Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya juga ada problem yang hampir sama dengan topik warisan. Begini ceritanya Pak Ustadz; Almarhum kakek (dari pihak ayah) mempunyai sebidang tanah (lahan) yang lumayan luas yang dibeli dari bapak mertua beliau. Beliau mempunyai 5 orang putera dan puteri, yaitu:
1. Almarhum ayah saya
2. Puteri (hilang akal sehat)
3. Puteri (bibi)
4. Putera (paman)
5. Puteri (anak pungut)
Sertifikat tanah tersebut dibuat atas nama orangtua perempuan (nenek) dari pihak ayah. Sebenarnya masih ada warisan lain, tapi kami tidak mau tahu. Kami pernah dengar bahwa anak-anak dari paman dan bibi sudah ditentukan bagiannya masing-masing. Demi Allah, kami tidak mempersoalkan hal itu. Bukankah langkah, rezeki, pertemuan dan maut datang dari Allah swt. selagi kita punya niat dan mau berusaha di jalan yang diridhai-Nya?
Di atas tanah tersebut, dulunya berdiri rumah lama almarhum kakek dan nenek. Saat menikah, paman membangun rumah huni keluarganya persis di samping rumah lama. Kemudian paman memugar rumahnya lebih besar lagi. Akhirnya, rumah lama pun dibongkar dan didirikanlah bangunan baru, rumah paman dan nenek. Dulu kami tinggal di luar daerah, tetapi entah kenapa tiba-tiba almarhum ayah mengajak almarhum ibu dan kami pindah ke lahan itu juga.
Almarhum ayah pernah berkata, hal itu beliau lakukan atas permintaan nenek. Ayah pun membangun rumah huni di sisi lahan yang masing kosong. Perbandingan rumah di lahan tersebut adalah sebagai berikut:
· ½ bagian dari lahan tersebut dibangun rumah paman.
· ¼ nya dibangun rumah nenek yang ditempatinya bersama bibi yang (hilang akal sehatnya) serta bibi janda (anak pungut) dan kedua anaknya.
· ¼ bagian lagi dibangun almarhum ayah untuk rumah huni kami sekeluarga.
· Bibi (no. 3) diberikan lahan beserta rumah 7 km dari lahan ini.
Perlu Pak Ustadz ketahui, almarhum ayah pernah menanyakan apakah itu sudah pembagian masing-masing ataukah hanya sementara. Eh malah almarhum ayah dimusuhi oleh paman-paman, bibi-bibi dan juga nenek. Nenek mengatakan “Warisan itu belum dibagi”. Sampai-sampai kami yang saat itu masih kecil dimusuhi juga. Ditegur pun tak pernah. Bahkan tetangga-tetangga kami juga ikut dihasut agar membenci kami. Bertahun-tahun kami sekeluarga menjalani hidup seperti itu tanpa ada pembelaan dari siapapun. Almarhum ayah seperti anak yang terbuang, selalu dikucilkan dari lingkungan keluarga. Bahkan yang paling sadis, saat ayah menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit, tidak satu orang pun dari mereka yang melihat. Setelah jasad almarhum sampai di rumah, dan setelah tetangga-tetangga lain di sekitar rumah berdatangan, barulah mereka datang ke rumah.
Tepat 4 tahun setelah almarhum ayah dikebumikan, tepatnya pada saat ganti rugi pembebasan tanah oleh Negara untuk pelebaran jalan, barulah diketahui bahwa tanpa sepengetahuan ayah semasa hidup, nenek dan adik-adik ayah telah membuat 3 sertifikat baru atas lahan yang kami huni bersama sesuai ukuran rumah masing-masing (rumah paman, rumah nenek dan rumah ayah). Namun ketiga sertifikat tersebut atas nama nenek. Ketiga sertifikat tersebut sampai detik ini masih disimpan paman.
Tujuh tahun setelah ayah wafat, ibu pun menyusul. Maka, tinggallah kami bertiga. Susah senang kami jalani bersama tanpa ada dukungan dari siapapun. Saya (perempuan 28 th) memiliki dua adik laki-laki (26 th dan 24 th). Kami semua sudah bekerja, namun belum ada yang menikah. Bukankah kami sudah dewasa untuk diajak bicara, baik atau buruk. Kami pernah bertanya kepada nenek, apa status rumah yang kami huni itu? Beliau menyuruh kami untuk bertanya kepada paman. Namun, sang paman selalu menghindar dengan 1000 cara. Yang ingin kami tanyakan adalah:
1. Apakah benar tindakan nenek, paman dan bibi yang membuat 3 sertifikat baru atas nama nenek tanpa sepengetahuan ayah semasa hidup? Jika salah, tolong jelaskan bagaimana tata cara pembagian yang seharusnya menurut aturan Islam?
2. Apakah anak pungut juga mempunyai hak waris yang sama seperti anak kandung?
3. Apakah isteri dari paman dibolehkan berlaku dominan dalam urusan hak waris saudara kandung dari suaminya?
4. Apakah status kami dalam masalah pembagian harta warisa ayah?
Sekian dan terima kasih Pak Ustadz.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
D - ……
Jawaban
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
1. Terus terang, setelah membaca cerita Anda, saya belum tahu persis apakah tanah yang Anda anggap sebagai warisan kakek tersebut masih berstatus hak milik kakek atau sudah menjadi hak milik nenek. Sebab, Anda mengatakan bahwa sertifikat tanah tersebut atas nama orangtua perempuan dari ayah alias nenek. Berdasarkan kaidah “An-Naasu yahkumuuna bizh-zhawaahir wallaahu yahkumu bil-bawaathin” (Manusia menghukumi sesuatu berdasarkan hal-hal yang sifatnya lahiriah [bukti-bukti fisik], sedangkan Allah menghukumi sesuatu berdasarkan hal-hal yang sifatnya batiniyah), maka tanah tersebut bukan termasuk harta kakek, melainkan harta nenek karena sertifikatnya atas nama nenek.
Tetapi di kalangan masyarakat kita, terkadang pencantuman nama isteri dalam sertifikat tanah atau rumah suami hanya bersifat formalitas belaka, yang salah satu tujuannya untuk menghindari atau meminimalisir pajak. Jadi, pencantuman tersebut tidak berpengaruh terhadap pemindahan hak milik dari suami kepada isteri. Karenanya, perlu dilihat kembali apakah kakek benar-benar telah menghibahkan tanah tersebut kepada nenek dengan bukti pencantuman nama nenek dalam sertifikat tersebut, ataukah pencantuman itu hanya formalitas belaka?
Kedua hal tersebut jelas memiliki implikasi yang sangat berbeda. Bila kakek telah menghibahkan kepada nenek, maka tanah tersebut bukan lagi milik kakek sehingga ia tidak menjadi harta warisan sang kakek saat dia meninggal dunia. Ingat, pembicaraan mengenai harta (termasuk harta waris) tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai hak milik; siapa yang memiliki harta tersebut? Jika memang kakek telah menghibahkan kepada nenek, maka apa yang telah dilakukan nenek dengan membuat 3 sertifikat baru atas nama dirinya tidak salah, karena nenek berhak atas hak miliknya sendiri. Tetapi tidak bisa dibenarkan sepenuhnya, karena nenek tidak memberitahukan hal itu kepada ayah Anda padahal dia telah memberitahukannya kepada anak-anak yang lain.
Lain halnya bila ternyata pencantuman nama tersebut hanya formalitas belaka sehingga tidak berpengaruh terhadap perpindahan hak kepemilikan atas tanah tersebut dari kakek kepada nenek. Karena kakek tidak menghibahkan tanah tersebut kepada nenek, maka ia pun menjadi harta warisan kakek yang harus dibagikan kepada ahli warisnya secara adil dan sesuai ketentuan yang berlaku dalam hukum fara`idh (warisan). Bila memang demikian adanya, maka apa yang dilakukan nenek jelas tidak benar karena dia telah membuat sertifikat baru tanpa sepengetahuan ayah Anda yang juga termasuk salah satu ahli warisnya. Yang seharusnya dilakukan oleh nenek adalah membagi tanah tersebut dengan perhitungan sebagai berikut:
- Nenek (isteri kakek) mendapat 1/8 atau 0,125 karena ada anak
- Yang 7/8 (0,875) dibagi untuk 2 anak laki-laki (almarhum ayah Anda dan paman Anda) dan 2 puteri kandung kakek. Karena 1 bagian anak laki-laki = 2 bagian anak perempuan, maka 7/8 dibagi 3 = 0,2916666667. Itulah bagian untuk 1 anak laki-laki (termasuk ayah Anda), sedangkan bagian untuk 1 anak perempuan adalah 0,2916666667 dibagi 2 = 0,1458333334.
2. Anak pungut atau anak angkat bukan mrupakan ahli waris karena ia tidak memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan darah dengan si mayyit. Karenanya, Islam memberikan alternatif, apabila seseorang menginginkan agar anak angkatnya mendapat bagian dari harta yang akan ditinggalkannya nanti, maka dia dapat memberikannya melalui akad wasiat. Bila tidak ada wasiat, maka anak angkat tidak mendapat bagian sama sekali dari harta yang ditinggalkan. Tetapi perlu diingat, wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 dan tidak boleh diberikan kepada ahli waris.
2. Jelas tidak boleh, karena dia tidak memiliki hak sama sekali atas harta warisan tersebut.
3. Status Anda dan saudara Anda adalah sebagai ashabah, yaitu ahli waris yang mendapat sisa harta waris setelah dibagi untuk ahli waris yang lain. Dalam hal ini, ibu Anda (isteri ayah) mendapat 1/8. Dalam keterangan Anda di atas, Anda tidak secara tegas menyebutkan apakah nenek meninggal setelah ayah Anda ataukah sebelumnya. Bila nenek meninggal setelah ayah, maka nenek mendapat 1/6, setelah itu sisanya baru dibagi untuk Anda bertiga (dengan ketentuan 1 bagian anak laki-laki = 2 bagian anak perempuan). Tetapi bila nenek meninggal sebelum ayah, maka hanya dibagi untuk ibu Anda yaitu 1/8, sisanya untuk Anda bertig.
Demikian penjelasan dari saya. Mudah-mudahn bisa difahami dan dapat bermanfaat. Wallaahu A’lam… Fatkhurozi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar Anda