Kamis, 30 Juli 2009

Ibnu Khaldun dan Nama Besarnya

Jakarta - Siapa yang tidak kenal Ibnu Khaldun? Ya, ilmuwan yang sangat brilian yang sering disebut raksasa intelektual paling terkemuka di dunia. Dia bukan saja disebut bapak sosiologi, tetapi juga bapak ekonomi dan bapak pendidikan dunia yang paling berpengaruh di dunia.

Nama lengkapnya adalah Abdurrahman Zaid Waliuddin bin Khaldun. Lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M. Nama kecilnya adalah Abdurrahman, sedangkan Abu Zaid adalah nama panggilan keluarga sebagai anak sulung. Waliuddin adalah kehormatan dan kebesaran yang dianugerahkan oleh Raja Mesir sewaktu ia diangkat menjadi Ketua Pengadilan di Mesir.

Menurut Ibnu Hazm, ulama Andalusia yang wafat tahun 457 H/1065 M, keluarga Ibnu Khaldun berasal dari Hadramaut Yaman. Jika ditelusuri silsilahnya, sampai kepada sahabat Rasulullah yang terkenal meriwayatkan kurang lebih 70 hadits dari Rasulullah. Nenek moyang Ibnu Khaldun adalah Khalid bin Usman, masuk Andalusia (Spanyol) bersama-sama para penakluk berkebangsaan Arab sekitar abad ke VII M, karena tertarik oleh kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh tentara Islam. Ia menetap di Carmona, suatu kota kecil yang terletak di tengah-tengah antara tiga kota yaitu Cordova, Granada dan Seville, yang di kemudian hari kota ini menjadi pusat kebudayaan Islam di Andalusia.

Pada abad ke VII M, anak cucu Khaldun pindah ke Sevilla pada masa pemerintahan Amir Abdullah Ibnu Muhammad dari Bani Umayyah (274-300 H) Andalusia dalam suasana perpecahan dan perebutan kekuasaan. Dalam suasana seperti ini, anak cucu Khaldun yang bernama Kuraib mengadakan pemberontakan bersama Umayyah Ibnu Abdul Ghofir, dia berhasil merebut kekuasaan dan mendirikan pemerintahan (sebagai Amir) di Sevilla. Akan tetapi karena kekejaman dan kekerasannya dia tidak disenangi rakyat dan akhirnya meninggal terbunuh pada tahun 899 H.

Banu Khaldun tetap tinggal di Sevilla selama pemerintahan Umayyah dengan tidak mengambil peranan yang berarti sampai datangnya pemerintahan raja-raja kecil (Ath-Thawalif) dan Sevilla berada dalam kekuasaan Ibnu Abbad. Pada masa itulah bintang Banu Khaldun melejit sampai pada masa pemerintahan Al-Muwahidun. Setelah raja-raja Thowaif mengalami kemunduran, maka muncullah raja-raja Muwahhidin menggeser kekuasaan raja-raja Murabbith.

Pada pemerintahan Muwahhidun inilah Banu Khaldun menjalin hubungan dengan keluarga pemerintah, sehingga mereka mempunyai kedudukan yang terhormat. Tatkala kerajaan Muwahhidin mengalami kemunduran dan Andalusia menjadi kacau balau, maka Banu Khaldun pindah ke Tunisia pada tahun 1223 M. Nenek moyang Ibnu Khaldun yang pertama mendarat ke Tunisia adalah Al Hasan Ibnu Muhammad (kakek keempat Ibnu Khaldun), kemudian disusul oleh saudara-saudaranya yang lain seperti Abu Bakar Muhammad bin Abu Bakar Muhammad dan lain-lain.

Kakek Ibnu Khaldun itu rata-rata menduduki jabatan penting di dalam pemerintahan waktu itu. Sedangkan anaknya Abu Abdillah Muhammad (ayah Ibnu Khaldun) tidak tertarik kepada jabatan pemerintahan. Ia lebih mementingkan bidang ilmu dan pendidikan, sehingga ia dikenal sebagai ahli dalam bidang ilmu fiqih, meninggal tahun 749 H/1349 M. Ia meninggalkan beberapa orang anak di antaranya Abu Yazid Waliuddin (Ibnu Khaldun), Umar, Musa, Yahya dan Muhammad. Pada waktu itu Ibnu Khaldun baru berusia 18 tahun. Ibnu Khaldun memperoleh pendidikan agama, bahasa, logika dan filsafat. Sebagai gurunya yang utama adalah ayahnya sendiri, di samping Ibnu Khaldun juga menghafal Al Qur’an, mempelajari fisika dan matematika dari ulama-ulama besar pada masanya.

Di antara guru-guru Ibnu Khaldun adalah Muhammad bin Saad Burral Al Anshari, Muhammad bin Abdissalam, Muhammad bin Abdil Muhaimin Al Hadhrami dan Abu Abdillah Muhammad bin Ibrahim Al Abilli. Dari merekalah Ibnu Khaldun mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan. Pada tahun 1349 setelah kedua orang tua Ibnu Khaldun meninggal dunia Ibnu Khaldun memutuskan untuk pindah ke Maroko, namun dicegah oleh kakaknya. Baru tahun 1354, Ibnu Khaldun melaksanakan niatnya pergi ke Maroko, dan di sana dia mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan tingginya.

Selama menjalani pendidikannya di Marokko, ada empat ilmu yang dipelajarinya secara mendalam yaitu bahasa Arab yang terdiri dari Nahwu, shorof, balaghoh, khitabah dan sastra. Kelompok ilmu syari’at terdiri dari Fiqh (Maliki), tafsir, hadits, ushul fiqh dan ilmu Al Qur’an. Kelompok ilmu aqliyah (ilmu-ilmu filsafat) terdiri dari filsafat, mantiq, fisika, matematika, falak, musik, dan sejarah. Kelompok ilmu kenegaraan terdiri atas ilmu administrasi, organisasi, ekonomi dan politik. Sepanjang hidupnya Ibnu Khaldun tidak pernah berhenti belajar, sebagaimana dikatakan oleh Von Wesendonk, hingga wafat.

Kecemerlangan otaknya didukung oleh kemauannya yang membaja untuk menjadi seorang yang alim dan arif. Hanya dalam waktu kurang dari seperempat abad Ibnu Khaldun telah mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Memasuki usia ke 20, Ibnu Khaldun mulai tertarik dengan kehidupan politik. Pada tahun 755 H/1354 M, karena kecakapannya Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretaris Sultan di Maroko, namun jabatan ini tidak lama di pangkuannya, karena pada tahun 1357 Ibnu Khaldun terlibat dalam persekongkolan untuk menggulingkan Amir bersama Amir Abu Abdullah Muhammad. Ia kemudian ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi tidak lama kemudian dia dibebaskan tak lama setelah Sultan meninggal dunia dan kekuasaan direbut oleh Al Manshur bin Sulaiman dari menterinya Al Hasan. Ibnu Khaldun lalu menggabungkan diri dengan Al Manshur dan dia diangkat menjadi sekretarisnya.

Namun tidak lama kemudian Ibnu Khaldun meninggalkan Al Manshur dan bekerjasama dengan Abu Salim. Pada waktu itu Abu Salim menduduki singgasana dan Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretarisnya dan dua tahun kemudian diangkat menjadi Mahkamah Agung. Di sinilah Ibnu Khaldun menunjukkan prestasinya yang luar biasa, tetapi itu pun tidak berlangsung lama, karena pada tahun 762 H./1361 M timbul pemberontakan di kalangan keluarga istana. Dia harus meninggalkan jabatan yang disandangnya. Rupanya tidak tahan lama Ibnu Khaldun bergelut dengan dunia politik dia ingin kembali ke dalam dunia ilmu pengetahuan yang pernah lama digelutinya.

Akhirnya dia memutar haluan bertolak ke daerah Banu Arif bersama keluarganya, dan di tempat inilah Ibnu Khaldun dan keluarganya baru merasa hidup tenang dan tentram jauh dari kemunafikan politik. Dalam ketenangannya itu Ibnu Khaldun merenung ingin menumpahkan semua pengalaman dan liku-liku kehidupannya. Maka dari sinilah ia mengalihkan perjalanan hidupnya dari petualang politik kembali kepada dunia ilmu pengetahuan, dan mulailah ia menyusun karya besarnya yang kemudian dikenal dengan “Muqoddimah Ibnu Khaldun”. Selama empat tahun tinggal di daerah Banu Arif Ibnu Khaldun juga menyusun sejarah besarnya Al Ibar, akan tetapi karena kekurangan referensi maka ia pergi ke Tunisia, dan dis analah ia menyelesaikan karyanya. Rupanya ketenangan Ibnu Khaldun terganggu lagi ketika Sultan mengajaknya untuk mendampingi menumpas pengacau, namun karena Ibnu Khaldun sudah jenuh dengan kehidupan politik, maka kemudian ia pindah ke Mesir.

Di Mesir Ibnu Khaldun disambut dengan hangat. Ilmuwan yang sarjana ini sudah tidak asing lagi di sana karena karya-karyanya sudah tersebar di sana. Sebagai orang baru Ibnu Khaldun langsung diberi dua jabatan penting yaitu sebagai hakim tinggi dan sebagai guru besar di perguruan Al Azhar. Sebagai seoang pemikir Ibnu Khaldun memiliki watak yang luar biasa yang kadang terasa kurang baik.

Dalam hal ini Muhammad Abdullah Enan melukiskan kepribadian Ibnu Khaldun yang istimewa itu dengan mencoba memperlihatkan ciri psikologik Ibnu Khaldun, walaupun diakuinya secara moral ini tidak selalu sesuai. Menurutnya, ia melihat dalam diri Ibnu Khaldun terdapat sifat angkuh dan egoisme, penuh ambisi, tidak menentu dan kurang memiliki rasa terima kasih. Namun di samping sifat-sifatnya yang tersebut di atas dia juga mempunyai sifat pemberani, tabah dan kuat, teguh pendirian serta tahan uji. Di samping memiliki intelegensia yang tinggi, cerdas, berpandangan jauh dan pandai berpuisi. Menurut beberapa ahli, Ibnu Khaldun dalam proses pemikirannya mengalami percampuran yang unik, yaitu antara dua tokoh yang saling bertolak belakang, Al Ghazali dan Ibnu Rusyd. Al Ghazali dan Ibnu Rusyd bertentangan dalam bidang filsafat. Ibnu Rusyd adalah pengikut Aristoteles yang setia, sedangkan Al Ghazali adalah penentang filsafat Aristoteles yang gigih. Ibnu Khaldun adalah pengikut Al Ghazali dalam permusuhannya melawan logika Aristoteles, dan pengikut Ibnu Rusyd dalam usahanya mempengaruhi massa.

Ibnu Khaldun adalah satu-satunya sarjana muslim waktu itu yang menyadari arti pentingnya praduga dan kategori dalam pemikiran untuk menyelesaikan perdebatan-perdebatan intelektual. Barangkali karena itulah seperti anggapan Fuad Baali bahwa Ibnu Khaldun membangun suatu bentuk logika baru yang realistik, sebagai upayanya untuk mengganti logika idealistik Aristoteles yang berpola paternalistik-absolutistik- spiritualistik. Sedangkan logika realistik Ibnu Khaldun ini berpola pikir relatifistik-temporalistik-materialistik. Dengan berpola pikir seperti itulah Ibnu Khaldun mengamati dan menganalisa gejala-gejala sosial beserta sejarahnya, yang pada akhirnya tercipta suatu teori kemasyarakatan yang modern.

Ibnu Khaldun terkenal sebagai ilmuwan besar adalah karena karyanya “Muqaddimah”. Rasanya memang aneh ia terkenal justru karena muqaddimahnya bukan karena karyanya yang pokok (Al Ibar), namun pengantar Al Ibarnyalah yang telah membuat namanya diagung-agungkan dalam sejarah intelektualisme. Karya monumentalnya itu telah membuat para sarjana baik di Barat maupun di Timur begitu mengaguminya. Sampai-sampai Windellband dalam filsafat sejarahnya menyebutnya sebagai “Tokoh ajaib yang sama sekali lepas, baik dari masa lampau maupun masa yang akan datang.” (sul)

Sumber: WartaOne.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda