Rasulullah saw. bersabda:
تخيروا لنطفكم فإن النساء يلدن أشباه إخوانهن وأخواتهن
“Pilihlah (tempat-tempat penyaluran) sperma kalian, (karena) sesungguhnya kaum perempuan itu akan melahirkan (anak-anak) yang perangainya mirip dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan mereka.”
Hadits di atas mengandung petunjuk kepada laki-laki yang ingin menikah agar memilih calon isteri yang shalehah, tumbuh dalam lingkungan yang baik, tumbuh dewasa dalam keluarga yang dikenal mulia dan baik, serta terlahir dari keturunan yang mulia. Sebab, sifat anak yang dilahirkan dari rahim seorang wanita, sedikit atau banyak pasti akan mirip dengan sifat wanita tersebut ataupun saudara-saudaranya. Dari sini, maka kita dapat menangkap rahasia di balik anjuran Nabi di atas, yaitu agar laki-laki Muslim dapat memiliki anak-anak yang berbudi pekerti luhur, berkarakter baik dan bermoral Islami.
Suatu ketika, Abu Al-Aswad Ad-Du’ali berkata kepada anak-anaknya: “Aku benar-benar telah berbuat baik kepada kalian sejak kalian masih kecil dan setelah kalian dewasa, bahkan sebelum kalian dilahirkan.” Mendengar itu, anak-anaknya bertanya: “Bagaimana ayah dapat berbuat baik kepada kami sebelum kami dilahirkan?” Abu Al-Aswad menjawab: “Yaitu dengan memilihkan untuk kalian seorang ibu yang baik.”
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hendaknya seorang laki-laki Muslim harus benar-benar selektif dalam memilih wanita yang akan menjadi calon ibu bagi anak-anaknya. Jangan asal pilih, tapi harus benar-benar dipilih sesuai kriteria-kriteria yang ditetapkan agama, meskipun tidak sepenuhnya sesuai dengan kriteria-kriteria tersebut. Hal ini sesuai dengan perkataan Utsman bin Abu ‘Ash Ats-Tsaqafi, yang menyatakan bahwa laki-laki yang akan menikah adalah seperti orang yang akan bercocok tanam. Dia harus memperhatikan di mana dia akan meletakkan benihnya.
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai nikah beda agama, di sini saya ingin menekankan bahwa hendaknya seorang laki-laki Muslim benar-benar memperhatikan dan mengamalkan hadits Nabi di atas. Sebab, pernikahan yang akan dia jalani bukan hanya sekedar main-main, tetapi sebuah ikatan suci yang akan menentukan masa depannya dan juga masa depan anak-anaknya. Karenanya, alangkah baiknya bila seorang laki-laki Muslim tidak menikah dengan wanita yang memiliki keyakinan berbeda. Kaidah seperti itu juga berlaku bagi wanita Muslimah. Artinya, seorang wanita Muslimah juga harus memilih laki-laki yang shaleh serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Wallaahu A’lam….
Kamis, 30 Juli 2009
Yusuf Qaradhawi, Ulama Santun dan Moderat
Jakarta - Yusuf Qardhawi lahir di Desa Shafth, Turab, Provinsi Manovia, Mesir, pada 9 September 1926, pemikirannya telah banyak dikenal di Indonesia. Sekitar 70-an bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Sudah lebih dari 125 judul buku dia tulis untuk menjawab berbagai persoalan terkini yang dihadapi umat. Tak hanya dikenal, fatwa-fatwa Qaradhawi juga mudah dicerna dan diterima berbagai lapisan umat.
Qaradhawi dikenal sebagai ulama yang selalu menampilkan Islam secara santun dan moderat. Hal ini membuat berbagai pemikirannya mampu menengahi persoalan-persoalan kontroversial yang kerap menghadirkan titik-titik ekstrem dalam pemikiran Islam. Pandangannya juga tidak terpatok pada satu mazhab pemikiran tertentu.
Pandangan yang seperti itu membuat umat Islam menjadi mudah dalam menjalankan agamanya. Pada hakikatnya, Islam memang agama yang memudahkan umat dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya. Hal inilah yang terus diterjemahkan Qaradhawi melalui berbagai fatwanya yang sangat mudah dicerna.
Tak hanya persoalan besar yang dibahas dalam buku-buku Qaradhawi. Hal-hal kecil yang kerap mengundang pertanyaan pun tak pernah lepas dari pemikirannya. Persoalan seperti jabat tangan pria-wanita, menonton televisi, hukum memotret, dan sebagainya, dibahas secara lugas dalam bukunya ‘Fatwa-fatwa Kontemporer’.
Sedang dalam buku ‘Halal Haram dalam Islam’, Qaradhawi banyak memberi penjelasan tentang kedua hukum tersebut. Selain dengan makanan, persoalan halal dan haram dalam buku tersebut juga dikaitkan dengan pakaian, rumah, perdagangan, dan sebagainya. Semuanya dibahas sangat rinci dengan pandangan yang menengahi.
Ada lagi bukunya yang juga banyak dijadikan rujukan, yakni ‘Hukum-hukum Zakat’. Dalam buku ini, Qaradhawi memberi banyak penjelasan mengenai zakat profesi yang sempat menjadi persoalan yang cukup dibicarakan keabsahannya.
Dengan rujukan hadis yang sangat lengkap, penjelasannya soal zakat profesi ini menjadi sangat argumentatif. Persoalan zakat ini memang telah lama menjadi perhatian khusus Qardhawi. Bahkan untuk mendapatkan gelar doktor pada 1972, dia menyusun desertasi berjudul ‘Zakat dan Dampaknya dalam Penanggulangan Kemiskinan’. Desertasi ini kemudian disempurnakan menjadi Fikih Zakat.
Selain dikenal moderat, ulama yang pernah aktif dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin ini juga bersikap sangat tegas terhadap kesewenang-wenangan Barat terhadap dunia Islam. Dia ikut menyerukan untuk memboikot produk-produk AS, karena pemerintahan negara tersebut yang banyak berbuat sewenang-wenang terhadap dunia Islam.
Eksekusi hukuman gantung terhadap Saddam Hussein juga dikecamnya. Dalam khutbah yang dikutip Gulf Times, dia mengatakan eksekusi yang berlangsung bersamaan dengan perayaan Idul Adha tersebut sangat mengerikan dan sama sekali tidak Islami. “Saya tidak pernah menjadi pendukung Partai Baath atau pendukung Saddam. Tapi saya tidak bisa terima cara yang ditempuh untuk mengeksekusi Saddam,” tutur ayah tujuh anak itu. Dia menilai, kematian tersebut telah membuat Saddam menang dalam merebut hati dan simpati umat manusia.
Sebagai ulama yang sangat moderat, dia juga membebaskan putra-putrinya dalam menempuh pendidikan. Salah seorang putrinya berhasil meraih doktor dalam bidang nuklir dari perguruan tinggi di Inggris. Putrinya yang lain juga meraih gelar doktor kimia dari kampus di Inggris. Ada juga anaknya yang menempuh pendidikan di AS. Ini menjadi bagian dari sikapnya yang tidak membedakan antara ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Dia menganggap pembedaan itu menjadi salah satu penghambat kemajuan dunia Islam. (sul/bal)
Sumber: WartaOne.com
Sudah lebih dari 125 judul buku dia tulis untuk menjawab berbagai persoalan terkini yang dihadapi umat. Tak hanya dikenal, fatwa-fatwa Qaradhawi juga mudah dicerna dan diterima berbagai lapisan umat.
Qaradhawi dikenal sebagai ulama yang selalu menampilkan Islam secara santun dan moderat. Hal ini membuat berbagai pemikirannya mampu menengahi persoalan-persoalan kontroversial yang kerap menghadirkan titik-titik ekstrem dalam pemikiran Islam. Pandangannya juga tidak terpatok pada satu mazhab pemikiran tertentu.
Pandangan yang seperti itu membuat umat Islam menjadi mudah dalam menjalankan agamanya. Pada hakikatnya, Islam memang agama yang memudahkan umat dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya. Hal inilah yang terus diterjemahkan Qaradhawi melalui berbagai fatwanya yang sangat mudah dicerna.
Tak hanya persoalan besar yang dibahas dalam buku-buku Qaradhawi. Hal-hal kecil yang kerap mengundang pertanyaan pun tak pernah lepas dari pemikirannya. Persoalan seperti jabat tangan pria-wanita, menonton televisi, hukum memotret, dan sebagainya, dibahas secara lugas dalam bukunya ‘Fatwa-fatwa Kontemporer’.
Sedang dalam buku ‘Halal Haram dalam Islam’, Qaradhawi banyak memberi penjelasan tentang kedua hukum tersebut. Selain dengan makanan, persoalan halal dan haram dalam buku tersebut juga dikaitkan dengan pakaian, rumah, perdagangan, dan sebagainya. Semuanya dibahas sangat rinci dengan pandangan yang menengahi.
Ada lagi bukunya yang juga banyak dijadikan rujukan, yakni ‘Hukum-hukum Zakat’. Dalam buku ini, Qaradhawi memberi banyak penjelasan mengenai zakat profesi yang sempat menjadi persoalan yang cukup dibicarakan keabsahannya.
Dengan rujukan hadis yang sangat lengkap, penjelasannya soal zakat profesi ini menjadi sangat argumentatif. Persoalan zakat ini memang telah lama menjadi perhatian khusus Qardhawi. Bahkan untuk mendapatkan gelar doktor pada 1972, dia menyusun desertasi berjudul ‘Zakat dan Dampaknya dalam Penanggulangan Kemiskinan’. Desertasi ini kemudian disempurnakan menjadi Fikih Zakat.
Selain dikenal moderat, ulama yang pernah aktif dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin ini juga bersikap sangat tegas terhadap kesewenang-wenangan Barat terhadap dunia Islam. Dia ikut menyerukan untuk memboikot produk-produk AS, karena pemerintahan negara tersebut yang banyak berbuat sewenang-wenang terhadap dunia Islam.
Eksekusi hukuman gantung terhadap Saddam Hussein juga dikecamnya. Dalam khutbah yang dikutip Gulf Times, dia mengatakan eksekusi yang berlangsung bersamaan dengan perayaan Idul Adha tersebut sangat mengerikan dan sama sekali tidak Islami. “Saya tidak pernah menjadi pendukung Partai Baath atau pendukung Saddam. Tapi saya tidak bisa terima cara yang ditempuh untuk mengeksekusi Saddam,” tutur ayah tujuh anak itu. Dia menilai, kematian tersebut telah membuat Saddam menang dalam merebut hati dan simpati umat manusia.
Sebagai ulama yang sangat moderat, dia juga membebaskan putra-putrinya dalam menempuh pendidikan. Salah seorang putrinya berhasil meraih doktor dalam bidang nuklir dari perguruan tinggi di Inggris. Putrinya yang lain juga meraih gelar doktor kimia dari kampus di Inggris. Ada juga anaknya yang menempuh pendidikan di AS. Ini menjadi bagian dari sikapnya yang tidak membedakan antara ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Dia menganggap pembedaan itu menjadi salah satu penghambat kemajuan dunia Islam. (sul/bal)
Sumber: WartaOne.com
Bolehkah Wanita Haidh Membaca Al-Qur`an?
Assalamualaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya sampaikan, mohon penjelasan dan pencerahannya:
1. Apakah wanita yang sedang haidh atau nifas boleh menyentuh Al-Quran?
2. Apakah mandi junub diwajibkan bagi wanita yang tidak sedang bercampur dengan suaminya tetapi pada kelaminnya mengeluarkan cairan (pelumas)?
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
St, …………..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
1. Mengenai permasalahan membaca Al-Qur`an bagi wanita yang sedang haid, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak.
Ulama yang membolehkan seperti sebagian ulama dalam madzhab Malikiyah, mendasarkan pendapatnya pada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Aisyah ra. pernah membaca A-Qur`an dalam keadaan sedang haid. Selain itu, mereka juga mendasarkan pendapatnya pada hadits yang ‘Aisyah radhiyallahu’anha bahwa dia berkata:
“Aku datang ke Mekkah sedangkan aku sedang haidh. Aku tidak melakukan thawaf di Baitullah dan (sa’i) antara Shafa dan Marwah. Saya laporkan keadaanku itu kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, ‘Lakukanlah apa yang biasa dilakukan oleh haji selain thawaf di Baitullah hingga engkau suci’.” (Hadits riwayat Imam Bukhori no. 1650)
Berdasarkan hadits tersebut, seorang wanita yang sedang haidh dibolehkan untuk membaca Al-Qur`an, karena yang dilarang bagi wanita hanyalah thawaf di Baitullah. (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/183)
Sementara itu, sebagian ulama yang lain tidak membolehkan wanita yang sedang haidh untuk membaca Al-Qur`an, dengan alasan bahwa apa yang dilakukan oleh Sayyidatina Aisyah ra. tersebut (jika riwayatnya dianggap shahih) bukan otomatis menunjukkan bolehnya membaca Al-Quran bagi wanita yang sedang haidh. Sebab, hal itu bertentangan dengan sabda Nabi saw.:
لا يَقْرَأ الْحَائِضُ وَلا الْجُنُبُ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ
“Orang yang sedang haidh atau junub tidak boleh membaca sesuatu dari Al-Quran” HR. at-Tirmidzi dan al-Baihaqi.
Adapun hadits tentang haji yang dijadikan dalil kelompok pertama, hanya berkaitan dengan rangkaian ibadah haji, seperti thawaf, sa’i, wukuf, melempar jumrah dan lain-lain, tetapi tidak termasuk membaca Al-Qur`an.
Menurut ulama yang tidak membolehkannya, yang dimaksud dengan “membaca” di sini adalah mengucapkan ayat-ayat Al-Quran melalui mulut, baik dengan melihat mushhaf ataupun dengan mengucapkan ayat-ayat yang sudah dihafalnya. Sedangkan apabila orang yang sedang haidh atau nifas tersebut hafal ayat-ayat Al-Quran, kemudian dia membacanya dalam hati, maka hal itu dibolehkan.
2. Hukum yang berkaitan dengan keluarnya air dari alat kemaluan, bagi laki-laki ataupun perempuan adalah sama. Penjelasan mengenai ini pernah saya jelaskan pada pembahasan tentang Hukum Air Mani. Untuk melihat penjelasan tersebut, klik:
http://mediasilaturahim.com/?p=522
Di sini, saya hanya ingin menambahkan, bila air yang keluar adalah air mani, maka seseorang diwajibkan mandi junub, meskipun keluarnya air itu bukan karena hubungan badan. Perlu diingat bahwa air mani bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan, dengan ciri-cirinya yaitu cairan yang putih pekat memancar dari kemaluan dan disertai rasa nikmat. Pancaran air mani pada perempuan adalah berwarna kuning dan sedikit. Air mani bisa keluar baik dalam keadaan sadar (melakukan hubungan suami-istri) maupun ketika tidak sadar (mimpi basah). Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Ummu Sulaim pernah bertanya kepada Rasulullah saw.:
“Wahai Rasulullah, apakah diwajibkan bagi seorang wanita untuk mandi jika ia bermimpi ?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ya, jika ia melihat air.”
Wallaahu A’lam….
Pak Ustadz, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya sampaikan, mohon penjelasan dan pencerahannya:
1. Apakah wanita yang sedang haidh atau nifas boleh menyentuh Al-Quran?
2. Apakah mandi junub diwajibkan bagi wanita yang tidak sedang bercampur dengan suaminya tetapi pada kelaminnya mengeluarkan cairan (pelumas)?
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
St, …………..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
1. Mengenai permasalahan membaca Al-Qur`an bagi wanita yang sedang haid, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak.
Ulama yang membolehkan seperti sebagian ulama dalam madzhab Malikiyah, mendasarkan pendapatnya pada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Aisyah ra. pernah membaca A-Qur`an dalam keadaan sedang haid. Selain itu, mereka juga mendasarkan pendapatnya pada hadits yang ‘Aisyah radhiyallahu’anha bahwa dia berkata:
“Aku datang ke Mekkah sedangkan aku sedang haidh. Aku tidak melakukan thawaf di Baitullah dan (sa’i) antara Shafa dan Marwah. Saya laporkan keadaanku itu kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, ‘Lakukanlah apa yang biasa dilakukan oleh haji selain thawaf di Baitullah hingga engkau suci’.” (Hadits riwayat Imam Bukhori no. 1650)
Berdasarkan hadits tersebut, seorang wanita yang sedang haidh dibolehkan untuk membaca Al-Qur`an, karena yang dilarang bagi wanita hanyalah thawaf di Baitullah. (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/183)
Sementara itu, sebagian ulama yang lain tidak membolehkan wanita yang sedang haidh untuk membaca Al-Qur`an, dengan alasan bahwa apa yang dilakukan oleh Sayyidatina Aisyah ra. tersebut (jika riwayatnya dianggap shahih) bukan otomatis menunjukkan bolehnya membaca Al-Quran bagi wanita yang sedang haidh. Sebab, hal itu bertentangan dengan sabda Nabi saw.:
لا يَقْرَأ الْحَائِضُ وَلا الْجُنُبُ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ
“Orang yang sedang haidh atau junub tidak boleh membaca sesuatu dari Al-Quran” HR. at-Tirmidzi dan al-Baihaqi.
Adapun hadits tentang haji yang dijadikan dalil kelompok pertama, hanya berkaitan dengan rangkaian ibadah haji, seperti thawaf, sa’i, wukuf, melempar jumrah dan lain-lain, tetapi tidak termasuk membaca Al-Qur`an.
Menurut ulama yang tidak membolehkannya, yang dimaksud dengan “membaca” di sini adalah mengucapkan ayat-ayat Al-Quran melalui mulut, baik dengan melihat mushhaf ataupun dengan mengucapkan ayat-ayat yang sudah dihafalnya. Sedangkan apabila orang yang sedang haidh atau nifas tersebut hafal ayat-ayat Al-Quran, kemudian dia membacanya dalam hati, maka hal itu dibolehkan.
2. Hukum yang berkaitan dengan keluarnya air dari alat kemaluan, bagi laki-laki ataupun perempuan adalah sama. Penjelasan mengenai ini pernah saya jelaskan pada pembahasan tentang Hukum Air Mani. Untuk melihat penjelasan tersebut, klik:
http://mediasilaturahim.com/?p=522
Di sini, saya hanya ingin menambahkan, bila air yang keluar adalah air mani, maka seseorang diwajibkan mandi junub, meskipun keluarnya air itu bukan karena hubungan badan. Perlu diingat bahwa air mani bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan, dengan ciri-cirinya yaitu cairan yang putih pekat memancar dari kemaluan dan disertai rasa nikmat. Pancaran air mani pada perempuan adalah berwarna kuning dan sedikit. Air mani bisa keluar baik dalam keadaan sadar (melakukan hubungan suami-istri) maupun ketika tidak sadar (mimpi basah). Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Ummu Sulaim pernah bertanya kepada Rasulullah saw.:
“Wahai Rasulullah, apakah diwajibkan bagi seorang wanita untuk mandi jika ia bermimpi ?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ya, jika ia melihat air.”
Wallaahu A’lam….
Kiat Membentuk Pribadi Anak
Imam Ghazali berkata dalam kitab Ihya Ulumiddin: “Ketahuilah, bahwasanya mendidik anak-anak kecil merupakan perkara yang sangat penting dan mendasar. Anak adalah amanah bagi kedua orangtuanya. Hatinya merupakan mutiara yang suci, berharga, dan masih kosong dari segala ukiran dan gambar (pengaruh luar).
Hati seorang anak siap menerima segala bentuk ukiran yang diukirkan padanya. Jika hatinya dipalingkan pada sesuatu maka niscaya dia akan berpaling (condong) padanya. Jika dia dibiasakan melakukan kebaikan dan diajarkan kebaikan maka dia akan tumbuh di atas pondasi kebaikan, dan dia akan berbahagia di dunia dan akhirat. Kedua orangtuanya akan ikut merasakan ganjaran pahala yang diterima olehnya kelak.
Setiap orang tua merupakan guru dan pendidik bagi anaknya. Jika anak dibiasakan melakukan keburukan dan perilakunya diacuhkan begitu saja seperti layaknya hewan ternak, maka dia akan hidup sengsara dan binasa. Sedangkan beban dosanya akan dilimpahkan pada lutut orang yang memberikan warna (nilai keburukan) kepadanya, dan juga akan dilimpahkan kepada walinya. Bagaimanapun usaha seorang ayah untuk menjaga anaknya dari api dunia, maka ketahuilah bahwasanya menjaganya dari api akhirat itu lebih utama. Menjaganya adalah dengan cara mendidik, memberikan pelajaran, mengajarkan kepadanya akhlak-akhlak yang baik, menjaganya dari teman yang berperangai buruk, tidak membiasakannya hidup mewah, dan tidak membuatnya cinta terhadap perhiasan dan kemewahan duniawi. Karena, jika sang anak mencintai dunia maka usianya akan dia sia-siakan untuk mencari kebahagiaan dunia di saat di dewasa nanti. Sehingga, dia akan binasa (celaka) selamanya.
Seorang anak harus selalu diawasi sejak dini, sejak akal pikirannya mulai tumbuh berkembang, dan di saat rasa malu pada dirinya mulai muncul. Jika seorang anak mulai malu dan meninggalkan suatu perbuatan tertentu, maka hal itu tidak lain karena cahaya akal sudah mulai terbit menyinari dirinya. Saat seperti itu adalah kabar gembira yang menunjukkan keseimbangan akal dan kesucian hatinya. Seorang anak baru akan memiliki akal pikiran yang sempurna ketika dia telah mencapai usia baligh (dewasa). Seorang anak yang pemalu tidak boleh diabaikan, akan tetapi hendaknya rasa malunya itu dibantu dan diarahkan ke arah yang positif.”
Imam Ghazali juga berkata: “Akhlak yang baik tidak akan tertanam kuat di dalam jiwa seseorang selama jiwa itu tidak dibiasakan untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik (terpuji) dan selama jiwa itu tidak meninggalkan seluruh perbuatan buruk. Akhlak yang terpuji juga tidak akan tertanam kuat di dalam jiwa seseorang jika jiwa tersebut tidak dibiasakan untuk memiliki kerinduan melakukan perbuatan-perbuatan terpuji dan menikmatinya, serta membenci perbuatan-perbuatan tercela dan merasa bersalah karenanya (karena melakukan perbuatan tercela).
Akhlak yang terpuji itu akan terwujud dengan cara membiasakan diri melakukan perbuatan-perbuatan terpuji, melihat orang-orang yang berperilaku terpuji, dan bersahabat dengan mereka. Mereka adalah sahabat dalam kebaikan dan saudara yang akan mengantarkan pada kemaslahatan. Tabiat seseorang itu biasanya tergantung pada tabiat orang lain. Demikian pula halnya dengan perbuatan baik dan buruk.
Yang paling pokok dalam mendidik anak adalah menjaganya dari sahabat-sahabat yang berperangai buruk. Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan baik dan memiliki fitrah yang baik. Kebiasaan dan pendidikanlah yang membentuk perilaku akhlaknya. Setiap kali seorang anak menunjukkan perilaku yang baik dan terpuji maka hendaknya anak tersebut dihargai, diberikan hadiah berupa sesuatu yang dapat membuatnya gembira, dan dipuji di hadapan banyak orang. Jika sang anak melakukan perbuatan buruk satu kali maka hendaknya berpura-pura tidak menghiraukan (acuh) terhadapnya.
Jika dia mengulangnya untuk kedua kali maka berikanlah teguran kepadanya secara sembunyi-sembunyi (tidak di hadapan orang lain). Jangan sering-sering menegurnya di setiap kesempatan, karena hal itu membuatnya merasa rendah (hina) dan teguran itu akan membekas pada hatinya. Seorang ayah hendaknya harus tetap memiliki wibawa di hadapan anak, yaitu dengan cara tidak menjelek-jelekkannya (mencercanya).”
Hati seorang anak siap menerima segala bentuk ukiran yang diukirkan padanya. Jika hatinya dipalingkan pada sesuatu maka niscaya dia akan berpaling (condong) padanya. Jika dia dibiasakan melakukan kebaikan dan diajarkan kebaikan maka dia akan tumbuh di atas pondasi kebaikan, dan dia akan berbahagia di dunia dan akhirat. Kedua orangtuanya akan ikut merasakan ganjaran pahala yang diterima olehnya kelak.
Setiap orang tua merupakan guru dan pendidik bagi anaknya. Jika anak dibiasakan melakukan keburukan dan perilakunya diacuhkan begitu saja seperti layaknya hewan ternak, maka dia akan hidup sengsara dan binasa. Sedangkan beban dosanya akan dilimpahkan pada lutut orang yang memberikan warna (nilai keburukan) kepadanya, dan juga akan dilimpahkan kepada walinya. Bagaimanapun usaha seorang ayah untuk menjaga anaknya dari api dunia, maka ketahuilah bahwasanya menjaganya dari api akhirat itu lebih utama. Menjaganya adalah dengan cara mendidik, memberikan pelajaran, mengajarkan kepadanya akhlak-akhlak yang baik, menjaganya dari teman yang berperangai buruk, tidak membiasakannya hidup mewah, dan tidak membuatnya cinta terhadap perhiasan dan kemewahan duniawi. Karena, jika sang anak mencintai dunia maka usianya akan dia sia-siakan untuk mencari kebahagiaan dunia di saat di dewasa nanti. Sehingga, dia akan binasa (celaka) selamanya.
Seorang anak harus selalu diawasi sejak dini, sejak akal pikirannya mulai tumbuh berkembang, dan di saat rasa malu pada dirinya mulai muncul. Jika seorang anak mulai malu dan meninggalkan suatu perbuatan tertentu, maka hal itu tidak lain karena cahaya akal sudah mulai terbit menyinari dirinya. Saat seperti itu adalah kabar gembira yang menunjukkan keseimbangan akal dan kesucian hatinya. Seorang anak baru akan memiliki akal pikiran yang sempurna ketika dia telah mencapai usia baligh (dewasa). Seorang anak yang pemalu tidak boleh diabaikan, akan tetapi hendaknya rasa malunya itu dibantu dan diarahkan ke arah yang positif.”
Imam Ghazali juga berkata: “Akhlak yang baik tidak akan tertanam kuat di dalam jiwa seseorang selama jiwa itu tidak dibiasakan untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik (terpuji) dan selama jiwa itu tidak meninggalkan seluruh perbuatan buruk. Akhlak yang terpuji juga tidak akan tertanam kuat di dalam jiwa seseorang jika jiwa tersebut tidak dibiasakan untuk memiliki kerinduan melakukan perbuatan-perbuatan terpuji dan menikmatinya, serta membenci perbuatan-perbuatan tercela dan merasa bersalah karenanya (karena melakukan perbuatan tercela).
Akhlak yang terpuji itu akan terwujud dengan cara membiasakan diri melakukan perbuatan-perbuatan terpuji, melihat orang-orang yang berperilaku terpuji, dan bersahabat dengan mereka. Mereka adalah sahabat dalam kebaikan dan saudara yang akan mengantarkan pada kemaslahatan. Tabiat seseorang itu biasanya tergantung pada tabiat orang lain. Demikian pula halnya dengan perbuatan baik dan buruk.
Yang paling pokok dalam mendidik anak adalah menjaganya dari sahabat-sahabat yang berperangai buruk. Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan baik dan memiliki fitrah yang baik. Kebiasaan dan pendidikanlah yang membentuk perilaku akhlaknya. Setiap kali seorang anak menunjukkan perilaku yang baik dan terpuji maka hendaknya anak tersebut dihargai, diberikan hadiah berupa sesuatu yang dapat membuatnya gembira, dan dipuji di hadapan banyak orang. Jika sang anak melakukan perbuatan buruk satu kali maka hendaknya berpura-pura tidak menghiraukan (acuh) terhadapnya.
Jika dia mengulangnya untuk kedua kali maka berikanlah teguran kepadanya secara sembunyi-sembunyi (tidak di hadapan orang lain). Jangan sering-sering menegurnya di setiap kesempatan, karena hal itu membuatnya merasa rendah (hina) dan teguran itu akan membekas pada hatinya. Seorang ayah hendaknya harus tetap memiliki wibawa di hadapan anak, yaitu dengan cara tidak menjelek-jelekkannya (mencercanya).”
Ibnu Khaldun dan Nama Besarnya
Jakarta - Siapa yang tidak kenal Ibnu Khaldun? Ya, ilmuwan yang sangat brilian yang sering disebut raksasa intelektual paling terkemuka di dunia. Dia bukan saja disebut bapak sosiologi, tetapi juga bapak ekonomi dan bapak pendidikan dunia yang paling berpengaruh di dunia.
Nama lengkapnya adalah Abdurrahman Zaid Waliuddin bin Khaldun. Lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M. Nama kecilnya adalah Abdurrahman, sedangkan Abu Zaid adalah nama panggilan keluarga sebagai anak sulung. Waliuddin adalah kehormatan dan kebesaran yang dianugerahkan oleh Raja Mesir sewaktu ia diangkat menjadi Ketua Pengadilan di Mesir.
Menurut Ibnu Hazm, ulama Andalusia yang wafat tahun 457 H/1065 M, keluarga Ibnu Khaldun berasal dari Hadramaut Yaman. Jika ditelusuri silsilahnya, sampai kepada sahabat Rasulullah yang terkenal meriwayatkan kurang lebih 70 hadits dari Rasulullah. Nenek moyang Ibnu Khaldun adalah Khalid bin Usman, masuk Andalusia (Spanyol) bersama-sama para penakluk berkebangsaan Arab sekitar abad ke VII M, karena tertarik oleh kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh tentara Islam. Ia menetap di Carmona, suatu kota kecil yang terletak di tengah-tengah antara tiga kota yaitu Cordova, Granada dan Seville, yang di kemudian hari kota ini menjadi pusat kebudayaan Islam di Andalusia.
Pada abad ke VII M, anak cucu Khaldun pindah ke Sevilla pada masa pemerintahan Amir Abdullah Ibnu Muhammad dari Bani Umayyah (274-300 H) Andalusia dalam suasana perpecahan dan perebutan kekuasaan. Dalam suasana seperti ini, anak cucu Khaldun yang bernama Kuraib mengadakan pemberontakan bersama Umayyah Ibnu Abdul Ghofir, dia berhasil merebut kekuasaan dan mendirikan pemerintahan (sebagai Amir) di Sevilla. Akan tetapi karena kekejaman dan kekerasannya dia tidak disenangi rakyat dan akhirnya meninggal terbunuh pada tahun 899 H.
Banu Khaldun tetap tinggal di Sevilla selama pemerintahan Umayyah dengan tidak mengambil peranan yang berarti sampai datangnya pemerintahan raja-raja kecil (Ath-Thawalif) dan Sevilla berada dalam kekuasaan Ibnu Abbad. Pada masa itulah bintang Banu Khaldun melejit sampai pada masa pemerintahan Al-Muwahidun. Setelah raja-raja Thowaif mengalami kemunduran, maka muncullah raja-raja Muwahhidin menggeser kekuasaan raja-raja Murabbith.
Pada pemerintahan Muwahhidun inilah Banu Khaldun menjalin hubungan dengan keluarga pemerintah, sehingga mereka mempunyai kedudukan yang terhormat. Tatkala kerajaan Muwahhidin mengalami kemunduran dan Andalusia menjadi kacau balau, maka Banu Khaldun pindah ke Tunisia pada tahun 1223 M. Nenek moyang Ibnu Khaldun yang pertama mendarat ke Tunisia adalah Al Hasan Ibnu Muhammad (kakek keempat Ibnu Khaldun), kemudian disusul oleh saudara-saudaranya yang lain seperti Abu Bakar Muhammad bin Abu Bakar Muhammad dan lain-lain.
Kakek Ibnu Khaldun itu rata-rata menduduki jabatan penting di dalam pemerintahan waktu itu. Sedangkan anaknya Abu Abdillah Muhammad (ayah Ibnu Khaldun) tidak tertarik kepada jabatan pemerintahan. Ia lebih mementingkan bidang ilmu dan pendidikan, sehingga ia dikenal sebagai ahli dalam bidang ilmu fiqih, meninggal tahun 749 H/1349 M. Ia meninggalkan beberapa orang anak di antaranya Abu Yazid Waliuddin (Ibnu Khaldun), Umar, Musa, Yahya dan Muhammad. Pada waktu itu Ibnu Khaldun baru berusia 18 tahun. Ibnu Khaldun memperoleh pendidikan agama, bahasa, logika dan filsafat. Sebagai gurunya yang utama adalah ayahnya sendiri, di samping Ibnu Khaldun juga menghafal Al Qur’an, mempelajari fisika dan matematika dari ulama-ulama besar pada masanya.
Di antara guru-guru Ibnu Khaldun adalah Muhammad bin Saad Burral Al Anshari, Muhammad bin Abdissalam, Muhammad bin Abdil Muhaimin Al Hadhrami dan Abu Abdillah Muhammad bin Ibrahim Al Abilli. Dari merekalah Ibnu Khaldun mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan. Pada tahun 1349 setelah kedua orang tua Ibnu Khaldun meninggal dunia Ibnu Khaldun memutuskan untuk pindah ke Maroko, namun dicegah oleh kakaknya. Baru tahun 1354, Ibnu Khaldun melaksanakan niatnya pergi ke Maroko, dan di sana dia mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan tingginya.
Selama menjalani pendidikannya di Marokko, ada empat ilmu yang dipelajarinya secara mendalam yaitu bahasa Arab yang terdiri dari Nahwu, shorof, balaghoh, khitabah dan sastra. Kelompok ilmu syari’at terdiri dari Fiqh (Maliki), tafsir, hadits, ushul fiqh dan ilmu Al Qur’an. Kelompok ilmu aqliyah (ilmu-ilmu filsafat) terdiri dari filsafat, mantiq, fisika, matematika, falak, musik, dan sejarah. Kelompok ilmu kenegaraan terdiri atas ilmu administrasi, organisasi, ekonomi dan politik. Sepanjang hidupnya Ibnu Khaldun tidak pernah berhenti belajar, sebagaimana dikatakan oleh Von Wesendonk, hingga wafat.
Kecemerlangan otaknya didukung oleh kemauannya yang membaja untuk menjadi seorang yang alim dan arif. Hanya dalam waktu kurang dari seperempat abad Ibnu Khaldun telah mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Memasuki usia ke 20, Ibnu Khaldun mulai tertarik dengan kehidupan politik. Pada tahun 755 H/1354 M, karena kecakapannya Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretaris Sultan di Maroko, namun jabatan ini tidak lama di pangkuannya, karena pada tahun 1357 Ibnu Khaldun terlibat dalam persekongkolan untuk menggulingkan Amir bersama Amir Abu Abdullah Muhammad. Ia kemudian ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi tidak lama kemudian dia dibebaskan tak lama setelah Sultan meninggal dunia dan kekuasaan direbut oleh Al Manshur bin Sulaiman dari menterinya Al Hasan. Ibnu Khaldun lalu menggabungkan diri dengan Al Manshur dan dia diangkat menjadi sekretarisnya.
Namun tidak lama kemudian Ibnu Khaldun meninggalkan Al Manshur dan bekerjasama dengan Abu Salim. Pada waktu itu Abu Salim menduduki singgasana dan Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretarisnya dan dua tahun kemudian diangkat menjadi Mahkamah Agung. Di sinilah Ibnu Khaldun menunjukkan prestasinya yang luar biasa, tetapi itu pun tidak berlangsung lama, karena pada tahun 762 H./1361 M timbul pemberontakan di kalangan keluarga istana. Dia harus meninggalkan jabatan yang disandangnya. Rupanya tidak tahan lama Ibnu Khaldun bergelut dengan dunia politik dia ingin kembali ke dalam dunia ilmu pengetahuan yang pernah lama digelutinya.
Akhirnya dia memutar haluan bertolak ke daerah Banu Arif bersama keluarganya, dan di tempat inilah Ibnu Khaldun dan keluarganya baru merasa hidup tenang dan tentram jauh dari kemunafikan politik. Dalam ketenangannya itu Ibnu Khaldun merenung ingin menumpahkan semua pengalaman dan liku-liku kehidupannya. Maka dari sinilah ia mengalihkan perjalanan hidupnya dari petualang politik kembali kepada dunia ilmu pengetahuan, dan mulailah ia menyusun karya besarnya yang kemudian dikenal dengan “Muqoddimah Ibnu Khaldun”. Selama empat tahun tinggal di daerah Banu Arif Ibnu Khaldun juga menyusun sejarah besarnya Al Ibar, akan tetapi karena kekurangan referensi maka ia pergi ke Tunisia, dan dis analah ia menyelesaikan karyanya. Rupanya ketenangan Ibnu Khaldun terganggu lagi ketika Sultan mengajaknya untuk mendampingi menumpas pengacau, namun karena Ibnu Khaldun sudah jenuh dengan kehidupan politik, maka kemudian ia pindah ke Mesir.
Di Mesir Ibnu Khaldun disambut dengan hangat. Ilmuwan yang sarjana ini sudah tidak asing lagi di sana karena karya-karyanya sudah tersebar di sana. Sebagai orang baru Ibnu Khaldun langsung diberi dua jabatan penting yaitu sebagai hakim tinggi dan sebagai guru besar di perguruan Al Azhar. Sebagai seoang pemikir Ibnu Khaldun memiliki watak yang luar biasa yang kadang terasa kurang baik.
Dalam hal ini Muhammad Abdullah Enan melukiskan kepribadian Ibnu Khaldun yang istimewa itu dengan mencoba memperlihatkan ciri psikologik Ibnu Khaldun, walaupun diakuinya secara moral ini tidak selalu sesuai. Menurutnya, ia melihat dalam diri Ibnu Khaldun terdapat sifat angkuh dan egoisme, penuh ambisi, tidak menentu dan kurang memiliki rasa terima kasih. Namun di samping sifat-sifatnya yang tersebut di atas dia juga mempunyai sifat pemberani, tabah dan kuat, teguh pendirian serta tahan uji. Di samping memiliki intelegensia yang tinggi, cerdas, berpandangan jauh dan pandai berpuisi. Menurut beberapa ahli, Ibnu Khaldun dalam proses pemikirannya mengalami percampuran yang unik, yaitu antara dua tokoh yang saling bertolak belakang, Al Ghazali dan Ibnu Rusyd. Al Ghazali dan Ibnu Rusyd bertentangan dalam bidang filsafat. Ibnu Rusyd adalah pengikut Aristoteles yang setia, sedangkan Al Ghazali adalah penentang filsafat Aristoteles yang gigih. Ibnu Khaldun adalah pengikut Al Ghazali dalam permusuhannya melawan logika Aristoteles, dan pengikut Ibnu Rusyd dalam usahanya mempengaruhi massa.
Ibnu Khaldun adalah satu-satunya sarjana muslim waktu itu yang menyadari arti pentingnya praduga dan kategori dalam pemikiran untuk menyelesaikan perdebatan-perdebatan intelektual. Barangkali karena itulah seperti anggapan Fuad Baali bahwa Ibnu Khaldun membangun suatu bentuk logika baru yang realistik, sebagai upayanya untuk mengganti logika idealistik Aristoteles yang berpola paternalistik-absolutistik- spiritualistik. Sedangkan logika realistik Ibnu Khaldun ini berpola pikir relatifistik-temporalistik-materialistik. Dengan berpola pikir seperti itulah Ibnu Khaldun mengamati dan menganalisa gejala-gejala sosial beserta sejarahnya, yang pada akhirnya tercipta suatu teori kemasyarakatan yang modern.
Ibnu Khaldun terkenal sebagai ilmuwan besar adalah karena karyanya “Muqaddimah”. Rasanya memang aneh ia terkenal justru karena muqaddimahnya bukan karena karyanya yang pokok (Al Ibar), namun pengantar Al Ibarnyalah yang telah membuat namanya diagung-agungkan dalam sejarah intelektualisme. Karya monumentalnya itu telah membuat para sarjana baik di Barat maupun di Timur begitu mengaguminya. Sampai-sampai Windellband dalam filsafat sejarahnya menyebutnya sebagai “Tokoh ajaib yang sama sekali lepas, baik dari masa lampau maupun masa yang akan datang.” (sul)
Sumber: WartaOne.com
Nama lengkapnya adalah Abdurrahman Zaid Waliuddin bin Khaldun. Lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M. Nama kecilnya adalah Abdurrahman, sedangkan Abu Zaid adalah nama panggilan keluarga sebagai anak sulung. Waliuddin adalah kehormatan dan kebesaran yang dianugerahkan oleh Raja Mesir sewaktu ia diangkat menjadi Ketua Pengadilan di Mesir.
Menurut Ibnu Hazm, ulama Andalusia yang wafat tahun 457 H/1065 M, keluarga Ibnu Khaldun berasal dari Hadramaut Yaman. Jika ditelusuri silsilahnya, sampai kepada sahabat Rasulullah yang terkenal meriwayatkan kurang lebih 70 hadits dari Rasulullah. Nenek moyang Ibnu Khaldun adalah Khalid bin Usman, masuk Andalusia (Spanyol) bersama-sama para penakluk berkebangsaan Arab sekitar abad ke VII M, karena tertarik oleh kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh tentara Islam. Ia menetap di Carmona, suatu kota kecil yang terletak di tengah-tengah antara tiga kota yaitu Cordova, Granada dan Seville, yang di kemudian hari kota ini menjadi pusat kebudayaan Islam di Andalusia.
Pada abad ke VII M, anak cucu Khaldun pindah ke Sevilla pada masa pemerintahan Amir Abdullah Ibnu Muhammad dari Bani Umayyah (274-300 H) Andalusia dalam suasana perpecahan dan perebutan kekuasaan. Dalam suasana seperti ini, anak cucu Khaldun yang bernama Kuraib mengadakan pemberontakan bersama Umayyah Ibnu Abdul Ghofir, dia berhasil merebut kekuasaan dan mendirikan pemerintahan (sebagai Amir) di Sevilla. Akan tetapi karena kekejaman dan kekerasannya dia tidak disenangi rakyat dan akhirnya meninggal terbunuh pada tahun 899 H.
Banu Khaldun tetap tinggal di Sevilla selama pemerintahan Umayyah dengan tidak mengambil peranan yang berarti sampai datangnya pemerintahan raja-raja kecil (Ath-Thawalif) dan Sevilla berada dalam kekuasaan Ibnu Abbad. Pada masa itulah bintang Banu Khaldun melejit sampai pada masa pemerintahan Al-Muwahidun. Setelah raja-raja Thowaif mengalami kemunduran, maka muncullah raja-raja Muwahhidin menggeser kekuasaan raja-raja Murabbith.
Pada pemerintahan Muwahhidun inilah Banu Khaldun menjalin hubungan dengan keluarga pemerintah, sehingga mereka mempunyai kedudukan yang terhormat. Tatkala kerajaan Muwahhidin mengalami kemunduran dan Andalusia menjadi kacau balau, maka Banu Khaldun pindah ke Tunisia pada tahun 1223 M. Nenek moyang Ibnu Khaldun yang pertama mendarat ke Tunisia adalah Al Hasan Ibnu Muhammad (kakek keempat Ibnu Khaldun), kemudian disusul oleh saudara-saudaranya yang lain seperti Abu Bakar Muhammad bin Abu Bakar Muhammad dan lain-lain.
Kakek Ibnu Khaldun itu rata-rata menduduki jabatan penting di dalam pemerintahan waktu itu. Sedangkan anaknya Abu Abdillah Muhammad (ayah Ibnu Khaldun) tidak tertarik kepada jabatan pemerintahan. Ia lebih mementingkan bidang ilmu dan pendidikan, sehingga ia dikenal sebagai ahli dalam bidang ilmu fiqih, meninggal tahun 749 H/1349 M. Ia meninggalkan beberapa orang anak di antaranya Abu Yazid Waliuddin (Ibnu Khaldun), Umar, Musa, Yahya dan Muhammad. Pada waktu itu Ibnu Khaldun baru berusia 18 tahun. Ibnu Khaldun memperoleh pendidikan agama, bahasa, logika dan filsafat. Sebagai gurunya yang utama adalah ayahnya sendiri, di samping Ibnu Khaldun juga menghafal Al Qur’an, mempelajari fisika dan matematika dari ulama-ulama besar pada masanya.
Di antara guru-guru Ibnu Khaldun adalah Muhammad bin Saad Burral Al Anshari, Muhammad bin Abdissalam, Muhammad bin Abdil Muhaimin Al Hadhrami dan Abu Abdillah Muhammad bin Ibrahim Al Abilli. Dari merekalah Ibnu Khaldun mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan. Pada tahun 1349 setelah kedua orang tua Ibnu Khaldun meninggal dunia Ibnu Khaldun memutuskan untuk pindah ke Maroko, namun dicegah oleh kakaknya. Baru tahun 1354, Ibnu Khaldun melaksanakan niatnya pergi ke Maroko, dan di sana dia mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan tingginya.
Selama menjalani pendidikannya di Marokko, ada empat ilmu yang dipelajarinya secara mendalam yaitu bahasa Arab yang terdiri dari Nahwu, shorof, balaghoh, khitabah dan sastra. Kelompok ilmu syari’at terdiri dari Fiqh (Maliki), tafsir, hadits, ushul fiqh dan ilmu Al Qur’an. Kelompok ilmu aqliyah (ilmu-ilmu filsafat) terdiri dari filsafat, mantiq, fisika, matematika, falak, musik, dan sejarah. Kelompok ilmu kenegaraan terdiri atas ilmu administrasi, organisasi, ekonomi dan politik. Sepanjang hidupnya Ibnu Khaldun tidak pernah berhenti belajar, sebagaimana dikatakan oleh Von Wesendonk, hingga wafat.
Kecemerlangan otaknya didukung oleh kemauannya yang membaja untuk menjadi seorang yang alim dan arif. Hanya dalam waktu kurang dari seperempat abad Ibnu Khaldun telah mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Memasuki usia ke 20, Ibnu Khaldun mulai tertarik dengan kehidupan politik. Pada tahun 755 H/1354 M, karena kecakapannya Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretaris Sultan di Maroko, namun jabatan ini tidak lama di pangkuannya, karena pada tahun 1357 Ibnu Khaldun terlibat dalam persekongkolan untuk menggulingkan Amir bersama Amir Abu Abdullah Muhammad. Ia kemudian ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi tidak lama kemudian dia dibebaskan tak lama setelah Sultan meninggal dunia dan kekuasaan direbut oleh Al Manshur bin Sulaiman dari menterinya Al Hasan. Ibnu Khaldun lalu menggabungkan diri dengan Al Manshur dan dia diangkat menjadi sekretarisnya.
Namun tidak lama kemudian Ibnu Khaldun meninggalkan Al Manshur dan bekerjasama dengan Abu Salim. Pada waktu itu Abu Salim menduduki singgasana dan Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretarisnya dan dua tahun kemudian diangkat menjadi Mahkamah Agung. Di sinilah Ibnu Khaldun menunjukkan prestasinya yang luar biasa, tetapi itu pun tidak berlangsung lama, karena pada tahun 762 H./1361 M timbul pemberontakan di kalangan keluarga istana. Dia harus meninggalkan jabatan yang disandangnya. Rupanya tidak tahan lama Ibnu Khaldun bergelut dengan dunia politik dia ingin kembali ke dalam dunia ilmu pengetahuan yang pernah lama digelutinya.
Akhirnya dia memutar haluan bertolak ke daerah Banu Arif bersama keluarganya, dan di tempat inilah Ibnu Khaldun dan keluarganya baru merasa hidup tenang dan tentram jauh dari kemunafikan politik. Dalam ketenangannya itu Ibnu Khaldun merenung ingin menumpahkan semua pengalaman dan liku-liku kehidupannya. Maka dari sinilah ia mengalihkan perjalanan hidupnya dari petualang politik kembali kepada dunia ilmu pengetahuan, dan mulailah ia menyusun karya besarnya yang kemudian dikenal dengan “Muqoddimah Ibnu Khaldun”. Selama empat tahun tinggal di daerah Banu Arif Ibnu Khaldun juga menyusun sejarah besarnya Al Ibar, akan tetapi karena kekurangan referensi maka ia pergi ke Tunisia, dan dis analah ia menyelesaikan karyanya. Rupanya ketenangan Ibnu Khaldun terganggu lagi ketika Sultan mengajaknya untuk mendampingi menumpas pengacau, namun karena Ibnu Khaldun sudah jenuh dengan kehidupan politik, maka kemudian ia pindah ke Mesir.
Di Mesir Ibnu Khaldun disambut dengan hangat. Ilmuwan yang sarjana ini sudah tidak asing lagi di sana karena karya-karyanya sudah tersebar di sana. Sebagai orang baru Ibnu Khaldun langsung diberi dua jabatan penting yaitu sebagai hakim tinggi dan sebagai guru besar di perguruan Al Azhar. Sebagai seoang pemikir Ibnu Khaldun memiliki watak yang luar biasa yang kadang terasa kurang baik.
Dalam hal ini Muhammad Abdullah Enan melukiskan kepribadian Ibnu Khaldun yang istimewa itu dengan mencoba memperlihatkan ciri psikologik Ibnu Khaldun, walaupun diakuinya secara moral ini tidak selalu sesuai. Menurutnya, ia melihat dalam diri Ibnu Khaldun terdapat sifat angkuh dan egoisme, penuh ambisi, tidak menentu dan kurang memiliki rasa terima kasih. Namun di samping sifat-sifatnya yang tersebut di atas dia juga mempunyai sifat pemberani, tabah dan kuat, teguh pendirian serta tahan uji. Di samping memiliki intelegensia yang tinggi, cerdas, berpandangan jauh dan pandai berpuisi. Menurut beberapa ahli, Ibnu Khaldun dalam proses pemikirannya mengalami percampuran yang unik, yaitu antara dua tokoh yang saling bertolak belakang, Al Ghazali dan Ibnu Rusyd. Al Ghazali dan Ibnu Rusyd bertentangan dalam bidang filsafat. Ibnu Rusyd adalah pengikut Aristoteles yang setia, sedangkan Al Ghazali adalah penentang filsafat Aristoteles yang gigih. Ibnu Khaldun adalah pengikut Al Ghazali dalam permusuhannya melawan logika Aristoteles, dan pengikut Ibnu Rusyd dalam usahanya mempengaruhi massa.
Ibnu Khaldun adalah satu-satunya sarjana muslim waktu itu yang menyadari arti pentingnya praduga dan kategori dalam pemikiran untuk menyelesaikan perdebatan-perdebatan intelektual. Barangkali karena itulah seperti anggapan Fuad Baali bahwa Ibnu Khaldun membangun suatu bentuk logika baru yang realistik, sebagai upayanya untuk mengganti logika idealistik Aristoteles yang berpola paternalistik-absolutistik- spiritualistik. Sedangkan logika realistik Ibnu Khaldun ini berpola pikir relatifistik-temporalistik-materialistik. Dengan berpola pikir seperti itulah Ibnu Khaldun mengamati dan menganalisa gejala-gejala sosial beserta sejarahnya, yang pada akhirnya tercipta suatu teori kemasyarakatan yang modern.
Ibnu Khaldun terkenal sebagai ilmuwan besar adalah karena karyanya “Muqaddimah”. Rasanya memang aneh ia terkenal justru karena muqaddimahnya bukan karena karyanya yang pokok (Al Ibar), namun pengantar Al Ibarnyalah yang telah membuat namanya diagung-agungkan dalam sejarah intelektualisme. Karya monumentalnya itu telah membuat para sarjana baik di Barat maupun di Timur begitu mengaguminya. Sampai-sampai Windellband dalam filsafat sejarahnya menyebutnya sebagai “Tokoh ajaib yang sama sekali lepas, baik dari masa lampau maupun masa yang akan datang.” (sul)
Sumber: WartaOne.com
Harun Yahya, Sang Penantang Teori Darwin
Ankara - Mungkin sangatlah beralasan jika sebagian besar umat muslim di Indonesia mengenal nama Harun Yahya. Ilmuwan muslim ini dikenal sebagai bapak teori ciptaanisme. Bagaimana jejak kaki sang ciptaanisme muslim itu?
Harun Yahya adalah nama pena dari Adnan Oktar atau biasa ditulis Adnan Hoca. Pria kelahiran Ankara, Turki, pada tahun 1956 ini merupakan seorang tokoh teori ciptaanisme. Harun dikenal sebagai pejuang tangguh teori ciptaanisme.
Perbedaan mencolok antara ciptaanisme muslim dengan kristen terletak antara ciptaan versus evolusi. Dalam hal ini, Oktar menganut ciptaanisme Bumi Lama.
Pria yang memiliki dua nama nabi itu, Harun atau Aaron dan Yahya atau John merupakan seorang muslim sejati yang sangat anti Zionis. Dalam pandangannya gerakan zionist memiliki kaitan erat dengan gerakan mason. Meskipun, ia menolak tuduhan anti semitisme. Sebaliknya ia menuding ajaran anti semitisme sebagai bentuk kekafiran.
Adnan dibesarkan di Turki hingga lulus SMU. Komitmennya terhadap Islam tumbuh semakin kuat ketika ia duduk di bangku SMU. Pada periode ini, pengetahuan yang mendalam tentang Islam ia dapatkan dari membaca berbagai buku agama. Pada tahun 1979, Adnan Oktar pindah ke Istanbul untuk menuntut ilmu di Universitas Mimar Sinan.
Perjalanan karir intelektual muslim ini dimulai pada tahun 1979. Ketika ia pertama kali menuntut ilmu di Akademi Seni, Universitas Mimar Sinan. Selama berada di universitas tersebut, ia melakukan kajian filsafat dan ideologi materialistik yang sangat berpengaruh terhadap masyarakat sekitar.
Majalah ilmiah populer terkenal New Scientist edisi 22 April 2000 menjuluki Adnan Oktar sebagai “pahlawan dunia”. Ia juga telah menghasilkan berbagai karya tentang Zionisme dan Freemasonry, serta ratusan buku yang mengulas masalah akhlak dalam Al-Qur’an dan bahasan-bahasan lain yang berhubungan dengan akidah.
Tak hanya ilmu filsafat, Adnan juga gemar menyelami dunia senia. Hingga akhirnya ia masuk ke Akademi Seni Universitas Mimar Sinan, Istanbul.
Meskipun sering menulis sains, ia tidak pernah secara sungguh-sungguh mempelajari sains pada tingkat universitas. Seperti dikutip wikipedia, Oktar telah menulis banyak buku dengan menggunakan nama pena Harun Yahya yang isinya menentang teori evolusi Charles Darwin. Ia juga berpendapat, evolusi secara langsung berkaitan dengan kejahatan-kejahatan materialisme, Naziisme dan komunisme.
Kebanyakan dari sumber-sumber anti evolusinya identik dengan argumen-argumen ciptaanisme Kristen dan komunitas ilmiah yang telah melakukan kritik-kritik yang identik.
Ia juga menerbitkan berbagai tulisan tentang Zionisme dan Freemasonry dan menuduh kaum Zionis melakukan rasisme dan menegaskan bahwa Zionisme dan Freemasonry telah menimbulkan banyak pengaruh negatif terhadap sejarah dan politik dunia.
Akhirnya, ia telah menulis lebih dari 100 buku yang mengungkapkan moral Al Qur’an dan masalah-masalah yang berkaitan dengan iman. Ratusan buku konon ditulis oleh Oktar. Karena itu sebagian orang mengklaim bahwa orang lain mestilah telah ikut menyumbangkan, atau menulis, banyak dari buku-buku itu. Tuduhan ini dengan keras disangkal di situsnya dan ia mengklaim bahwa dia adalah satu-satunya penulis dari semua buku itu.
Banyak dari karya Oktar telah atau sedang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Italia, Rusia, Spanyol, Arab, Portugis, Albania, Serbo-Kroasia, Bosnia, Polandia, Urdu, Indonesia, Kazakh, Azeri, Melayu, Bengali dan Malayalam. Dan sebagian dari karyanya tersedia gratis disitus resmi Harun Yahya. Buku-bukunya dipublikasikan secara luas ke seluruh dunia.
Buku-buku Oktar yang berkaitan dengan iman berusaha untuk mengkomunikasikan keberadaan dan keesaan (Tauhid) Allah menurut iman Islam, dan ditulis dengan maksud utama memperkenalkan Islam kepada mereka yang tidak mengenal agama ini. Setiap bukunya yang berkaitan dengan sains menekankan pandangan-pandangannya tentang keperkasaan, kedalaman, dan keagungan Allah secara terinci.
Buku-buku ini berusaha memperlihatkan bagi kaum non Muslim apa yang diklaim Oktar sebagai tanda-tanda keberadaan Allah, dan kesempurnaan ciptaan-Nya. Sebuah sub kelompok di dalam seri ini adalah seri “Buku-buku yang Menghancurkan Kebohongan Evolusi”. Tujuan utama buku-buku ini adalah menyerang gagasan-gagasan Materialisme, Evolusi, Darwinisme, dan atheisme.
Sejak sebelum Adnan Oktar memulai kuliah di Universitas Mimar Sinan, Istanbul, institusi pendidikan tersebut telah berada di bawah pengaruh berbagai organisasi ilegal berhaluan Marxisme, sehingga pemikiran kekirian tampak jelas mendominasi kampus. Setiap orang, apakah ia staf di sebuah fakultas ataupun mahasiswa, adalah sosok materialis yang berpola pikir atheis.
Para staf pengajar mengambil setiap kesempatan yang ada untuk menyebarkan filsafat materialistik dan Darwinisme dalam kuliah-kuliah yang mereka berikan kendatipun dua hal ini tidak ada hubungannya dengan topik kuliah mereka. Dalam lingkungan di mana ajaran agama dan akhlak tidak dipedulikan dan sama sekali ditolak, Adnan Oktar justru menyerukan orang-orang di sekitarnya akan keesaan dan keberadaan Allah SWT.
Sebagaimana mungkin telah dimaklumi, dalam kondisi demikian, Islam tidak diberi kesempatan untuk tumbuh berkembang. Ibunya, Mediha Oktar menuturkan bahwa pada masa itu Adnan hanya tidur beberapa jam saja di malam hari, sebagian besar sisa waktu ia gunakan untuk membaca, membuat catatan dan menyimpan kumpulan catatan tersebut.
Dalam semua buku karyanya, semua topik yang disampaikan sangat sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. Bahkan topik-topik yang disampaikan melalui bahasa ilmiah, yang kadang dianggap rumit dan membingungkan, diuraikan dengan sangat lugas dan jelas dalam buku-buku Harun Yahya. Tidaklah mengherankan jika buku-buku tersebut menarik semua orang dari segala umur dan lapisan masyarakat.
Buku-buku yang berhubungan dengan keimanan mendakwahkan tentang keberadaan dan keesaan Allah SWT dan ditulis dengan tujuan utama menyampaikan Islam kepada mereka yang jauh dari agama dan membuka hati mereka agar menerima kebenaran.
Bagi pembaca Muslim, buku-buku tersebut berisikan nasehat dan peringatan. Dia juga telah menerbitkan karya-karyanya tentang hal-hal pokok yang disebutkan dalam Al-Qur’an agar kaum Muslim dapat meningkatkan ketakwaan dan kemampuan berpikir mereka secara mendalam. (sul/rko)
Sumber: WartaOne.com
Harun Yahya adalah nama pena dari Adnan Oktar atau biasa ditulis Adnan Hoca. Pria kelahiran Ankara, Turki, pada tahun 1956 ini merupakan seorang tokoh teori ciptaanisme. Harun dikenal sebagai pejuang tangguh teori ciptaanisme.
Perbedaan mencolok antara ciptaanisme muslim dengan kristen terletak antara ciptaan versus evolusi. Dalam hal ini, Oktar menganut ciptaanisme Bumi Lama.
Pria yang memiliki dua nama nabi itu, Harun atau Aaron dan Yahya atau John merupakan seorang muslim sejati yang sangat anti Zionis. Dalam pandangannya gerakan zionist memiliki kaitan erat dengan gerakan mason. Meskipun, ia menolak tuduhan anti semitisme. Sebaliknya ia menuding ajaran anti semitisme sebagai bentuk kekafiran.
Adnan dibesarkan di Turki hingga lulus SMU. Komitmennya terhadap Islam tumbuh semakin kuat ketika ia duduk di bangku SMU. Pada periode ini, pengetahuan yang mendalam tentang Islam ia dapatkan dari membaca berbagai buku agama. Pada tahun 1979, Adnan Oktar pindah ke Istanbul untuk menuntut ilmu di Universitas Mimar Sinan.
Perjalanan karir intelektual muslim ini dimulai pada tahun 1979. Ketika ia pertama kali menuntut ilmu di Akademi Seni, Universitas Mimar Sinan. Selama berada di universitas tersebut, ia melakukan kajian filsafat dan ideologi materialistik yang sangat berpengaruh terhadap masyarakat sekitar.
Majalah ilmiah populer terkenal New Scientist edisi 22 April 2000 menjuluki Adnan Oktar sebagai “pahlawan dunia”. Ia juga telah menghasilkan berbagai karya tentang Zionisme dan Freemasonry, serta ratusan buku yang mengulas masalah akhlak dalam Al-Qur’an dan bahasan-bahasan lain yang berhubungan dengan akidah.
Tak hanya ilmu filsafat, Adnan juga gemar menyelami dunia senia. Hingga akhirnya ia masuk ke Akademi Seni Universitas Mimar Sinan, Istanbul.
Meskipun sering menulis sains, ia tidak pernah secara sungguh-sungguh mempelajari sains pada tingkat universitas. Seperti dikutip wikipedia, Oktar telah menulis banyak buku dengan menggunakan nama pena Harun Yahya yang isinya menentang teori evolusi Charles Darwin. Ia juga berpendapat, evolusi secara langsung berkaitan dengan kejahatan-kejahatan materialisme, Naziisme dan komunisme.
Kebanyakan dari sumber-sumber anti evolusinya identik dengan argumen-argumen ciptaanisme Kristen dan komunitas ilmiah yang telah melakukan kritik-kritik yang identik.
Ia juga menerbitkan berbagai tulisan tentang Zionisme dan Freemasonry dan menuduh kaum Zionis melakukan rasisme dan menegaskan bahwa Zionisme dan Freemasonry telah menimbulkan banyak pengaruh negatif terhadap sejarah dan politik dunia.
Akhirnya, ia telah menulis lebih dari 100 buku yang mengungkapkan moral Al Qur’an dan masalah-masalah yang berkaitan dengan iman. Ratusan buku konon ditulis oleh Oktar. Karena itu sebagian orang mengklaim bahwa orang lain mestilah telah ikut menyumbangkan, atau menulis, banyak dari buku-buku itu. Tuduhan ini dengan keras disangkal di situsnya dan ia mengklaim bahwa dia adalah satu-satunya penulis dari semua buku itu.
Banyak dari karya Oktar telah atau sedang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Italia, Rusia, Spanyol, Arab, Portugis, Albania, Serbo-Kroasia, Bosnia, Polandia, Urdu, Indonesia, Kazakh, Azeri, Melayu, Bengali dan Malayalam. Dan sebagian dari karyanya tersedia gratis disitus resmi Harun Yahya. Buku-bukunya dipublikasikan secara luas ke seluruh dunia.
Buku-buku Oktar yang berkaitan dengan iman berusaha untuk mengkomunikasikan keberadaan dan keesaan (Tauhid) Allah menurut iman Islam, dan ditulis dengan maksud utama memperkenalkan Islam kepada mereka yang tidak mengenal agama ini. Setiap bukunya yang berkaitan dengan sains menekankan pandangan-pandangannya tentang keperkasaan, kedalaman, dan keagungan Allah secara terinci.
Buku-buku ini berusaha memperlihatkan bagi kaum non Muslim apa yang diklaim Oktar sebagai tanda-tanda keberadaan Allah, dan kesempurnaan ciptaan-Nya. Sebuah sub kelompok di dalam seri ini adalah seri “Buku-buku yang Menghancurkan Kebohongan Evolusi”. Tujuan utama buku-buku ini adalah menyerang gagasan-gagasan Materialisme, Evolusi, Darwinisme, dan atheisme.
Sejak sebelum Adnan Oktar memulai kuliah di Universitas Mimar Sinan, Istanbul, institusi pendidikan tersebut telah berada di bawah pengaruh berbagai organisasi ilegal berhaluan Marxisme, sehingga pemikiran kekirian tampak jelas mendominasi kampus. Setiap orang, apakah ia staf di sebuah fakultas ataupun mahasiswa, adalah sosok materialis yang berpola pikir atheis.
Para staf pengajar mengambil setiap kesempatan yang ada untuk menyebarkan filsafat materialistik dan Darwinisme dalam kuliah-kuliah yang mereka berikan kendatipun dua hal ini tidak ada hubungannya dengan topik kuliah mereka. Dalam lingkungan di mana ajaran agama dan akhlak tidak dipedulikan dan sama sekali ditolak, Adnan Oktar justru menyerukan orang-orang di sekitarnya akan keesaan dan keberadaan Allah SWT.
Sebagaimana mungkin telah dimaklumi, dalam kondisi demikian, Islam tidak diberi kesempatan untuk tumbuh berkembang. Ibunya, Mediha Oktar menuturkan bahwa pada masa itu Adnan hanya tidur beberapa jam saja di malam hari, sebagian besar sisa waktu ia gunakan untuk membaca, membuat catatan dan menyimpan kumpulan catatan tersebut.
Dalam semua buku karyanya, semua topik yang disampaikan sangat sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. Bahkan topik-topik yang disampaikan melalui bahasa ilmiah, yang kadang dianggap rumit dan membingungkan, diuraikan dengan sangat lugas dan jelas dalam buku-buku Harun Yahya. Tidaklah mengherankan jika buku-buku tersebut menarik semua orang dari segala umur dan lapisan masyarakat.
Buku-buku yang berhubungan dengan keimanan mendakwahkan tentang keberadaan dan keesaan Allah SWT dan ditulis dengan tujuan utama menyampaikan Islam kepada mereka yang jauh dari agama dan membuka hati mereka agar menerima kebenaran.
Bagi pembaca Muslim, buku-buku tersebut berisikan nasehat dan peringatan. Dia juga telah menerbitkan karya-karyanya tentang hal-hal pokok yang disebutkan dalam Al-Qur’an agar kaum Muslim dapat meningkatkan ketakwaan dan kemampuan berpikir mereka secara mendalam. (sul/rko)
Sumber: WartaOne.com
Potret Kehidupan Syaikh Al Albani
Jakarta - Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin al-Haj Nuh Al-Albani, atau yang biasa disapa Syaikh Al Albani lahir pada tahun 1333 H/1914 M di Ashqodar, Albania. Ahli hadits ini lahir dari keluarga miskin yang gemar mendalami ilmu tafsir dan hadist.
Ketika Raja Ahmet Zogu mencapai puncak kekuasaan di Albania dan berhasil mereformasi sistem pemerintahan menjadi sekuler. Ayah Albani, Syeikh Nuh, khawatir kehidupan keluarganya akan terancam. Pada akhirnya memaksanya untuk berhijrah ke Syam (sekarang Suriah, Yordania dan Libanon). Ia dan keluarganya pun pindah ke Damaskus.
Setibanya di Damaskus, Syaikh Al Albani yang masih terbilang kecil mulai mendalami ilmu bahasa Arab. Pendidikan awal Al Albani di sekolah dasar Jam’iyyah Al Is’af Al Khairiyah. Selanjutnya, ia menimba ilmu secara privat dari para Syeikh di Damaskus. Ia juga belajar menghafal Al Qur’an dari ayahnya hingga khatam. Setelah itu, ia menjadi pengagum karya-karya fiqih mazhab Imam Hanafi.
Selain itu, Syaikh Al Albani juga mempelajari ketrampilan memperbaiki jam dari sang ayah. Pengalaman memperbaiki jam ini menjadi sumber utama mata pencariannya untuk membeli kitab-kitab karya besar Imam Hanafi.
Pada umur dua puluh tahun, Syaikh Al Albani mulai fokus mendalami ilmu hadits karena terkesan dengan kajian di majalah Al Manar yang diterbitkan Syeikh Muhammad Rasyid Ridha. Secara tekun ia menyalin kitab berjudul Al Mughni an Hamli Al Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar, sebuah kitab karya Al Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya Ulumuddin karangan Imam Al-Ghazali.
Usaha Syeikh Al-Albani dalam bidang hadits ini ditentang oleh ayahnya. “Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit,” kata ayahnya seperti dikenang Imam Al Albani.
Namun, Syeikh Al Albani justru semakin menekuni dunia hadits. Pada perkembangan berikutnya, Syeikh Al Albani tidak
memiliki cukup uang untuk membeli kitab. Karenanya, ia memanfaatkan Perpustakaan Azh-Zhahiriyah di Damaskus. Saking sibuknya mendalami ilmu hadits hingga ia pun menutup kios reparasi jam. Ia tak pernah beristirahat menelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba.
Sikap gigih Syaikh Al Albani untuk menjadi ahli hadist membuat kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan. Bahkan, ia diberi kewenangan untuk membawa kunci perpustakaan sendiri. Sehingga ia menjadi leluasa datang sebelum pengunjung lain tiba. Rutinas ini dijalaninya bertahun-tahun.
kegigihannya menyebarkan sunnah Rasulu untuk memurnikan ajaran agama Islam dan memerangi bid’ah, membuat orang-orang tidak menyukainya. Kemudian mereka menyebarkan fitnah. Hingga akhirnya Syaikh Al Albani dijebloskan ke dalam penjara selama dua kali.
Setelah lulus dari salah satu universitas terkemuka di Arab Saudi. Syaikh Al Albani kemudian mengajar di Jami’ah Islamiyah (Universitas Islam Madinah) selama tiga tahun, dari tahun 1381-1383 H, dengan spesifikasi pada ilmu hadits. Setelah itu, ia pindah ke Yordania.
Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta Syeikh Al Albani menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah perguruan tinggi di Yordania. Tapi, situasi politik ketika itu tak memungkinkan memenuhi permintaan itu. Pada tahun 1395 H hingga 1398 H, ia kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam’iyah Islamiyah di sana. Ia mendapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Arab Saudi berupa King Faisal Foundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H (1999 M).
Beberapa karya Syeikh Al Albani di bidang ilmu hadist yang berjumlah 218 judul telah dicetak. Berikut ini beberapa master piece karya Syeikh Al Albani yang ditulis selama kurang lebih 60 tahun yang meliputi tulisan ilmiah, tahqiq, dan takhrij:
1. Adabuz Zifaaf fis Sunnah Muthaharrah – karangan
2. Ahkaamul Janaaiz – karangan
3. Irwaaul Ghalil fi Takhrij Ahaadits Manaaris Sabiil – karangan 8 jilid
4. Tamaamul Minnah fi Ta’liq ‘Alaa Fiqh Sunnah.
5. Silsilah Ahaadits Ash-Shahihah wa syai-un min fiqiha wa fawaa-iduha
6. Silsilah Ahaadits Adh-Dhaifah wal Maudhuu’ah wa Atsaaruha As-Sayyi’ fil Ummah
7. Shifat shalat Nabi shallahu’alaihi wasallam minat Takbiir ilat Taslim kaannaka taraaha
8. Shahih At-Targhib wat Tarhiib
9. Dha’if At-Targhib wat Tarhiib
10. Fitnatut Takfiir
11. Jilbaab Al-Mar’atul muslimah
12. Qishshshah Al-Masiih Ad-Dajjal wa Nuzuul Isa ‘alaihis sallam wa qatluhu iyyahu fi akhiriz Zaman
Saat ini, beberapa karya tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Selain itu, beliau juga memiliki kaset hasil rekaman ceramah beliau, bantahan terhadap berbagai syubhat dan jawaban terhadap berbagai masalah yang bermanfaat.
Syaikh Al Albani wafat di Yordani ketika adzan Ashar berkumandang di hari Sabtu, tanggal 22 Jumadil Akhir 1420 H. Jasad Syaikh Al Abani pun dikebumikan di kota Ashabul Kahfi itu. (sul/lik)
Sumber: WartOne.com
Ketika Raja Ahmet Zogu mencapai puncak kekuasaan di Albania dan berhasil mereformasi sistem pemerintahan menjadi sekuler. Ayah Albani, Syeikh Nuh, khawatir kehidupan keluarganya akan terancam. Pada akhirnya memaksanya untuk berhijrah ke Syam (sekarang Suriah, Yordania dan Libanon). Ia dan keluarganya pun pindah ke Damaskus.
Setibanya di Damaskus, Syaikh Al Albani yang masih terbilang kecil mulai mendalami ilmu bahasa Arab. Pendidikan awal Al Albani di sekolah dasar Jam’iyyah Al Is’af Al Khairiyah. Selanjutnya, ia menimba ilmu secara privat dari para Syeikh di Damaskus. Ia juga belajar menghafal Al Qur’an dari ayahnya hingga khatam. Setelah itu, ia menjadi pengagum karya-karya fiqih mazhab Imam Hanafi.
Selain itu, Syaikh Al Albani juga mempelajari ketrampilan memperbaiki jam dari sang ayah. Pengalaman memperbaiki jam ini menjadi sumber utama mata pencariannya untuk membeli kitab-kitab karya besar Imam Hanafi.
Pada umur dua puluh tahun, Syaikh Al Albani mulai fokus mendalami ilmu hadits karena terkesan dengan kajian di majalah Al Manar yang diterbitkan Syeikh Muhammad Rasyid Ridha. Secara tekun ia menyalin kitab berjudul Al Mughni an Hamli Al Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar, sebuah kitab karya Al Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya Ulumuddin karangan Imam Al-Ghazali.
Usaha Syeikh Al-Albani dalam bidang hadits ini ditentang oleh ayahnya. “Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit,” kata ayahnya seperti dikenang Imam Al Albani.
Namun, Syeikh Al Albani justru semakin menekuni dunia hadits. Pada perkembangan berikutnya, Syeikh Al Albani tidak
memiliki cukup uang untuk membeli kitab. Karenanya, ia memanfaatkan Perpustakaan Azh-Zhahiriyah di Damaskus. Saking sibuknya mendalami ilmu hadits hingga ia pun menutup kios reparasi jam. Ia tak pernah beristirahat menelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba.
Sikap gigih Syaikh Al Albani untuk menjadi ahli hadist membuat kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan. Bahkan, ia diberi kewenangan untuk membawa kunci perpustakaan sendiri. Sehingga ia menjadi leluasa datang sebelum pengunjung lain tiba. Rutinas ini dijalaninya bertahun-tahun.
kegigihannya menyebarkan sunnah Rasulu untuk memurnikan ajaran agama Islam dan memerangi bid’ah, membuat orang-orang tidak menyukainya. Kemudian mereka menyebarkan fitnah. Hingga akhirnya Syaikh Al Albani dijebloskan ke dalam penjara selama dua kali.
Setelah lulus dari salah satu universitas terkemuka di Arab Saudi. Syaikh Al Albani kemudian mengajar di Jami’ah Islamiyah (Universitas Islam Madinah) selama tiga tahun, dari tahun 1381-1383 H, dengan spesifikasi pada ilmu hadits. Setelah itu, ia pindah ke Yordania.
Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta Syeikh Al Albani menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah perguruan tinggi di Yordania. Tapi, situasi politik ketika itu tak memungkinkan memenuhi permintaan itu. Pada tahun 1395 H hingga 1398 H, ia kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam’iyah Islamiyah di sana. Ia mendapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Arab Saudi berupa King Faisal Foundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H (1999 M).
Beberapa karya Syeikh Al Albani di bidang ilmu hadist yang berjumlah 218 judul telah dicetak. Berikut ini beberapa master piece karya Syeikh Al Albani yang ditulis selama kurang lebih 60 tahun yang meliputi tulisan ilmiah, tahqiq, dan takhrij:
1. Adabuz Zifaaf fis Sunnah Muthaharrah – karangan
2. Ahkaamul Janaaiz – karangan
3. Irwaaul Ghalil fi Takhrij Ahaadits Manaaris Sabiil – karangan 8 jilid
4. Tamaamul Minnah fi Ta’liq ‘Alaa Fiqh Sunnah.
5. Silsilah Ahaadits Ash-Shahihah wa syai-un min fiqiha wa fawaa-iduha
6. Silsilah Ahaadits Adh-Dhaifah wal Maudhuu’ah wa Atsaaruha As-Sayyi’ fil Ummah
7. Shifat shalat Nabi shallahu’alaihi wasallam minat Takbiir ilat Taslim kaannaka taraaha
8. Shahih At-Targhib wat Tarhiib
9. Dha’if At-Targhib wat Tarhiib
10. Fitnatut Takfiir
11. Jilbaab Al-Mar’atul muslimah
12. Qishshshah Al-Masiih Ad-Dajjal wa Nuzuul Isa ‘alaihis sallam wa qatluhu iyyahu fi akhiriz Zaman
Saat ini, beberapa karya tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Selain itu, beliau juga memiliki kaset hasil rekaman ceramah beliau, bantahan terhadap berbagai syubhat dan jawaban terhadap berbagai masalah yang bermanfaat.
Syaikh Al Albani wafat di Yordani ketika adzan Ashar berkumandang di hari Sabtu, tanggal 22 Jumadil Akhir 1420 H. Jasad Syaikh Al Abani pun dikebumikan di kota Ashabul Kahfi itu. (sul/lik)
Sumber: WartOne.com
Jejak Kaki Ibnu Sina
Jakarta - Ketika peradaban Islam mengalami kemajuan pesat di abad pertengahan. Nama Ibnu Sina disebut-sebut sebagai tokoh yang memiliki peran besar, terutama dalam bidang kedokteran. Terlepas dari kontroversi yang mengiringi kematiannya, siapakah Ibnu Sina itu?
Pakar kedokteran muslim ini lahir pada tahun 370 H/980 M di Afshana, sebuah kota kecil di wilayah Uzbekistan. Ayahnya, seorang sarjana terhormat Ismaili, yang berasal dari Balkh Khorasan. Ketika Ibnu Sina lahir, ayahnya menjabat sebagai gubernur di pemukiman Nuh Ibnu Manshur, sekarang wilayah Afghanistan (dan juga Persia).
Sang ayah, ingin putranya menggali ilmu pengetahuan di Bukhara. Dengan kegigihan menerpa ilmu akhirnya, pribadi yang dikenal dengan Avicenna di dunia barat ini, menjadi seorang filosof, ilmuwan, dokter, dan seorang penulis yang produktif.
Hampir sebagian besar karyanya membahas tentang filsafat dan pengobatan. Karyanya yang monumental ialah Qanun fi Thib. Bahkan karya master piece ini menjadi rujukan di bidang kedokteran sampai dengan saat ini. Intelektual Barat George Sarton menyebut Ibnu Sina sebagai ilmuwan terkenal dari ranah Islam lewat karyanya The Book of Healing dan The Canon of Medicine yang juga dikenal sebagai Qanun.
Sejak kecil memang Ibnu Sina telah menampakkan kecerdasannya. Dalam usia belia ia telah hafal membaca Al-Quran di usia 5 tahun. Ia juga menjadi penyair Persia yang paling digemari. Dan seorang yang tak pernah malu untuk belajar aritmatika dari seorang pedagang sayur.
Hal yang menjadi kebiasaan Ibnu Sina jika gagal memahami pelajaran. Ia selalu pergi ke sebuah surau untuk berwudhu dan shalat hingga turun sebuah hidayah di alam pikirannya. Bekerja di meja belajar hingga larut malam merupakan rutinitas yang sulit dirubah sebelum sebuah rumus kedokteran bisa dipecahkan. Karena memang Ibnu Sina mulai mempelajari ilmu kedokteran sejak umur 16 tahun.
Tidak sebatas ilmu kedokteran, lebih dari itu Ibnu Sina juga mempelajari ilmu merawat pasien. Ia pun melakukannya secara sukarela tanpa meminta upah. Keyakinan yang diberikan masyarakat kepada Ibnu Sina itu, akhinya ia dipercaya menjadi tabib raja di istana.
Kehebatannya berhasil mengobati raja dari penyakit berbahaya dan mematikan. Peritiwa inilah yang kemudian mengantarkannya masuk ke perpustakaan raja Samanids. Namun sayangnya, ketika perpustakaan terbakar, Ibnu Sina dituduh sebagai pemicu munculnya api.
Beberapa karya monumental Ibnu Sina, antara lain Qanun fi Thibb (Canon of Medicine), Asy-Syifa (terdiri dari 18 jilid berisi tentang berbagai macam ilmu pengetahuan) dan An-Najat. Setelah itu, ikon pemikir besar Iran ini akhirnya wafat pada tahun 428 H di usianya ke 58. (sul/lik)
Sumber: WartaOne.com
Pakar kedokteran muslim ini lahir pada tahun 370 H/980 M di Afshana, sebuah kota kecil di wilayah Uzbekistan. Ayahnya, seorang sarjana terhormat Ismaili, yang berasal dari Balkh Khorasan. Ketika Ibnu Sina lahir, ayahnya menjabat sebagai gubernur di pemukiman Nuh Ibnu Manshur, sekarang wilayah Afghanistan (dan juga Persia).
Sang ayah, ingin putranya menggali ilmu pengetahuan di Bukhara. Dengan kegigihan menerpa ilmu akhirnya, pribadi yang dikenal dengan Avicenna di dunia barat ini, menjadi seorang filosof, ilmuwan, dokter, dan seorang penulis yang produktif.
Hampir sebagian besar karyanya membahas tentang filsafat dan pengobatan. Karyanya yang monumental ialah Qanun fi Thib. Bahkan karya master piece ini menjadi rujukan di bidang kedokteran sampai dengan saat ini. Intelektual Barat George Sarton menyebut Ibnu Sina sebagai ilmuwan terkenal dari ranah Islam lewat karyanya The Book of Healing dan The Canon of Medicine yang juga dikenal sebagai Qanun.
Sejak kecil memang Ibnu Sina telah menampakkan kecerdasannya. Dalam usia belia ia telah hafal membaca Al-Quran di usia 5 tahun. Ia juga menjadi penyair Persia yang paling digemari. Dan seorang yang tak pernah malu untuk belajar aritmatika dari seorang pedagang sayur.
Hal yang menjadi kebiasaan Ibnu Sina jika gagal memahami pelajaran. Ia selalu pergi ke sebuah surau untuk berwudhu dan shalat hingga turun sebuah hidayah di alam pikirannya. Bekerja di meja belajar hingga larut malam merupakan rutinitas yang sulit dirubah sebelum sebuah rumus kedokteran bisa dipecahkan. Karena memang Ibnu Sina mulai mempelajari ilmu kedokteran sejak umur 16 tahun.
Tidak sebatas ilmu kedokteran, lebih dari itu Ibnu Sina juga mempelajari ilmu merawat pasien. Ia pun melakukannya secara sukarela tanpa meminta upah. Keyakinan yang diberikan masyarakat kepada Ibnu Sina itu, akhinya ia dipercaya menjadi tabib raja di istana.
Kehebatannya berhasil mengobati raja dari penyakit berbahaya dan mematikan. Peritiwa inilah yang kemudian mengantarkannya masuk ke perpustakaan raja Samanids. Namun sayangnya, ketika perpustakaan terbakar, Ibnu Sina dituduh sebagai pemicu munculnya api.
Beberapa karya monumental Ibnu Sina, antara lain Qanun fi Thibb (Canon of Medicine), Asy-Syifa (terdiri dari 18 jilid berisi tentang berbagai macam ilmu pengetahuan) dan An-Najat. Setelah itu, ikon pemikir besar Iran ini akhirnya wafat pada tahun 428 H di usianya ke 58. (sul/lik)
Sumber: WartaOne.com
Bolehkah Mukena Jadi Maskawin?
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, ada temen ana ingin menikah, kemudian dia mendapatkan informasi dari salah satu website Islami bahwa mahar itu lebih baik emas jangan seperangkat alat shalat. Dia bertanya kepada ana bagaimana dengan keterangan itu? Ana belum menjawab pertanyaannya. Ustadz ana mohon bantuan, bagaimana ana menjawabnya menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah. Syukran ya Ustadz, jazakumullah khairan katsiran.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jnd -……
Jawaban:
Walaikumussalam Wr. Wb.
Akhi, pertanyaan yang Anda lontarkan sangat menarik, karena permasalahan mahar ini sering kita lihat dan saksikan dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika ada saudara atau tetangga kita yang menikah. Mahar merupakan sesuatu yang wajib dibayarkan oleh seorang lelaki kepada wanita yang dinikahinya, sesuai dengan firman Allah swt.: “Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (setubuhi) di antara mereka, berikanlah maharnya kepada mereka (dengan sempurna).” (Q.S. al-Nisa’ : 24)
Pertanyaannya, berapa kadar mahar atau jenis mahar seperti apa yang boleh dibayarkan seorang lelaki kepada wanita yang dinikahinya itu?
Sebelumnya, saya ingin mengatakan bahwa, mungkin statemen yang termaktub dalam website Islami yang Anda sebutkan, tidak mengandung maksud bahwa mahar berupa seperangkat alat shalat tidak dibolehkan. Tetapi mungkin maksudnya, kalau bisa jangan hanya seperangkat alat shalat, tetapi emas saja. Sebab, nilainya lebih tinggi dan sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sang isteri, terutama pada saat kondisi sulit. Jadi, saya husnuzh zhon, bahwa wesbite tersebut tidak ingin mengatakan bahwa dilihat dari segi hukum, seperangkat alat shalat tidak boleh dijadikan mahar dalam pernikahan.
Hal ini bukan tanpa alasan, karena dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Umar bin Khathab menjabat sebagai khalifah, beliau membatasi mas kawin tidak boleh lebih dari 400 dirham. Tetapi ternyata tindakan ini ditentang oleh seorang wanita dengan menyebutkan firman Allah swt. : “Dan jika kamu ingin menggantikan isterimu dengan isteri yang lain (karena perceraian), sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak (qinthaar), maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikitpun“. (Q.S. al-Nisa’: 20) Kalimat “qinthaar” dalam ayat ini bermakna “harta dalam jumlah yang banyak, tanpa batas”. Seketika itu pula, Umar mengakui kekhilafannya atau kesalahannya seraya berkata: “Wanita itu benar, Umarlah yang salah”.
Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada batasan maksimal untuk kadar mahar. Bila seseorang mampu, maka dia boleh memberikan mahar yang lebih daripada yang lain, tentunya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, tanpa ada unsur keterpaksaan.
Meskipun demikian, ini bukan berarti Islam melarang mahar yang tidak mahal alias ala kadarnya. Bahkan, Islam sendiri telah menganjurkan kaumnya untuk mempermudah permasalahan mahar ini. Jangan sampai gara-gara tidak ada mahar yang diinginkan, sepasang insan yang akan menikah tidak jadi melangsungkan pernikahan. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda: “Wanita yang paling banyak (diberikan) keberkahan adalah wanita yang paling sedikit maharnya.”
Oleh karena itu, dalam masalah mahar ini, saya lebih sependapat dengan Imam Syafi’i dan Hanbali yang mengatakan bahwa tidak ada batas minimal. Asalkan sesuatu yang dijadikan mahar adalah sesuatu yang bernilai atau bermanfaat (termasuk seperangkat alat shalat). Dalilnya, sabda Rasulullah saw.: “Berikanlah olehmu (mas kawin) meski hanya dengan sebuah cincin yang terbuat dari besi.”
Ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang memberikan kemudahan kepada umatnya yang ingin menjalankan ajaran-ajarannya, salah satunya adalah pernikahan. Islam tidak menginginkan hanya gara-gara faktor materi, seseorang tidak jadi menjalankan ajaran Islam, hingga akhirnya dia pun terjerumus ke dalam perbuatan maksiat.
Di akhir jawaban ini, saya ingin menyebutkan sebuah hadits Rasulullah saw. yang berkaitan dengan masalah mempermudah mahar ini, mudah-mudahan dapat dijadikan bahan renungan. Sahal bin Sa’ad meriwayatkan: suatu hari seorang wanita mendatangi Rasulullah saw. dan mengatakan: “Wahai Rasulullah, aku persembahkan diriku untukmu.” Lalu setelah wanita itu berdiri cukup lama, salah seorang sahabat Nabi saw. berkata: “Wahai Rasulullah, jika engkau tidak tertarik dengan wanita itu maka aku bersedia untuk menikah dengannya.”
Kemudian Rasulullah saw. bertanya kepada sahabat tersebut: “Apakah engkau memiliki sesuatu (yang dapat dijadikan) maskawin?” Sahabat tersebut menjawab: “Aku tidak memiliki apa-apa kecuali sarungku ini.” Kemudian Rasulullah berkata: “(Jangan gunakan) sarungmu (untuk maskawin)! (karena) jika engkau berikan kepadanya, maka engkau tidak dapat menghadiri majlis ini lagi tanpa sarungmu, carilah benda yang lainnya” sahabat itu segera menjawab: “Aku tidak memiliki apa-apa lagi.” Lalu Rasulullah saw. bersabda: “Carilah benda lain, walaupun itu cincin (yang terbuat) dari besi.”
Sahabat tersebut pun segera mencari segala sesuatu yang dapat ia jadikan maskawin, namun sayangnya ia tetap tidak menemukan apa-apa. Maka, Rasulullah saw. bertanya: “Apakah engkau memiliki (hafalan) beberapa ayat al-Quran?” Ia menjawab: “Ya, aku hafal surat ini dan surat ini.. (ia menyebutkan beberapa surat yang dihafalnya.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda: “Aku nikahkan engkau dengan hapalan yang engkau miliki.” (HR. Tirmidzi, bab: pernikahan menurut Rasulullah saw., bagian: wanita yang menawarkan dirinya kepada seorang yang shaleh.)
Wallaahu A’lam…..
Pak Ustadz, ada temen ana ingin menikah, kemudian dia mendapatkan informasi dari salah satu website Islami bahwa mahar itu lebih baik emas jangan seperangkat alat shalat. Dia bertanya kepada ana bagaimana dengan keterangan itu? Ana belum menjawab pertanyaannya. Ustadz ana mohon bantuan, bagaimana ana menjawabnya menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah. Syukran ya Ustadz, jazakumullah khairan katsiran.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jnd -……
Jawaban:
Walaikumussalam Wr. Wb.
Akhi, pertanyaan yang Anda lontarkan sangat menarik, karena permasalahan mahar ini sering kita lihat dan saksikan dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika ada saudara atau tetangga kita yang menikah. Mahar merupakan sesuatu yang wajib dibayarkan oleh seorang lelaki kepada wanita yang dinikahinya, sesuai dengan firman Allah swt.: “Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (setubuhi) di antara mereka, berikanlah maharnya kepada mereka (dengan sempurna).” (Q.S. al-Nisa’ : 24)
Pertanyaannya, berapa kadar mahar atau jenis mahar seperti apa yang boleh dibayarkan seorang lelaki kepada wanita yang dinikahinya itu?
Sebelumnya, saya ingin mengatakan bahwa, mungkin statemen yang termaktub dalam website Islami yang Anda sebutkan, tidak mengandung maksud bahwa mahar berupa seperangkat alat shalat tidak dibolehkan. Tetapi mungkin maksudnya, kalau bisa jangan hanya seperangkat alat shalat, tetapi emas saja. Sebab, nilainya lebih tinggi dan sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sang isteri, terutama pada saat kondisi sulit. Jadi, saya husnuzh zhon, bahwa wesbite tersebut tidak ingin mengatakan bahwa dilihat dari segi hukum, seperangkat alat shalat tidak boleh dijadikan mahar dalam pernikahan.
Hal ini bukan tanpa alasan, karena dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Umar bin Khathab menjabat sebagai khalifah, beliau membatasi mas kawin tidak boleh lebih dari 400 dirham. Tetapi ternyata tindakan ini ditentang oleh seorang wanita dengan menyebutkan firman Allah swt. : “Dan jika kamu ingin menggantikan isterimu dengan isteri yang lain (karena perceraian), sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak (qinthaar), maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikitpun“. (Q.S. al-Nisa’: 20) Kalimat “qinthaar” dalam ayat ini bermakna “harta dalam jumlah yang banyak, tanpa batas”. Seketika itu pula, Umar mengakui kekhilafannya atau kesalahannya seraya berkata: “Wanita itu benar, Umarlah yang salah”.
Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada batasan maksimal untuk kadar mahar. Bila seseorang mampu, maka dia boleh memberikan mahar yang lebih daripada yang lain, tentunya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, tanpa ada unsur keterpaksaan.
Meskipun demikian, ini bukan berarti Islam melarang mahar yang tidak mahal alias ala kadarnya. Bahkan, Islam sendiri telah menganjurkan kaumnya untuk mempermudah permasalahan mahar ini. Jangan sampai gara-gara tidak ada mahar yang diinginkan, sepasang insan yang akan menikah tidak jadi melangsungkan pernikahan. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda: “Wanita yang paling banyak (diberikan) keberkahan adalah wanita yang paling sedikit maharnya.”
Oleh karena itu, dalam masalah mahar ini, saya lebih sependapat dengan Imam Syafi’i dan Hanbali yang mengatakan bahwa tidak ada batas minimal. Asalkan sesuatu yang dijadikan mahar adalah sesuatu yang bernilai atau bermanfaat (termasuk seperangkat alat shalat). Dalilnya, sabda Rasulullah saw.: “Berikanlah olehmu (mas kawin) meski hanya dengan sebuah cincin yang terbuat dari besi.”
Ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang memberikan kemudahan kepada umatnya yang ingin menjalankan ajaran-ajarannya, salah satunya adalah pernikahan. Islam tidak menginginkan hanya gara-gara faktor materi, seseorang tidak jadi menjalankan ajaran Islam, hingga akhirnya dia pun terjerumus ke dalam perbuatan maksiat.
Di akhir jawaban ini, saya ingin menyebutkan sebuah hadits Rasulullah saw. yang berkaitan dengan masalah mempermudah mahar ini, mudah-mudahan dapat dijadikan bahan renungan. Sahal bin Sa’ad meriwayatkan: suatu hari seorang wanita mendatangi Rasulullah saw. dan mengatakan: “Wahai Rasulullah, aku persembahkan diriku untukmu.” Lalu setelah wanita itu berdiri cukup lama, salah seorang sahabat Nabi saw. berkata: “Wahai Rasulullah, jika engkau tidak tertarik dengan wanita itu maka aku bersedia untuk menikah dengannya.”
Kemudian Rasulullah saw. bertanya kepada sahabat tersebut: “Apakah engkau memiliki sesuatu (yang dapat dijadikan) maskawin?” Sahabat tersebut menjawab: “Aku tidak memiliki apa-apa kecuali sarungku ini.” Kemudian Rasulullah berkata: “(Jangan gunakan) sarungmu (untuk maskawin)! (karena) jika engkau berikan kepadanya, maka engkau tidak dapat menghadiri majlis ini lagi tanpa sarungmu, carilah benda yang lainnya” sahabat itu segera menjawab: “Aku tidak memiliki apa-apa lagi.” Lalu Rasulullah saw. bersabda: “Carilah benda lain, walaupun itu cincin (yang terbuat) dari besi.”
Sahabat tersebut pun segera mencari segala sesuatu yang dapat ia jadikan maskawin, namun sayangnya ia tetap tidak menemukan apa-apa. Maka, Rasulullah saw. bertanya: “Apakah engkau memiliki (hafalan) beberapa ayat al-Quran?” Ia menjawab: “Ya, aku hafal surat ini dan surat ini.. (ia menyebutkan beberapa surat yang dihafalnya.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda: “Aku nikahkan engkau dengan hapalan yang engkau miliki.” (HR. Tirmidzi, bab: pernikahan menurut Rasulullah saw., bagian: wanita yang menawarkan dirinya kepada seorang yang shaleh.)
Wallaahu A’lam…..
Minggu, 26 Juli 2009
Tadriibaat (Latihan) 2
Pada pertemuan kali ini, kita akan mengadakan latihan kedua untuk lavel pertama. Latihan ini terdiri dari tiga bagian, yaitu pilihan (multiple choise), percakapan (conversation) dan terjemah (translation). Khusus untuk conversation, bila Anda memiliki lawan bicara, maka sebaiknya salah satunya membaca pertanyaan yang ada, sementara yang lain menjawabnya. Bila Anda menemukan kesulitan dalam mengerjakan latihan ini, Anda dapat menghubungi saya melalui email: fatkhurozi@gmail.com. Bila Anda ingin mengetik Arab, klik: http://www.arabic-keyboard.org
Untuk mendownload file tadriibaat 2 ini, klik judul tulisan!
Untuk mendownload file tadriibaat 2 ini, klik judul tulisan!
Kenapa Kita Islam?
Belum lama ini, ada seseorang yang mengajukan pertanyaan tersebut kepada saya. Bagi saya pribadi, pertanyaan seperti itu bisa dijawab dengan dua cara, yaitu dengan jawaban singkat atau jawaban panjang.
Dengan cara pertama, saya cukup mengatakan: “Saya memeluk Islam karena menurut saya Islamlah agama yang paling benar.” Just it!! Tetapi apakah jawaban seperti itu bisa diterima semua orang? Tentu tidak, apalagi bagi orang yang lebih mengedepankan logika daripada keyakinan. Bila dijawab dengan jawaban panjang, bagi saya jawaban untuk pertanyaan seperti itu mungkin tidak bisa seluruhnya dimuat oleh website ini yang kapasitasnya sangat terbatas. Tentunya ini bukan omong kosong belaka. Sebab, meskipun pertanyaan tersebut sangat singkat dan hanya terdiri dari tiga kata, tetapi ia merupakan pertanyaan yang sangat mendasar dan terkait dengan sejumlah hal, terutama bagi orang yang memeluk Islam bukan hanya karena faktor keturunan, melainkan karena adanya faktor spiritual yang melatarbelakanginya. Saya yakin, setiap orang akan memberikan jawaban yang intinya sama tetapi dengan ulasan yang berbeda-beda.
Di kalangan umat Islam, memang tidak sedikit orang yang memeluk Islam hanya karena faktor keturunan saja. Artinya, dia beragama Islam karena kedua orangtuanya atau salah satunya beragama Islam, sehingga dia ikut menjadi pemeluk salah satu agama samawi tersebut. Ketika ditanya mengapa memeluk Islam, mungkin mereka hanya menjawab: “Memang sudah dari sono-nya begitu.”
Tetapi tidak sedikit pula orang yang memeluk agama Islam karena faktor pengalaman spiritual tertentu atau karena faktor pemahamannya terhadap Islam. Biasanya mereka memiliki komitmen keagamaan yang lebih tinggi dibanding kelompok pertama. Karena faktor keterbatasan, di sini saya hanya akan menjawab pertanyaan tersebut dari satu sisi saja. Mungkin saudara-saudara sekalian yang ingin memberikan kontribusi (komentar) bisa menambahkan dari sisi yang lain.
Terus terang, sebelum mempelajari Islam lebih dalam, saya memang termasuk kelompok pertama yang hanya memeluk Islam karena faktor keturunan saja. Tetapi setelah mendalami ilmu-ilmu Islam, terutama ilmu tafsir Al-Qur`an, saya semakin yakin bahwa hanya Islamlah agama yang benar di muka bumi ini. Belum lagi dengan pengalaman spritual dan pengalaman hidup saya yang tidak akan saya ceritakan di sini.
Mungkin alasan yang akan saya sampaikan hampir sama dengan apa yang baru saja disampaikan oleh seorang wanita Katolik yang telah memeluk Islam, seperti dimuat di situs Republika Online (www.republika.co.id). Kutipannya sebagai berikut:
“Saya mulai membaca Al-Quran dan mencari informasi tentang Islam melalui internet. Saya ingat apa yang saya rasakan saat pertama kali membaca Al-Quran insting saya mengatakan itu bukan buatan tangan manusia; Al-Quran di luar kemampuan manusia. Hal ini bebeda sekali dengan yang saya rasakan saat membaca Al-Kitab, saya merasa hanya kumpulan cerita yang ditulis oleh seorang laki-laki. Belum lagi fakta bahwa Al-Quran hanya ada satu versi yang tidak berubah sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Namun, itu bukanlah satu-satunya yang membuat saya kagum.
Saya merasa nyaman dengan semua yang saya pelajari tentang Islam. Hal inilah yang mendorong saya untuk lebih mendalami Islam. Yang terpenting, saya telah menemukan jawaban atas dua masalah utama agama di masa lalu (hanya mau menyembah satu Tuhan dan aturan jelas). Islam merupakan agama tauhid yang mana umat Islam hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukannya. Umat Islam juga wajib mengikuti Al-Quran dan Sunnah juga yang memberikan aturan dan cara hidup yang lengkap. Akhirnya, saya tahu persis apa yang saya harus lakukan untuk menjadi seorang Kristen yang baik, yakni saya harus menjadi seorang Muslimah.” Untuk memabaca selengkapnya kisah wanita tersebut, klik: http://www.republika.co.id/berita/64102/Dari_AS_ke_Mesir_Wanita_Katolik_Menemukan_Islam
Ya, alasan seperti itu sangat masuk akal. Sebab, bila seseorang benar-benar mendalami dan menghayati Al-Qur`an, maka saya yakin kesimpulan yang sama akan diperolehnya. Yaitu, bahwa Al-Qur`an yang menjadi Kitab Suci bagi umat Islam bukanlah rekayasa tangan manusia, atau buatan Nabi Muhammad. Al-Qur`an tidak mungkin hasil karya manusia, apalagi Nabi Muhammad yang dikenal sebagai orang yang ummi (buta huruf). Banyak faktor yang menyebabkan kita harus mengambil kesimpulan seperti itu. Dalam kajian Ilmu Tafsir atau Ulumul Qur`an, hal-hal tersebut disebut dengan i’jaazul Qur`an (kemukjizatan Al-Qur`an) yang memiliki beberapa segi, baik dari segi keindahan bahasanya, kehebatan maknanya, ataupun dari segi-segi lainnya. Kemukjizatan Al-Qur`an ini akan terus ada dan akan tetap terjaga sampai kapanpun.
Salah satu segi kemukjizatan Al-Qur`an itulah yang menyebabkan Umar masuk Islam. Padahal, sebelumnya Umar dikenal sebagai orang yang sangat anti terhadap Islam. Bahkan, dia pernah berniat membunuh Nabi Muhammad saw.. Baca selengkapnya di link berikut: http://mediasilaturahim.com/?p=548
Dari kesimpulan di atas, maka orang-orang yang meyakini keyakinan seperti itu -termasuk wanita Katolik yang masuk Islam tersebut- akan mengatakan bahwa agama yang memiliki Kitab Suci seperti itu bukanlah sembarang agama, melainkan agama yang benar-benar diturunkan oleh Allah dan diakui sebagai agama yang benar. Menurut logika, tidaklah mungkin bila agama yang memiliki kitab yang lain daripada kitab-kitab yang dimiliki agama-agama lain, bukan merupakan agama yang benar di mata Allah swt., Dzat yang telah menciptakan manusia dan telah menurunkan agama-agama Samawi (agama-agama langit) sebelum Islam. Mudah-mudahan penjelasan di atas dapat bermanfaat….Bila ada yang ingin memberikan komentar, tanggapan ataupun pemikiran, saya persilahkan. Tetapi dengan catatan, tetap menjaga nilai-nilai kesopanan yang dapat menunjang ukhuwah (persaudaraan) di antara umat Islam. Wallaahu A’lam….
- Untuk download kisah wanita Katolik yang masuk Islam, klik link berikut:
http://www.ziddu.com/download/5758904/DariASkeMesirWanitaKatolikMenemukanIslam.txt.html
- Untuk download artikel berjudul “Urgensi Al-Qur`an Bagi Kehidupan Manusia”, klik link berikut:
http://www.ziddu.com/download/5758924/UrgensiAl-QuranBagiKehidupanManusia.txt.html
- Untuk download artikel berjudul “Keindahan Al-Qur`an Luluhkan Hati Umar”, klik link berikut:
http://www.ziddu.com/download/5758932/KeindahanAl-QuranMeluluhkanHatiUmar.txt.html
Dengan cara pertama, saya cukup mengatakan: “Saya memeluk Islam karena menurut saya Islamlah agama yang paling benar.” Just it!! Tetapi apakah jawaban seperti itu bisa diterima semua orang? Tentu tidak, apalagi bagi orang yang lebih mengedepankan logika daripada keyakinan. Bila dijawab dengan jawaban panjang, bagi saya jawaban untuk pertanyaan seperti itu mungkin tidak bisa seluruhnya dimuat oleh website ini yang kapasitasnya sangat terbatas. Tentunya ini bukan omong kosong belaka. Sebab, meskipun pertanyaan tersebut sangat singkat dan hanya terdiri dari tiga kata, tetapi ia merupakan pertanyaan yang sangat mendasar dan terkait dengan sejumlah hal, terutama bagi orang yang memeluk Islam bukan hanya karena faktor keturunan, melainkan karena adanya faktor spiritual yang melatarbelakanginya. Saya yakin, setiap orang akan memberikan jawaban yang intinya sama tetapi dengan ulasan yang berbeda-beda.
Di kalangan umat Islam, memang tidak sedikit orang yang memeluk Islam hanya karena faktor keturunan saja. Artinya, dia beragama Islam karena kedua orangtuanya atau salah satunya beragama Islam, sehingga dia ikut menjadi pemeluk salah satu agama samawi tersebut. Ketika ditanya mengapa memeluk Islam, mungkin mereka hanya menjawab: “Memang sudah dari sono-nya begitu.”
Tetapi tidak sedikit pula orang yang memeluk agama Islam karena faktor pengalaman spiritual tertentu atau karena faktor pemahamannya terhadap Islam. Biasanya mereka memiliki komitmen keagamaan yang lebih tinggi dibanding kelompok pertama. Karena faktor keterbatasan, di sini saya hanya akan menjawab pertanyaan tersebut dari satu sisi saja. Mungkin saudara-saudara sekalian yang ingin memberikan kontribusi (komentar) bisa menambahkan dari sisi yang lain.
Terus terang, sebelum mempelajari Islam lebih dalam, saya memang termasuk kelompok pertama yang hanya memeluk Islam karena faktor keturunan saja. Tetapi setelah mendalami ilmu-ilmu Islam, terutama ilmu tafsir Al-Qur`an, saya semakin yakin bahwa hanya Islamlah agama yang benar di muka bumi ini. Belum lagi dengan pengalaman spritual dan pengalaman hidup saya yang tidak akan saya ceritakan di sini.
Mungkin alasan yang akan saya sampaikan hampir sama dengan apa yang baru saja disampaikan oleh seorang wanita Katolik yang telah memeluk Islam, seperti dimuat di situs Republika Online (www.republika.co.id). Kutipannya sebagai berikut:
“Saya mulai membaca Al-Quran dan mencari informasi tentang Islam melalui internet. Saya ingat apa yang saya rasakan saat pertama kali membaca Al-Quran insting saya mengatakan itu bukan buatan tangan manusia; Al-Quran di luar kemampuan manusia. Hal ini bebeda sekali dengan yang saya rasakan saat membaca Al-Kitab, saya merasa hanya kumpulan cerita yang ditulis oleh seorang laki-laki. Belum lagi fakta bahwa Al-Quran hanya ada satu versi yang tidak berubah sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Namun, itu bukanlah satu-satunya yang membuat saya kagum.
Saya merasa nyaman dengan semua yang saya pelajari tentang Islam. Hal inilah yang mendorong saya untuk lebih mendalami Islam. Yang terpenting, saya telah menemukan jawaban atas dua masalah utama agama di masa lalu (hanya mau menyembah satu Tuhan dan aturan jelas). Islam merupakan agama tauhid yang mana umat Islam hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukannya. Umat Islam juga wajib mengikuti Al-Quran dan Sunnah juga yang memberikan aturan dan cara hidup yang lengkap. Akhirnya, saya tahu persis apa yang saya harus lakukan untuk menjadi seorang Kristen yang baik, yakni saya harus menjadi seorang Muslimah.” Untuk memabaca selengkapnya kisah wanita tersebut, klik: http://www.republika.co.id/berita/64102/Dari_AS_ke_Mesir_Wanita_Katolik_Menemukan_Islam
Ya, alasan seperti itu sangat masuk akal. Sebab, bila seseorang benar-benar mendalami dan menghayati Al-Qur`an, maka saya yakin kesimpulan yang sama akan diperolehnya. Yaitu, bahwa Al-Qur`an yang menjadi Kitab Suci bagi umat Islam bukanlah rekayasa tangan manusia, atau buatan Nabi Muhammad. Al-Qur`an tidak mungkin hasil karya manusia, apalagi Nabi Muhammad yang dikenal sebagai orang yang ummi (buta huruf). Banyak faktor yang menyebabkan kita harus mengambil kesimpulan seperti itu. Dalam kajian Ilmu Tafsir atau Ulumul Qur`an, hal-hal tersebut disebut dengan i’jaazul Qur`an (kemukjizatan Al-Qur`an) yang memiliki beberapa segi, baik dari segi keindahan bahasanya, kehebatan maknanya, ataupun dari segi-segi lainnya. Kemukjizatan Al-Qur`an ini akan terus ada dan akan tetap terjaga sampai kapanpun.
Salah satu segi kemukjizatan Al-Qur`an itulah yang menyebabkan Umar masuk Islam. Padahal, sebelumnya Umar dikenal sebagai orang yang sangat anti terhadap Islam. Bahkan, dia pernah berniat membunuh Nabi Muhammad saw.. Baca selengkapnya di link berikut: http://mediasilaturahim.com/?p=548
Dari kesimpulan di atas, maka orang-orang yang meyakini keyakinan seperti itu -termasuk wanita Katolik yang masuk Islam tersebut- akan mengatakan bahwa agama yang memiliki Kitab Suci seperti itu bukanlah sembarang agama, melainkan agama yang benar-benar diturunkan oleh Allah dan diakui sebagai agama yang benar. Menurut logika, tidaklah mungkin bila agama yang memiliki kitab yang lain daripada kitab-kitab yang dimiliki agama-agama lain, bukan merupakan agama yang benar di mata Allah swt., Dzat yang telah menciptakan manusia dan telah menurunkan agama-agama Samawi (agama-agama langit) sebelum Islam. Mudah-mudahan penjelasan di atas dapat bermanfaat….Bila ada yang ingin memberikan komentar, tanggapan ataupun pemikiran, saya persilahkan. Tetapi dengan catatan, tetap menjaga nilai-nilai kesopanan yang dapat menunjang ukhuwah (persaudaraan) di antara umat Islam. Wallaahu A’lam….
- Untuk download kisah wanita Katolik yang masuk Islam, klik link berikut:
http://www.ziddu.com/download/5758904/DariASkeMesirWanitaKatolikMenemukanIslam.txt.html
- Untuk download artikel berjudul “Urgensi Al-Qur`an Bagi Kehidupan Manusia”, klik link berikut:
http://www.ziddu.com/download/5758924/UrgensiAl-QuranBagiKehidupanManusia.txt.html
- Untuk download artikel berjudul “Keindahan Al-Qur`an Luluhkan Hati Umar”, klik link berikut:
http://www.ziddu.com/download/5758932/KeindahanAl-QuranMeluluhkanHatiUmar.txt.html
Subhanallah, Raja Mau Mengikuti Nasehat Petani!
Konon, ada seorang raja yang membangun sebuah masjid agung dengan maksud agar orang-orang dapat shalat di dalamnya. Tetapi ternyata, para penduduk negerinya tidak ada yang mau pergi ke masjid itu kecuali hanya sedikit saja. Sang Raja pun menyuruh imam masjid untuk berceramah kepada masyarakat tentang pentingnya ibadah shalat, dengan harapan mereka mau pergi ke masjid yang telah dibangunnya itu.
Sang Imam berceramah kepada orang-orang. Dia menjelaskan kepada mereka bahwa ibadah shalat merupakan wujud ketaatan seorang hamba kepada Allah swt.. Dia berkata: “Kita semua wajib untuk menunaikan shalat. Sesungguhnya keutamaan shalat di dalam masjid adalah 27 kali lipat daripada shalat di dalam rumah.”
Tidak ada yang mau pergi ke masjid itu kecuali hanya segelintir orang saja, meskipun Sang Imam sering menjelaskan kepada mereka tentang keutamaan shalat di dalam masjid. Sang Raja marah kepada Sang Imam, dia berkata: “Bagaimana dia bisa menjadi imam padahal dia tidak bisa mengajak orang-orang untuk shalat di dalam masjid?” Para menteri dan penasehat raja menyahut: “Benar, wahai Paduka! Sang Imam telah melakukan kesalahan.”
Beberapa hari kemudian, datanglah seorang petani miskin. Dia meminta izin untuk bertemu dengan Sang Raja. Penasehat Raja berkata: “Sungguh seorang petani telah datang untuk berbicara kepada Paduka tentang imam masjid itu.” Sang Raja mengizinkan petani itu untuk masuk. Petani itu berkata: “Wahai Paduka, negerimu ini adalah negeri yang baik. Sejak satu bulan lalu, hujan telah mengguyuri negerimu ini hingga negeri itu pun mengeluarkan hasil-hasil buminya. Segala puji hanya milik Allah.” Sang Raja menimpali: “Negeri yang baik akan mengeluarkan hasil-hasil yang baik pula, wahai Sang Petani.”
Satu bulan kemudian, petani miskin itu datang lagi untuk menghadap Sang Raja. Penasehat raja berkata: “Hari ini, petani itu akan bercerita kepadamu tentang imam masjid, karena pada pertemuan yang lalu dia belum menceritakan hal itu.” Sang Raja pun mengizinkan petani itu untuk masuk. Petani itu berkata kepada Sang Raja: “Wahai Paduka, sesungguhnya hujan telah mengguyuri negerimu ini sejak satu bulan lalu, tetapi anehnya tanah di daerah gurun di arah barat tidak mengeluarkan apa-apa kecuali hanya duri saja.” Sang Raja menjawab: “Tanah di daerah gurun memang hanya dapat mengeluarkan duri saja, dan hujan tidaklah bertanggung jawab atas hal itu….!!”
Satu bulan kemudian, petani miskin itu kembali datang untuk meminta izin bertemu dengan Sang Raja, dan Sang Raja mengizinkannya untuk masuk. Kali ini, petani itu berkata: “Bayangkanlah, wahai Paduka! Sudah sebulan yang lalu hujan turun dan mengguyuri batu-batuan, tetapi sampai saat ini batu-batuan itu belum mengeluarkan satu tanaman pun.” Sang Raja berkata: “Wahai petani yang baik, batu-batuan tidak mungkin menumbuhkan tanaman, dan sesungguhnya hujan tidak bertanggung jawab atas hal itu…!”
“Engkau benar, wahai Paduka! Bila demikian, maka Sang Imam masjid juga tidak bertanggung jawab atas orang-orang yang belum mendapat petunjuk dan belum mau menunaikan shalat di masjid itu. Ketahuilah bahwa orang-orang yang baik akan masuk masjid dan akan memenuhi seruan Sang Imam, sementara orang-orang selain mereka tidak mau memenuhi seruannya itu,” tegas sang petani.
Mendengar itu, Sang Raja langsung menyuruh seseorang untuk memanggil imam masjid, lalu dia berkata kepada Sang Imam: “Semoga keselamatan tercurahkan kepadamu. Wahai Imam kami, sungguh selama ini kami telah menzhalimimu. Cintailah orang-orang yang mau shalat dan mintalah hidayah (kepada Allah) untuk orang-orang yang tidak mau shalat. Sungguh kamu sama sekali tidak kuasa untuk memberi hidayah kepada mereka, dan sesungguhnya hanya Allah swt.-lah yang memberi hidayah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Bila jiwa mereka baik, niscaya mereka akan shalat, seperti halnya tanah yang baik pasti akan mengeluarkan (menumbuhkan hal-hal yang baik pula (tanaman).”
Sang Imam berceramah kepada orang-orang. Dia menjelaskan kepada mereka bahwa ibadah shalat merupakan wujud ketaatan seorang hamba kepada Allah swt.. Dia berkata: “Kita semua wajib untuk menunaikan shalat. Sesungguhnya keutamaan shalat di dalam masjid adalah 27 kali lipat daripada shalat di dalam rumah.”
Tidak ada yang mau pergi ke masjid itu kecuali hanya segelintir orang saja, meskipun Sang Imam sering menjelaskan kepada mereka tentang keutamaan shalat di dalam masjid. Sang Raja marah kepada Sang Imam, dia berkata: “Bagaimana dia bisa menjadi imam padahal dia tidak bisa mengajak orang-orang untuk shalat di dalam masjid?” Para menteri dan penasehat raja menyahut: “Benar, wahai Paduka! Sang Imam telah melakukan kesalahan.”
Beberapa hari kemudian, datanglah seorang petani miskin. Dia meminta izin untuk bertemu dengan Sang Raja. Penasehat Raja berkata: “Sungguh seorang petani telah datang untuk berbicara kepada Paduka tentang imam masjid itu.” Sang Raja mengizinkan petani itu untuk masuk. Petani itu berkata: “Wahai Paduka, negerimu ini adalah negeri yang baik. Sejak satu bulan lalu, hujan telah mengguyuri negerimu ini hingga negeri itu pun mengeluarkan hasil-hasil buminya. Segala puji hanya milik Allah.” Sang Raja menimpali: “Negeri yang baik akan mengeluarkan hasil-hasil yang baik pula, wahai Sang Petani.”
Satu bulan kemudian, petani miskin itu datang lagi untuk menghadap Sang Raja. Penasehat raja berkata: “Hari ini, petani itu akan bercerita kepadamu tentang imam masjid, karena pada pertemuan yang lalu dia belum menceritakan hal itu.” Sang Raja pun mengizinkan petani itu untuk masuk. Petani itu berkata kepada Sang Raja: “Wahai Paduka, sesungguhnya hujan telah mengguyuri negerimu ini sejak satu bulan lalu, tetapi anehnya tanah di daerah gurun di arah barat tidak mengeluarkan apa-apa kecuali hanya duri saja.” Sang Raja menjawab: “Tanah di daerah gurun memang hanya dapat mengeluarkan duri saja, dan hujan tidaklah bertanggung jawab atas hal itu….!!”
Satu bulan kemudian, petani miskin itu kembali datang untuk meminta izin bertemu dengan Sang Raja, dan Sang Raja mengizinkannya untuk masuk. Kali ini, petani itu berkata: “Bayangkanlah, wahai Paduka! Sudah sebulan yang lalu hujan turun dan mengguyuri batu-batuan, tetapi sampai saat ini batu-batuan itu belum mengeluarkan satu tanaman pun.” Sang Raja berkata: “Wahai petani yang baik, batu-batuan tidak mungkin menumbuhkan tanaman, dan sesungguhnya hujan tidak bertanggung jawab atas hal itu…!”
“Engkau benar, wahai Paduka! Bila demikian, maka Sang Imam masjid juga tidak bertanggung jawab atas orang-orang yang belum mendapat petunjuk dan belum mau menunaikan shalat di masjid itu. Ketahuilah bahwa orang-orang yang baik akan masuk masjid dan akan memenuhi seruan Sang Imam, sementara orang-orang selain mereka tidak mau memenuhi seruannya itu,” tegas sang petani.
Mendengar itu, Sang Raja langsung menyuruh seseorang untuk memanggil imam masjid, lalu dia berkata kepada Sang Imam: “Semoga keselamatan tercurahkan kepadamu. Wahai Imam kami, sungguh selama ini kami telah menzhalimimu. Cintailah orang-orang yang mau shalat dan mintalah hidayah (kepada Allah) untuk orang-orang yang tidak mau shalat. Sungguh kamu sama sekali tidak kuasa untuk memberi hidayah kepada mereka, dan sesungguhnya hanya Allah swt.-lah yang memberi hidayah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Bila jiwa mereka baik, niscaya mereka akan shalat, seperti halnya tanah yang baik pasti akan mengeluarkan (menumbuhkan hal-hal yang baik pula (tanaman).”
Kamis, 23 Juli 2009
Apakah Kodok Juga Halal?
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah kalau kepiting dihalalkan, jadi bisa makan. Sekalian mau tanya pak Ustadz, kalau swike (kodok) halal nggak?
Terima kasih
* Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
* Asep
* Jawaban:
Sama seperti hukum kepiting, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum swike atau kodok. Sebagian besar ulama mengharamkan kodok dengan dalil hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Utsman Al-Quraisy:
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Utsman Al-Quraisy, bahwa ada seorang tabib (dokter) yang bertanya kepada Rasulullah saw. tentang kodok yang dipergunakan dalam campuran obat, maka Rasulullah saw. melarang membunuhnya. (HR Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa’i).
Berdasarkan hadits ini, para ulama mengharamkan kodok. Sebab dalam hadits tersebut, Rasulullah saw. melarang untuk membunuhnya. Sebuah kaidah mengatakan bahwa hewan-hewan yang dilarang untuk dibunuh, hukumnya haram dimakan. Seandainya boleh dimakan, niscaya Rasulullah tidak akan mengeluarkan larangan tersebut. Ada juga ulama yang mengharamkan kodok, karena bagi kebanyakan orang, kodok termasuk ke dalam katagori hewan yang menjijikkan. Ada pula yang mengharamkannya karena kodok termasuk binatang yang bisa hidup di dua alam.
Berbeda dengan ulama di atas, Imam Malik menghalalkan hewan kodok. Imam Malik berpendapat seperti itu karena hadits di atas tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa kodok termasuk hewan yang najis atau diharamkan. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan, selama tidak ada nash atau dalil yang secara jelas mengharamkan binatang tertentu, maka hukumnya halal dan boleh dimakan.
Tetapi perlu diingat, bila sudah diketahui bahwa ada jenis kodok yang mengandung racun, maka hukumnya haram. Sebab, binatang seperti itu merupakan binatang yang membahayakan manusia. Padahal segala sesuatu yang membahayakan manusia, dihukumi sebagai sesuatu yang haram.
Pertanyaannya, kita mau ikut pendapat yang mana? Apakah pendapat pertama yang mengharamkan kodok ataukah pendapat kedua yang menghalalkannya? Menurut saya, semua kembali kepada masing-masing individu. Yang terpenting, kita tahu alasan atau dasar hukumnya. Sebab, permasalahan seperti ini merupakan permasalahan ijtihadi yang tidak patut dibesar-besarkan, apalagi dijadikan alasan untuk menyudutkan satu kelompok Islam hingga menyebabkan terjadinya perselisihan atau perpecahan di kalangan umat Islam. Wallaahu A’lam….
Untuk mendownload fatwa MUI tentang kodok, klik:
http://www.ziddu.com/download/5729389/fatwamuikodok.pdf.html
Alhamdulillah kalau kepiting dihalalkan, jadi bisa makan. Sekalian mau tanya pak Ustadz, kalau swike (kodok) halal nggak?
Terima kasih
* Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
* Asep
* Jawaban:
Sama seperti hukum kepiting, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum swike atau kodok. Sebagian besar ulama mengharamkan kodok dengan dalil hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Utsman Al-Quraisy:
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Utsman Al-Quraisy, bahwa ada seorang tabib (dokter) yang bertanya kepada Rasulullah saw. tentang kodok yang dipergunakan dalam campuran obat, maka Rasulullah saw. melarang membunuhnya. (HR Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa’i).
Berdasarkan hadits ini, para ulama mengharamkan kodok. Sebab dalam hadits tersebut, Rasulullah saw. melarang untuk membunuhnya. Sebuah kaidah mengatakan bahwa hewan-hewan yang dilarang untuk dibunuh, hukumnya haram dimakan. Seandainya boleh dimakan, niscaya Rasulullah tidak akan mengeluarkan larangan tersebut. Ada juga ulama yang mengharamkan kodok, karena bagi kebanyakan orang, kodok termasuk ke dalam katagori hewan yang menjijikkan. Ada pula yang mengharamkannya karena kodok termasuk binatang yang bisa hidup di dua alam.
Berbeda dengan ulama di atas, Imam Malik menghalalkan hewan kodok. Imam Malik berpendapat seperti itu karena hadits di atas tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa kodok termasuk hewan yang najis atau diharamkan. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan, selama tidak ada nash atau dalil yang secara jelas mengharamkan binatang tertentu, maka hukumnya halal dan boleh dimakan.
Tetapi perlu diingat, bila sudah diketahui bahwa ada jenis kodok yang mengandung racun, maka hukumnya haram. Sebab, binatang seperti itu merupakan binatang yang membahayakan manusia. Padahal segala sesuatu yang membahayakan manusia, dihukumi sebagai sesuatu yang haram.
Pertanyaannya, kita mau ikut pendapat yang mana? Apakah pendapat pertama yang mengharamkan kodok ataukah pendapat kedua yang menghalalkannya? Menurut saya, semua kembali kepada masing-masing individu. Yang terpenting, kita tahu alasan atau dasar hukumnya. Sebab, permasalahan seperti ini merupakan permasalahan ijtihadi yang tidak patut dibesar-besarkan, apalagi dijadikan alasan untuk menyudutkan satu kelompok Islam hingga menyebabkan terjadinya perselisihan atau perpecahan di kalangan umat Islam. Wallaahu A’lam….
Untuk mendownload fatwa MUI tentang kodok, klik:
http://www.ziddu.com/download/5729389/fatwamuikodok.pdf.html
Utsman, Sosok Pemimpin Yang Tidak Rakus
Utsman memegang tampuk kekuasaan setelah Umar bin Khathab meninggal dunia. Dia adalah orang yang paling utama dan paling baik setelah Abu Bakar dan Umar. Pada masa kekuasaannya, wilayah kekuasaan Islam semakin meluas. Allah swt menaklukkan banyak negeri untuk kaum muslimin, di antaranya adalah pulau Cyprus, negeri Khurasan, Armenia, dan negeri Maroko (Maghrib).
Pada saat itu, harta-harta yang datang kepada kaum muslimin dari setiap daerah semakin bertambah. Meskipun demikian, Utsman bukanlah manusia yang rakus terhadap kehidupan dunia. Meskipun sebelum dan sesudah masuk Islam, Utsman merupakan orang yang kaya, akan tetapi ketika memegang jabatan khalifah, dia hidup dengan sederhana. Dia memakan makanan seperti makanan para pegawai pemerintahan lainnya, bahkan terkadang dia hanya makan cuka dan minyak goreng.
Dia pernah masuk ke dalam masjid untuk tidur di dalamnya dengan menggunakan tikar sebagai alas dan tangan sebagai bantalnya. Bahkan, tikar itu telah meninggalkan bekas di bagian punggungnya, hingga ketika kaum muslimin melihat hal itu, mereka pun berkata, “Ini adalah Amirul Mukminin.” Jika ada seseorang datang meminta sesuatu kepadanya, maka dia tidak menyuruhnya pulang kecuali keperluan orang itu telah terpenuhi.
Pada malam hari, Utsman bangun guna melakukan shalat tahajud. Dia tidak membangunkan pembantunya meskipun dia membutuhkan bantuannya karena dia merupakan orang yang sangat tua. Maka, sebagian orang berkata kepadanya, “Bangunkan pembantu-pembantumu agar mereka dapat membantumu.”
Utsman menjawab, “Sesungguhnya kita (harus) memperbantukan mereka hanya pada siang hari, karena malam hari merupakan waktu untuk mereka. Maka, biarkanlah mereka tidur.”.
Semangat dan sikap keras Utsman tidaklah lebih kecil daripada semangat dan sikap keras Umar. Bahkan, dia bersikap sangat keras kepada orang-orang yang melakukan perbuatan yang salah. Pada masanya, ada sejumlah kebiasaan buruk yang sering dilakukan oleh orang-orang seperti berburu burung merpati. Maka, Utsman memberikan dorongan kepada setiap orang yang mau menghentikan kebiasaan para pemuda yang suka berhura-hura, berburu merpati, dan meminum minuman keras, hingga orang-orang pun mau kembali lagi kepada kebenaran.
Pada masa kepemerintahannya, kaum muslimin hidup dalam kondisi yang paling baik. Orang-orang mendapatkan harta dengan mudah. Maka, Utsman selalu berseru kepada orang-orang, “Marilah kesini dan ambillah harta dari Baitul Maal.” Orang-orang pun berbondong-bondong datang ke Baitul Maal untuk mengambil harta.
Utsman, lalu, berseru, “Ambillah keju dan madu ini.” Orang-orang pun datang untuk mengambil keju dan madu. Tidak hanya itu, mereka juga mengambil pakaian, minyak misk, dan anggur kering (kismis), hingga rumah-rumah kaum muslimin pun penuh dengan berbagai kenikmatan.
Pada saat itu, harta-harta yang datang kepada kaum muslimin dari setiap daerah semakin bertambah. Meskipun demikian, Utsman bukanlah manusia yang rakus terhadap kehidupan dunia. Meskipun sebelum dan sesudah masuk Islam, Utsman merupakan orang yang kaya, akan tetapi ketika memegang jabatan khalifah, dia hidup dengan sederhana. Dia memakan makanan seperti makanan para pegawai pemerintahan lainnya, bahkan terkadang dia hanya makan cuka dan minyak goreng.
Dia pernah masuk ke dalam masjid untuk tidur di dalamnya dengan menggunakan tikar sebagai alas dan tangan sebagai bantalnya. Bahkan, tikar itu telah meninggalkan bekas di bagian punggungnya, hingga ketika kaum muslimin melihat hal itu, mereka pun berkata, “Ini adalah Amirul Mukminin.” Jika ada seseorang datang meminta sesuatu kepadanya, maka dia tidak menyuruhnya pulang kecuali keperluan orang itu telah terpenuhi.
Pada malam hari, Utsman bangun guna melakukan shalat tahajud. Dia tidak membangunkan pembantunya meskipun dia membutuhkan bantuannya karena dia merupakan orang yang sangat tua. Maka, sebagian orang berkata kepadanya, “Bangunkan pembantu-pembantumu agar mereka dapat membantumu.”
Utsman menjawab, “Sesungguhnya kita (harus) memperbantukan mereka hanya pada siang hari, karena malam hari merupakan waktu untuk mereka. Maka, biarkanlah mereka tidur.”.
Semangat dan sikap keras Utsman tidaklah lebih kecil daripada semangat dan sikap keras Umar. Bahkan, dia bersikap sangat keras kepada orang-orang yang melakukan perbuatan yang salah. Pada masanya, ada sejumlah kebiasaan buruk yang sering dilakukan oleh orang-orang seperti berburu burung merpati. Maka, Utsman memberikan dorongan kepada setiap orang yang mau menghentikan kebiasaan para pemuda yang suka berhura-hura, berburu merpati, dan meminum minuman keras, hingga orang-orang pun mau kembali lagi kepada kebenaran.
Pada masa kepemerintahannya, kaum muslimin hidup dalam kondisi yang paling baik. Orang-orang mendapatkan harta dengan mudah. Maka, Utsman selalu berseru kepada orang-orang, “Marilah kesini dan ambillah harta dari Baitul Maal.” Orang-orang pun berbondong-bondong datang ke Baitul Maal untuk mengambil harta.
Utsman, lalu, berseru, “Ambillah keju dan madu ini.” Orang-orang pun datang untuk mengambil keju dan madu. Tidak hanya itu, mereka juga mengambil pakaian, minyak misk, dan anggur kering (kismis), hingga rumah-rumah kaum muslimin pun penuh dengan berbagai kenikmatan.
Apakah Kepiting Laut Halal?
* Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Saya mau bertanya, apakah kepiting laut halal untuk dikonsumsi?
Terima kasih atas jawabannya
* Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
* Satria
* Jawaban:
* Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Mengenai hukum kepiting, memang ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkannya. Perbedaan ini muncul karena ada hadits Rasulullah saw. tentang air laut yang berbunyi: “Airnya suci dan bangkai binatangnya halal (dimakan).”
Hadits ini mengisyaratkan bahwa semua binatang laut adalah halal dikonsumsi, kecuali bila ada alasan-alasan tertentu, seperti ular laut diharamkan karena termasuk hewan berbisa. Pertanyaannya, apakah kepiting juga termasuk binatang laut? Sebagian ulama memberikan batasan tentang binatang laut. Imam Ar-Ramli mengatakan, yang dimaksud binatang laut adalah binatang yang tidak bisa hidup kecuali di dalam air, dan tidak bisa hidup di luar air kecuali hanya sebentar.
Mungkin pertanyaan saudara muncul karena ada sebagian orang yang menganggap haram kepiting laut, dengan alasan kepiting tersebut termasuk hewan yang bisa hidup di dua alam, laut dan darat. Memang, ulama zaman dulu mengharamkan kepiting dengan alasan tersebut.
Bila kita perhatikan, perbedaan pendapat ulama mengenai hukum kepiting sebenarnya disebabkan karena perbedaan penilaian di antara mereka tentang status kepiting tersebut, apakah ia termasuk binatang laut ataukah binatang yang bisa hidup di dua alam. Ulama dulu mengharamkan kepiting karena hanya melihat kenyataan bahwa kepiting masih bisa hidup di darat dalam waktu cukup lama, tidak seperti hewan-hewan laut pada umumnya.
Tetapi pada masa sekarang, seiring dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, dapat diketahui bahwa kepiting tidak termasuk hewan yang bisa hidup di dua alam, seperti yang disimpulkan oleh para ulama zaman dulu. Menurut pakar kepiting, hewan tersebut adalah hewan laut, karena hanya bisa hidup di air. Kepiting yang ada di darat, bisa bertahan hidup karena membawa kantung air di dalam batok tempurungnya. Karenanya, ia tidak bisa hidup lama-lama di darat. Jika air bawaannya tersebut habis maka ia akan mati.
Dengan penemuan ini, maka ‘illah hukum yang dipakai oleh para ulama zaman dulu tidak relevan lagi. Hukumnya pun bisa berubah karena berubahnya alasan hukum (‘illat) nya. Karena hukum itu tergantung ‘illatnya, al-hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa’adaman. Apabila ‘illat berubah maka hukum pun bisa berubah.
Dengan begitu maka hukum memakan kepiting tidaklah haram tapi halal. Pendapat inilah yang dipakai oleh komisi fatwa MUI. Untuk lebih jelasnya silahkan baca fatwa MUI tentang Kepiting.
Untuk mendownload file fatwa MUI tentang kepiting, silahkan klik link berikut:
http://www.ziddu.com/download/5709266/fatwaMUItentangkepiting.doc.html
Saya mau bertanya, apakah kepiting laut halal untuk dikonsumsi?
Terima kasih atas jawabannya
* Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
* Satria
* Jawaban:
* Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Mengenai hukum kepiting, memang ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkannya. Perbedaan ini muncul karena ada hadits Rasulullah saw. tentang air laut yang berbunyi: “Airnya suci dan bangkai binatangnya halal (dimakan).”
Hadits ini mengisyaratkan bahwa semua binatang laut adalah halal dikonsumsi, kecuali bila ada alasan-alasan tertentu, seperti ular laut diharamkan karena termasuk hewan berbisa. Pertanyaannya, apakah kepiting juga termasuk binatang laut? Sebagian ulama memberikan batasan tentang binatang laut. Imam Ar-Ramli mengatakan, yang dimaksud binatang laut adalah binatang yang tidak bisa hidup kecuali di dalam air, dan tidak bisa hidup di luar air kecuali hanya sebentar.
Mungkin pertanyaan saudara muncul karena ada sebagian orang yang menganggap haram kepiting laut, dengan alasan kepiting tersebut termasuk hewan yang bisa hidup di dua alam, laut dan darat. Memang, ulama zaman dulu mengharamkan kepiting dengan alasan tersebut.
Bila kita perhatikan, perbedaan pendapat ulama mengenai hukum kepiting sebenarnya disebabkan karena perbedaan penilaian di antara mereka tentang status kepiting tersebut, apakah ia termasuk binatang laut ataukah binatang yang bisa hidup di dua alam. Ulama dulu mengharamkan kepiting karena hanya melihat kenyataan bahwa kepiting masih bisa hidup di darat dalam waktu cukup lama, tidak seperti hewan-hewan laut pada umumnya.
Tetapi pada masa sekarang, seiring dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, dapat diketahui bahwa kepiting tidak termasuk hewan yang bisa hidup di dua alam, seperti yang disimpulkan oleh para ulama zaman dulu. Menurut pakar kepiting, hewan tersebut adalah hewan laut, karena hanya bisa hidup di air. Kepiting yang ada di darat, bisa bertahan hidup karena membawa kantung air di dalam batok tempurungnya. Karenanya, ia tidak bisa hidup lama-lama di darat. Jika air bawaannya tersebut habis maka ia akan mati.
Dengan penemuan ini, maka ‘illah hukum yang dipakai oleh para ulama zaman dulu tidak relevan lagi. Hukumnya pun bisa berubah karena berubahnya alasan hukum (‘illat) nya. Karena hukum itu tergantung ‘illatnya, al-hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa’adaman. Apabila ‘illat berubah maka hukum pun bisa berubah.
Dengan begitu maka hukum memakan kepiting tidaklah haram tapi halal. Pendapat inilah yang dipakai oleh komisi fatwa MUI. Untuk lebih jelasnya silahkan baca fatwa MUI tentang Kepiting.
Untuk mendownload file fatwa MUI tentang kepiting, silahkan klik link berikut:
http://www.ziddu.com/download/5709266/fatwaMUItentangkepiting.doc.html
Senin, 20 Juli 2009
Ad-Dars Al-’Aasyir (Pelajaran Kesepuluh)
Pada pelajaran kesepuluh ini, kita akan belajar tentang kata sifat (ash-shifah). Dalam bahasa Arab, kata sifat ( الصِّفَة ) selalu mengikuti kata benda yang disifatinya ( الْمَوْصُوْف ). Bila kata benda yang disifati maskulin (mudzakkar), maka kata sifatnya harus maskulin, seperti yang dapat dilihat pada kolom sebelah kanan. Sedangkan bila kata benda yang disifati feminim (mu`annats), maka kata sifatnya harus feminim, seperti yang dapat dilihat pada kolom sebelah kiri. Bila kata benda yang disifati menggunakan alif laam, maka kata sifatnya juga harus menggunakan alif laam. Sebab bila tidak, maka ia tidak lagi menjadi sifat, melainkan sebagai predikat, seperti yang dapat dilihat pada contoh ketiga. Perhatikan dengan baik perbedaannya!
Sedangkan pada bagian conversation, kita akan belajar tentang cara bertanya kepada seseorang apakah dia memiliki sesuatu (misalkan buku) yang bagus atau tidak. Untuk bagian conversation, sebaiknya selalu dipraktekkan baik dengan isteri/suami, anak, teman, saudara ataupun rekan kerja.
Untuk mendownload pelajaran kesepuluh ini, judul tulisan!
Sedangkan pada bagian conversation, kita akan belajar tentang cara bertanya kepada seseorang apakah dia memiliki sesuatu (misalkan buku) yang bagus atau tidak. Untuk bagian conversation, sebaiknya selalu dipraktekkan baik dengan isteri/suami, anak, teman, saudara ataupun rekan kerja.
Untuk mendownload pelajaran kesepuluh ini, judul tulisan!
Saat Membersihkan Najis Anjing, Bisakah Tanah Diganti Sabun?
* Assalamualaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya sampaikan, mohon penjelasan dan pencerahannya:
1. Apakah hewan anjing itu najis bila terkena air liurnya saja, ataukah seluruh tubuh nya najis apabila tersentuh oleh kita?
2. Pada saat terkena najis anjing, saat membersihkan najis tersebut bolehkah mengganti tanah dengan abu gosok ?
* Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
* Wawan…..
* Jawaban:
1. Anjing merupakan binatang yang dianggap najis dalam Islam, bahkan dianggap sebagai najis berat (mughaaladhah). Tetapi para ulama berbeda pendapat, apakah kenajisan itu hanya pada air liurnya saja ataukah pada semua anggota tubuh anjing.
Imam Hanafi berpendapat bahwa yang najis dari anjing hanyalah air liurnya, mulutnya dan kotorannya. Bagian-bagian yang lain tidak najis. Imam Maliki berpendapat bahwa badan anjing itu tidak najis kecuali hanya air liurnya saja. Sedangkan Imam Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa seluruh tubuh anjing itu hukumnya najis berat, termasuk keringatnya. Jadi, bukan hanya air liurnya saja.
Sebagai kehati-hatian dalam masalah hukum, saya lebih memilih pendapat Imam Syafi’i. Apalagi dengan adanya hadits yang memperkuat pendapat tersebut, yaitu bahwa Rasululah saw. pernah diundang ke rumah salah seorang di antara kaum Muslimin. Saat itu, beliau menghadiri undangan tersebut. Di hari lain, ada seseorang yang juga mengundang beliau, tetapi kali ini beliau tidak mau menghadiri undangan tersebut. Ketika ditanyakan mengapa beliau tidak menghadiri undangan kedua, beliau menjawab, “Di rumah orang kedua ada anjing, sementara di rumah orang pertama hanya ada kucing. Padahal kucing itu itu tidak najis.” (HR Al-Hakim dan Ad-Daruquthni).
2. Perintah Nabi untuk mensucikan najis anjing didasarkan pada sabda Rasulullah saw. yang berbunyi:
طُهُورُ إنَاءِ أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Sucinya benjana salah seorang di antara kalian ketika dijilat anjing, adalah dengan cara membasuhnya sebanyak tujuh kali, yang pertama dicampur dengan tanah.”
Perintah untuk mensucikan najis anjing ini merupakan sesuatu yang bersifat tauqifi (harus dilakukan berdasarkan petunjuk Rasulullah saw.). Artinya, hal itu tidak bisa dilogikakan, yaitu dengan cara mengganti tanah dengan sabun atau dengan benda-benda lain termasuk abu gosok, dengan anggapan bahwa benda-benda tersebut lebih baik dan lebih bersih daripada tanah.
Menanggapi masalah ini, ada satu hal yang ingin saya katakan. Yaitu bahwa, tidak semua hal, terutama yang ada kaitannya dengan ibadah, bisa dilogikakan. Ada hal-hal tertentu yang tidak bisa dilogikakan. Buktinya, ketika seseorang memakai khuf (sepatu), maka bila dia sedang dalam perjalanan dan tidak ingin membuka khuf-nya, maka ketika berwudhu, dia cukup membasuh bagian atas sepatunya. Di sini, ada satu pertanyaan: Mengapa yang disuruh dibasuh hanya bagian atasnya, bukan bagian bawah. Padahal menurut logika, yang biasanya kotor justru yang di bagian bawah sepatu. Ini menunjukkan bahwa dalam membasuh khuf ini, logika tidak bisa digunakan.
Demikian pula ketika seseorang dalam keadaan junub tetapi pada saat itu dia tidak bisa menggunakan air, baik karena alasan tidak ada air ataupun karena alasan sakit. Dalam kondisi seperti itu, dia dibolehkan untuk bersuci dari hadats besar itu (junub) dengan cara bertayammum. Caranya, hanya dengan mengusapkan debu pada wajah dan kedua telapak tangan, persis seperti tayammum untuk menggantikan wudhu.
Di sini, lagi-lagi logika tidak bisa digunakan. Mengapa? Sebab, ketika seseorang dalam keadaan junub, maka dia diwajibkan untuk mandi, yaitu dengan cara membasuh seluruh tubuhnya dengan air. Berbeda dengan wudhu` yang hanya terbatas pada anggota-anggota tertentu saja. Tetapi mengapa ketika dalam kondisi seperti di atas, seseorang tidak diwajibkan untuk mengusapkan debu ke seluruh tubuhnya, sama seperti ketika dia membasuh air ke seluruh tubuhnya? Wallaahu A’lam………
Pak Ustadz, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya sampaikan, mohon penjelasan dan pencerahannya:
1. Apakah hewan anjing itu najis bila terkena air liurnya saja, ataukah seluruh tubuh nya najis apabila tersentuh oleh kita?
2. Pada saat terkena najis anjing, saat membersihkan najis tersebut bolehkah mengganti tanah dengan abu gosok ?
* Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
* Wawan…..
* Jawaban:
1. Anjing merupakan binatang yang dianggap najis dalam Islam, bahkan dianggap sebagai najis berat (mughaaladhah). Tetapi para ulama berbeda pendapat, apakah kenajisan itu hanya pada air liurnya saja ataukah pada semua anggota tubuh anjing.
Imam Hanafi berpendapat bahwa yang najis dari anjing hanyalah air liurnya, mulutnya dan kotorannya. Bagian-bagian yang lain tidak najis. Imam Maliki berpendapat bahwa badan anjing itu tidak najis kecuali hanya air liurnya saja. Sedangkan Imam Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa seluruh tubuh anjing itu hukumnya najis berat, termasuk keringatnya. Jadi, bukan hanya air liurnya saja.
Sebagai kehati-hatian dalam masalah hukum, saya lebih memilih pendapat Imam Syafi’i. Apalagi dengan adanya hadits yang memperkuat pendapat tersebut, yaitu bahwa Rasululah saw. pernah diundang ke rumah salah seorang di antara kaum Muslimin. Saat itu, beliau menghadiri undangan tersebut. Di hari lain, ada seseorang yang juga mengundang beliau, tetapi kali ini beliau tidak mau menghadiri undangan tersebut. Ketika ditanyakan mengapa beliau tidak menghadiri undangan kedua, beliau menjawab, “Di rumah orang kedua ada anjing, sementara di rumah orang pertama hanya ada kucing. Padahal kucing itu itu tidak najis.” (HR Al-Hakim dan Ad-Daruquthni).
2. Perintah Nabi untuk mensucikan najis anjing didasarkan pada sabda Rasulullah saw. yang berbunyi:
طُهُورُ إنَاءِ أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Sucinya benjana salah seorang di antara kalian ketika dijilat anjing, adalah dengan cara membasuhnya sebanyak tujuh kali, yang pertama dicampur dengan tanah.”
Perintah untuk mensucikan najis anjing ini merupakan sesuatu yang bersifat tauqifi (harus dilakukan berdasarkan petunjuk Rasulullah saw.). Artinya, hal itu tidak bisa dilogikakan, yaitu dengan cara mengganti tanah dengan sabun atau dengan benda-benda lain termasuk abu gosok, dengan anggapan bahwa benda-benda tersebut lebih baik dan lebih bersih daripada tanah.
Menanggapi masalah ini, ada satu hal yang ingin saya katakan. Yaitu bahwa, tidak semua hal, terutama yang ada kaitannya dengan ibadah, bisa dilogikakan. Ada hal-hal tertentu yang tidak bisa dilogikakan. Buktinya, ketika seseorang memakai khuf (sepatu), maka bila dia sedang dalam perjalanan dan tidak ingin membuka khuf-nya, maka ketika berwudhu, dia cukup membasuh bagian atas sepatunya. Di sini, ada satu pertanyaan: Mengapa yang disuruh dibasuh hanya bagian atasnya, bukan bagian bawah. Padahal menurut logika, yang biasanya kotor justru yang di bagian bawah sepatu. Ini menunjukkan bahwa dalam membasuh khuf ini, logika tidak bisa digunakan.
Demikian pula ketika seseorang dalam keadaan junub tetapi pada saat itu dia tidak bisa menggunakan air, baik karena alasan tidak ada air ataupun karena alasan sakit. Dalam kondisi seperti itu, dia dibolehkan untuk bersuci dari hadats besar itu (junub) dengan cara bertayammum. Caranya, hanya dengan mengusapkan debu pada wajah dan kedua telapak tangan, persis seperti tayammum untuk menggantikan wudhu.
Di sini, lagi-lagi logika tidak bisa digunakan. Mengapa? Sebab, ketika seseorang dalam keadaan junub, maka dia diwajibkan untuk mandi, yaitu dengan cara membasuh seluruh tubuhnya dengan air. Berbeda dengan wudhu` yang hanya terbatas pada anggota-anggota tertentu saja. Tetapi mengapa ketika dalam kondisi seperti di atas, seseorang tidak diwajibkan untuk mengusapkan debu ke seluruh tubuhnya, sama seperti ketika dia membasuh air ke seluruh tubuhnya? Wallaahu A’lam………
Jumat, 17 Juli 2009
Ad-Dars At-Taasi’ (Pelajaran Kesembilan)
Masih seperti tiga pelajaran sebelumnya, pada pelajaran kesembilan ini, kita masih belajar tentang perubahan kata ganti bersambung (adh-dhamaa`ir al-muttashilah). Hanya saja, pada pelajaran ke sembilan ini, kata yang disambungkan dengan kata ganti bersambung tersebut adalah kata عَلَى .
Pada dasarnya, kata عَلَى memiliki arti di atas, seperti pada kalimat:
الْكِتَاب عَلَى الْمَكْتَب (Al-kitaab ‘alal-maktab / Buku itu di atas meja). Tetapi bila disambungkan dengan kata ganti bersambung (dhamaa`ir muttashilah) seperti pada tabel yang disebutkan pada bagian grammer, kata tersebut mengandung arti wajib atau harus, seperti pada kalimat:
عَلَيَّ أَنْ أَقْرَأ (‘Alayya an aqra` / Saya harus membaca)
عَلَيْكَ أَنْ تَشْرَب (‘Alaika an tasyrab / Kamu harus minum).
Tetapi perlu diingat, sebelum kata kerja yang akan disebutkan, digunakan kata sambung أَنْ.
Sedangkan pada bagian conversation, kita belajar tentang cara menasehati teman atau saudara kita untuk pergi ke dokter. Alangkah baiknya bila pada bagian conversation ini, Anda mempraktekkannya dengan orang lain.
Untuk mendownload pelajaran kesembilan ini, klik judul tulisan!
Pada dasarnya, kata عَلَى memiliki arti di atas, seperti pada kalimat:
الْكِتَاب عَلَى الْمَكْتَب (Al-kitaab ‘alal-maktab / Buku itu di atas meja). Tetapi bila disambungkan dengan kata ganti bersambung (dhamaa`ir muttashilah) seperti pada tabel yang disebutkan pada bagian grammer, kata tersebut mengandung arti wajib atau harus, seperti pada kalimat:
عَلَيَّ أَنْ أَقْرَأ (‘Alayya an aqra` / Saya harus membaca)
عَلَيْكَ أَنْ تَشْرَب (‘Alaika an tasyrab / Kamu harus minum).
Tetapi perlu diingat, sebelum kata kerja yang akan disebutkan, digunakan kata sambung أَنْ.
Sedangkan pada bagian conversation, kita belajar tentang cara menasehati teman atau saudara kita untuk pergi ke dokter. Alangkah baiknya bila pada bagian conversation ini, Anda mempraktekkannya dengan orang lain.
Untuk mendownload pelajaran kesembilan ini, klik judul tulisan!
Benarkah Hadits “Thalabul Ilmi” Palsu?
* Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Menurut saya, ungkapan “Tholabul ‘ilmi faridlotun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin‘ ini bukan hadits, tapi maqolah (perkataan) ulama. Bagaimana tanggapan Anda? Terimakasih.
* Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
* Ali Fahmi
* Jawaban:
* Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Memang ada sebagian orang yang berpendapat bahwa ungkapan tersebut bukan termasuk hadits, tetapi hanya perkataan ulama. Dalam menanggapi pendapat tersebut, karena keilmuan saya di bidang ilmu hadits belum mumpuni, maka saya hanya akan mengutip pendapat pakar ilmu hadits Indonesia, Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya yang berjudul “Hadits-hadis Bermasalah”.
Dalam bukunya itu, beliau menyebutkan bahwa ada dua redaksi yang berkaitan dengan hadits tersebut. Redaksi pertama:
اطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ فَإِنَّ طَلَبَ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Carilah ilmu meskipun di negeri China, karena sesungguhnya mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”
Meskipun sangat populer dan disinyalir sebagai hadits, ternyata ungkapan tersebut bukan hadits. Menurut Ibn Hibban, hadits ini bathil la ashla lahu (batil, palsu dan tidak ada dasarnya). Pernyataan Ibn Hibban ini diulang kembali oleh al-Sakhawi dalam kitabnya al-Maqaashid al-Hasanah. Sumber kepalsuan hadits ini adalah periwayat yang bernama Abu ‘Atikah Tarif bin Sulaiman. Menurut para ulama hadits seperti al-‘Uqaili, al-Bukhari, al-Nasa`i dan Abu Hatim, Abu ‘Atikah Tarif bin Sulaiman ini tidak memiliki kredibilitas sebagai periwayat hadits. Bahkan menurut al-Sulaimani, Abu ‘Atikah dikenal sebagai pemalsu hadits. Imam Ahmad bin Hanbal juga menentang keras hadits tersebut. Artinya, beliau tidak mengakui bahwa ungkapan “Carilah ilmu meskipun di negeri China” itu sebagai hadits Nabi.
Kesimpulannya, hadits dengan redaksi seperti itu adalah palsu. Bisa jadi, ungkapan itu awalnya hanya semacam kata-kata mutiara, karena konon negeri China pada masa lalu sudah dikenal memiliki budaya yang tinggi. Tetapi lambat laun, ungkapan itu disebut-sebut sebagai hadits.
Redaksi kedua:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”
Pada riwayat lain, ditambah dengan lafazh “wa muslimatin” (dan perempuan muslimah).
Menurut Mustafa Ali Yaqub, hadits ini merupakan hadits shahih yang antara lain diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam kitab Syu’ab al-Iimaan, Imam Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Shaghiir dan al-Mu’jam al-Ausath, al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab Taariikh Baghdaad, dan lain-lain.
Dari penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa ungkapan “Tholabul ‘ilmi faridlotun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin” merupakan hadits shahih bila tidak dikaitkan dengan ungkapan “Ithlubul ‘ilma walau bish-Shiin” (Carilah ilmu meskipun di negeri China). Wallaahu A’lam…..
Referensi: Buku “Hadis-hadis Bermasalah” karya Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub, MA.
Menurut saya, ungkapan “Tholabul ‘ilmi faridlotun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin‘ ini bukan hadits, tapi maqolah (perkataan) ulama. Bagaimana tanggapan Anda? Terimakasih.
* Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
* Ali Fahmi
* Jawaban:
* Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Memang ada sebagian orang yang berpendapat bahwa ungkapan tersebut bukan termasuk hadits, tetapi hanya perkataan ulama. Dalam menanggapi pendapat tersebut, karena keilmuan saya di bidang ilmu hadits belum mumpuni, maka saya hanya akan mengutip pendapat pakar ilmu hadits Indonesia, Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya yang berjudul “Hadits-hadis Bermasalah”.
Dalam bukunya itu, beliau menyebutkan bahwa ada dua redaksi yang berkaitan dengan hadits tersebut. Redaksi pertama:
اطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ فَإِنَّ طَلَبَ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Carilah ilmu meskipun di negeri China, karena sesungguhnya mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”
Meskipun sangat populer dan disinyalir sebagai hadits, ternyata ungkapan tersebut bukan hadits. Menurut Ibn Hibban, hadits ini bathil la ashla lahu (batil, palsu dan tidak ada dasarnya). Pernyataan Ibn Hibban ini diulang kembali oleh al-Sakhawi dalam kitabnya al-Maqaashid al-Hasanah. Sumber kepalsuan hadits ini adalah periwayat yang bernama Abu ‘Atikah Tarif bin Sulaiman. Menurut para ulama hadits seperti al-‘Uqaili, al-Bukhari, al-Nasa`i dan Abu Hatim, Abu ‘Atikah Tarif bin Sulaiman ini tidak memiliki kredibilitas sebagai periwayat hadits. Bahkan menurut al-Sulaimani, Abu ‘Atikah dikenal sebagai pemalsu hadits. Imam Ahmad bin Hanbal juga menentang keras hadits tersebut. Artinya, beliau tidak mengakui bahwa ungkapan “Carilah ilmu meskipun di negeri China” itu sebagai hadits Nabi.
Kesimpulannya, hadits dengan redaksi seperti itu adalah palsu. Bisa jadi, ungkapan itu awalnya hanya semacam kata-kata mutiara, karena konon negeri China pada masa lalu sudah dikenal memiliki budaya yang tinggi. Tetapi lambat laun, ungkapan itu disebut-sebut sebagai hadits.
Redaksi kedua:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”
Pada riwayat lain, ditambah dengan lafazh “wa muslimatin” (dan perempuan muslimah).
Menurut Mustafa Ali Yaqub, hadits ini merupakan hadits shahih yang antara lain diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam kitab Syu’ab al-Iimaan, Imam Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Shaghiir dan al-Mu’jam al-Ausath, al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab Taariikh Baghdaad, dan lain-lain.
Dari penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa ungkapan “Tholabul ‘ilmi faridlotun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin” merupakan hadits shahih bila tidak dikaitkan dengan ungkapan “Ithlubul ‘ilma walau bish-Shiin” (Carilah ilmu meskipun di negeri China). Wallaahu A’lam…..
Referensi: Buku “Hadis-hadis Bermasalah” karya Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub, MA.
Allah-lah Yang Melihat Kita!!
Konon ada seorang anak yang memiliki ayah seorang pencuri, yang suka mencuri di rumah orang lain. Suatu ketika, sang ayah berkata kepada anaknya: “Aku akan mengajakmu mencuri di salah satu rumah. Kamu bertugas mengawasi keadaan di luar. Jika kamu melihat seseorang, cepat beritahu ayah sebelum dia mengetahui keberadaan ayah!”
Anak itu pun berangkat bersama ayahnya. Sesampainya di tempat tujuan, sang ayah masuk ke dalam sebuah rumah untuk memulai aksinya. Tidak lama kemudian, sang anak berseru memanggil ayahnya: “Ayah, ada yang melihat kita!” Sang ayah bergegas datang, kemudian bertanya: “Siapa yang melihat kita, anakku?” Sang anak menjawab: “Allah-lah yang melihat kita, wahai ayahku!”
Mendengar itu, sang ayah langsung sadar dan segera bertaubat kepada Allah swt.. Sejak saat itu, dia tidak pernah mencuri lagi karena ia menyadari bahwa Allah senantiasa bersamanya dan melihatnya.
Subhanalallaah…Perkataan anak kecil itu sungguh luar biasa! Perkataan yang hanya terdiri dari beberapa kata itu bak senjata mematikan. Ya, senjata yang mematikan kebiasaan buruk ayahnya, yang sudah bertahun-tahun mencuri. Perkataan “Allah melihat kita” memang singkat, tetapi bila dihayati, ternyata ia mengandung kekuatan yang luar biasa. Sebuah kekuatan yang mampu merubah kebiasaan buruk seseorang, kekuatan yang mampu mencegah seseorang dari keburukan atau kejahatan, dan kekuatan yang mampu mendorong seseorang untuk selalu melakukan kebajikan.
Mengapa bisa demikian?
Ketika seseorang hendak melakukan perbuatan buruk, kemudian dia sadar bahwa dirinya sedang dilihat Allah, maka pada saat itu dirinya diliputi perasaan malu dan takut kepada Allah. Dia akan malu karena perbuatan buruknya diketahui Allah, dan dia takut karena Allah pasti akan membalas perbuatan buruknya itu. Mau tidak mau, dia pun harus meninggalkan perbuatan buruk tersebut, lalu dirinya akan terdorong untuk melakukan kebajikan.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perasaan “selalu dilihat Allah” (muraqabatullah) merupakan faktor yang dapat mencegah seseorang dari perbuatan buruk dan mendorongnya untuk melakukan hal-hal yang baik. Andaikata perasaan seperti ini dimiliki oleh saudara-saudara kita yang diberi amanah untuk mengurusi negara ini (baca: para pejabat), baik pejabat tinggi, pejabat menengah, ataupun pejabat rendahan, niscaya keberadaan KPK yang ditugasi untuk memerangi korupsi tidak diperlukan lagi.
Sayangnya, perasaan seperti itu belum tertanam di hati mereka. Yang ada hanyalah perasaan “selalu diawasi bos (atasan) atau diawasi KPK”. Sehingga, mereka hanya malu dan takut bila perbuatan buruknya diketahui oleh atasan atau KPK. Tentunya, ini masalah bagi kita semua, dimana kita dituntut untuk mengatasinya bersama. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama berusaha untuk mengingatkan hal itu kepada saudara-saudara kita, terutama kepada mereka yang diberi amanah untuk mengurusi negara ini, bila kita menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik. Kita juga harus berusaha untuk menanamkan perasaan “selalu dilihat Allah” ke dalam hati anak-anak kita, agar mereka menjadi seperti anak kecil yang disebutkan pada kisah di atas. Dengan demikian, maka mereka akan menjadi generasi penerus bangsa yang malu dan takut kepada Allah. Wallaahu A’lam….
Anak itu pun berangkat bersama ayahnya. Sesampainya di tempat tujuan, sang ayah masuk ke dalam sebuah rumah untuk memulai aksinya. Tidak lama kemudian, sang anak berseru memanggil ayahnya: “Ayah, ada yang melihat kita!” Sang ayah bergegas datang, kemudian bertanya: “Siapa yang melihat kita, anakku?” Sang anak menjawab: “Allah-lah yang melihat kita, wahai ayahku!”
Mendengar itu, sang ayah langsung sadar dan segera bertaubat kepada Allah swt.. Sejak saat itu, dia tidak pernah mencuri lagi karena ia menyadari bahwa Allah senantiasa bersamanya dan melihatnya.
Subhanalallaah…Perkataan anak kecil itu sungguh luar biasa! Perkataan yang hanya terdiri dari beberapa kata itu bak senjata mematikan. Ya, senjata yang mematikan kebiasaan buruk ayahnya, yang sudah bertahun-tahun mencuri. Perkataan “Allah melihat kita” memang singkat, tetapi bila dihayati, ternyata ia mengandung kekuatan yang luar biasa. Sebuah kekuatan yang mampu merubah kebiasaan buruk seseorang, kekuatan yang mampu mencegah seseorang dari keburukan atau kejahatan, dan kekuatan yang mampu mendorong seseorang untuk selalu melakukan kebajikan.
Mengapa bisa demikian?
Ketika seseorang hendak melakukan perbuatan buruk, kemudian dia sadar bahwa dirinya sedang dilihat Allah, maka pada saat itu dirinya diliputi perasaan malu dan takut kepada Allah. Dia akan malu karena perbuatan buruknya diketahui Allah, dan dia takut karena Allah pasti akan membalas perbuatan buruknya itu. Mau tidak mau, dia pun harus meninggalkan perbuatan buruk tersebut, lalu dirinya akan terdorong untuk melakukan kebajikan.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perasaan “selalu dilihat Allah” (muraqabatullah) merupakan faktor yang dapat mencegah seseorang dari perbuatan buruk dan mendorongnya untuk melakukan hal-hal yang baik. Andaikata perasaan seperti ini dimiliki oleh saudara-saudara kita yang diberi amanah untuk mengurusi negara ini (baca: para pejabat), baik pejabat tinggi, pejabat menengah, ataupun pejabat rendahan, niscaya keberadaan KPK yang ditugasi untuk memerangi korupsi tidak diperlukan lagi.
Sayangnya, perasaan seperti itu belum tertanam di hati mereka. Yang ada hanyalah perasaan “selalu diawasi bos (atasan) atau diawasi KPK”. Sehingga, mereka hanya malu dan takut bila perbuatan buruknya diketahui oleh atasan atau KPK. Tentunya, ini masalah bagi kita semua, dimana kita dituntut untuk mengatasinya bersama. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama berusaha untuk mengingatkan hal itu kepada saudara-saudara kita, terutama kepada mereka yang diberi amanah untuk mengurusi negara ini, bila kita menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik. Kita juga harus berusaha untuk menanamkan perasaan “selalu dilihat Allah” ke dalam hati anak-anak kita, agar mereka menjadi seperti anak kecil yang disebutkan pada kisah di atas. Dengan demikian, maka mereka akan menjadi generasi penerus bangsa yang malu dan takut kepada Allah. Wallaahu A’lam….
Akhlak, Faktor Penentu Masa Depan Umat
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِمَّ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk membenahi akhlak yang mulia.”
Seperti disebutkan pada hadits tersebut, tujuan diutusnya Rasulullah saw. ke bumi ini adalah untuk membenahi akhlak masyarakat pada saat itu, bukan untuk tujuan lain. Memang sejak awal munculnya, Islam telah mengajak manusia untuk berbudi pekerti yang baik dan mulia. Selain disampaikan secara eksplisit, ajakan itu juga tercermin pada ibadah-ibadah yang disyariatkan Islam seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Ibadah-ibadah tersebut mengandung nilai-nilai akhlak yang tinggi, yang bertujuan untuk membersihkan jiwa manusia. Sebagai contoh, puasa mengajarkan seseorang untuk bersikap jujur. Sebab saat berpuasa, seseorang dilarang untuk makan dan minum meskipun tidak ada seorangpun yang melihatnya.
Dengan ajarannya yang memperkenalkan budi pekerti yang baik dan dengan sosok Rasulullah yang selalu memperlihatkan perilaku yang baik, Islam berhasil mengubah bangsa Arab Jahiliyyah. Islam berhasil mengubah mereka dari umat yang bermoral bejat menjadi umat yang berakhlak mulia; dari umat yang suka melakukan perbuatan keji dan kezhaliman menjadi umat yang suka melakukan kebajikan dan mencintai sesama. Bahkan, hal ini telah diakui oleh musuh-musuh Islam sendiri. Mereka pernah berkata: “Andaikata ajaran yang dibawa Muhammad itu bukan merupakan agama, niscaya akhlak para penganutnya akan tetap mulia.”
Sungguh indah ajaran Rasulullah dan Rasul-Nya yang memerintahkan kita untuk berbudi pekerti yang baik. Jika kita mau melaksanakan perintah tersebut, yaitu dengan cara menghiasi diri kita dengan akhlak yang baik, maka kita akan menjadi hamba-hamba yang dicintai Allah. Pada saat itulah, semua angan-angan dan cita-cita yang kita inginkan akan terwujud. Kemudian kita akan menjadi masyarakat terbaik di muka bumi. Tidak ada lagi orang lemah yang dizhalimi, tidak ada lagi orang kuat yang dibela, dan tidak ada lagi hak-hak yang disia-siakan. Semua orang pun akan bersatu padu dan saling menghormati satu sama lain, sehingga mereka akan memiliki kekuatan yang ditakuti umat-umat lain.
Dari sini, maka tidaklah heran bila umat Islam pada zaman Nabi saw. dan juga pada masa Khulafaur Rasyidin menjadi umat yang terbaik dan terkuat. Mereka begitu disegani oleh umat-umat lain, dan karenanya mereka pun berhasil memperluas wilayah Islam ke sejumlah daerah, bahkan sampai ke benua Eropa. Ini menunjukkan betapa pentingnya akhlak bagi suatu masyarakat (bangsa). Kemajuan atau kemunduran suatu masyarakat sangat ditentukan oleh akhlak mereka. Atau dengan kata lain, maka depan mereka sangat tergantung pada akhlak mereka sendiri. Lalu, apakah umat Islam pada masa sekarang ini dan juga pada masa-masa mendatang akan seperti umat Islam pada generasi pertama itu? Jawabannya ada di tangan kita semua. Wallaahu A’lam….
إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِمَّ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk membenahi akhlak yang mulia.”
Seperti disebutkan pada hadits tersebut, tujuan diutusnya Rasulullah saw. ke bumi ini adalah untuk membenahi akhlak masyarakat pada saat itu, bukan untuk tujuan lain. Memang sejak awal munculnya, Islam telah mengajak manusia untuk berbudi pekerti yang baik dan mulia. Selain disampaikan secara eksplisit, ajakan itu juga tercermin pada ibadah-ibadah yang disyariatkan Islam seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Ibadah-ibadah tersebut mengandung nilai-nilai akhlak yang tinggi, yang bertujuan untuk membersihkan jiwa manusia. Sebagai contoh, puasa mengajarkan seseorang untuk bersikap jujur. Sebab saat berpuasa, seseorang dilarang untuk makan dan minum meskipun tidak ada seorangpun yang melihatnya.
Dengan ajarannya yang memperkenalkan budi pekerti yang baik dan dengan sosok Rasulullah yang selalu memperlihatkan perilaku yang baik, Islam berhasil mengubah bangsa Arab Jahiliyyah. Islam berhasil mengubah mereka dari umat yang bermoral bejat menjadi umat yang berakhlak mulia; dari umat yang suka melakukan perbuatan keji dan kezhaliman menjadi umat yang suka melakukan kebajikan dan mencintai sesama. Bahkan, hal ini telah diakui oleh musuh-musuh Islam sendiri. Mereka pernah berkata: “Andaikata ajaran yang dibawa Muhammad itu bukan merupakan agama, niscaya akhlak para penganutnya akan tetap mulia.”
Sungguh indah ajaran Rasulullah dan Rasul-Nya yang memerintahkan kita untuk berbudi pekerti yang baik. Jika kita mau melaksanakan perintah tersebut, yaitu dengan cara menghiasi diri kita dengan akhlak yang baik, maka kita akan menjadi hamba-hamba yang dicintai Allah. Pada saat itulah, semua angan-angan dan cita-cita yang kita inginkan akan terwujud. Kemudian kita akan menjadi masyarakat terbaik di muka bumi. Tidak ada lagi orang lemah yang dizhalimi, tidak ada lagi orang kuat yang dibela, dan tidak ada lagi hak-hak yang disia-siakan. Semua orang pun akan bersatu padu dan saling menghormati satu sama lain, sehingga mereka akan memiliki kekuatan yang ditakuti umat-umat lain.
Dari sini, maka tidaklah heran bila umat Islam pada zaman Nabi saw. dan juga pada masa Khulafaur Rasyidin menjadi umat yang terbaik dan terkuat. Mereka begitu disegani oleh umat-umat lain, dan karenanya mereka pun berhasil memperluas wilayah Islam ke sejumlah daerah, bahkan sampai ke benua Eropa. Ini menunjukkan betapa pentingnya akhlak bagi suatu masyarakat (bangsa). Kemajuan atau kemunduran suatu masyarakat sangat ditentukan oleh akhlak mereka. Atau dengan kata lain, maka depan mereka sangat tergantung pada akhlak mereka sendiri. Lalu, apakah umat Islam pada masa sekarang ini dan juga pada masa-masa mendatang akan seperti umat Islam pada generasi pertama itu? Jawabannya ada di tangan kita semua. Wallaahu A’lam….
Anak Juga Punya Hak
Pada masa pemerintahan Umar bin Khathab ra., ada seorang lelaki yang datang kepada Umar. Lelaki itu mengeluhkan sikap durhaka yang dilakukan oleh anaknya. Umar pun memanggil anak dari lelaki tersebut, lalu dia memberi nasihat kepadanya agar tidak berbuat durhaka kepada ayahnya.
Namun anak itu justru berkata kepada Umar, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah seorang anak itu juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi ayahnya?”
“Benar,” jawab Umar.
“Apa itu, wahai Amirul Mukminin?” tanya anak itu.
Umar menjawab, “Hendaknya dia memilih (wanita yang akan menjadi) ibu dari anaknya, memperbagus namanya, dan mengajarkan kepadanya al-Kitab (al-Qur`an).”
Anak itu berkata, “Wahai Amirul mu`minin, ayahku tidak pernah melakukan satupun dari ketiga hal itu. Ibuku adalah seorang wanita negro yang dulu pernah menjadi budak seorang Majusi. Ayahku menamaiku dengan Ju’ala (kumbang), lalu dia tidak pernah mengajarkan satu huruf al-Qur`an pun kepadaku.”
Mendengar itu, Umar menoleh ke arah lelaki tersebut, lalu dia bertanya kepadanya, “Kamu datang untuk mengadukan kedurhakaan anakmu, padahal kamu telah lebih dulu mendurhakainya sebelum dia mendurhakaimu, dan kamu telah lebih dulu menyakitinya sebelum dia menyakitimu?”
Namun anak itu justru berkata kepada Umar, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah seorang anak itu juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi ayahnya?”
“Benar,” jawab Umar.
“Apa itu, wahai Amirul Mukminin?” tanya anak itu.
Umar menjawab, “Hendaknya dia memilih (wanita yang akan menjadi) ibu dari anaknya, memperbagus namanya, dan mengajarkan kepadanya al-Kitab (al-Qur`an).”
Anak itu berkata, “Wahai Amirul mu`minin, ayahku tidak pernah melakukan satupun dari ketiga hal itu. Ibuku adalah seorang wanita negro yang dulu pernah menjadi budak seorang Majusi. Ayahku menamaiku dengan Ju’ala (kumbang), lalu dia tidak pernah mengajarkan satu huruf al-Qur`an pun kepadaku.”
Mendengar itu, Umar menoleh ke arah lelaki tersebut, lalu dia bertanya kepadanya, “Kamu datang untuk mengadukan kedurhakaan anakmu, padahal kamu telah lebih dulu mendurhakainya sebelum dia mendurhakaimu, dan kamu telah lebih dulu menyakitinya sebelum dia menyakitimu?”
Keutamaan Dzikir Kepada Allah
* Allah swt. berfirman: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah [2]: 152)
* Allah swt. berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mukmin itu) pada hari mereka menemui-Nya ialah: ‘Salam’; dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka.” (QS. Al-Ahzaab [33]: 41-44)
* Allah swt. berfirman: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi [18]: 28)
* Allah swt. juga berfirman: “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dan keadaan buta.” (QS. Thaahaa [20]: 124)
* Di ayat lain, Allah swt. berfirman: “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Qur`an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 36)
* Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah swt. berfirman: ‘Aku akan selalu bersama hamba-Ku selama dia mengingat-Ku dan kedua bibirnya bergerak untuk menyebut nama-Ku.’” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abu Hurairah ra..
* Nabi saw. bersabda: “Allah swt. berfirman: ‘Aku adalah sesuai prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku akan bersama-Nya jika dia mengingat-Ku; Jika dia menyebut nama-Ku di dalam dirinya, maka Aku akan menyebut namanya di dalam diri-Ku; Jika dia menyebut nama-Ku di hadapan sekelompok orang, maka Aku akan menyebut namanya di hadapan sekelompok makhluk yang lebih baik daripada sekelompok orang tersebut; Jika dia mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya satu hasta; Jika dia mendekat kepada-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekat kepadanya satu depa; Jika dia mendatangi-Ku dengan berjalan kaki, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa`i dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra..
* Nabi saw. bersabda: “Tidaklah suatu kaum duduk sambil berdzikir kepada Allah swt. kecuali para malaikat akan mengelilingi mereka, rahmat (Allah) akan menyelimuti mereka, ketenangan akan turun kepada mereka, lalu Allah swt. akan menyebut nama mereka di hadapan makhluk-makhluk yang ada di sisi-Nya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah ra..
* Nabi saw. bersabda: “Sungguh pada hari kiamat nanti, Allah swt. akan membangkitkan beberapa kaum yang di wajah-wajah mereka terdapat cahaya, mereka berdiri di atas mimbar-mimbar yang terbuat dari mutiara, dan orang-orang pun merasa iri terhadap mereka. Mereka bukanlah para nabi dan bukan pula orang-orang yang mati syahid.” Periwayat Hadits berkata: “(Mendengar itu), seorang Arab badui pun duduk di atas kedua lututnya, lalu dia berkata: ‘Wahai Rasulullah, izinkan kami untuk mengetahui siapa mereka itu!’ Rasulullah saw. pun bersabda: ‘Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, yang datang dari berbagai suku dan negeri, lalu mereka berkumpul untuk berdzikir kepada Allah.” Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dengan sanad yang berkualitas hasan (baik) dari Abu Darda` ra..
* Nabi saw. bersabda: “Dzikir yang paling utama adalah Laa`ilaaha illallaah (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah), sedangkan doa yang paling utama adalah Alhamdulillaah (Segala puji hanya milik Allah).” Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi, Nasa`i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim dari Jabir ra..
* Nabi saw. bersabda: “Tidaklah seorang hamba mengucapkan kalimat Laa`ilaaha illallaah (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah) dengan ikhlas kecuali pintu-pintu langit akan dibukakan untuknya sampai kalimat itu naik ke ‘Arsy (singgasana Allah), selama dosa-dosa besar dijauhi olehnya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Abu Hurairah ra..
* Nabi saw. bersabda: “Tidak ada sedikitpun kesusahan bagi orang-orang yang suka mengucapkan kalimat Laa`ilaaha illallaah ketika mereka mati, ketika berada di dalam kubur dan ketika dibangkitkan. Pada saat sangkakala ditiup, sepertinya aku melihat mereka menolehkan kepala mereka sambil berkata: ‘Segala puji hanya milik Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari diri kami.’” Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibnu Umar ra..
* Nabi saw. bersabda: “Calon-calon penghuni surga tidak pernah menyesal atas sesuatupun kecuali bila ada satu saat (kesempatan) yang mereka lalui sementara mereka tidak berdzikir kepada Allah swt. di dalamnya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi dari Mu’adz ra..
* Nabi saw. bersabda: “Tidak ada seorang hamba pun yang mengucapkan kalimat Laa`ilaaha illallaah sebanyak seratus kali kecuali Allah swt. akan membangkitkannya pada hari kiamat nanti dalam keadaan wajahnya (bersinar) seperti bulan pada malam bulan purnama, dan pada hari itu tidak diperlihatkan kepada seorangpun satu amal yang lebih baik daripada amal orang itu kecuali (amal) orang yang mengucapkan seperti yang diucapkan orang itu dengan jumlah yang sama atau lebih.” Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dari Abu Darda` ra..
* Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa yang mengucapkan kalimat Laa`ilaaha illallaah wahdahuu laa syariika lah, lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai`in qadiir (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, Tuhan satu-satunya yang tidak ada sekutu bagi-Nya; Hanya milik-Nya-lah semua kerajaan dan hanya milik-Nya-lah segala puji; Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu) sebanyak sepuluh kali kecuali baginya (pahala) membebaskan empat orang budak dari keturunan Nabi Isma`il.” Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Nasa`i dari Ayyub ra..
* Allah swt. berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mukmin itu) pada hari mereka menemui-Nya ialah: ‘Salam’; dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka.” (QS. Al-Ahzaab [33]: 41-44)
* Allah swt. berfirman: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi [18]: 28)
* Allah swt. juga berfirman: “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dan keadaan buta.” (QS. Thaahaa [20]: 124)
* Di ayat lain, Allah swt. berfirman: “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Qur`an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 36)
* Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah swt. berfirman: ‘Aku akan selalu bersama hamba-Ku selama dia mengingat-Ku dan kedua bibirnya bergerak untuk menyebut nama-Ku.’” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abu Hurairah ra..
* Nabi saw. bersabda: “Allah swt. berfirman: ‘Aku adalah sesuai prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku akan bersama-Nya jika dia mengingat-Ku; Jika dia menyebut nama-Ku di dalam dirinya, maka Aku akan menyebut namanya di dalam diri-Ku; Jika dia menyebut nama-Ku di hadapan sekelompok orang, maka Aku akan menyebut namanya di hadapan sekelompok makhluk yang lebih baik daripada sekelompok orang tersebut; Jika dia mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya satu hasta; Jika dia mendekat kepada-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekat kepadanya satu depa; Jika dia mendatangi-Ku dengan berjalan kaki, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa`i dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra..
* Nabi saw. bersabda: “Tidaklah suatu kaum duduk sambil berdzikir kepada Allah swt. kecuali para malaikat akan mengelilingi mereka, rahmat (Allah) akan menyelimuti mereka, ketenangan akan turun kepada mereka, lalu Allah swt. akan menyebut nama mereka di hadapan makhluk-makhluk yang ada di sisi-Nya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah ra..
* Nabi saw. bersabda: “Sungguh pada hari kiamat nanti, Allah swt. akan membangkitkan beberapa kaum yang di wajah-wajah mereka terdapat cahaya, mereka berdiri di atas mimbar-mimbar yang terbuat dari mutiara, dan orang-orang pun merasa iri terhadap mereka. Mereka bukanlah para nabi dan bukan pula orang-orang yang mati syahid.” Periwayat Hadits berkata: “(Mendengar itu), seorang Arab badui pun duduk di atas kedua lututnya, lalu dia berkata: ‘Wahai Rasulullah, izinkan kami untuk mengetahui siapa mereka itu!’ Rasulullah saw. pun bersabda: ‘Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, yang datang dari berbagai suku dan negeri, lalu mereka berkumpul untuk berdzikir kepada Allah.” Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dengan sanad yang berkualitas hasan (baik) dari Abu Darda` ra..
* Nabi saw. bersabda: “Dzikir yang paling utama adalah Laa`ilaaha illallaah (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah), sedangkan doa yang paling utama adalah Alhamdulillaah (Segala puji hanya milik Allah).” Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi, Nasa`i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim dari Jabir ra..
* Nabi saw. bersabda: “Tidaklah seorang hamba mengucapkan kalimat Laa`ilaaha illallaah (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah) dengan ikhlas kecuali pintu-pintu langit akan dibukakan untuknya sampai kalimat itu naik ke ‘Arsy (singgasana Allah), selama dosa-dosa besar dijauhi olehnya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Abu Hurairah ra..
* Nabi saw. bersabda: “Tidak ada sedikitpun kesusahan bagi orang-orang yang suka mengucapkan kalimat Laa`ilaaha illallaah ketika mereka mati, ketika berada di dalam kubur dan ketika dibangkitkan. Pada saat sangkakala ditiup, sepertinya aku melihat mereka menolehkan kepala mereka sambil berkata: ‘Segala puji hanya milik Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari diri kami.’” Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibnu Umar ra..
* Nabi saw. bersabda: “Calon-calon penghuni surga tidak pernah menyesal atas sesuatupun kecuali bila ada satu saat (kesempatan) yang mereka lalui sementara mereka tidak berdzikir kepada Allah swt. di dalamnya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi dari Mu’adz ra..
* Nabi saw. bersabda: “Tidak ada seorang hamba pun yang mengucapkan kalimat Laa`ilaaha illallaah sebanyak seratus kali kecuali Allah swt. akan membangkitkannya pada hari kiamat nanti dalam keadaan wajahnya (bersinar) seperti bulan pada malam bulan purnama, dan pada hari itu tidak diperlihatkan kepada seorangpun satu amal yang lebih baik daripada amal orang itu kecuali (amal) orang yang mengucapkan seperti yang diucapkan orang itu dengan jumlah yang sama atau lebih.” Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dari Abu Darda` ra..
* Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa yang mengucapkan kalimat Laa`ilaaha illallaah wahdahuu laa syariika lah, lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai`in qadiir (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, Tuhan satu-satunya yang tidak ada sekutu bagi-Nya; Hanya milik-Nya-lah semua kerajaan dan hanya milik-Nya-lah segala puji; Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu) sebanyak sepuluh kali kecuali baginya (pahala) membebaskan empat orang budak dari keturunan Nabi Isma`il.” Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Nasa`i dari Ayyub ra..
Kamis, 09 Juli 2009
Harta Ini Hanyalah Milik Allah
Sebagian orang menyangka bahwasanya Abu Bakar menjadi orang yang kaya raya karena ia mewarisi harta benda ayah dan ibundanya. Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian, Abu Bakar adalah seorang pedagang yang jujur, sehingga Allah swt menjadikannya kaya raya. Bahkan harta kekayaannya mencapai empat puluh ribu dirham. Dia merupakan seorang yang banyak familinya, seorang yang menafkahi keluarganya, memberikan nafkah kepada ayahnya yang terkena penyakit buta di akhir hayatnya, menafkahi ibunya yang telah lumpuh, bahkan ia memenuhi kebutuhan saudara-saudaranya yang masih kecil.
Setelah Allah swt mengutus Nabi-Nya, Muhammad saw, untuk membawa agama Islam, dakwah yang disebarkannya masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi hingga tiga tahun. Kemudian Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk menyebarkan agama Islam kepada seluruh umat manusia secara terang-terangan. Sejak saat itu, orang-orang musyrik mulai memusuhi Islam dan para pengikutnya. Mereka menganiaya orang-orang Islam yang lemah dan memusuhi orang-orang Islam yang kaya. Bahkan, orang-orang yang berkunjung ke Mekkah pasti akan mendengar teriakan orang-orang yang disiksa dan rintihan kaum lemah. Teriakan dan rintihan itu keluar dari orang-orang Muslim yang disiksa dan dianiaya karena mempertahankan agama Allah.
Dengan mata kepala sendiri, Abu Bakar melihat Bilal sedang disiksa. Bilal adalah seorang budak dari negeri Habasyah yang disiksa oleh tuannya yang bernama Umayyah bin Khalaf. Dalam keadaan telanjang, Bilal disiksa dengan cara dijemur di padang pasir kota Mekkah, kemudian di atas perutnya diletakkan batu besar. Badannya diikat dengan seutas tali, lalu dia ditarik oleh anak-anak Mekkah yang mencemooh dan mempermainkannya. Walaupun Bilal disiksa dengan sadis dan kejam, dia selalu mengucapkan kata-kata, “Ahad, Ahad” yang berarti Allah Maha Esa, Allah Maha Esa.
Peristiwa itu sangat menyentuh hati Abu Bakar. Dia segera pulang ke rumah untuk mengambil harta. Lalu dia mendatangi Umayyah bin Khalaf dan berkata kepadanya, “Juallah Bilal kepadaku.” Umayyah menjawab, “Aku menjualnya dengan harga lima uqiyah emas.” Abu Bakar pun membelinya. Setelah itu Umayyah berkata lagi, “Seandainya kamu menawarnya dengan harga satu uqiyah emas saja, aku pasti akan memberikannya padamu.” Abu Bakar menjawab, “Meski kamu menjualnya dengan harga seratus Uqiyyah emas, aku akan tetap membelinya.”
Demikianlah, Abu Bakar berpandangan bahwa sesungguhnya harta yang dimilikinya adalah milik Allah swt. Ia tidak kikir dengan harta kekayaannya. Sebaliknya, ia justru sering mendermakan hartanya kepada orang-orang muslim Mekkah, bahkan ia sering membelanjakan hartanya untuk membebaskan mereka dari siksaan kaum musyrikin. Rasulullah saw sendiri pernah bersabda tentang sosok Abu Bakar dan Bilal, “Tuanku (Abu Bakar) telah membebaskan tuanku (Bilal).” Bukan hanya Bilal saja yang telah dibeli dan dimerdekakan oleh Abu Bakar, tetapi Abu Bakar selalu mencari budak-budak yang telah masuk Islam. Lalu dia membeli mereka dengan menggunakan hartanya sendiri.
Dari sini, maka para penduduk Mekkah berkata, “Dia akan selalu membeli budak-budak Islam dengan maksud untuk membela (memerdekakan) mereka.” Mengenai pembebasan budak yang telah dilakukan oleh Abu Bakar ini, telah turun ayat Al-Qur`an yang berkaitan dengannya. Allah swt menjelaskan sosok Abu Bakar dalam firman-Nya, “Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu. Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya. Padahal tidak ada seorangpun memberikan nikmat kepadanya yang harus dibalasnya. Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.” (al-Lail : 17-21)
Semua orang, baik dari kaum muslimin maupun musyrikin, mengetahui bahwa perbuatan Abu Bakar dalam membelanjakan hartanya di jalan Allah bukan dilakukan karena satu tujuan duniawi ataupun untuk mendapatkan sebuah kebanggaan yang didambakan oleh banyak orang. Sifat seperti ini terdapat pada diri kaum mukminin, di antaranya adalah pada diri Abu Bakar ra..
Setelah Allah swt mengutus Nabi-Nya, Muhammad saw, untuk membawa agama Islam, dakwah yang disebarkannya masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi hingga tiga tahun. Kemudian Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk menyebarkan agama Islam kepada seluruh umat manusia secara terang-terangan. Sejak saat itu, orang-orang musyrik mulai memusuhi Islam dan para pengikutnya. Mereka menganiaya orang-orang Islam yang lemah dan memusuhi orang-orang Islam yang kaya. Bahkan, orang-orang yang berkunjung ke Mekkah pasti akan mendengar teriakan orang-orang yang disiksa dan rintihan kaum lemah. Teriakan dan rintihan itu keluar dari orang-orang Muslim yang disiksa dan dianiaya karena mempertahankan agama Allah.
Dengan mata kepala sendiri, Abu Bakar melihat Bilal sedang disiksa. Bilal adalah seorang budak dari negeri Habasyah yang disiksa oleh tuannya yang bernama Umayyah bin Khalaf. Dalam keadaan telanjang, Bilal disiksa dengan cara dijemur di padang pasir kota Mekkah, kemudian di atas perutnya diletakkan batu besar. Badannya diikat dengan seutas tali, lalu dia ditarik oleh anak-anak Mekkah yang mencemooh dan mempermainkannya. Walaupun Bilal disiksa dengan sadis dan kejam, dia selalu mengucapkan kata-kata, “Ahad, Ahad” yang berarti Allah Maha Esa, Allah Maha Esa.
Peristiwa itu sangat menyentuh hati Abu Bakar. Dia segera pulang ke rumah untuk mengambil harta. Lalu dia mendatangi Umayyah bin Khalaf dan berkata kepadanya, “Juallah Bilal kepadaku.” Umayyah menjawab, “Aku menjualnya dengan harga lima uqiyah emas.” Abu Bakar pun membelinya. Setelah itu Umayyah berkata lagi, “Seandainya kamu menawarnya dengan harga satu uqiyah emas saja, aku pasti akan memberikannya padamu.” Abu Bakar menjawab, “Meski kamu menjualnya dengan harga seratus Uqiyyah emas, aku akan tetap membelinya.”
Demikianlah, Abu Bakar berpandangan bahwa sesungguhnya harta yang dimilikinya adalah milik Allah swt. Ia tidak kikir dengan harta kekayaannya. Sebaliknya, ia justru sering mendermakan hartanya kepada orang-orang muslim Mekkah, bahkan ia sering membelanjakan hartanya untuk membebaskan mereka dari siksaan kaum musyrikin. Rasulullah saw sendiri pernah bersabda tentang sosok Abu Bakar dan Bilal, “Tuanku (Abu Bakar) telah membebaskan tuanku (Bilal).” Bukan hanya Bilal saja yang telah dibeli dan dimerdekakan oleh Abu Bakar, tetapi Abu Bakar selalu mencari budak-budak yang telah masuk Islam. Lalu dia membeli mereka dengan menggunakan hartanya sendiri.
Dari sini, maka para penduduk Mekkah berkata, “Dia akan selalu membeli budak-budak Islam dengan maksud untuk membela (memerdekakan) mereka.” Mengenai pembebasan budak yang telah dilakukan oleh Abu Bakar ini, telah turun ayat Al-Qur`an yang berkaitan dengannya. Allah swt menjelaskan sosok Abu Bakar dalam firman-Nya, “Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu. Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya. Padahal tidak ada seorangpun memberikan nikmat kepadanya yang harus dibalasnya. Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.” (al-Lail : 17-21)
Semua orang, baik dari kaum muslimin maupun musyrikin, mengetahui bahwa perbuatan Abu Bakar dalam membelanjakan hartanya di jalan Allah bukan dilakukan karena satu tujuan duniawi ataupun untuk mendapatkan sebuah kebanggaan yang didambakan oleh banyak orang. Sifat seperti ini terdapat pada diri kaum mukminin, di antaranya adalah pada diri Abu Bakar ra..
Hukum Memakai Parfum Berakohol
* Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Saya mau tanya, apa hukumnya memakai pewangi (parfum), minyak rambut dan lain-lain yang mengandung alkohol? Apakah benda-benda tersebut boleh dipakai untuk shalat? Terima kasih
* Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
* Muhammad Soleman…..
* Jawaban:
* Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Mengenai hukum parfum yang mengandung alkohol, memang terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang berpendapat bahwa parfum seperti itu dianggap sebagai najis, karena ia disamakan dengan khamar yang dianggap Al-Qur`an sebagai sesuatu yang najis (rijsun), seperti disebutkan dalam firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah [5]: 90) Oleh karena itu, parfum seperti itu tidak boleh digunakan untuk shalat. Bila seseorang memakainya untuk shalat, maka shalatnya dianggap tidak sah.
Tetapi ada pula ulama yang berpendapat bahwa parfum yang mengandung alkohol tidak najis, asalkan ia terbuat dari bahan yang memang tidak najis. Mereka menafsirkan lafazh “rijsun” (najis) pada ayat di atas dengan makna najis hukmi/maknawi (abstrak). Sama seperti patung dan kartu judi, yang tergolong najis secara maknawi. Bentuk fisik patung dan kartu judi tidaklah najis, sehingga bila seseorang menyentuhnya, maka ia tidak dianggap bernajis. Sebagian ulama Al-Azhar mengikuti pendapat ini. Menurut mereka, benda-benda yang dicampur dengan alkohol hukumnya tidak najis. Dengan demikian, bila seseorang memakai parfum yang berakohol, maka shalatnya tetap sah. Pendapat inilah yang lebih kuat menurut saya pribadi.
Tetapi sebagai kehati-hatian, tidak ada salahnya bila kita berusaha untuk menghindari parfum yang mengandung alkohol. Apalagi pada zaman sekarang ini, sudah banyak ditemukan parfum-parfum yang tidak mengandung alkohol. Wallaahu A’lam….
Saya mau tanya, apa hukumnya memakai pewangi (parfum), minyak rambut dan lain-lain yang mengandung alkohol? Apakah benda-benda tersebut boleh dipakai untuk shalat? Terima kasih
* Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
* Muhammad Soleman…..
* Jawaban:
* Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Mengenai hukum parfum yang mengandung alkohol, memang terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang berpendapat bahwa parfum seperti itu dianggap sebagai najis, karena ia disamakan dengan khamar yang dianggap Al-Qur`an sebagai sesuatu yang najis (rijsun), seperti disebutkan dalam firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah [5]: 90) Oleh karena itu, parfum seperti itu tidak boleh digunakan untuk shalat. Bila seseorang memakainya untuk shalat, maka shalatnya dianggap tidak sah.
Tetapi ada pula ulama yang berpendapat bahwa parfum yang mengandung alkohol tidak najis, asalkan ia terbuat dari bahan yang memang tidak najis. Mereka menafsirkan lafazh “rijsun” (najis) pada ayat di atas dengan makna najis hukmi/maknawi (abstrak). Sama seperti patung dan kartu judi, yang tergolong najis secara maknawi. Bentuk fisik patung dan kartu judi tidaklah najis, sehingga bila seseorang menyentuhnya, maka ia tidak dianggap bernajis. Sebagian ulama Al-Azhar mengikuti pendapat ini. Menurut mereka, benda-benda yang dicampur dengan alkohol hukumnya tidak najis. Dengan demikian, bila seseorang memakai parfum yang berakohol, maka shalatnya tetap sah. Pendapat inilah yang lebih kuat menurut saya pribadi.
Tetapi sebagai kehati-hatian, tidak ada salahnya bila kita berusaha untuk menghindari parfum yang mengandung alkohol. Apalagi pada zaman sekarang ini, sudah banyak ditemukan parfum-parfum yang tidak mengandung alkohol. Wallaahu A’lam….
Baiti Jannati: Mimpi dan Harapan Di Balik Pilpres
Hari ini, insya Allah rakyat Indonesia akan melaksanakan pemilihan presiden yang merupakan bagian dari proses demokrasi. Mereka akan menyalurkan hak pilih mereka guna menentukan siapa yang akan menjadi orang nomer satu di negeri tercinta ini.
Jantung ketiga pasangan capres yang ikut dalam pilpres tahun 2009 pun mulai berdebar-debar. Mereka akan bertarung guna menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin bagi 250 juta lebih penduduk negeri yang terletak di garis katulistiwa ini.
Sebagai warga negara yang ingin memiliki andil dalam menentukan arah negara ini, sekecil apapun andil tersebut, saya akan menyalurkan aspirasi saya. Tentunya sesuai dengan hati nurani dan penilaian obyektif saya. Hal itu akan saya lakukan meskipun saya sadar bahwa ketiga pasangan capres yang ada belum memenuhi kriteria pemimpin ideal dalam kaca mata saya, yaitu kriteria yang didasarkan pada pengetahuan saya tentang hukum-hukum Islam.
Terus terang, saya pribadi kurang setuju bila ada orang yang tidak ikut menentukan pilihan dalam pilpres ini dengan alasan-alasan tertentu. Apalagi dengan alasan capres-capres yang ada tidak memenuhi kriteria ideal menurutnya. Sebab, walaupun pasangan capres yang ada belum memenuhi kriteria ideal, tapi itulah kenyataan yang ada. Sehingga menurut saya, kuranglah bijak bila umat Islam hanya menyerah begitu saja dan menyerahkan nasib bangsa ini kepada orang-orang yang ikut melakukan pemilihan. Dengan mengambil sikap seperti itu, berarti seseorang telah siap bila negeri ini dipimpin oleh orang yang mungkin kurang memperhatikan kepentingan umat Islam.
Apa yang saya lontarkan ini cukup beralasan, karena ketika Rasulullah saw. sendiri dihadapkan pada dua pilihan, dimana keduanya sama-sama kurang baik dalam pandangan beliau, maka beliau akan memilih yang paling ringan dampaknya. Inilah kaidah yang harus kita fahami dan kita amalkan dalam setiap aspek kehidupan kita, termasuk dalam masalah politik.
Berdasarkan kaidah tersebut, bila memang capres-capres yang ada kurang berkenan di hati kita, karena mungkin adanya hal-hal minus yang telah mereka lakukan, maka paling tidak kita harus memilih mana yang terbaik menurut kita. Tentunya sesuai penilaian dan ijtihad kita masing-masing. Semua itu tidak lepas dari harapan kita agar negara yang penduduknya mayoritas Muslim ini dapat bergerak menuju ke arah yang lebih baik. Apapun hasilnya nanti, kita serahkan sepenuhnya kepada Dzat Yang Maha Kuasa, Allah swt.. Yang terpenting bagi kita hanyalah berusaha, berharap dan banyak berdoa.
Saya yakin, setiap orang di antara kita terutama yang beragama Islam pasti mengharapkan pemerintahan yang lebih baik, yaitu pemerintahan yang lebih memperhatikan kepentingan rakyat, terutama kepentingan umat Islam. Tetapi apakah harapan seperti itu akan terwujud bila kita hanya bersikap abstain, alias tidak menentukan pilihan?
Ya, kita harus berusaha dan berdoa, semoga capres yang terpilih nanti -siapapun dia- akan menjadi pemimpin yang lebih berpihak kepada rakyat. Pemimpin yang memperhatikan kepentingan rakyat dan pemimpin yang siap bekerja keras demi kesejahteraan rakyat. Saya pribadi selalu berharap dan berdoa, semoga bangsa Indonesia ini memiliki pemimpin seperti Baginda Rasulullah saw. dan Umar bin Khathab ra.. Meskipun tidak mirip persis, paling tidak sikap dan kebijakan pemimpin tersebut menauladani kedua pemimpin terbaik sepanjang sejarah Islam itu.
Saya juga berharap, siapapun yang terpilih nanti, tidak ada kekecewaan dalam hati capres-capres yang kalah, yang dapat berujung pada kekacauan dan dapat mengganggu stabilitas nasional. Mereka harus legowo menerima hasil pilpres nanti. Sikap seperti itu akan mendukung tercapainya harapan kita, yaitu terwujudnya negara yang aman, sentosa, sejahtera dan diridhai Allah swt..
Siapapun capres yang akan terpilih nanti, hendaknya konsep “Baiti jannati” (Rumahku Surgaku) harus ditanamkan dalam benaknya. Sebab, negara ini ibarat rumah yang kita tempati. Bila nyaman, maka kehidupan kita pun akan terasa di surga. Sebaliknya, bila tidak, maka kehidupan kita akan terasa seperti di neraka. Menurut saya, konsep “Baiti jannati” hendaknya tidak hanya diterapkan dalam keluarga yang merupakan institusi terkecil dalam masyarakat, tetapi juga dalam kehidupan bernegara.
Akankah semua itu terwujud? Wallaahu A’lam…Hanya Allah yang lebih mengetahui. Sebagai manusia yang lemah, kita hanya bisa berusaha dan berharap…
Jantung ketiga pasangan capres yang ikut dalam pilpres tahun 2009 pun mulai berdebar-debar. Mereka akan bertarung guna menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin bagi 250 juta lebih penduduk negeri yang terletak di garis katulistiwa ini.
Sebagai warga negara yang ingin memiliki andil dalam menentukan arah negara ini, sekecil apapun andil tersebut, saya akan menyalurkan aspirasi saya. Tentunya sesuai dengan hati nurani dan penilaian obyektif saya. Hal itu akan saya lakukan meskipun saya sadar bahwa ketiga pasangan capres yang ada belum memenuhi kriteria pemimpin ideal dalam kaca mata saya, yaitu kriteria yang didasarkan pada pengetahuan saya tentang hukum-hukum Islam.
Terus terang, saya pribadi kurang setuju bila ada orang yang tidak ikut menentukan pilihan dalam pilpres ini dengan alasan-alasan tertentu. Apalagi dengan alasan capres-capres yang ada tidak memenuhi kriteria ideal menurutnya. Sebab, walaupun pasangan capres yang ada belum memenuhi kriteria ideal, tapi itulah kenyataan yang ada. Sehingga menurut saya, kuranglah bijak bila umat Islam hanya menyerah begitu saja dan menyerahkan nasib bangsa ini kepada orang-orang yang ikut melakukan pemilihan. Dengan mengambil sikap seperti itu, berarti seseorang telah siap bila negeri ini dipimpin oleh orang yang mungkin kurang memperhatikan kepentingan umat Islam.
Apa yang saya lontarkan ini cukup beralasan, karena ketika Rasulullah saw. sendiri dihadapkan pada dua pilihan, dimana keduanya sama-sama kurang baik dalam pandangan beliau, maka beliau akan memilih yang paling ringan dampaknya. Inilah kaidah yang harus kita fahami dan kita amalkan dalam setiap aspek kehidupan kita, termasuk dalam masalah politik.
Berdasarkan kaidah tersebut, bila memang capres-capres yang ada kurang berkenan di hati kita, karena mungkin adanya hal-hal minus yang telah mereka lakukan, maka paling tidak kita harus memilih mana yang terbaik menurut kita. Tentunya sesuai penilaian dan ijtihad kita masing-masing. Semua itu tidak lepas dari harapan kita agar negara yang penduduknya mayoritas Muslim ini dapat bergerak menuju ke arah yang lebih baik. Apapun hasilnya nanti, kita serahkan sepenuhnya kepada Dzat Yang Maha Kuasa, Allah swt.. Yang terpenting bagi kita hanyalah berusaha, berharap dan banyak berdoa.
Saya yakin, setiap orang di antara kita terutama yang beragama Islam pasti mengharapkan pemerintahan yang lebih baik, yaitu pemerintahan yang lebih memperhatikan kepentingan rakyat, terutama kepentingan umat Islam. Tetapi apakah harapan seperti itu akan terwujud bila kita hanya bersikap abstain, alias tidak menentukan pilihan?
Ya, kita harus berusaha dan berdoa, semoga capres yang terpilih nanti -siapapun dia- akan menjadi pemimpin yang lebih berpihak kepada rakyat. Pemimpin yang memperhatikan kepentingan rakyat dan pemimpin yang siap bekerja keras demi kesejahteraan rakyat. Saya pribadi selalu berharap dan berdoa, semoga bangsa Indonesia ini memiliki pemimpin seperti Baginda Rasulullah saw. dan Umar bin Khathab ra.. Meskipun tidak mirip persis, paling tidak sikap dan kebijakan pemimpin tersebut menauladani kedua pemimpin terbaik sepanjang sejarah Islam itu.
Saya juga berharap, siapapun yang terpilih nanti, tidak ada kekecewaan dalam hati capres-capres yang kalah, yang dapat berujung pada kekacauan dan dapat mengganggu stabilitas nasional. Mereka harus legowo menerima hasil pilpres nanti. Sikap seperti itu akan mendukung tercapainya harapan kita, yaitu terwujudnya negara yang aman, sentosa, sejahtera dan diridhai Allah swt..
Siapapun capres yang akan terpilih nanti, hendaknya konsep “Baiti jannati” (Rumahku Surgaku) harus ditanamkan dalam benaknya. Sebab, negara ini ibarat rumah yang kita tempati. Bila nyaman, maka kehidupan kita pun akan terasa di surga. Sebaliknya, bila tidak, maka kehidupan kita akan terasa seperti di neraka. Menurut saya, konsep “Baiti jannati” hendaknya tidak hanya diterapkan dalam keluarga yang merupakan institusi terkecil dalam masyarakat, tetapi juga dalam kehidupan bernegara.
Akankah semua itu terwujud? Wallaahu A’lam…Hanya Allah yang lebih mengetahui. Sebagai manusia yang lemah, kita hanya bisa berusaha dan berharap…
Minggu, 05 Juli 2009
Ad-Dars Ats-Tsaamin (Pelajaran Kedelapan)
Seperti pada pelajaran keenam dan ketujuh, pada pelajaran kedelapan ini kita akan melatih keahlian dalam mengikuti perubahan kata ganti bersambung (adh-dhamaa`ir al-muttashilah). Hanya saja, pada pelajaran ke delapan ini, kata yang disambungkan dengan kata ganti bersambung tersebut adalah kata ’inda (memiliki) dan laakinna (tetapi).
Bila Anda ingin mengetik dalam bahasa Arab, tetapi di komputer Anda tidak ada program Arab, buka saja link berikut ini: http://www.arabic-keyboard.org
Untuk mendownload pelajaran ketujuh ini, klik judul tulisan.
Bila Anda ingin mengetik dalam bahasa Arab, tetapi di komputer Anda tidak ada program Arab, buka saja link berikut ini: http://www.arabic-keyboard.org
Untuk mendownload pelajaran ketujuh ini, klik judul tulisan.
Benarkah Sombong Juga Termasuk Sedekah?
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya mau tanya: Apa benar Rasulullah saw. pernah bersabda:
اَلتَّكَبُّرُعَلَى الْمُتَكَبِّرِصَدَقَةٌ
“Sombong terhadap orang yang sombong itu termasuk sedekah.”?
Syukran kastiran
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Ushuluddin Akbar.....
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Hadits ini sering dijadikan alat untuk melegalisasi tindakan sikap sombong seseorang terhadap orang lain yang telah bersikap sombong terlebih dahulu. Benarkah seperti itu? Mari kita diskusikan! Kualitas sebuah hadits dapat dilihat baik dari segi matan (isi) ataupun dari segi sanad (periwayatan). Bila dilihat dari segi matan, ada sedikit ganjalan pada makna hadits tersebut. Apa iya, bersikap sombong terhadap orang lain itu dibenarkan, bahkan termasuk ke dalam perbuatan sedekah? Rasanya tidak mungkin!
Ketika ditelusuri kualitas hadits tersebut dari segi periwayatan, ternyata dugaan adanya keganjalan itu benar. Dalam bukunya yang berjudul “Hadis-hadis Bermasalah”, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, seorang pakar Ilmu Hadits Indonesia, mengutip pernyataan Imam Al-Qari yang diriwayatkan dari Imam Ar-Razi, bahwa ungkapan di atas adalah sekedar omongan orang, bukan hadits. Namun di kalangan masyarakat, ungkapan tersebut terkenal sebagai hadits, karenanya ia pun tercantum dalam kitab Kasyf al-Khafa wa Muzil al-Ilbas karya Al-‘Ajluni (w. 1162), sebuah kitab yang berisi hadits-hadits yang populer di masyarakat.
Demikian penjelasan dari saya, mudah-mudahan dapat difahami dengan baik. Wallaahu A’lam….
Pak Ustadz, saya mau tanya: Apa benar Rasulullah saw. pernah bersabda:
اَلتَّكَبُّرُعَلَى الْمُتَكَبِّرِصَدَقَةٌ
“Sombong terhadap orang yang sombong itu termasuk sedekah.”?
Syukran kastiran
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Ushuluddin Akbar.....
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Hadits ini sering dijadikan alat untuk melegalisasi tindakan sikap sombong seseorang terhadap orang lain yang telah bersikap sombong terlebih dahulu. Benarkah seperti itu? Mari kita diskusikan! Kualitas sebuah hadits dapat dilihat baik dari segi matan (isi) ataupun dari segi sanad (periwayatan). Bila dilihat dari segi matan, ada sedikit ganjalan pada makna hadits tersebut. Apa iya, bersikap sombong terhadap orang lain itu dibenarkan, bahkan termasuk ke dalam perbuatan sedekah? Rasanya tidak mungkin!
Ketika ditelusuri kualitas hadits tersebut dari segi periwayatan, ternyata dugaan adanya keganjalan itu benar. Dalam bukunya yang berjudul “Hadis-hadis Bermasalah”, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, seorang pakar Ilmu Hadits Indonesia, mengutip pernyataan Imam Al-Qari yang diriwayatkan dari Imam Ar-Razi, bahwa ungkapan di atas adalah sekedar omongan orang, bukan hadits. Namun di kalangan masyarakat, ungkapan tersebut terkenal sebagai hadits, karenanya ia pun tercantum dalam kitab Kasyf al-Khafa wa Muzil al-Ilbas karya Al-‘Ajluni (w. 1162), sebuah kitab yang berisi hadits-hadits yang populer di masyarakat.
Demikian penjelasan dari saya, mudah-mudahan dapat difahami dengan baik. Wallaahu A’lam….
Langganan:
Postingan (Atom)