Kamis, 30 Juli 2009

Bolehkah Mukena Jadi Maskawin?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, ada temen ana ingin menikah, kemudian dia mendapatkan informasi dari salah satu website Islami bahwa mahar itu lebih baik emas jangan seperangkat alat shalat. Dia bertanya kepada ana bagaimana dengan keterangan itu? Ana belum menjawab pertanyaannya. Ustadz ana mohon bantuan, bagaimana ana menjawabnya menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah. Syukran ya Ustadz, jazakumullah khairan katsiran.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jnd -……

Jawaban:
Walaikumussalam Wr. Wb.

Akhi, pertanyaan yang Anda lontarkan sangat menarik, karena permasalahan mahar ini sering kita lihat dan saksikan dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika ada saudara atau tetangga kita yang menikah. Mahar merupakan sesuatu yang wajib dibayarkan oleh seorang lelaki kepada wanita yang dinikahinya, sesuai dengan firman Allah swt.: “Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (setubuhi) di antara mereka, berikanlah maharnya kepada mereka (dengan sempurna).” (Q.S. al-Nisa’ : 24)

Pertanyaannya, berapa kadar mahar atau jenis mahar seperti apa yang boleh dibayarkan seorang lelaki kepada wanita yang dinikahinya itu?

Sebelumnya, saya ingin mengatakan bahwa, mungkin statemen yang termaktub dalam website Islami yang Anda sebutkan, tidak mengandung maksud bahwa mahar berupa seperangkat alat shalat tidak dibolehkan. Tetapi mungkin maksudnya, kalau bisa jangan hanya seperangkat alat shalat, tetapi emas saja. Sebab, nilainya lebih tinggi dan sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sang isteri, terutama pada saat kondisi sulit. Jadi, saya husnuzh zhon, bahwa wesbite tersebut tidak ingin mengatakan bahwa dilihat dari segi hukum, seperangkat alat shalat tidak boleh dijadikan mahar dalam pernikahan.

Hal ini bukan tanpa alasan, karena dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Umar bin Khathab menjabat sebagai khalifah, beliau membatasi mas kawin tidak boleh lebih dari 400 dirham. Tetapi ternyata tindakan ini ditentang oleh seorang wanita dengan menyebutkan firman Allah swt. : “Dan jika kamu ingin menggantikan isterimu dengan isteri yang lain (karena perceraian), sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak (qinthaar), maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikitpun“. (Q.S. al-Nisa’: 20) Kalimat “qinthaar” dalam ayat ini bermakna “harta dalam jumlah yang banyak, tanpa batas”. Seketika itu pula, Umar mengakui kekhilafannya atau kesalahannya seraya berkata: “Wanita itu benar, Umarlah yang salah”.

Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada batasan maksimal untuk kadar mahar. Bila seseorang mampu, maka dia boleh memberikan mahar yang lebih daripada yang lain, tentunya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, tanpa ada unsur keterpaksaan.

Meskipun demikian, ini bukan berarti Islam melarang mahar yang tidak mahal alias ala kadarnya. Bahkan, Islam sendiri telah menganjurkan kaumnya untuk mempermudah permasalahan mahar ini. Jangan sampai gara-gara tidak ada mahar yang diinginkan, sepasang insan yang akan menikah tidak jadi melangsungkan pernikahan. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda: “Wanita yang paling banyak (diberikan) keberkahan adalah wanita yang paling sedikit maharnya.”

Oleh karena itu, dalam masalah mahar ini, saya lebih sependapat dengan Imam Syafi’i dan Hanbali yang mengatakan bahwa tidak ada batas minimal. Asalkan sesuatu yang dijadikan mahar adalah sesuatu yang bernilai atau bermanfaat (termasuk seperangkat alat shalat). Dalilnya, sabda Rasulullah saw.: “Berikanlah olehmu (mas kawin) meski hanya dengan sebuah cincin yang terbuat dari besi.”

Ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang memberikan kemudahan kepada umatnya yang ingin menjalankan ajaran-ajarannya, salah satunya adalah pernikahan. Islam tidak menginginkan hanya gara-gara faktor materi, seseorang tidak jadi menjalankan ajaran Islam, hingga akhirnya dia pun terjerumus ke dalam perbuatan maksiat.

Di akhir jawaban ini, saya ingin menyebutkan sebuah hadits Rasulullah saw. yang berkaitan dengan masalah mempermudah mahar ini, mudah-mudahan dapat dijadikan bahan renungan. Sahal bin Sa’ad meriwayatkan: suatu hari seorang wanita mendatangi Rasulullah saw. dan mengatakan: “Wahai Rasulullah, aku persembahkan diriku untukmu.” Lalu setelah wanita itu berdiri cukup lama, salah seorang sahabat Nabi saw. berkata: “Wahai Rasulullah, jika engkau tidak tertarik dengan wanita itu maka aku bersedia untuk menikah dengannya.”

Kemudian Rasulullah saw. bertanya kepada sahabat tersebut: “Apakah engkau memiliki sesuatu (yang dapat dijadikan) maskawin?” Sahabat tersebut menjawab: “Aku tidak memiliki apa-apa kecuali sarungku ini.” Kemudian Rasulullah berkata: “(Jangan gunakan) sarungmu (untuk maskawin)! (karena) jika engkau berikan kepadanya, maka engkau tidak dapat menghadiri majlis ini lagi tanpa sarungmu, carilah benda yang lainnya” sahabat itu segera menjawab: “Aku tidak memiliki apa-apa lagi.” Lalu Rasulullah saw. bersabda: “Carilah benda lain, walaupun itu cincin (yang terbuat) dari besi.”

Sahabat tersebut pun segera mencari segala sesuatu yang dapat ia jadikan maskawin, namun sayangnya ia tetap tidak menemukan apa-apa. Maka, Rasulullah saw. bertanya: “Apakah engkau memiliki (hafalan) beberapa ayat al-Quran?” Ia menjawab: “Ya, aku hafal surat ini dan surat ini.. (ia menyebutkan beberapa surat yang dihafalnya.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda: “Aku nikahkan engkau dengan hapalan yang engkau miliki.” (HR. Tirmidzi, bab: pernikahan menurut Rasulullah saw., bagian: wanita yang menawarkan dirinya kepada seorang yang shaleh.)

Wallaahu A’lam…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda