Konon ada seorang anak yang memiliki ayah seorang pencuri, yang suka mencuri di rumah orang lain. Suatu ketika, sang ayah berkata kepada anaknya: “Aku akan mengajakmu mencuri di salah satu rumah. Kamu bertugas mengawasi keadaan di luar. Jika kamu melihat seseorang, cepat beritahu ayah sebelum dia mengetahui keberadaan ayah!”
Anak itu pun berangkat bersama ayahnya. Sesampainya di tempat tujuan, sang ayah masuk ke dalam sebuah rumah untuk memulai aksinya. Tidak lama kemudian, sang anak berseru memanggil ayahnya: “Ayah, ada yang melihat kita!” Sang ayah bergegas datang, kemudian bertanya: “Siapa yang melihat kita, anakku?” Sang anak menjawab: “Allah-lah yang melihat kita, wahai ayahku!”
Mendengar itu, sang ayah langsung sadar dan segera bertaubat kepada Allah swt.. Sejak saat itu, dia tidak pernah mencuri lagi karena ia menyadari bahwa Allah senantiasa bersamanya dan melihatnya.
Subhanalallaah…Perkataan anak kecil itu sungguh luar biasa! Perkataan yang hanya terdiri dari beberapa kata itu bak senjata mematikan. Ya, senjata yang mematikan kebiasaan buruk ayahnya, yang sudah bertahun-tahun mencuri. Perkataan “Allah melihat kita” memang singkat, tetapi bila dihayati, ternyata ia mengandung kekuatan yang luar biasa. Sebuah kekuatan yang mampu merubah kebiasaan buruk seseorang, kekuatan yang mampu mencegah seseorang dari keburukan atau kejahatan, dan kekuatan yang mampu mendorong seseorang untuk selalu melakukan kebajikan.
Mengapa bisa demikian?
Ketika seseorang hendak melakukan perbuatan buruk, kemudian dia sadar bahwa dirinya sedang dilihat Allah, maka pada saat itu dirinya diliputi perasaan malu dan takut kepada Allah. Dia akan malu karena perbuatan buruknya diketahui Allah, dan dia takut karena Allah pasti akan membalas perbuatan buruknya itu. Mau tidak mau, dia pun harus meninggalkan perbuatan buruk tersebut, lalu dirinya akan terdorong untuk melakukan kebajikan.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perasaan “selalu dilihat Allah” (muraqabatullah) merupakan faktor yang dapat mencegah seseorang dari perbuatan buruk dan mendorongnya untuk melakukan hal-hal yang baik. Andaikata perasaan seperti ini dimiliki oleh saudara-saudara kita yang diberi amanah untuk mengurusi negara ini (baca: para pejabat), baik pejabat tinggi, pejabat menengah, ataupun pejabat rendahan, niscaya keberadaan KPK yang ditugasi untuk memerangi korupsi tidak diperlukan lagi.
Sayangnya, perasaan seperti itu belum tertanam di hati mereka. Yang ada hanyalah perasaan “selalu diawasi bos (atasan) atau diawasi KPK”. Sehingga, mereka hanya malu dan takut bila perbuatan buruknya diketahui oleh atasan atau KPK. Tentunya, ini masalah bagi kita semua, dimana kita dituntut untuk mengatasinya bersama. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama berusaha untuk mengingatkan hal itu kepada saudara-saudara kita, terutama kepada mereka yang diberi amanah untuk mengurusi negara ini, bila kita menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik. Kita juga harus berusaha untuk menanamkan perasaan “selalu dilihat Allah” ke dalam hati anak-anak kita, agar mereka menjadi seperti anak kecil yang disebutkan pada kisah di atas. Dengan demikian, maka mereka akan menjadi generasi penerus bangsa yang malu dan takut kepada Allah. Wallaahu A’lam….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar Anda