut, saya akan menyalurkan aspirasi saya. Tentunya sesuai dengan hati nurani dan penilaian obyektif saya. Hal itu akan saya lakukan meskipun saya sadar bahwa ketiga pasangan capres yang ada belum memenuhi kriteria pemimpin ideal dalam kaca mata saya, yaitu kriteria yang didasarkan pada pengetahuan saya tentang hukum-hukum Islam.
Terus terang, saya pribadi kurang setuju bila ada orang yang tidak ikut menentukan pilihan dalam pilpres ini dengan alasan-alasan tertentu. Apalagi dengan alasan capres-capres yang ada tidak memenuhi kriteria ideal menurutnya. Sebab, walaupun pasangan capres yang ada belum memenuhi kriteria ideal, tapi itulah kenyataan yang ada. Sehingga menurut saya, kuranglah bijak bila umat Islam hanya menyerah begitu saja dan menyerahkan nasib bangsa ini kepada orang-orang yang ikut melakukan pemilihan. Dengan mengambil sikap seperti itu, berarti seseorang telah siap bila negeri ini dipimpin oleh orang yang mungkin kurang memperhatikan kepentingan umat Islam.
Apa yang saya lontarkan ini cukup beralasan, karena ketika Rasulullah saw. sendiri dihadapkan pada dua pilihan, dimana keduanya sama-sama kurang baik dalam pandangan beliau, maka beliau akan memilih yang paling ringan dampaknya. Inilah kaidah yang harus kita fahami dan kita amalkan dalam setiap aspek kehidupan kita, termasuk dalam masalah politik.
Berdasarkan kaidah tersebut, bila memang capres-capres yang ada kurang berkenan di hati kita, karena mungkin adanya hal-hal minus yang telah mereka lakukan, maka paling tidak kita harus memilih mana yang terbaik menurut kita. Tentunya sesuai penilaian dan ijtihad kita masing-masing. Semua itu tidak lepas dari harapan kita agar negara yang penduduknya mayoritas Muslim ini dapat bergerak menuju ke arah yang lebih baik. Apapun hasilnya nanti, kita serahkan sepenuhnya kepada Dzat Yang Maha Kuasa, Allah swt.. Yang terpenting bagi kita hanyalah berusaha, berharap dan banyak berdoa.
Saya yakin, setiap orang di antara kita terutama yang beragama Islam pasti mengharapkan pemerintahan yang lebih baik, yaitu pemerintahan yang lebih memperhatikan kepentingan rakyat, terutama kepentingan umat Islam. Tetapi apakah harapan seperti itu akan terwujud bila kita hanya bersikap abstain, alias tidak menentukan pilihan?
Ya, kita harus berusaha dan berdoa, semoga capres yang terpilih nanti -siapapun dia- akan menjadi pemimpin yang lebih berpihak kepada rakyat. Pemimpin yang memperhatikan kepentingan rakyat dan pemimpin yang siap bekerja keras demi kesejahteraan rakyat. Saya pribadi selalu berharap dan berdoa, semoga bangsa Indonesia ini memiliki pemimpin seperti Baginda Rasulullah saw. dan Umar bin Khathab ra.. Meskipun tidak mirip persis, paling tidak sikap dan kebijakan pemimpin tersebut menauladani kedua pemimpin terbaik sepanjang sejarah Islam itu.
Saya juga berharap, siapapun yang terpilih nanti, tidak ada kekecewaan dalam hati capres-capres yang kalah, yang dapat berujung pada kekacauan dan dapat mengganggu stabilitas nasional. Mereka harus legowo menerima hasil pilpres nanti. Sikap seperti itu akan mendukung tercapainya harapan kita, yaitu terwujudnya negara yang aman, sentosa, sejahtera dan diridhai Allah swt..
Siapapun capres yang akan terpilih nanti, hendaknya konsep “Baiti jannati” (Rumahku Surgaku) harus ditanamkan dalam benaknya. Sebab, negara ini ibarat rumah yang kita tempati. Bila nyaman, maka kehidupan kita pun akan terasa di surga. Sebaliknya, bila tidak, maka kehidupan kita akan terasa seperti di neraka. Menurut saya, konsep “Baiti jannati” hendaknya tidak hanya diterapkan dalam keluarga yang merupakan institusi terkecil dalam masyarakat, tetapi juga dalam kehidupan bernegara.
Akankah semua itu terwujud? Wallaahu A’lam…Hanya Allah yang lebih mengetahui. Sebagai manusia yang lemah, kita hanya bisa berusaha dan berharap…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar Anda