Serpihan yang tercecer di tahun 2009-nya ade anita.
Wajah seorang penipu
“Bu.. . itu ada tamu.” Aku segera membenahi pakaianku. Siapa orangnya yang ingin bertemu tanpa ada janji terlebih dahulu di waktu menjelang maghrib seperti ini. Sepuluh menit lagi azan akan berkumandang. Artinya, waktu buka akan segera tiba. Di bulan Ramadhan tahun 2009 ini, anggota keluarga yang ikut berpuasa hampir semuanya Alhamdulillah.
Ternyata perempuan itu. Wajahnya yang dekil terlihat sumringah begitu melihat hadirku. Tapi hanya sesaat karena sedetik kemudian, wajah itu kembali terlihat sendu. Aku mendengus membuang muakku di dalam keranjang sampah di dalam hatiku. Mau apa dia?
“Bu. Saya senang melihat ibu sehat-sehat saja. Saya selalu berdoa kepada Allah agar ibu baik-baik saja. Ibu beruntung banget dibanding saya yang terus menerus menderita.” Aku terdiam mendengar ceracaunya tanpa reaksi.
Tahun lalu, perempuan ini pernah datang ke rumah. Waktu itu suamiku sedang berada di luar kota. Perempuan ini datang sambil membawa tiga buah gelas belimbing, serta dua buah mangkuk dengan gambar ayam jago. Mangkuk yang biasa dipakai oleh para penjual bakso. Tapi bukan apa yang dibawanya itu yang membuatku dengan segera membuka pintu dan mempersilakannya duduk. Yang membuatku segera mempersilakannya duduk adalah air mata yang mengalir deras di pipinya yang kotor. Sedu sedannya begitu menyayat hati.
“Tolong saya bu. Saya nggak tahu mesti minta tolong sama siapa lagi. Tetangga sudah bosan memberi bantuan pada saya. Tapi memang bukan kehendak saya yang terus menerus tertimpa kemalangan.” Aku mengangsurkan sehelai tissue untuknya menghapus sungai yang mengalir deras di pipinya tersebut. Coreng kelabu di wajahnya mulai terhapus oleh air mata itu. Tapi itu malah membuat wajahnya terlihat semakin memelas. Menggelitik rasa iba yang semula tertidur pulas. Perempuan itu bercerita bahwa suaminya sakit keras. Tidak dapat berdiri dan hanya dapat tertidur saja di atas tempat tidur. Struk datang tanpa permisi. Sudah lama penyakit darah tinggi dan diabetes menggerogoti suaminya. Tapi ketidak adaan biaya membuat perempuan itu tidak dapat membawa suaminya pergi ke dokter. Sementara anak-anaknya, yang berjumlah tiga orang, hari itu tidak mau pergi sekolah karena malu sudah dua bulan terlambat bayar SPP.
Dunia memang terkadang amat kejam pada beberapa orang, tapi amat sangat manis dan empuk bagi beberapa orang yang lain. Kebetulan, perempuan di depanku ini merasakan sisi yang serba tidak enak.
“Ibu, belilah gelas dan mangkuk saya ini. Berapa saja ibu menebusnya saya akan terima. Saya benar-benar butuh uang untuk beli obat suami saya dan bayar SPP anak-anak saya. Kasihan suami saya bu. Dia tidak bisa makan apa-apa jika belum menebus obatnya, karena obat itu bisa membantunya menetralkan penyakitnya. Kasihani suami saya bu.” Perempuan itu lalu bersimpuh di kakiku. Membuatku risih dan memintanya untuk kembali duduk di bangku. Aku punya uang. Masih ada sisa uang belanja yang semula aku sisihkan untuk membeli baju renang bagi putriku. Baju renang muslimah agar aurat putriku tertutup jika dia ingin bermain-main di dalam air sekalipun.
“Ibu tinggal dimana?” Mulutku mencoba untuk mengulur waktu. Sementara otakku terus menyusun prioritas mana yang lebih utama, membantunya atau memenuhi kebutuhan putriku. Perempuan itu lalu menyebutkan sebuah alamat. Ternyata alamat yang disebutnya tidak jauh dari tempatku tinggal. Aku tanya lagi, siapa nama suaminya. Perempuan itu lalu menyebut nama suaminya, lengkap dengan nama tetangga rumahnya di kiri dan di kanan. Aku tahu mereka semua. Aku sering bertemu mereka di pengajian kampung. Lalu dengan Bismillah uang seratus ribupun lolos ke tangannya dan menolak semua gelas dan mangkuk yang dia tawarkan.
“Pakai saja. Di sini masih banyak gelas dan mangkuk. Ibu lebih membutuhkannya.” Bibir perempuan itu langsung gemetar mendengar penolakanku. Sekali lagi dia langsung duduk bersimpuh ingin mencium kakiku. Aku menolaknya dengan risih. Hatiku masih menangis membayangkan penderitaan yang harus dia pikul. Seorang istri yang tiba-tiba harus merawat suaminya yang tidak bisa apa-apa, dan rengekan anak-anaknya yang merongrong. Tanpa pekerjaan, tanpa penghasilan, dia masih berusaha untuk bertahan di atas bumi yang keras seperti cadas.
Lalu perempuan itu pergi pulang.
Lalu aku menyelesaikan masakanku. Selesai masak, aku jadi terpikir untuk mengirim masakanku sebagian ke rumahnya. Bukankah Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk berbuat baik pada tetangga? Maka dengan berjalan kaki dan membawa masakan serta beberapa keperluan sembako, aku berjalan kaki mencari alamat.
Sayangnya, hingga satu jam aku berputar-putar tidak ada seorang pun yang tahu perempuan dan suaminya. Bahkan hingga Pak RT datang dan mendengar penuturanku, tetap perempuan itu tidak diketahui keberadaannya. Aku mulai merasa tidak enak. Rasa sesak mulai menyerang. Sesak karena marah yang tiba-tiba naik ke atas kepala. Aku telah ditipu di siang bolong. Kurang ajar!
Keesokannya Pak RW menemuiku dan menanyakan perihal kabar yang beredar. Terpaksa dengan hati yang masih marah aku ceritakan pada beliau. Akhirnya terungkap. Benar saja, ada beberapa orang yang juga mengadukan hal yang sama. Perempuan itu ternyata bukan siluman yang bisa begitu saja menghilang. Dia memang pernah menjadi warga di daerah kami tapi akhirnya diusir karena sering menipu kiri kanan. Masih gadis tapi mengaku sudah bersuami. Belum pernah punya anak tapi mengaku anak-anaknya banyak dan merongrong. Yang lebih parah lagi, semua uang yang diperolehnya itu dipakainya untuk main judi. ARFGHHH….
Lalu bulan Ramadhan di tahun 2009 ini, perempuan itu datang lagi di depan pintuku. Masih dengan wajah memelas dan dandanan bedak debu yang cukup tebal.
“Ibu, terima kasih atas bantuannya waktu itu. Di bulan ramadhan ini bu, saya jadi terpikir, mungkin enak kali ya kalau dagang kolak. Kalau nggak habis, ada anak-anak yang bisa ngabisinnya.” Aku tidak tersenyum juga tidak menyapa. Tapi aku melihat kesumringahan di wajahnya.
“Bu… ingat tahun lalu ibu datang ke rumah saya dan bilang suami ibu sakit parah?”
‘Iya… iya, ingat. Sekarang dia sudah baikan bu. Sudah bisa tertawa lagi, tapi tetap nggak bisa bangun dari tempat tidur. Ya Cuma itu saja kebiasaannya, tertawa saja. Terima kasih banyak bu atas bantuannya. Cuma yang namanya hidup, saya tetap harus cari uang. Makanya, bantuin saya dong bu buat dagang kolak.” Aku mendengus tapi mencoba untuk bersabar. Sebentar lagi buka, sebentar lagi buka.
“Bu, tahun lalu, setelah ibu pulang, saya menyusul ke rumah ibu. Ternyata ibu penipu. Ibu belum menikah dan belum pernah punya anak. Saya nggak tahu gelas dan mangkuk siapa yang ibu bawa. Tapi ibu sudah menipu saya.” Luka lama itu terbuka lagi. Kali ini aku amat sangat ingin menangis, bukan karena perih tapi karena berusaha keras untuk menahan sabar karena sedang berpuasa. Dadaku sesak menahan bendungan tangis yang saya tahan. Bayangan detik detik azan maghrib yang sebentar lagi mengalun menguatkan pertahanan dinding beton yang terus saya pertebal, pertebal. Ah, kenapa harus bermain-main dengan emosi seorang perempuan. Tidak tahukah bahwa jumlah air yang mengalir di tubuh seorang perempuan sepenuhnya adalah air mata yang akan langsung bergejolak jika emosinya sudah dipermainkan? Aku terus menyabar-nyabarkan diri. Tidak boleh setitikpun air mata ini tumpah. Aku adalah wanita yang amat sangat ingin terlihat kuat dan tangguh. Meski sebenarnya amat sangat rapuh.
Perempuan itu terperangah menatap saya. “Kok, rajin banget sih pake nyamperin segala? Kayak nggak ada kerjaan.” lalu dengan seringai yang tidak jelas dia langsung membalikkan tubuhnya dan berjalan santai menuju pagar rumahku. Pergi begitu saja. Tanpa permisi, tanpa keluar kata maaf satu potong pun. Sementara aku terus menerus harus mengaduk campuran semen dan batu-batu kali, agar beton-beton kesabaranku tidak runtuh. Agar dinding-dinding bangunan bendunganku tidak kalah oleh volume tangis yang benar-benar sudah membludak memenuhi rongga dada.
Dan itulah ujian kesabaran yang paling berat yang harus saya hadapi di bulan ramadhan 1430 H ini (Agustus 2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar Anda