Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Maaf Pak Ustadz, saya mau nanya. Saya mempunyai ayah yang sudah meninggal sekitar 10 bulan yang lalu. Beliau meninggalkan harta yang cukup banyak, antara lain 4 buah rumah. Salah satu di antaranya vila, sawah, kolam ikan serta rumah kontrakan sebanyak 36 kamar. Belum lagi warisan rumah, tanah dan sawah peninggalan ayahnya (kakek saya) di Jawa. Tetapi ibu saya tidak mau membagikannya dengan alasan untuk membiayai sekolah adik laki-laki saya yang bungsu. Bahkan, bila ibu ditanya tentang pembagian warisan tersebut, beliau malah marah-marah dan menganggap kami anak yang durhaka. Karena bingung, kami pun membiarkan sikap ibu. Kami 5 bersaudara, 2 laki-laki dan 3 perempuan. Bagaimana hukumnya Pak Ustadz, sedangkan ada salah satu anaknya yang membutuhkannya. Terima kasih atas waktunya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
D - …..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Seperti yang pernah saya utarakan, persoalan warisan merupakan persoalan yang sangat sensitif karena dapat merusak hubungan antara seseorang dengan kerabatnya, saudaranya atau bahkan dengan orangtuanya sendiri. Karena itu, hendaknya seorang Muslim mengikuti aturan-aturan warisan yang telah ditetapkan oleh Islam. Seperti pada kasus yang Anda hadapi, bila salah satu pihak tidak hati-hati dalam mengambil sikap, maka hubungan antara dirinya dengan pihak yang lain dapat renggang. Dalam hal ini, hubungan antara anak dengan ibunya sendiri. Di sini dibutuhkan adanya sikap bijaksana orangtua dan pengertian dari anak-anaknya.
Orangtua harus bersikap bijaksana terhadap anak-anaknya termasuk dalam masalah warisan. Dia juga harus membuang jauh-jauh egonya, tentunya tidak lain dan tidak bukan hanya untuk kebaikan seluruh anaknya, bukan hanya untuk satu anak saja. Dalam kasus Anda, seharusnya ibu membagikan harta warisan sang ayah kepada anak-anaknya, apalagi anak-anaknya sudah dewasa hingga dapat mengelola hartanya sendiri. Atau paling tidak, ibu harus menentukan bagian masing-masing sesuai ketentuan hukum fara`idh meskipun pengelolaan atas harta tersebut masih di pegang dirinya. Sebab, berbicara soal warisan adalah berbicara soal hak, dan hak harus disampaikan kepada pemiliknya. Oleh karena itu, ibu harus bersikap legowo dan terbuka dalam masalah pembagian warisan. Dia tidak boleh marah bila ditanya oleh anak-anaknya yang sudah dewasa mengenai hal itu, apalagi sampai menganggap anaknya durhaka.
Menurut saya, andaikata ibu Anda memang ingin membiayai anak bungsunya dari harta warisan tersebut, maka ada dua alternatif solusi yang bisa dia lakukan dimana keduanya tetap sesuai dengan aturan Islam.
Pertama: Ibu membagikan kepada anak-anaknya haknya masing-masing tetapi dia meminta komitmen mereka (terutama yang sudah bekerja) untuk membantu pembiayaan sekolah adik bungsu mereka. Di sini, ibu tidak berperan sebagai pengelola seluruh harta karena sudah dibagikan kepada anak-anaknya kecuali bagiannya sendiri dan (bila ada) bagian anak yang belum mampu mengelola hartanya.
Kedua: Ibu menentukan bagian masing-masing ahli waris (termasuk dirinya) tanpa harus membagikannya langsung sehingga pengelolaan atas seluruh harta masih di tangan sang ibu. Dalam hal ini, yang berlaku adalah prinsip syirkah jabar (kepemilikan bersama akibat faktor warisan) seperti yang pernah saya jelaskan pada konsultasi sebelumnya. Tentunya bila kira-kira ada anak yang sangat membutuhkan, maka sebaiknya ibu memberikan jatah anak tersebut, sisanya dia kelola atas kesepakatan semua pihak. Ibu dapat menggunakan hasil pengelolaan harta tersebut untuk pembiayaan sekolah anak bungsunya, bila ada sisa maka dibagikan kepada anak-anaknya.
Selain membutuhkan adanya sikap bijaksana sang ibu, masalah yang Anda hadapi juga membutuhkan adanya pengertian atau kesadaran dari anak-anak untuk membantu orangtuanya. Apalagi sejak ditinggal sang ayah, mungkin ibu tidak memiliki penghasilan untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya termasuk pembiayaan sekolah anak bungsunya. Mungkin inilah yang menyebabkan kekhawatiran sang ibu sehingga dia tidak mau membagikan harta warisan suaminya kepada anak-anaknya. Bila memang kondisinya seperti itu, maka –menurut saya- alternatif solusi kedua lebih baik.
Saran saya, cobalah bicarakan masalah ini dengan saudara-saudara Anda yang lain, setelah itu bicarakan bersama-sama dengan ibu dengan penyampaian yang baik yang tidak menyinggung perasaannya. Pilihlah waktu yang tepat, terutama saat ibu sedang dalam keadaan nyaman untuk diajak berdiskusi. Sebab, walau bagaimana pun, dia adalah ibu Anda yang harus tetap dihormati dan diperlakukan dengan baik, sesuai firman Allah swt.: “maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.’” (QS. Al-Israa` [17]: 23) Di ayat lain, Allah swt. juga berfirman: “dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqmaan [31]: 15)
Sekedar informasi, cara pembagian warisan harta ayah Anda adalah sebagai berikut:
- Ibu (isteri ayah) mendapat 1/8
- Yang 7/8 dibagi untuk 2 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Karena bagian 1 anak laki-laki = bagian 2 anak perempuan, maka bila ada 2 anak laki-laki dan 3 anak perempuan, itu sama saja dengan 7 anak perempuan. Dengan demikian, maka 7/8 dibagi 7 = 1/8. Jadi bagian 1 anak perempuan = 1/8.
- Sedangkan bagian 1 anak laki-laki : 1/8 x 2 = 2/8.
Wallaahu A’lam Fatkhurozi
Rabu, 30 Desember 2009
Rabu, 23 Desember 2009
Curhat Soal Warisan Orangtua
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya juga ada problem yang hampir sama dengan topik warisan. Begini ceritanya Pak Ustadz; Almarhum kakek (dari pihak ayah) mempunyai sebidang tanah (lahan) yang lumayan luas yang dibeli dari bapak mertua beliau. Beliau mempunyai 5 orang putera dan puteri, yaitu:
1. Almarhum ayah saya
2. Puteri (hilang akal sehat)
3. Puteri (bibi)
4. Putera (paman)
5. Puteri (anak pungut)
Sertifikat tanah tersebut dibuat atas nama orangtua perempuan (nenek) dari pihak ayah. Sebenarnya masih ada warisan lain, tapi kami tidak mau tahu. Kami pernah dengar bahwa anak-anak dari paman dan bibi sudah ditentukan bagiannya masing-masing. Demi Allah, kami tidak mempersoalkan hal itu. Bukankah langkah, rezeki, pertemuan dan maut datang dari Allah swt. selagi kita punya niat dan mau berusaha di jalan yang diridhai-Nya?
Di atas tanah tersebut, dulunya berdiri rumah lama almarhum kakek dan nenek. Saat menikah, paman membangun rumah huni keluarganya persis di samping rumah lama. Kemudian paman memugar rumahnya lebih besar lagi. Akhirnya, rumah lama pun dibongkar dan didirikanlah bangunan baru, rumah paman dan nenek. Dulu kami tinggal di luar daerah, tetapi entah kenapa tiba-tiba almarhum ayah mengajak almarhum ibu dan kami pindah ke lahan itu juga.
Almarhum ayah pernah berkata, hal itu beliau lakukan atas permintaan nenek. Ayah pun membangun rumah huni di sisi lahan yang masing kosong. Perbandingan rumah di lahan tersebut adalah sebagai berikut:
· ½ bagian dari lahan tersebut dibangun rumah paman.
· ¼ nya dibangun rumah nenek yang ditempatinya bersama bibi yang (hilang akal sehatnya) serta bibi janda (anak pungut) dan kedua anaknya.
· ¼ bagian lagi dibangun almarhum ayah untuk rumah huni kami sekeluarga.
· Bibi (no. 3) diberikan lahan beserta rumah 7 km dari lahan ini.
Perlu Pak Ustadz ketahui, almarhum ayah pernah menanyakan apakah itu sudah pembagian masing-masing ataukah hanya sementara. Eh malah almarhum ayah dimusuhi oleh paman-paman, bibi-bibi dan juga nenek. Nenek mengatakan “Warisan itu belum dibagi”. Sampai-sampai kami yang saat itu masih kecil dimusuhi juga. Ditegur pun tak pernah. Bahkan tetangga-tetangga kami juga ikut dihasut agar membenci kami. Bertahun-tahun kami sekeluarga menjalani hidup seperti itu tanpa ada pembelaan dari siapapun. Almarhum ayah seperti anak yang terbuang, selalu dikucilkan dari lingkungan keluarga. Bahkan yang paling sadis, saat ayah menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit, tidak satu orang pun dari mereka yang melihat. Setelah jasad almarhum sampai di rumah, dan setelah tetangga-tetangga lain di sekitar rumah berdatangan, barulah mereka datang ke rumah.
Tepat 4 tahun setelah almarhum ayah dikebumikan, tepatnya pada saat ganti rugi pembebasan tanah oleh Negara untuk pelebaran jalan, barulah diketahui bahwa tanpa sepengetahuan ayah semasa hidup, nenek dan adik-adik ayah telah membuat 3 sertifikat baru atas lahan yang kami huni bersama sesuai ukuran rumah masing-masing (rumah paman, rumah nenek dan rumah ayah). Namun ketiga sertifikat tersebut atas nama nenek. Ketiga sertifikat tersebut sampai detik ini masih disimpan paman.
Tujuh tahun setelah ayah wafat, ibu pun menyusul. Maka, tinggallah kami bertiga. Susah senang kami jalani bersama tanpa ada dukungan dari siapapun. Saya (perempuan 28 th) memiliki dua adik laki-laki (26 th dan 24 th). Kami semua sudah bekerja, namun belum ada yang menikah. Bukankah kami sudah dewasa untuk diajak bicara, baik atau buruk. Kami pernah bertanya kepada nenek, apa status rumah yang kami huni itu? Beliau menyuruh kami untuk bertanya kepada paman. Namun, sang paman selalu menghindar dengan 1000 cara. Yang ingin kami tanyakan adalah:
1. Apakah benar tindakan nenek, paman dan bibi yang membuat 3 sertifikat baru atas nama nenek tanpa sepengetahuan ayah semasa hidup? Jika salah, tolong jelaskan bagaimana tata cara pembagian yang seharusnya menurut aturan Islam?
2. Apakah anak pungut juga mempunyai hak waris yang sama seperti anak kandung?
3. Apakah isteri dari paman dibolehkan berlaku dominan dalam urusan hak waris saudara kandung dari suaminya?
4. Apakah status kami dalam masalah pembagian harta warisa ayah?
Sekian dan terima kasih Pak Ustadz.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
D - ……
Jawaban
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
1. Terus terang, setelah membaca cerita Anda, saya belum tahu persis apakah tanah yang Anda anggap sebagai warisan kakek tersebut masih berstatus hak milik kakek atau sudah menjadi hak milik nenek. Sebab, Anda mengatakan bahwa sertifikat tanah tersebut atas nama orangtua perempuan dari ayah alias nenek. Berdasarkan kaidah “An-Naasu yahkumuuna bizh-zhawaahir wallaahu yahkumu bil-bawaathin” (Manusia menghukumi sesuatu berdasarkan hal-hal yang sifatnya lahiriah [bukti-bukti fisik], sedangkan Allah menghukumi sesuatu berdasarkan hal-hal yang sifatnya batiniyah), maka tanah tersebut bukan termasuk harta kakek, melainkan harta nenek karena sertifikatnya atas nama nenek.
Tetapi di kalangan masyarakat kita, terkadang pencantuman nama isteri dalam sertifikat tanah atau rumah suami hanya bersifat formalitas belaka, yang salah satu tujuannya untuk menghindari atau meminimalisir pajak. Jadi, pencantuman tersebut tidak berpengaruh terhadap pemindahan hak milik dari suami kepada isteri. Karenanya, perlu dilihat kembali apakah kakek benar-benar telah menghibahkan tanah tersebut kepada nenek dengan bukti pencantuman nama nenek dalam sertifikat tersebut, ataukah pencantuman itu hanya formalitas belaka?
Kedua hal tersebut jelas memiliki implikasi yang sangat berbeda. Bila kakek telah menghibahkan kepada nenek, maka tanah tersebut bukan lagi milik kakek sehingga ia tidak menjadi harta warisan sang kakek saat dia meninggal dunia. Ingat, pembicaraan mengenai harta (termasuk harta waris) tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai hak milik; siapa yang memiliki harta tersebut? Jika memang kakek telah menghibahkan kepada nenek, maka apa yang telah dilakukan nenek dengan membuat 3 sertifikat baru atas nama dirinya tidak salah, karena nenek berhak atas hak miliknya sendiri. Tetapi tidak bisa dibenarkan sepenuhnya, karena nenek tidak memberitahukan hal itu kepada ayah Anda padahal dia telah memberitahukannya kepada anak-anak yang lain.
Lain halnya bila ternyata pencantuman nama tersebut hanya formalitas belaka sehingga tidak berpengaruh terhadap perpindahan hak kepemilikan atas tanah tersebut dari kakek kepada nenek. Karena kakek tidak menghibahkan tanah tersebut kepada nenek, maka ia pun menjadi harta warisan kakek yang harus dibagikan kepada ahli warisnya secara adil dan sesuai ketentuan yang berlaku dalam hukum fara`idh (warisan). Bila memang demikian adanya, maka apa yang dilakukan nenek jelas tidak benar karena dia telah membuat sertifikat baru tanpa sepengetahuan ayah Anda yang juga termasuk salah satu ahli warisnya. Yang seharusnya dilakukan oleh nenek adalah membagi tanah tersebut dengan perhitungan sebagai berikut:
- Nenek (isteri kakek) mendapat 1/8 atau 0,125 karena ada anak
- Yang 7/8 (0,875) dibagi untuk 2 anak laki-laki (almarhum ayah Anda dan paman Anda) dan 2 puteri kandung kakek. Karena 1 bagian anak laki-laki = 2 bagian anak perempuan, maka 7/8 dibagi 3 = 0,2916666667. Itulah bagian untuk 1 anak laki-laki (termasuk ayah Anda), sedangkan bagian untuk 1 anak perempuan adalah 0,2916666667 dibagi 2 = 0,1458333334.
2. Anak pungut atau anak angkat bukan mrupakan ahli waris karena ia tidak memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan darah dengan si mayyit. Karenanya, Islam memberikan alternatif, apabila seseorang menginginkan agar anak angkatnya mendapat bagian dari harta yang akan ditinggalkannya nanti, maka dia dapat memberikannya melalui akad wasiat. Bila tidak ada wasiat, maka anak angkat tidak mendapat bagian sama sekali dari harta yang ditinggalkan. Tetapi perlu diingat, wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 dan tidak boleh diberikan kepada ahli waris.
2. Jelas tidak boleh, karena dia tidak memiliki hak sama sekali atas harta warisan tersebut.
3. Status Anda dan saudara Anda adalah sebagai ashabah, yaitu ahli waris yang mendapat sisa harta waris setelah dibagi untuk ahli waris yang lain. Dalam hal ini, ibu Anda (isteri ayah) mendapat 1/8. Dalam keterangan Anda di atas, Anda tidak secara tegas menyebutkan apakah nenek meninggal setelah ayah Anda ataukah sebelumnya. Bila nenek meninggal setelah ayah, maka nenek mendapat 1/6, setelah itu sisanya baru dibagi untuk Anda bertiga (dengan ketentuan 1 bagian anak laki-laki = 2 bagian anak perempuan). Tetapi bila nenek meninggal sebelum ayah, maka hanya dibagi untuk ibu Anda yaitu 1/8, sisanya untuk Anda bertig.
Demikian penjelasan dari saya. Mudah-mudahn bisa difahami dan dapat bermanfaat. Wallaahu A’lam… Fatkhurozi
Pak Ustadz, saya juga ada problem yang hampir sama dengan topik warisan. Begini ceritanya Pak Ustadz; Almarhum kakek (dari pihak ayah) mempunyai sebidang tanah (lahan) yang lumayan luas yang dibeli dari bapak mertua beliau. Beliau mempunyai 5 orang putera dan puteri, yaitu:
1. Almarhum ayah saya
2. Puteri (hilang akal sehat)
3. Puteri (bibi)
4. Putera (paman)
5. Puteri (anak pungut)
Sertifikat tanah tersebut dibuat atas nama orangtua perempuan (nenek) dari pihak ayah. Sebenarnya masih ada warisan lain, tapi kami tidak mau tahu. Kami pernah dengar bahwa anak-anak dari paman dan bibi sudah ditentukan bagiannya masing-masing. Demi Allah, kami tidak mempersoalkan hal itu. Bukankah langkah, rezeki, pertemuan dan maut datang dari Allah swt. selagi kita punya niat dan mau berusaha di jalan yang diridhai-Nya?
Di atas tanah tersebut, dulunya berdiri rumah lama almarhum kakek dan nenek. Saat menikah, paman membangun rumah huni keluarganya persis di samping rumah lama. Kemudian paman memugar rumahnya lebih besar lagi. Akhirnya, rumah lama pun dibongkar dan didirikanlah bangunan baru, rumah paman dan nenek. Dulu kami tinggal di luar daerah, tetapi entah kenapa tiba-tiba almarhum ayah mengajak almarhum ibu dan kami pindah ke lahan itu juga.
Almarhum ayah pernah berkata, hal itu beliau lakukan atas permintaan nenek. Ayah pun membangun rumah huni di sisi lahan yang masing kosong. Perbandingan rumah di lahan tersebut adalah sebagai berikut:
· ½ bagian dari lahan tersebut dibangun rumah paman.
· ¼ nya dibangun rumah nenek yang ditempatinya bersama bibi yang (hilang akal sehatnya) serta bibi janda (anak pungut) dan kedua anaknya.
· ¼ bagian lagi dibangun almarhum ayah untuk rumah huni kami sekeluarga.
· Bibi (no. 3) diberikan lahan beserta rumah 7 km dari lahan ini.
Perlu Pak Ustadz ketahui, almarhum ayah pernah menanyakan apakah itu sudah pembagian masing-masing ataukah hanya sementara. Eh malah almarhum ayah dimusuhi oleh paman-paman, bibi-bibi dan juga nenek. Nenek mengatakan “Warisan itu belum dibagi”. Sampai-sampai kami yang saat itu masih kecil dimusuhi juga. Ditegur pun tak pernah. Bahkan tetangga-tetangga kami juga ikut dihasut agar membenci kami. Bertahun-tahun kami sekeluarga menjalani hidup seperti itu tanpa ada pembelaan dari siapapun. Almarhum ayah seperti anak yang terbuang, selalu dikucilkan dari lingkungan keluarga. Bahkan yang paling sadis, saat ayah menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit, tidak satu orang pun dari mereka yang melihat. Setelah jasad almarhum sampai di rumah, dan setelah tetangga-tetangga lain di sekitar rumah berdatangan, barulah mereka datang ke rumah.
Tepat 4 tahun setelah almarhum ayah dikebumikan, tepatnya pada saat ganti rugi pembebasan tanah oleh Negara untuk pelebaran jalan, barulah diketahui bahwa tanpa sepengetahuan ayah semasa hidup, nenek dan adik-adik ayah telah membuat 3 sertifikat baru atas lahan yang kami huni bersama sesuai ukuran rumah masing-masing (rumah paman, rumah nenek dan rumah ayah). Namun ketiga sertifikat tersebut atas nama nenek. Ketiga sertifikat tersebut sampai detik ini masih disimpan paman.
Tujuh tahun setelah ayah wafat, ibu pun menyusul. Maka, tinggallah kami bertiga. Susah senang kami jalani bersama tanpa ada dukungan dari siapapun. Saya (perempuan 28 th) memiliki dua adik laki-laki (26 th dan 24 th). Kami semua sudah bekerja, namun belum ada yang menikah. Bukankah kami sudah dewasa untuk diajak bicara, baik atau buruk. Kami pernah bertanya kepada nenek, apa status rumah yang kami huni itu? Beliau menyuruh kami untuk bertanya kepada paman. Namun, sang paman selalu menghindar dengan 1000 cara. Yang ingin kami tanyakan adalah:
1. Apakah benar tindakan nenek, paman dan bibi yang membuat 3 sertifikat baru atas nama nenek tanpa sepengetahuan ayah semasa hidup? Jika salah, tolong jelaskan bagaimana tata cara pembagian yang seharusnya menurut aturan Islam?
2. Apakah anak pungut juga mempunyai hak waris yang sama seperti anak kandung?
3. Apakah isteri dari paman dibolehkan berlaku dominan dalam urusan hak waris saudara kandung dari suaminya?
4. Apakah status kami dalam masalah pembagian harta warisa ayah?
Sekian dan terima kasih Pak Ustadz.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
D - ……
Jawaban
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
1. Terus terang, setelah membaca cerita Anda, saya belum tahu persis apakah tanah yang Anda anggap sebagai warisan kakek tersebut masih berstatus hak milik kakek atau sudah menjadi hak milik nenek. Sebab, Anda mengatakan bahwa sertifikat tanah tersebut atas nama orangtua perempuan dari ayah alias nenek. Berdasarkan kaidah “An-Naasu yahkumuuna bizh-zhawaahir wallaahu yahkumu bil-bawaathin” (Manusia menghukumi sesuatu berdasarkan hal-hal yang sifatnya lahiriah [bukti-bukti fisik], sedangkan Allah menghukumi sesuatu berdasarkan hal-hal yang sifatnya batiniyah), maka tanah tersebut bukan termasuk harta kakek, melainkan harta nenek karena sertifikatnya atas nama nenek.
Tetapi di kalangan masyarakat kita, terkadang pencantuman nama isteri dalam sertifikat tanah atau rumah suami hanya bersifat formalitas belaka, yang salah satu tujuannya untuk menghindari atau meminimalisir pajak. Jadi, pencantuman tersebut tidak berpengaruh terhadap pemindahan hak milik dari suami kepada isteri. Karenanya, perlu dilihat kembali apakah kakek benar-benar telah menghibahkan tanah tersebut kepada nenek dengan bukti pencantuman nama nenek dalam sertifikat tersebut, ataukah pencantuman itu hanya formalitas belaka?
Kedua hal tersebut jelas memiliki implikasi yang sangat berbeda. Bila kakek telah menghibahkan kepada nenek, maka tanah tersebut bukan lagi milik kakek sehingga ia tidak menjadi harta warisan sang kakek saat dia meninggal dunia. Ingat, pembicaraan mengenai harta (termasuk harta waris) tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai hak milik; siapa yang memiliki harta tersebut? Jika memang kakek telah menghibahkan kepada nenek, maka apa yang telah dilakukan nenek dengan membuat 3 sertifikat baru atas nama dirinya tidak salah, karena nenek berhak atas hak miliknya sendiri. Tetapi tidak bisa dibenarkan sepenuhnya, karena nenek tidak memberitahukan hal itu kepada ayah Anda padahal dia telah memberitahukannya kepada anak-anak yang lain.
Lain halnya bila ternyata pencantuman nama tersebut hanya formalitas belaka sehingga tidak berpengaruh terhadap perpindahan hak kepemilikan atas tanah tersebut dari kakek kepada nenek. Karena kakek tidak menghibahkan tanah tersebut kepada nenek, maka ia pun menjadi harta warisan kakek yang harus dibagikan kepada ahli warisnya secara adil dan sesuai ketentuan yang berlaku dalam hukum fara`idh (warisan). Bila memang demikian adanya, maka apa yang dilakukan nenek jelas tidak benar karena dia telah membuat sertifikat baru tanpa sepengetahuan ayah Anda yang juga termasuk salah satu ahli warisnya. Yang seharusnya dilakukan oleh nenek adalah membagi tanah tersebut dengan perhitungan sebagai berikut:
- Nenek (isteri kakek) mendapat 1/8 atau 0,125 karena ada anak
- Yang 7/8 (0,875) dibagi untuk 2 anak laki-laki (almarhum ayah Anda dan paman Anda) dan 2 puteri kandung kakek. Karena 1 bagian anak laki-laki = 2 bagian anak perempuan, maka 7/8 dibagi 3 = 0,2916666667. Itulah bagian untuk 1 anak laki-laki (termasuk ayah Anda), sedangkan bagian untuk 1 anak perempuan adalah 0,2916666667 dibagi 2 = 0,1458333334.
2. Anak pungut atau anak angkat bukan mrupakan ahli waris karena ia tidak memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan darah dengan si mayyit. Karenanya, Islam memberikan alternatif, apabila seseorang menginginkan agar anak angkatnya mendapat bagian dari harta yang akan ditinggalkannya nanti, maka dia dapat memberikannya melalui akad wasiat. Bila tidak ada wasiat, maka anak angkat tidak mendapat bagian sama sekali dari harta yang ditinggalkan. Tetapi perlu diingat, wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 dan tidak boleh diberikan kepada ahli waris.
2. Jelas tidak boleh, karena dia tidak memiliki hak sama sekali atas harta warisan tersebut.
3. Status Anda dan saudara Anda adalah sebagai ashabah, yaitu ahli waris yang mendapat sisa harta waris setelah dibagi untuk ahli waris yang lain. Dalam hal ini, ibu Anda (isteri ayah) mendapat 1/8. Dalam keterangan Anda di atas, Anda tidak secara tegas menyebutkan apakah nenek meninggal setelah ayah Anda ataukah sebelumnya. Bila nenek meninggal setelah ayah, maka nenek mendapat 1/6, setelah itu sisanya baru dibagi untuk Anda bertiga (dengan ketentuan 1 bagian anak laki-laki = 2 bagian anak perempuan). Tetapi bila nenek meninggal sebelum ayah, maka hanya dibagi untuk ibu Anda yaitu 1/8, sisanya untuk Anda bertig.
Demikian penjelasan dari saya. Mudah-mudahn bisa difahami dan dapat bermanfaat. Wallaahu A’lam… Fatkhurozi
Kamis, 17 Desember 2009
wajah seorang penipu
Serpihan yang tercecer di tahun 2009-nya ade anita.
Wajah seorang penipu
“Bu.. . itu ada tamu.” Aku segera membenahi pakaianku. Siapa orangnya yang ingin bertemu tanpa ada janji terlebih dahulu di waktu menjelang maghrib seperti ini. Sepuluh menit lagi azan akan berkumandang. Artinya, waktu buka akan segera tiba. Di bulan Ramadhan tahun 2009 ini, anggota keluarga yang ikut berpuasa hampir semuanya Alhamdulillah.
Ternyata perempuan itu. Wajahnya yang dekil terlihat sumringah begitu melihat hadirku. Tapi hanya sesaat karena sedetik kemudian, wajah itu kembali terlihat sendu. Aku mendengus membuang muakku di dalam keranjang sampah di dalam hatiku. Mau apa dia?
“Bu. Saya senang melihat ibu sehat-sehat saja. Saya selalu berdoa kepada Allah agar ibu baik-baik saja. Ibu beruntung banget dibanding saya yang terus menerus menderita.” Aku terdiam mendengar ceracaunya tanpa reaksi.
Tahun lalu, perempuan ini pernah datang ke rumah. Waktu itu suamiku sedang berada di luar kota. Perempuan ini datang sambil membawa tiga buah gelas belimbing, serta dua buah mangkuk dengan gambar ayam jago. Mangkuk yang biasa dipakai oleh para penjual bakso. Tapi bukan apa yang dibawanya itu yang membuatku dengan segera membuka pintu dan mempersilakannya duduk. Yang membuatku segera mempersilakannya duduk adalah air mata yang mengalir deras di pipinya yang kotor. Sedu sedannya begitu menyayat hati.
“Tolong saya bu. Saya nggak tahu mesti minta tolong sama siapa lagi. Tetangga sudah bosan memberi bantuan pada saya. Tapi memang bukan kehendak saya yang terus menerus tertimpa kemalangan.” Aku mengangsurkan sehelai tissue untuknya menghapus sungai yang mengalir deras di pipinya tersebut. Coreng kelabu di wajahnya mulai terhapus oleh air mata itu. Tapi itu malah membuat wajahnya terlihat semakin memelas. Menggelitik rasa iba yang semula tertidur pulas. Perempuan itu bercerita bahwa suaminya sakit keras. Tidak dapat berdiri dan hanya dapat tertidur saja di atas tempat tidur. Struk datang tanpa permisi. Sudah lama penyakit darah tinggi dan diabetes menggerogoti suaminya. Tapi ketidak adaan biaya membuat perempuan itu tidak dapat membawa suaminya pergi ke dokter. Sementara anak-anaknya, yang berjumlah tiga orang, hari itu tidak mau pergi sekolah karena malu sudah dua bulan terlambat bayar SPP.
Dunia memang terkadang amat kejam pada beberapa orang, tapi amat sangat manis dan empuk bagi beberapa orang yang lain. Kebetulan, perempuan di depanku ini merasakan sisi yang serba tidak enak.
“Ibu, belilah gelas dan mangkuk saya ini. Berapa saja ibu menebusnya saya akan terima. Saya benar-benar butuh uang untuk beli obat suami saya dan bayar SPP anak-anak saya. Kasihan suami saya bu. Dia tidak bisa makan apa-apa jika belum menebus obatnya, karena obat itu bisa membantunya menetralkan penyakitnya. Kasihani suami saya bu.” Perempuan itu lalu bersimpuh di kakiku. Membuatku risih dan memintanya untuk kembali duduk di bangku. Aku punya uang. Masih ada sisa uang belanja yang semula aku sisihkan untuk membeli baju renang bagi putriku. Baju renang muslimah agar aurat putriku tertutup jika dia ingin bermain-main di dalam air sekalipun.
“Ibu tinggal dimana?” Mulutku mencoba untuk mengulur waktu. Sementara otakku terus menyusun prioritas mana yang lebih utama, membantunya atau memenuhi kebutuhan putriku. Perempuan itu lalu menyebutkan sebuah alamat. Ternyata alamat yang disebutnya tidak jauh dari tempatku tinggal. Aku tanya lagi, siapa nama suaminya. Perempuan itu lalu menyebut nama suaminya, lengkap dengan nama tetangga rumahnya di kiri dan di kanan. Aku tahu mereka semua. Aku sering bertemu mereka di pengajian kampung. Lalu dengan Bismillah uang seratus ribupun lolos ke tangannya dan menolak semua gelas dan mangkuk yang dia tawarkan.
“Pakai saja. Di sini masih banyak gelas dan mangkuk. Ibu lebih membutuhkannya.” Bibir perempuan itu langsung gemetar mendengar penolakanku. Sekali lagi dia langsung duduk bersimpuh ingin mencium kakiku. Aku menolaknya dengan risih. Hatiku masih menangis membayangkan penderitaan yang harus dia pikul. Seorang istri yang tiba-tiba harus merawat suaminya yang tidak bisa apa-apa, dan rengekan anak-anaknya yang merongrong. Tanpa pekerjaan, tanpa penghasilan, dia masih berusaha untuk bertahan di atas bumi yang keras seperti cadas.
Lalu perempuan itu pergi pulang.
Lalu aku menyelesaikan masakanku. Selesai masak, aku jadi terpikir untuk mengirim masakanku sebagian ke rumahnya. Bukankah Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk berbuat baik pada tetangga? Maka dengan berjalan kaki dan membawa masakan serta beberapa keperluan sembako, aku berjalan kaki mencari alamat.
Sayangnya, hingga satu jam aku berputar-putar tidak ada seorang pun yang tahu perempuan dan suaminya. Bahkan hingga Pak RT datang dan mendengar penuturanku, tetap perempuan itu tidak diketahui keberadaannya. Aku mulai merasa tidak enak. Rasa sesak mulai menyerang. Sesak karena marah yang tiba-tiba naik ke atas kepala. Aku telah ditipu di siang bolong. Kurang ajar!
Keesokannya Pak RW menemuiku dan menanyakan perihal kabar yang beredar. Terpaksa dengan hati yang masih marah aku ceritakan pada beliau. Akhirnya terungkap. Benar saja, ada beberapa orang yang juga mengadukan hal yang sama. Perempuan itu ternyata bukan siluman yang bisa begitu saja menghilang. Dia memang pernah menjadi warga di daerah kami tapi akhirnya diusir karena sering menipu kiri kanan. Masih gadis tapi mengaku sudah bersuami. Belum pernah punya anak tapi mengaku anak-anaknya banyak dan merongrong. Yang lebih parah lagi, semua uang yang diperolehnya itu dipakainya untuk main judi. ARFGHHH….
Lalu bulan Ramadhan di tahun 2009 ini, perempuan itu datang lagi di depan pintuku. Masih dengan wajah memelas dan dandanan bedak debu yang cukup tebal.
“Ibu, terima kasih atas bantuannya waktu itu. Di bulan ramadhan ini bu, saya jadi terpikir, mungkin enak kali ya kalau dagang kolak. Kalau nggak habis, ada anak-anak yang bisa ngabisinnya.” Aku tidak tersenyum juga tidak menyapa. Tapi aku melihat kesumringahan di wajahnya.
“Bu… ingat tahun lalu ibu datang ke rumah saya dan bilang suami ibu sakit parah?”
‘Iya… iya, ingat. Sekarang dia sudah baikan bu. Sudah bisa tertawa lagi, tapi tetap nggak bisa bangun dari tempat tidur. Ya Cuma itu saja kebiasaannya, tertawa saja. Terima kasih banyak bu atas bantuannya. Cuma yang namanya hidup, saya tetap harus cari uang. Makanya, bantuin saya dong bu buat dagang kolak.” Aku mendengus tapi mencoba untuk bersabar. Sebentar lagi buka, sebentar lagi buka.
“Bu, tahun lalu, setelah ibu pulang, saya menyusul ke rumah ibu. Ternyata ibu penipu. Ibu belum menikah dan belum pernah punya anak. Saya nggak tahu gelas dan mangkuk siapa yang ibu bawa. Tapi ibu sudah menipu saya.” Luka lama itu terbuka lagi. Kali ini aku amat sangat ingin menangis, bukan karena perih tapi karena berusaha keras untuk menahan sabar karena sedang berpuasa. Dadaku sesak menahan bendungan tangis yang saya tahan. Bayangan detik detik azan maghrib yang sebentar lagi mengalun menguatkan pertahanan dinding beton yang terus saya pertebal, pertebal. Ah, kenapa harus bermain-main dengan emosi seorang perempuan. Tidak tahukah bahwa jumlah air yang mengalir di tubuh seorang perempuan sepenuhnya adalah air mata yang akan langsung bergejolak jika emosinya sudah dipermainkan? Aku terus menyabar-nyabarkan diri. Tidak boleh setitikpun air mata ini tumpah. Aku adalah wanita yang amat sangat ingin terlihat kuat dan tangguh. Meski sebenarnya amat sangat rapuh.
Perempuan itu terperangah menatap saya. “Kok, rajin banget sih pake nyamperin segala? Kayak nggak ada kerjaan.” lalu dengan seringai yang tidak jelas dia langsung membalikkan tubuhnya dan berjalan santai menuju pagar rumahku. Pergi begitu saja. Tanpa permisi, tanpa keluar kata maaf satu potong pun. Sementara aku terus menerus harus mengaduk campuran semen dan batu-batu kali, agar beton-beton kesabaranku tidak runtuh. Agar dinding-dinding bangunan bendunganku tidak kalah oleh volume tangis yang benar-benar sudah membludak memenuhi rongga dada.
Dan itulah ujian kesabaran yang paling berat yang harus saya hadapi di bulan ramadhan 1430 H ini (Agustus 2009).
Wajah seorang penipu
“Bu.. . itu ada tamu.” Aku segera membenahi pakaianku. Siapa orangnya yang ingin bertemu tanpa ada janji terlebih dahulu di waktu menjelang maghrib seperti ini. Sepuluh menit lagi azan akan berkumandang. Artinya, waktu buka akan segera tiba. Di bulan Ramadhan tahun 2009 ini, anggota keluarga yang ikut berpuasa hampir semuanya Alhamdulillah.
Ternyata perempuan itu. Wajahnya yang dekil terlihat sumringah begitu melihat hadirku. Tapi hanya sesaat karena sedetik kemudian, wajah itu kembali terlihat sendu. Aku mendengus membuang muakku di dalam keranjang sampah di dalam hatiku. Mau apa dia?
“Bu. Saya senang melihat ibu sehat-sehat saja. Saya selalu berdoa kepada Allah agar ibu baik-baik saja. Ibu beruntung banget dibanding saya yang terus menerus menderita.” Aku terdiam mendengar ceracaunya tanpa reaksi.
Tahun lalu, perempuan ini pernah datang ke rumah. Waktu itu suamiku sedang berada di luar kota. Perempuan ini datang sambil membawa tiga buah gelas belimbing, serta dua buah mangkuk dengan gambar ayam jago. Mangkuk yang biasa dipakai oleh para penjual bakso. Tapi bukan apa yang dibawanya itu yang membuatku dengan segera membuka pintu dan mempersilakannya duduk. Yang membuatku segera mempersilakannya duduk adalah air mata yang mengalir deras di pipinya yang kotor. Sedu sedannya begitu menyayat hati.
“Tolong saya bu. Saya nggak tahu mesti minta tolong sama siapa lagi. Tetangga sudah bosan memberi bantuan pada saya. Tapi memang bukan kehendak saya yang terus menerus tertimpa kemalangan.” Aku mengangsurkan sehelai tissue untuknya menghapus sungai yang mengalir deras di pipinya tersebut. Coreng kelabu di wajahnya mulai terhapus oleh air mata itu. Tapi itu malah membuat wajahnya terlihat semakin memelas. Menggelitik rasa iba yang semula tertidur pulas. Perempuan itu bercerita bahwa suaminya sakit keras. Tidak dapat berdiri dan hanya dapat tertidur saja di atas tempat tidur. Struk datang tanpa permisi. Sudah lama penyakit darah tinggi dan diabetes menggerogoti suaminya. Tapi ketidak adaan biaya membuat perempuan itu tidak dapat membawa suaminya pergi ke dokter. Sementara anak-anaknya, yang berjumlah tiga orang, hari itu tidak mau pergi sekolah karena malu sudah dua bulan terlambat bayar SPP.
Dunia memang terkadang amat kejam pada beberapa orang, tapi amat sangat manis dan empuk bagi beberapa orang yang lain. Kebetulan, perempuan di depanku ini merasakan sisi yang serba tidak enak.
“Ibu, belilah gelas dan mangkuk saya ini. Berapa saja ibu menebusnya saya akan terima. Saya benar-benar butuh uang untuk beli obat suami saya dan bayar SPP anak-anak saya. Kasihan suami saya bu. Dia tidak bisa makan apa-apa jika belum menebus obatnya, karena obat itu bisa membantunya menetralkan penyakitnya. Kasihani suami saya bu.” Perempuan itu lalu bersimpuh di kakiku. Membuatku risih dan memintanya untuk kembali duduk di bangku. Aku punya uang. Masih ada sisa uang belanja yang semula aku sisihkan untuk membeli baju renang bagi putriku. Baju renang muslimah agar aurat putriku tertutup jika dia ingin bermain-main di dalam air sekalipun.
“Ibu tinggal dimana?” Mulutku mencoba untuk mengulur waktu. Sementara otakku terus menyusun prioritas mana yang lebih utama, membantunya atau memenuhi kebutuhan putriku. Perempuan itu lalu menyebutkan sebuah alamat. Ternyata alamat yang disebutnya tidak jauh dari tempatku tinggal. Aku tanya lagi, siapa nama suaminya. Perempuan itu lalu menyebut nama suaminya, lengkap dengan nama tetangga rumahnya di kiri dan di kanan. Aku tahu mereka semua. Aku sering bertemu mereka di pengajian kampung. Lalu dengan Bismillah uang seratus ribupun lolos ke tangannya dan menolak semua gelas dan mangkuk yang dia tawarkan.
“Pakai saja. Di sini masih banyak gelas dan mangkuk. Ibu lebih membutuhkannya.” Bibir perempuan itu langsung gemetar mendengar penolakanku. Sekali lagi dia langsung duduk bersimpuh ingin mencium kakiku. Aku menolaknya dengan risih. Hatiku masih menangis membayangkan penderitaan yang harus dia pikul. Seorang istri yang tiba-tiba harus merawat suaminya yang tidak bisa apa-apa, dan rengekan anak-anaknya yang merongrong. Tanpa pekerjaan, tanpa penghasilan, dia masih berusaha untuk bertahan di atas bumi yang keras seperti cadas.
Lalu perempuan itu pergi pulang.
Lalu aku menyelesaikan masakanku. Selesai masak, aku jadi terpikir untuk mengirim masakanku sebagian ke rumahnya. Bukankah Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk berbuat baik pada tetangga? Maka dengan berjalan kaki dan membawa masakan serta beberapa keperluan sembako, aku berjalan kaki mencari alamat.
Sayangnya, hingga satu jam aku berputar-putar tidak ada seorang pun yang tahu perempuan dan suaminya. Bahkan hingga Pak RT datang dan mendengar penuturanku, tetap perempuan itu tidak diketahui keberadaannya. Aku mulai merasa tidak enak. Rasa sesak mulai menyerang. Sesak karena marah yang tiba-tiba naik ke atas kepala. Aku telah ditipu di siang bolong. Kurang ajar!
Keesokannya Pak RW menemuiku dan menanyakan perihal kabar yang beredar. Terpaksa dengan hati yang masih marah aku ceritakan pada beliau. Akhirnya terungkap. Benar saja, ada beberapa orang yang juga mengadukan hal yang sama. Perempuan itu ternyata bukan siluman yang bisa begitu saja menghilang. Dia memang pernah menjadi warga di daerah kami tapi akhirnya diusir karena sering menipu kiri kanan. Masih gadis tapi mengaku sudah bersuami. Belum pernah punya anak tapi mengaku anak-anaknya banyak dan merongrong. Yang lebih parah lagi, semua uang yang diperolehnya itu dipakainya untuk main judi. ARFGHHH….
Lalu bulan Ramadhan di tahun 2009 ini, perempuan itu datang lagi di depan pintuku. Masih dengan wajah memelas dan dandanan bedak debu yang cukup tebal.
“Ibu, terima kasih atas bantuannya waktu itu. Di bulan ramadhan ini bu, saya jadi terpikir, mungkin enak kali ya kalau dagang kolak. Kalau nggak habis, ada anak-anak yang bisa ngabisinnya.” Aku tidak tersenyum juga tidak menyapa. Tapi aku melihat kesumringahan di wajahnya.
“Bu… ingat tahun lalu ibu datang ke rumah saya dan bilang suami ibu sakit parah?”
‘Iya… iya, ingat. Sekarang dia sudah baikan bu. Sudah bisa tertawa lagi, tapi tetap nggak bisa bangun dari tempat tidur. Ya Cuma itu saja kebiasaannya, tertawa saja. Terima kasih banyak bu atas bantuannya. Cuma yang namanya hidup, saya tetap harus cari uang. Makanya, bantuin saya dong bu buat dagang kolak.” Aku mendengus tapi mencoba untuk bersabar. Sebentar lagi buka, sebentar lagi buka.
“Bu, tahun lalu, setelah ibu pulang, saya menyusul ke rumah ibu. Ternyata ibu penipu. Ibu belum menikah dan belum pernah punya anak. Saya nggak tahu gelas dan mangkuk siapa yang ibu bawa. Tapi ibu sudah menipu saya.” Luka lama itu terbuka lagi. Kali ini aku amat sangat ingin menangis, bukan karena perih tapi karena berusaha keras untuk menahan sabar karena sedang berpuasa. Dadaku sesak menahan bendungan tangis yang saya tahan. Bayangan detik detik azan maghrib yang sebentar lagi mengalun menguatkan pertahanan dinding beton yang terus saya pertebal, pertebal. Ah, kenapa harus bermain-main dengan emosi seorang perempuan. Tidak tahukah bahwa jumlah air yang mengalir di tubuh seorang perempuan sepenuhnya adalah air mata yang akan langsung bergejolak jika emosinya sudah dipermainkan? Aku terus menyabar-nyabarkan diri. Tidak boleh setitikpun air mata ini tumpah. Aku adalah wanita yang amat sangat ingin terlihat kuat dan tangguh. Meski sebenarnya amat sangat rapuh.
Perempuan itu terperangah menatap saya. “Kok, rajin banget sih pake nyamperin segala? Kayak nggak ada kerjaan.” lalu dengan seringai yang tidak jelas dia langsung membalikkan tubuhnya dan berjalan santai menuju pagar rumahku. Pergi begitu saja. Tanpa permisi, tanpa keluar kata maaf satu potong pun. Sementara aku terus menerus harus mengaduk campuran semen dan batu-batu kali, agar beton-beton kesabaranku tidak runtuh. Agar dinding-dinding bangunan bendunganku tidak kalah oleh volume tangis yang benar-benar sudah membludak memenuhi rongga dada.
Dan itulah ujian kesabaran yang paling berat yang harus saya hadapi di bulan ramadhan 1430 H ini (Agustus 2009).
Rabu, 16 Desember 2009
Warisan Orangtua 3
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Maaf Pak, saya mau ikut nanya. Warisan itu harus segera dibagikan, tetapi bagaimana kalau ada salah satu ahli waris yang tidak setuju? Ibu saya sudah meninggal 1 tahun yang lalu. Beliau meninggalkan 1 buah rumah yang dulunya merupakan warisan dari orangtuanya (nenek saya). Sementara ayah saya ikut menyumbang pembangunan rumah tersebut. Bagaimana pembagian warisannya? (Ahli waris: ayah saya, 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan).
Saat ini, rumah itu ditempati oleh ayah saya, keluarga kakak saya yang perempuan dan keluarga adik saya. Kakak saya yang perempuan tersebut merasa keberatan bila rumah itu dibagikan, padahal semua keluarga sudah sepakat untuk membaginya termasuk ayah saya. Bagaimana solusinya Pak? Terima kasih atas jawabannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
T - ……
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
1. Dari penjelasan Anda, nampaknya rumah itu memang hak milik ibu, karena ayah hanya sekedar membantu. Biasanya dalam hubungan antara suami isteri, kalau niatnya hanya sekedar membantu, maka hal itu tidak akan mempengaruhi kepemilikan kecuali bila ada perjanjian antara kedua belah pihak ketika hendak membangun rumah.
2. Solusi yang tepat dalam kasus yang Anda sampaikan ini sangat tergantung pada kondisi masing-masing ahli waris, terutama kebutuhan sang ayah akan tempat tinggal dan kebutuhan anak-anak akan bagian dari harta waris tersebut. Yang dimaksud dengan kebutuhan ayah akan tempat tinggal adalah, apakah setelah harta waris itu dibagi ada jaminan tempat tinggal untuk sang ayah ataukah tidak. Bila ada, maka sebaiknya harta waris itu dibagi secepatnya. Tetapi bila tidak ada, maka sebaiknya pembagian itu ditunda tetapi dengan catatan bagian masing-masing ahli waris sudah ditetapkan, bila perlu menggunakan bukti tertulis. Dalam hal ini, berlakulah prinsip syirkah jabar (perserikatan atas sesuatu secara paksa karena faktor warisan).
Adapun yang dimaksud dengan kebutuhan anak-anak akan bagian dari harta waris tersebut adalah, apakah kondisi anak-anak yang menjadi ahli waris itu sangat membutuhkan bagian tersebut, terutama untuk menunjang perokonomian keluarganya masing-masing? Bila memang ada yang membutuhkan, maka sebaiknya harta waris itu dibagi secepatnya. Tetapi bila tidak ada yang membutuhkan, maka bisa menggunakan prinsip syirkah jabar. Hanya saja melihat penjelasan Anda bahwa semua keluarga telah sepakat untuk membaginya termasuk ayah, kecuali kakak perempuan, maka menurut saya sebaiknya harta warisan itu dibagi secepatnya. Bicarakan kembali dengan ayah dan saudara-saudara Anda dengan mempertimbangkan hal-hal yang saya jelaskan di atas.
3. Bagian untuk masing-masing ahli waris adalah:
- Karena ada anak, maka ayah mendapat ¼ atau 0,25
- 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan mendapat ¾ atau 0,75
- Bagian 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan sama dengan bagian 3 anak laki-laki, karena 1 anak laki-laki sama dengan 2 anak perempuan. Jadi bagian untuk 1 anak laki-laki adalah: ¾ dibagi 3 = 0,25
- Sedangkan bagian 1 anak perempuan adalah 0,25 : 2 = 0,125
Wallaahu A’lam
Maaf Pak, saya mau ikut nanya. Warisan itu harus segera dibagikan, tetapi bagaimana kalau ada salah satu ahli waris yang tidak setuju? Ibu saya sudah meninggal 1 tahun yang lalu. Beliau meninggalkan 1 buah rumah yang dulunya merupakan warisan dari orangtuanya (nenek saya). Sementara ayah saya ikut menyumbang pembangunan rumah tersebut. Bagaimana pembagian warisannya? (Ahli waris: ayah saya, 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan).
Saat ini, rumah itu ditempati oleh ayah saya, keluarga kakak saya yang perempuan dan keluarga adik saya. Kakak saya yang perempuan tersebut merasa keberatan bila rumah itu dibagikan, padahal semua keluarga sudah sepakat untuk membaginya termasuk ayah saya. Bagaimana solusinya Pak? Terima kasih atas jawabannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
T - ……
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
1. Dari penjelasan Anda, nampaknya rumah itu memang hak milik ibu, karena ayah hanya sekedar membantu. Biasanya dalam hubungan antara suami isteri, kalau niatnya hanya sekedar membantu, maka hal itu tidak akan mempengaruhi kepemilikan kecuali bila ada perjanjian antara kedua belah pihak ketika hendak membangun rumah.
2. Solusi yang tepat dalam kasus yang Anda sampaikan ini sangat tergantung pada kondisi masing-masing ahli waris, terutama kebutuhan sang ayah akan tempat tinggal dan kebutuhan anak-anak akan bagian dari harta waris tersebut. Yang dimaksud dengan kebutuhan ayah akan tempat tinggal adalah, apakah setelah harta waris itu dibagi ada jaminan tempat tinggal untuk sang ayah ataukah tidak. Bila ada, maka sebaiknya harta waris itu dibagi secepatnya. Tetapi bila tidak ada, maka sebaiknya pembagian itu ditunda tetapi dengan catatan bagian masing-masing ahli waris sudah ditetapkan, bila perlu menggunakan bukti tertulis. Dalam hal ini, berlakulah prinsip syirkah jabar (perserikatan atas sesuatu secara paksa karena faktor warisan).
Adapun yang dimaksud dengan kebutuhan anak-anak akan bagian dari harta waris tersebut adalah, apakah kondisi anak-anak yang menjadi ahli waris itu sangat membutuhkan bagian tersebut, terutama untuk menunjang perokonomian keluarganya masing-masing? Bila memang ada yang membutuhkan, maka sebaiknya harta waris itu dibagi secepatnya. Tetapi bila tidak ada yang membutuhkan, maka bisa menggunakan prinsip syirkah jabar. Hanya saja melihat penjelasan Anda bahwa semua keluarga telah sepakat untuk membaginya termasuk ayah, kecuali kakak perempuan, maka menurut saya sebaiknya harta warisan itu dibagi secepatnya. Bicarakan kembali dengan ayah dan saudara-saudara Anda dengan mempertimbangkan hal-hal yang saya jelaskan di atas.
3. Bagian untuk masing-masing ahli waris adalah:
- Karena ada anak, maka ayah mendapat ¼ atau 0,25
- 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan mendapat ¾ atau 0,75
- Bagian 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan sama dengan bagian 3 anak laki-laki, karena 1 anak laki-laki sama dengan 2 anak perempuan. Jadi bagian untuk 1 anak laki-laki adalah: ¾ dibagi 3 = 0,25
- Sedangkan bagian 1 anak perempuan adalah 0,25 : 2 = 0,125
Wallaahu A’lam
Warisan Orangtua 2
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, ada seorang laki-laki meninggalkan warisan sebuah rumah. Ketika meninggal, dia meninggalkan seorang isteri, 5 orang anak (3 laki-laki dan 2 perempuan), 15 cucu dan 1 cicit. Sekarang anaknya yang perempuan dan cucunya yang perempuan sudah meninggal. Kini rumah itu hendak dijual. Yang ingin saya tanyakan adalah:
1. Bagaimana cara pembagian warisannya ketika rumah itu laku terjual dan sudah menjadi uang?
2. Apakah anaknya yang sudah meninggal tetap mendapatkan warisan?
3. Apakah cucunya juga mendapatkan warisan?
Saya minta penjelasan secara terperinci. Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
I - …..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara I, saya akan mencoba menjawab pertanyaan Anda satu persatu-satu. Mudah-mudahan dapat membantu:
1. Berdasarkan data yang Anda berikan, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah isteri dan 5 orang anak (3 laki-laki dan 2 perempuan). Karena ada anak, maka isteri mendapat 1/8 bagian atau 0.125; dan karena ada anak laki-laki, maka kelima anak tersebut menjadi ashabah (ahli waris yang mendapat sisa warisan setelah dibagi untuk ahli waris yang lain). Jadi kelima anak tersebut mendapat 7/8 bagian atau 0,875, dengan ketentuan bagian 1 anak laki-laki sama dengan bagian 2 anak perempuan (QS. An-Nisaa` [4]: 11). Berdasarkan ketentuan tersebut, bila ada 3 anak laki-laki dan 2 anak perempuan, maka itu sama saja dengan 4 anak laki-laki. Dengan demikian, maka 7/8 (0,875) dibagi 4, hasilnya 0,21875. Inilah bagian untuk 1 anak laki-laki. Sedangkan bagian untuk 1 anak perempuan adalah 0,21875 dibagi 2, hasilnya 0,109375.
Andaikata harga rumah tersebut 1 Milyar, maka perhitungannya adalah sebagai berikut:
- Isteri : 0,125 x 1.000.000.000 = Rp. 125.000.000,-
- 1 anak laki-laki : 0,21875 x 1.000.000.000 = Rp. 218.750.000,-
- 1 anak perempuan : 0,109375 x 1.000.000.000 = Rp. 109.375.000,-
2. Karena anak perempuan tersebut meninggal setelah meninggalnya sang ayah, hanya saja warisan sang ayah belum dibagi, maka dia berhak mendapat bagian yaitu 0,109375 atau Rp. 109.375.000,- (andaikata warisannya senilai 1 Milyar). Bila warisan itu sudah dibagi, maka bagian untuk anak tersebut diserahkan kepada ahli warisnya untuk dibagi.
3. Karena ada anak, maka cucu menjadi mahjub (tertutup) sehingga dia tidak berhak mendapat warisan.
Wallaahu A’lam….
Pak Ustadz, ada seorang laki-laki meninggalkan warisan sebuah rumah. Ketika meninggal, dia meninggalkan seorang isteri, 5 orang anak (3 laki-laki dan 2 perempuan), 15 cucu dan 1 cicit. Sekarang anaknya yang perempuan dan cucunya yang perempuan sudah meninggal. Kini rumah itu hendak dijual. Yang ingin saya tanyakan adalah:
1. Bagaimana cara pembagian warisannya ketika rumah itu laku terjual dan sudah menjadi uang?
2. Apakah anaknya yang sudah meninggal tetap mendapatkan warisan?
3. Apakah cucunya juga mendapatkan warisan?
Saya minta penjelasan secara terperinci. Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
I - …..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara I, saya akan mencoba menjawab pertanyaan Anda satu persatu-satu. Mudah-mudahan dapat membantu:
1. Berdasarkan data yang Anda berikan, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah isteri dan 5 orang anak (3 laki-laki dan 2 perempuan). Karena ada anak, maka isteri mendapat 1/8 bagian atau 0.125; dan karena ada anak laki-laki, maka kelima anak tersebut menjadi ashabah (ahli waris yang mendapat sisa warisan setelah dibagi untuk ahli waris yang lain). Jadi kelima anak tersebut mendapat 7/8 bagian atau 0,875, dengan ketentuan bagian 1 anak laki-laki sama dengan bagian 2 anak perempuan (QS. An-Nisaa` [4]: 11). Berdasarkan ketentuan tersebut, bila ada 3 anak laki-laki dan 2 anak perempuan, maka itu sama saja dengan 4 anak laki-laki. Dengan demikian, maka 7/8 (0,875) dibagi 4, hasilnya 0,21875. Inilah bagian untuk 1 anak laki-laki. Sedangkan bagian untuk 1 anak perempuan adalah 0,21875 dibagi 2, hasilnya 0,109375.
Andaikata harga rumah tersebut 1 Milyar, maka perhitungannya adalah sebagai berikut:
- Isteri : 0,125 x 1.000.000.000 = Rp. 125.000.000,-
- 1 anak laki-laki : 0,21875 x 1.000.000.000 = Rp. 218.750.000,-
- 1 anak perempuan : 0,109375 x 1.000.000.000 = Rp. 109.375.000,-
2. Karena anak perempuan tersebut meninggal setelah meninggalnya sang ayah, hanya saja warisan sang ayah belum dibagi, maka dia berhak mendapat bagian yaitu 0,109375 atau Rp. 109.375.000,- (andaikata warisannya senilai 1 Milyar). Bila warisan itu sudah dibagi, maka bagian untuk anak tersebut diserahkan kepada ahli warisnya untuk dibagi.
3. Karena ada anak, maka cucu menjadi mahjub (tertutup) sehingga dia tidak berhak mendapat warisan.
Wallaahu A’lam….
Suami Yang Pemurah Adalah Lebih Baik
Seorang wanita disunahkan dan dianjurkan untuk memilih suami yang pemurah dan sebisa mungkin menghindari suami yang bakhil, kikir dan sangat perhitungan. Diriwayatkan bahwa Mughirah bin Syu’bah ra. dan seorang pemuda Arab pernah melamar wanita yang sama. Pemuda itu adalah pemuda yang berparas tampan. Wanita yang dilamar itu pun mengirim surat kepada kedua laki-laki tersebut. Dia berkata: “Sesungguhnya kalian berdua telah melamarku, dan aku tidak akan memberikan jawaban kepada salah seorangpun di antara kalian berdua sebelum aku melihatnya dan mendengar perkataannya. Jika kalian mau, maka datanglah!”
Ketika Mughirah melihat pemuda pesaingnya itu, lalu dia mengetahui ketampanannya, penampilannya, serta usianya yang masih muda, dia pun merasa putus asa. Dia menyangka bahwa wanita itu tidak mungkin lebih memilih dirinya daripada pemuda tersebut. Karena itu, dia menghadap ke arah pemuda itu. Sungguh dia telah memikirkan (menemukan) jalan keluar. Dia pun bertanya kepada pemuda itu: “Sungguh engkau telah dikaruniai ketampanan, kegantengan dan kegagahan, tapi adakah hal lain yang engkau miliki?”
Pemuda itu menjawab: “Ya.” Lalu dia menyebutkan sejumlah kebaikan (kelebihan) yang dimilikinya, setelah itu dia pun diam. Mughirah ra. bertanya lagi kepadanya: “Bagaimana soal perhitunganmu (dalam masalah keuangan)?” Pemuda itu menjawab: “Tidak ada boleh sesuatupun yang jatuh (luput) dari pengawasanku. Bahkan, aku akan menghitung sesuatu yang lebih kecil daripada biji sawi!”
Mughirah berkata kepadanya: “Kalau aku, aku selalu meletakkan badrah (Footnote: Badrah adalah harta dalam jumlah yang cukup banyak. Ada pula yang berpendapat bahwa badrah adalah uang 10 ribu dirham.) di salah satu sudut rumah. Keluargaku bebas untuk membelanjakannya sesuka mereka. Aku sendiri tidak tahu bila badrah itu sudah habis kecuali bila mereka meminta kepadaku badrah yang lain.”
Mendengar itu, wanita tersebut berkata dalam hatinya: “Demi Allah, orang tua yang tidak terlalu perhitungan terhadapku lebih aku sukai daripada pemuda yang sangat perhitungan terhadapku, bahkan dalam masalah sekecil biji sawi.” Akhirnya, wanita itu pun menikah dengan Mughirah bin Syu’bah ra.. (Footnote: Tuhfah Al-‘Aruus, hal. 284, yang dikutip dari kitab Al-Adzkiyaa`, karya Ibnu Al-Jauzi.)
Ketika Mughirah melihat pemuda pesaingnya itu, lalu dia mengetahui ketampanannya, penampilannya, serta usianya yang masih muda, dia pun merasa putus asa. Dia menyangka bahwa wanita itu tidak mungkin lebih memilih dirinya daripada pemuda tersebut. Karena itu, dia menghadap ke arah pemuda itu. Sungguh dia telah memikirkan (menemukan) jalan keluar. Dia pun bertanya kepada pemuda itu: “Sungguh engkau telah dikaruniai ketampanan, kegantengan dan kegagahan, tapi adakah hal lain yang engkau miliki?”
Pemuda itu menjawab: “Ya.” Lalu dia menyebutkan sejumlah kebaikan (kelebihan) yang dimilikinya, setelah itu dia pun diam. Mughirah ra. bertanya lagi kepadanya: “Bagaimana soal perhitunganmu (dalam masalah keuangan)?” Pemuda itu menjawab: “Tidak ada boleh sesuatupun yang jatuh (luput) dari pengawasanku. Bahkan, aku akan menghitung sesuatu yang lebih kecil daripada biji sawi!”
Mughirah berkata kepadanya: “Kalau aku, aku selalu meletakkan badrah (Footnote: Badrah adalah harta dalam jumlah yang cukup banyak. Ada pula yang berpendapat bahwa badrah adalah uang 10 ribu dirham.) di salah satu sudut rumah. Keluargaku bebas untuk membelanjakannya sesuka mereka. Aku sendiri tidak tahu bila badrah itu sudah habis kecuali bila mereka meminta kepadaku badrah yang lain.”
Mendengar itu, wanita tersebut berkata dalam hatinya: “Demi Allah, orang tua yang tidak terlalu perhitungan terhadapku lebih aku sukai daripada pemuda yang sangat perhitungan terhadapku, bahkan dalam masalah sekecil biji sawi.” Akhirnya, wanita itu pun menikah dengan Mughirah bin Syu’bah ra.. (Footnote: Tuhfah Al-‘Aruus, hal. 284, yang dikutip dari kitab Al-Adzkiyaa`, karya Ibnu Al-Jauzi.)
Kamis, 10 Desember 2009
Warisan Orangtua
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Saya ingin bertanya tentang aturan warisan orangtua untuk anak-anaknya. Seandainya ada suatu keluarga besar, mereka mempunyai banyak anak perempuan dan anak laki-laki, dimana semuanya sudah menikah kecuali satu anak perempuan. Sang ayah mempunyai bisnis yang lancar dan dia meminta sang anak yang belum menikah untuk membantunya menjalankan usaha tersebut. Hingga akhirnya sang anak perempuan tersebut sudah cukup dipercaya untuk menjalankan usaha sang ayah sampai sang ayah meninggal dunia. Jadilah anak perempuan itu sebagai orang yang menjalankan usaha sang ayah hingga saat ini.
Suatu saat, salah seorang saudara laki-laki mereka yang sudah menikah mengalami kesulitan finansial. Dia terlilit hutang sana sini karena usahanya gagal, hingga anak laki-laki tersebut beserta isteri dan anak-anaknya diusir dari rumah kontrakan mereka karena tidak sanggup lagi membayar uang kontrakan. Akhirnya mereka menumpang di rumah salah satu saudaranya.
Yang ingin saya tanyakan, usaha yang dijalankan anak perempuan ini merupakan usaha sang ayah. Jadi, bukannya sudah menjadi kewajiban anak perempuan tersebut untuk menolong saudaranya yang sedang kesusahan? Karena setahu saya, orangtua tetap bertanggung jawab terhadap anak laki-lakinya sampai kapanpun, sementara usaha yang dijalankan itu adalah usaha sang ayah. Bagaimana jika anak perempuan itu tidak mau menolong karena dia menganggap penghasilan dari usaha itu merupakan miliknya dan hasil kerja kerasnya selama ini.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
N - …..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Dari penjelasan Anda, nampaknya harta sang ayah (dalam hal ini adalah usaha yang dijalankan tersebut) belum dibagi hingga sekarang, bahkan nampaknya belum ada pembicaraan di antara anak-anak yang ditinggalkan untuk membaginya. Sebab, penekanan Anda hanya pada tuntutan anak lak-laki yang sedang kesulitan itu, apakah dia berhak mendapatkan bantuan dari saudara perempuannya yang menjalankan usaha tersebut ataukah tidak. Padahal yang seharusnya menjadi penekanan adalah masalah pembagian harta warisan sang ayah, dimana semua anak berhak mendapatkan bagian dari harta warisan tersebut, tentunya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam ilmu faraa`idh (ilmu waris).
Bila seseorang meninggal dunia, maka sebaiknya pembagian harta warisan yang ditinggalkan dilakukan secepatnya, tentunya setelah kewajiban-kewajiban terhadap si mayit sudah dijalankan terlebih dahulu, seperti pengurusan jenazahnya, penunaian wasiatnya serta pelunasan hutang-hutangnya (bila ada), sesuai firman Allah swt.: “(Pembagian-pembagian tersebut di atas dilakukan) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” (QS. An-Nisaa` [4]: 11) Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi perselisihan di antara ahli waris di kemudian hari, karena persoalan harta waris merupakan persoalan yang sangat sensitif yang dapat menimbulkan perpecahan dan putusnya tali silaturahim antara seseorang dengan saudaranya atau dengan anggota-anggota keluarga lainnya bila tidak dilakukan dengan baik dan sesuai ketentuan yang berlaku. Upaya untuk mempercepat pembagian harta waris itu juga dimaksudkan untuk menghindari terjadinya percampurbauran antara harta si mayit dengan harta-harta yang lain, termasuk harta orang yang mengelolanya.
Dalam kasus yang Anda ceritakan di atas, semua anak berhak mendapatkan bagian dari harta waris tersebut. Bila tidak ada isteri dan orangtua dari ayah, maka semua anak menjadi pewaris seluruh harta sang ayah, dengan ketentuan anak laki-laki memperoleh dua bagian anak perempuan, sesuai firman Allah swt.: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisaa` [4]: 11) Tetapi bila ada isteri (isteri ayah), maka isteri mendapatkan 1/8, sementara yang 7/8 menjadi bagian semua anak, dengan ketentuan anak laki-laki memperoleh 2 bagian anak perempuan.
Karena yang ditinggalkan sang ayah berbentuk usaha, maka masing-masing ahli waris akan memperoleh saham sesuai bagian warisannya. Jadi usaha tersebut bukan hanya milik anak perempuan yang mengelolanya saja, melainkan milik semua ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, kecuali bila sebelum meninggal dunia sang ayah telah memberikan usaha tersebut kepada anak perempuan yang mengelolanya itu dengan menggunakan akad hadiah. Dalam hal ini, yang menjadi ahli waris adalah semua anak (laki-laki dan perempuan), isteri ayah (bila ada) dan orangtua ayah (bila ada).
Mengenai keengganan saudara perempuan itu untuk menolong, sebenarnya hal itu tidak ada kaitannya dengan masalah pembagian harta waris. Ia lebih terkait dengan aspek sosial dalam Islam, dimana seorang Muslim (yang mampu) diwajibkan untuk menolong saudaranya sesama Muslim yang sedang kesusahan, apalagi bila orang yang memerlukan pertolongan tersebut masih merupakan kerabatnya. Wallaahu A’lam….
Saya ingin bertanya tentang aturan warisan orangtua untuk anak-anaknya. Seandainya ada suatu keluarga besar, mereka mempunyai banyak anak perempuan dan anak laki-laki, dimana semuanya sudah menikah kecuali satu anak perempuan. Sang ayah mempunyai bisnis yang lancar dan dia meminta sang anak yang belum menikah untuk membantunya menjalankan usaha tersebut. Hingga akhirnya sang anak perempuan tersebut sudah cukup dipercaya untuk menjalankan usaha sang ayah sampai sang ayah meninggal dunia. Jadilah anak perempuan itu sebagai orang yang menjalankan usaha sang ayah hingga saat ini.
Suatu saat, salah seorang saudara laki-laki mereka yang sudah menikah mengalami kesulitan finansial. Dia terlilit hutang sana sini karena usahanya gagal, hingga anak laki-laki tersebut beserta isteri dan anak-anaknya diusir dari rumah kontrakan mereka karena tidak sanggup lagi membayar uang kontrakan. Akhirnya mereka menumpang di rumah salah satu saudaranya.
Yang ingin saya tanyakan, usaha yang dijalankan anak perempuan ini merupakan usaha sang ayah. Jadi, bukannya sudah menjadi kewajiban anak perempuan tersebut untuk menolong saudaranya yang sedang kesusahan? Karena setahu saya, orangtua tetap bertanggung jawab terhadap anak laki-lakinya sampai kapanpun, sementara usaha yang dijalankan itu adalah usaha sang ayah. Bagaimana jika anak perempuan itu tidak mau menolong karena dia menganggap penghasilan dari usaha itu merupakan miliknya dan hasil kerja kerasnya selama ini.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
N - …..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Dari penjelasan Anda, nampaknya harta sang ayah (dalam hal ini adalah usaha yang dijalankan tersebut) belum dibagi hingga sekarang, bahkan nampaknya belum ada pembicaraan di antara anak-anak yang ditinggalkan untuk membaginya. Sebab, penekanan Anda hanya pada tuntutan anak lak-laki yang sedang kesulitan itu, apakah dia berhak mendapatkan bantuan dari saudara perempuannya yang menjalankan usaha tersebut ataukah tidak. Padahal yang seharusnya menjadi penekanan adalah masalah pembagian harta warisan sang ayah, dimana semua anak berhak mendapatkan bagian dari harta warisan tersebut, tentunya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam ilmu faraa`idh (ilmu waris).
Bila seseorang meninggal dunia, maka sebaiknya pembagian harta warisan yang ditinggalkan dilakukan secepatnya, tentunya setelah kewajiban-kewajiban terhadap si mayit sudah dijalankan terlebih dahulu, seperti pengurusan jenazahnya, penunaian wasiatnya serta pelunasan hutang-hutangnya (bila ada), sesuai firman Allah swt.: “(Pembagian-pembagian tersebut di atas dilakukan) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” (QS. An-Nisaa` [4]: 11) Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi perselisihan di antara ahli waris di kemudian hari, karena persoalan harta waris merupakan persoalan yang sangat sensitif yang dapat menimbulkan perpecahan dan putusnya tali silaturahim antara seseorang dengan saudaranya atau dengan anggota-anggota keluarga lainnya bila tidak dilakukan dengan baik dan sesuai ketentuan yang berlaku. Upaya untuk mempercepat pembagian harta waris itu juga dimaksudkan untuk menghindari terjadinya percampurbauran antara harta si mayit dengan harta-harta yang lain, termasuk harta orang yang mengelolanya.
Dalam kasus yang Anda ceritakan di atas, semua anak berhak mendapatkan bagian dari harta waris tersebut. Bila tidak ada isteri dan orangtua dari ayah, maka semua anak menjadi pewaris seluruh harta sang ayah, dengan ketentuan anak laki-laki memperoleh dua bagian anak perempuan, sesuai firman Allah swt.: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisaa` [4]: 11) Tetapi bila ada isteri (isteri ayah), maka isteri mendapatkan 1/8, sementara yang 7/8 menjadi bagian semua anak, dengan ketentuan anak laki-laki memperoleh 2 bagian anak perempuan.
Karena yang ditinggalkan sang ayah berbentuk usaha, maka masing-masing ahli waris akan memperoleh saham sesuai bagian warisannya. Jadi usaha tersebut bukan hanya milik anak perempuan yang mengelolanya saja, melainkan milik semua ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, kecuali bila sebelum meninggal dunia sang ayah telah memberikan usaha tersebut kepada anak perempuan yang mengelolanya itu dengan menggunakan akad hadiah. Dalam hal ini, yang menjadi ahli waris adalah semua anak (laki-laki dan perempuan), isteri ayah (bila ada) dan orangtua ayah (bila ada).
Mengenai keengganan saudara perempuan itu untuk menolong, sebenarnya hal itu tidak ada kaitannya dengan masalah pembagian harta waris. Ia lebih terkait dengan aspek sosial dalam Islam, dimana seorang Muslim (yang mampu) diwajibkan untuk menolong saudaranya sesama Muslim yang sedang kesusahan, apalagi bila orang yang memerlukan pertolongan tersebut masih merupakan kerabatnya. Wallaahu A’lam….
Doa Nabi Yunus bin Mata As.
Allah swt. mengutus Rasul-Nya yang bernama Yunus kepada penduduk Nainuni di negeri Moushol, Irak. Nabi Yunus mengajak mereka untuk menyembah Allah Yang Maha Esa, tetapi mereka mendustakan beliau dan mendurhakai perintahnya. Maka, beliau pergi kepada Tuhannya dalam keadaan marah (kepada kaumnya). Beliau naik sebuah bahtera di laut. Bahtera itu membawa mereka (para penumpangnya), tetapi (di tengah perjalanan), bahtera itu tergoncang hingga mereka semua hampir tenggelam. Mereka pun bermusyawarah, lalu mereka sepakat untuk mengadakan undian. Barangsiapa yang namanya keluar dalam undian itu, maka dia harus menceburkan diri ke dalam laut hingga semua orang yang ada di atas bahtera itu dapat selamat. Ternyata, nama yang keluar dalam undian itu adalah nama Rasulullah Yunus as., maka beliau terpaksa menceburkan dirinya ke laut.
Tidak lama kemudian, beliau ditelan oleh seekor ikan besar. Lalu Tuhan memerintahkan kepada ikan itu untuk tidak memakan daging Nabi Yunus sedikitpun dan tidak meremukkan satupun di antara tulang-tulangnya. Ketika Nabi Yunus telah berada di dalam perut ikan, lalu beliau meyakini bahwa dirinya masih hidup, beliau pun berseru di dalam sejumlah kegelapan; yaitu kegelapan perut ikan, kegelapan laut dan kegelapan malam: “Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Anbiyaa` [21]: 87) Maksudnya: Tidak ada yang dapat memberikan pertolongan kecuali Engkau, tidak ada yang dapat memberikan perlindungan kecuali Engkau, tidak ada yang dapat menyelamatkan diriku dari masalah yang sedang aku hadapi kecuali Engkau, tidak ada yang dapat menjauhkanku dari musibah ini kecuali Engkau, tidak ada yang dapat melapangkanku dari kesulitan yang aku hadapi kecuali Engkau, tidak ada yang dapat mengabulkan doaku kecuali Engkau, tidak ada yang dapat menghilangkan kesedihanku kecuali Engkau, tidak ada yang dapat memalingkanku dari kesusahanku kecuali Engkau, dan tidak ada yang menemaniku di dalam perut ikan ini kecuali Engkau. Maha Suci Engkau, sungguh Engkau Suci (Bersih) dari kezhaliman dan perbuatan yang sia-sia. Maha Suci Engkau, keburukan tidaklah pantas dinisbatkan kepada-Mu. Maha Suci Engkau, sungguh tidaklah pantas dikatakan kepada-Mu kecuali hal-hal yang baik.
Nabi Yunus as., kemudian, mensifati dirinya dengan mengatakan bahwa dirinya memiliki kekurangan dan telah melakukan kesalahan. Ini merupakan etika seorang nabi; Meskipun beliau sebenarnya tidak melakukan satu kesalahan atau dosa, namun seperti yang dikatakan dalam sebuah pepatah: “Kebaikan orang-orang yang baik (pada umumnya) adalah sebuah keburukan bagi orang-orang yang dekat (dengan Allah).”
Bagi orang-orang yang (berjiwa) besar, dosa-dosa kecil dianggapnya sebagai dosa-dosa besar #
Sementara bagi orang-orang yang (berjiwa) kecil, dosa-dosa besar dianggapnya sebagai dosa-dosa kecil.
Allah swt. pun mengabulkan doa Nabi Yunus as., memberikan kepadanya apa yang beliau minta, dan Allah tidak mengecewakannya. Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul, (ingatlah) ketika ia lari, ke kapal yang penuh muatan, kemudian ia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian, maka ia ditelah oleh ikan besar dalam keadaan tercela. Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (QS. Ash-Shaaffaat [37]: 139-144)
Tidak lama kemudian, beliau ditelan oleh seekor ikan besar. Lalu Tuhan memerintahkan kepada ikan itu untuk tidak memakan daging Nabi Yunus sedikitpun dan tidak meremukkan satupun di antara tulang-tulangnya. Ketika Nabi Yunus telah berada di dalam perut ikan, lalu beliau meyakini bahwa dirinya masih hidup, beliau pun berseru di dalam sejumlah kegelapan; yaitu kegelapan perut ikan, kegelapan laut dan kegelapan malam: “Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Anbiyaa` [21]: 87) Maksudnya: Tidak ada yang dapat memberikan pertolongan kecuali Engkau, tidak ada yang dapat memberikan perlindungan kecuali Engkau, tidak ada yang dapat menyelamatkan diriku dari masalah yang sedang aku hadapi kecuali Engkau, tidak ada yang dapat menjauhkanku dari musibah ini kecuali Engkau, tidak ada yang dapat melapangkanku dari kesulitan yang aku hadapi kecuali Engkau, tidak ada yang dapat mengabulkan doaku kecuali Engkau, tidak ada yang dapat menghilangkan kesedihanku kecuali Engkau, tidak ada yang dapat memalingkanku dari kesusahanku kecuali Engkau, dan tidak ada yang menemaniku di dalam perut ikan ini kecuali Engkau. Maha Suci Engkau, sungguh Engkau Suci (Bersih) dari kezhaliman dan perbuatan yang sia-sia. Maha Suci Engkau, keburukan tidaklah pantas dinisbatkan kepada-Mu. Maha Suci Engkau, sungguh tidaklah pantas dikatakan kepada-Mu kecuali hal-hal yang baik.
Nabi Yunus as., kemudian, mensifati dirinya dengan mengatakan bahwa dirinya memiliki kekurangan dan telah melakukan kesalahan. Ini merupakan etika seorang nabi; Meskipun beliau sebenarnya tidak melakukan satu kesalahan atau dosa, namun seperti yang dikatakan dalam sebuah pepatah: “Kebaikan orang-orang yang baik (pada umumnya) adalah sebuah keburukan bagi orang-orang yang dekat (dengan Allah).”
Bagi orang-orang yang (berjiwa) besar, dosa-dosa kecil dianggapnya sebagai dosa-dosa besar #
Sementara bagi orang-orang yang (berjiwa) kecil, dosa-dosa besar dianggapnya sebagai dosa-dosa kecil.
Allah swt. pun mengabulkan doa Nabi Yunus as., memberikan kepadanya apa yang beliau minta, dan Allah tidak mengecewakannya. Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul, (ingatlah) ketika ia lari, ke kapal yang penuh muatan, kemudian ia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian, maka ia ditelah oleh ikan besar dalam keadaan tercela. Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (QS. Ash-Shaaffaat [37]: 139-144)
Hukum Pengobatan Alternatif
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustad, mohon bantuannya. Saya mau tanya, Bapak mertua saya sedang sakit tumor dan udah dibawa ke dokter beberapa kali, tetapi belum ada tanda-tanda kesembuhan. Akhirnya, karena keterbatasan biaya, suami saya dan keluarga membawanya berobat ke tempat pengobatan alternatif di daerah Sukabumi. Pengobatan yang dilakukan adalah, bapak mertua saya masuk ke dalam sebuah ruangan ditemani dari jauh oleh adik ipar saya dan ibu mertua. Lalu perut Bapak mertua saya dibedah memakai pisau dengan membaca asma Allah. Tetapi anehnya, Bapak mertua tidak merasakan sakit sedikitpun ketika daging dan air dikeluarkan dari perutnya.
Anehnya lagi, setelah tindakan pembedahan itu selesai dilakukan, perut Bapak mertua kembali normal seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Menurut saya, hal itu sangat tidak masuk akal. Karenanya, saya khawatir orang yang mengobati tersebut bekerjasama dengan jin.
Nah, yang ingin saya tanyakan adalah apakah cara pengobatan yang dilakukan terhadap Bapak mertua saya itu dibolehkan? Sekedar informasi, kami sudah tidak punya biaya lagi untuk ke dokter, padahal kami sangat menginginkan kesembuhan bagi orangtua kami. Insya Allah bulan depan, suami saya akan kembali lagi membawa bapaknya untuk cek-up ke Sukabumi lagi. Mohon bantuannya Ustadz unTuk memberikan jawabannya. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih banyak, dan semoga Ustadz selalu dalam lindungan Allah swt.. Amin
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jawaban:
F - ….
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Kekhawatiran Anda bisa dimaklumi karena sebagai muslim, kita harus berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang diharamkan, termasuk dalam masalah pengobatan. Apalagi Rasulullah saw. pernah melarang kita untuk berobat dengan menggunakan sesuatu (obat atau pengobatan) yang haram. Termasuk ke dalam katagori pengobatan yang haram ini adalah pengobatan dengan menggunakan metode yang mengandung unsur-unsur syirik. Sebab sebagaimana diketahui, syirik adalah dosa yang paling besar di antara dosa-dosa besar lainnya. Apabila seseorang yang pernah berbuat syirik meninggal dunia sementara dirinya belum sempat bertaubat atas dosa tersebut, maka Allah tidak akan mengampuninya, sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Qur`an surah An-Nisaa ayat 48.
Mengenai pengobatan alternatif, memang ada sebagian orang yang diberi kelebihan oleh Allah swt. sehingga dia dapat mengobati orang lain seperti layaknya seorang dokter. Ada kalanya kelebihan itu datang sendiri dan ada kalanya kelebihan itu melalui sebuah proses pembelajaran. Tetapi perlu diingat, ada pula orang yang diberi kelebihan oleh Allah berupa istidraj, yang bertujuan untuk menyesatkan dirinya, seperti kelebihan yang dimiliki oleh para dukun. Jadi menurut saya, bila ada orang memiliki kelebihan bisa mengobati seperti yang Anda sebutkan di atas, tidak serta merta itu menggunakan bantuan jin. Untuk membedakannya, biasanya para ulama melihat apakah ada ritual-ritual yang menjurus kepada perbuatan syirik yang dilakukan oleh orang yang mengobati itu saat akan melakukan pengobatan, ataukah tidak. Ritual yang dimaksud seperti dengan menyembelih ayam cemani (ayam berwarna hitam), memakai kemenyan, memberikan sesajen, atau dengan menggunakan jenis-jenis ritual lainnya. Tetapi bila tidak ada ritual seperti itu, maka -menurut saya-, hal itu dibolehkan selama kita meyakini bahwa hanya Allah swt. yang Maha Menyembukan. Tabib hanyalah sebagai perantara saja, sama seperti dokter.
Satu lagi, biasanya untuk membedakannya, para ulama juga melihat amaliah orang yang mengobatinya. Maksudnya, apakah dia menjalankan syariat Allah (terutama shalat) dengan baik ataukah tidak?? Bila tidak, maka sebaiknya kita hindari. Perlu diketahui pula, dari kajian-kajian hadits yang pernah saya ikuti, alam jin sama seperti alam manusia. Ada jin yang mukmin dan ada pula jin yang kafir. Memang ada perbedaan pendapat mengenai hukum memperbantukan jin. Bagi ulama yang membolehkan, hal itu sama seperti kita memperbantukan seorang pembantu atau asisten dalam pekerjaan yang kita lakukan. Tetapi sekali lagi, asalkan tidak ada permintaan-permintaan tertentu dari jin tersebut yang diwujudkan dalam bentuk ritual-ritual yang menjurus ke perbuatan syirik. Demikian penjelasan sementara saya, mudah-mudahan dapat bermanfaat. Wallaahu A’lam….
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Ustad, mohon bantuannya. Saya mau tanya, Bapak mertua saya sedang sakit tumor dan udah dibawa ke dokter beberapa kali, tetapi belum ada tanda-tanda kesembuhan. Akhirnya, karena keterbatasan biaya, suami saya dan keluarga membawanya berobat ke tempat pengobatan alternatif di daerah Sukabumi. Pengobatan yang dilakukan adalah, bapak mertua saya masuk ke dalam sebuah ruangan ditemani dari jauh oleh adik ipar saya dan ibu mertua. Lalu perut Bapak mertua saya dibedah memakai pisau dengan membaca asma Allah. Tetapi anehnya, Bapak mertua tidak merasakan sakit sedikitpun ketika daging dan air dikeluarkan dari perutnya.
Anehnya lagi, setelah tindakan pembedahan itu selesai dilakukan, perut Bapak mertua kembali normal seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Menurut saya, hal itu sangat tidak masuk akal. Karenanya, saya khawatir orang yang mengobati tersebut bekerjasama dengan jin.
Nah, yang ingin saya tanyakan adalah apakah cara pengobatan yang dilakukan terhadap Bapak mertua saya itu dibolehkan? Sekedar informasi, kami sudah tidak punya biaya lagi untuk ke dokter, padahal kami sangat menginginkan kesembuhan bagi orangtua kami. Insya Allah bulan depan, suami saya akan kembali lagi membawa bapaknya untuk cek-up ke Sukabumi lagi. Mohon bantuannya Ustadz unTuk memberikan jawabannya. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih banyak, dan semoga Ustadz selalu dalam lindungan Allah swt.. Amin
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jawaban:
F - ….
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Kekhawatiran Anda bisa dimaklumi karena sebagai muslim, kita harus berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang diharamkan, termasuk dalam masalah pengobatan. Apalagi Rasulullah saw. pernah melarang kita untuk berobat dengan menggunakan sesuatu (obat atau pengobatan) yang haram. Termasuk ke dalam katagori pengobatan yang haram ini adalah pengobatan dengan menggunakan metode yang mengandung unsur-unsur syirik. Sebab sebagaimana diketahui, syirik adalah dosa yang paling besar di antara dosa-dosa besar lainnya. Apabila seseorang yang pernah berbuat syirik meninggal dunia sementara dirinya belum sempat bertaubat atas dosa tersebut, maka Allah tidak akan mengampuninya, sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Qur`an surah An-Nisaa ayat 48.
Mengenai pengobatan alternatif, memang ada sebagian orang yang diberi kelebihan oleh Allah swt. sehingga dia dapat mengobati orang lain seperti layaknya seorang dokter. Ada kalanya kelebihan itu datang sendiri dan ada kalanya kelebihan itu melalui sebuah proses pembelajaran. Tetapi perlu diingat, ada pula orang yang diberi kelebihan oleh Allah berupa istidraj, yang bertujuan untuk menyesatkan dirinya, seperti kelebihan yang dimiliki oleh para dukun. Jadi menurut saya, bila ada orang memiliki kelebihan bisa mengobati seperti yang Anda sebutkan di atas, tidak serta merta itu menggunakan bantuan jin. Untuk membedakannya, biasanya para ulama melihat apakah ada ritual-ritual yang menjurus kepada perbuatan syirik yang dilakukan oleh orang yang mengobati itu saat akan melakukan pengobatan, ataukah tidak. Ritual yang dimaksud seperti dengan menyembelih ayam cemani (ayam berwarna hitam), memakai kemenyan, memberikan sesajen, atau dengan menggunakan jenis-jenis ritual lainnya. Tetapi bila tidak ada ritual seperti itu, maka -menurut saya-, hal itu dibolehkan selama kita meyakini bahwa hanya Allah swt. yang Maha Menyembukan. Tabib hanyalah sebagai perantara saja, sama seperti dokter.
Satu lagi, biasanya untuk membedakannya, para ulama juga melihat amaliah orang yang mengobatinya. Maksudnya, apakah dia menjalankan syariat Allah (terutama shalat) dengan baik ataukah tidak?? Bila tidak, maka sebaiknya kita hindari. Perlu diketahui pula, dari kajian-kajian hadits yang pernah saya ikuti, alam jin sama seperti alam manusia. Ada jin yang mukmin dan ada pula jin yang kafir. Memang ada perbedaan pendapat mengenai hukum memperbantukan jin. Bagi ulama yang membolehkan, hal itu sama seperti kita memperbantukan seorang pembantu atau asisten dalam pekerjaan yang kita lakukan. Tetapi sekali lagi, asalkan tidak ada permintaan-permintaan tertentu dari jin tersebut yang diwujudkan dalam bentuk ritual-ritual yang menjurus ke perbuatan syirik. Demikian penjelasan sementara saya, mudah-mudahan dapat bermanfaat. Wallaahu A’lam….
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Menjaga Kemaluan
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Yassar bahwa dia pernah keluar dari Madinah untuk menunaikan ibadah haji. Dia pergi bersama seorang temannya. Mereka berdua singgah di sebuah tempat yang bernama Abwa`. (Footnote: Sebuah tempat yang berada di dekat Madinah) Sesaat setelah singgah di sana, sang teman pergi ke pasar untuk membeli sesuatu, sementara Sulaiman tinggal seorang diri di dalam tenda. Sulaiman termasuk orang yang berparas paling tampan dan menarik. Tiba-tiba ada seorang wanita badui yang melihatnya dari puncak bukit. Wanita itu pun turun untuk menghampiri Sulaiman hingga akhirnya dia berdiri di hadapan Sulaiman. Dia memakai kain penutup wajah, tetapi (sesampainya di hadapan Sulaiman) dia pun membuka penutup wajahnya itu, dan ternyata wajahnya itu seperti belahan bulan.
Dia berkata: ‘Senangkanlah hatiku!’ Sulaiman mengira bahwa wanita itu menginginkan makanan, maka dia pun segera mengambil makanan sisa bekal perjalanan dengan maksud untuk diberikan kepada wanita itu. Tetapi wanita itu justru berkata: “Aku tidak menginginkan makanan ini, tetapi aku menginginkan apa yang biasa dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap isterinya (maksudnya, berhubungan badan).” Sulaiman pun berkata kepadanya: “Semoga Allah menjadikanmu bodoh!” Kemudian Sulaiman meletakkan kepalanya di antara kedua lututnya, lalu dia pun menangis tersedu-sedu. Tak henti-hentinya dia menangis, hingga ketika wanita itu melihat hal tersebut, dia pun segera memakai kembali penutup wajahnya, dan setelah itu dia pergi hingga dia sampai di rumah keluarganya.
Tidak lama kemudian, teman Sulaiman datang. Dia melihat Sulaiman sedang menangis, maka dia pun menanyakan kepada Sulaiman apa yang membuatnya menangis. Sulaiman memberitahukan kepada temannya itu kabar (berita) tentang wanita badui tadi. Mendengar penjelasan Sulaiman, sang teman langsung duduk, lalu dia menangis dengan suara yang sangat keras. Sulaiman bertanya kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Sulaiman menjawab: “Sungguh aku lebih pantas untuk menangis daripada kamu, karena aku khawatir bila aku berada pada posisimu niscaya aku tidak akan kuat untuk menghadapi godaan seperti itu.”
Sesampainya Sulaiman di Mekkah, dia segera menunaikan ibadah Sa’i dan Thawaf. Kemudian dia mendatangi Hijir Ismail. Di sana, kedua matanya terasa mengantuk hingga akhirnya dia pun tertidur. Dalam tidurnya itu, dia bermimpi melihat seorang laki-laki yang sangat tampan dan berbau wangi. Sulaiman pun bertanya kepadanya: “Siapakah kamu?” Laki-laki itu menjawab: “Aku adalah Yusuf.” Sulaiman bertanya: “Apakah maksudnya Yusuf Ash-Shiddiq (Nabi Yusuf)?” Laki-laki itu menjawab: “Ya.” Sulaiman berkata: “Sungguh apa yang telah engkau lakukan ketika menghadapi isteri Al-Aziz, Zulaikha, begitu menakjubkan!” Nabi Yusuf as. pun berkata kepada Sulaiman: “Sungguh apa yang kamu lakukan ketika menghadapi wanita badui itu lebih menakjubkan!”
Dia berkata: ‘Senangkanlah hatiku!’ Sulaiman mengira bahwa wanita itu menginginkan makanan, maka dia pun segera mengambil makanan sisa bekal perjalanan dengan maksud untuk diberikan kepada wanita itu. Tetapi wanita itu justru berkata: “Aku tidak menginginkan makanan ini, tetapi aku menginginkan apa yang biasa dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap isterinya (maksudnya, berhubungan badan).” Sulaiman pun berkata kepadanya: “Semoga Allah menjadikanmu bodoh!” Kemudian Sulaiman meletakkan kepalanya di antara kedua lututnya, lalu dia pun menangis tersedu-sedu. Tak henti-hentinya dia menangis, hingga ketika wanita itu melihat hal tersebut, dia pun segera memakai kembali penutup wajahnya, dan setelah itu dia pergi hingga dia sampai di rumah keluarganya.
Tidak lama kemudian, teman Sulaiman datang. Dia melihat Sulaiman sedang menangis, maka dia pun menanyakan kepada Sulaiman apa yang membuatnya menangis. Sulaiman memberitahukan kepada temannya itu kabar (berita) tentang wanita badui tadi. Mendengar penjelasan Sulaiman, sang teman langsung duduk, lalu dia menangis dengan suara yang sangat keras. Sulaiman bertanya kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Sulaiman menjawab: “Sungguh aku lebih pantas untuk menangis daripada kamu, karena aku khawatir bila aku berada pada posisimu niscaya aku tidak akan kuat untuk menghadapi godaan seperti itu.”
Sesampainya Sulaiman di Mekkah, dia segera menunaikan ibadah Sa’i dan Thawaf. Kemudian dia mendatangi Hijir Ismail. Di sana, kedua matanya terasa mengantuk hingga akhirnya dia pun tertidur. Dalam tidurnya itu, dia bermimpi melihat seorang laki-laki yang sangat tampan dan berbau wangi. Sulaiman pun bertanya kepadanya: “Siapakah kamu?” Laki-laki itu menjawab: “Aku adalah Yusuf.” Sulaiman bertanya: “Apakah maksudnya Yusuf Ash-Shiddiq (Nabi Yusuf)?” Laki-laki itu menjawab: “Ya.” Sulaiman berkata: “Sungguh apa yang telah engkau lakukan ketika menghadapi isteri Al-Aziz, Zulaikha, begitu menakjubkan!” Nabi Yusuf as. pun berkata kepada Sulaiman: “Sungguh apa yang kamu lakukan ketika menghadapi wanita badui itu lebih menakjubkan!”
Rabu, 25 November 2009
Amal Terbaik Untuk Arwah Orangtua
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, perbuatan atau amalan apa yang dapat dilakukan seorang anak guna memohon ampunan kepada Allah swt. untuk arwah orangtua (bapak)nya yang semasa hidupnya banyak meninggalkan shalat, walaupun menjelang wafatnya beliau sudah ada niat untuk menunaikan shalat dengan mempelajari buku tuntunan shalat. Atas informasinya kami sampaikan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Tp - …..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Sungguh sebuah kebanggaan bagi orangtua yang sudah meninggal dunia bila dia meninggalkan seorang anak shaleh yang selalu mendoakannya dan memohonkan ampunan kepada Allah untuknya. Anak shaleh seperti ini akan menjadi perbendaharaan yang sangat berharga bagi orangtuanya. Bahkan dalam sebuah Hadits, Rasulullah saw. mengatagorikan anak shaleh seperti ini sebagai amal perbuatan manusia yang tidak akan terputus meskipun dia sudah meninggal dunia, di saat amal-amal yang lain terputus. Beliau bersabda:
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ، صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
“Jika anak cucu Adam meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga (perkara), yaitu: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakannya.” (HR. Tirmidzi)a
Anak shaleh seperti inilah yang mampu mengangkat derajat orangtuanya yang sudah meninggal dunia, seperti disabdakan oleh Baginda Rasulullah saw.:
تُرْفَعُ لِلْمَيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ دَرَجَتُهُ فَيَقُوْلُ أَيْ رَبِّ أَيُّ شَيْءٍ هَذِهِ فَيُقَالُ وَلَدُكَ اِسْتَغْفَرَ لَكَ
“Setelah seseorang meninggal dunia, derajatnya akan ditinggikan, dia pun bertanya: ‘Wahai Tuhanku, kenapa derajatku ditinggikan?’ maka dijawablah: ‘Anakmu telah memohonkan ampunan untukmu.’” (HR. Bukhari)
Mudah-mudahan Anda termasuk ke dalam golongan anak shaleh tersebut, dan mudah-mudahan doa dan permohonan ampunan Anda untuk orangtua Anda dikabulkan Allah swt.. Berdasarkan kedua Hadits tersebut – dan masih banyak lagi Hadits-Hadits lainnya-, maka tidak ada amal yang terbaik yang dapat dilakukan oleh seorang anak untuk orangtuanya yang sudah meninggal dunia kecuali doa dan permohonan ampunan untuknya. Dengan demikian, maka pertanyaan yang mungkin lebih tepat adalah: bagaimana agar doa dan permohonan ampunan saya kepada Allah swt. dapat dikabulkan?
Jawabannya adalah dengan cara mendekatkan diri kepada Allah swt. dengan cara bertakwa kepada-Nya. Sebab, bila seseorang telah dekat dengan Allah, maka Allah akan mencintainya. Bila Allah telah mencintainya, maka apa yang dimintanya insya Allah akan dikabulkan, seperti difirmankan Allah dalam sebuah Hadits Qudsi: “Jika Aku (Allah) telah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengaran baginya yang digunakannya untuk mendengar, penglihatan baginya yang digunakannya untuk melihat, tangannya yang akan digunakannya untuk berbuat dan kakinya yang digunakannya untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberikan kepadanya (apa yang dia minta); dan jika dia memohon perlindungan kepada-Ku, maka Aku akan memberikan perlindungan itu kepadanya.“
Selain itu, perbanyaklah shadaqah dengan niat untuk orangtua Anda, karena dalam sebuah Hadits, Rasulullah saw. bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian hendak mengeluarkan shadaqah, maka bila kedua orangtuanya Muslim, hendaklah dia niatkan shadaqah itu untuk kedua orangtuanya, niscaya kedua orangtuanya itu akan mendapatkan pahala shadaqah tersebut tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang bershadaqah.”
Pada riwayat lain yang bersumber dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa Ibu Sa’ad bin Ubadah meninggal dunia saat Sa’ad bin Ubadah tidak berada di sampingnya. Sa’ad pun bertanya kepada Rasulullah saw.: “Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia saat aku sedang tidak berada di dekatnya. Manfaatkah untuknya jika aku mensedekahkan sesuatu (yang pahalanya) diperuntukkan baginya?” Beliau menjawab: “Ya.” Mendengar jawaban itu, Sa’ad berkata: “Aku memintamu menjadi saksi bahwa kebunku ini sudah aku sedekahkan (dengan niat) untuknya (ibuku).”
Demikian penjelasan dari saya, mudah-mudahan dapat bermanfaat. Wallaahu A’lam….
Pak Ustadz, perbuatan atau amalan apa yang dapat dilakukan seorang anak guna memohon ampunan kepada Allah swt. untuk arwah orangtua (bapak)nya yang semasa hidupnya banyak meninggalkan shalat, walaupun menjelang wafatnya beliau sudah ada niat untuk menunaikan shalat dengan mempelajari buku tuntunan shalat. Atas informasinya kami sampaikan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Tp - …..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Sungguh sebuah kebanggaan bagi orangtua yang sudah meninggal dunia bila dia meninggalkan seorang anak shaleh yang selalu mendoakannya dan memohonkan ampunan kepada Allah untuknya. Anak shaleh seperti ini akan menjadi perbendaharaan yang sangat berharga bagi orangtuanya. Bahkan dalam sebuah Hadits, Rasulullah saw. mengatagorikan anak shaleh seperti ini sebagai amal perbuatan manusia yang tidak akan terputus meskipun dia sudah meninggal dunia, di saat amal-amal yang lain terputus. Beliau bersabda:
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ، صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
“Jika anak cucu Adam meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga (perkara), yaitu: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakannya.” (HR. Tirmidzi)a
Anak shaleh seperti inilah yang mampu mengangkat derajat orangtuanya yang sudah meninggal dunia, seperti disabdakan oleh Baginda Rasulullah saw.:
تُرْفَعُ لِلْمَيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ دَرَجَتُهُ فَيَقُوْلُ أَيْ رَبِّ أَيُّ شَيْءٍ هَذِهِ فَيُقَالُ وَلَدُكَ اِسْتَغْفَرَ لَكَ
“Setelah seseorang meninggal dunia, derajatnya akan ditinggikan, dia pun bertanya: ‘Wahai Tuhanku, kenapa derajatku ditinggikan?’ maka dijawablah: ‘Anakmu telah memohonkan ampunan untukmu.’” (HR. Bukhari)
Mudah-mudahan Anda termasuk ke dalam golongan anak shaleh tersebut, dan mudah-mudahan doa dan permohonan ampunan Anda untuk orangtua Anda dikabulkan Allah swt.. Berdasarkan kedua Hadits tersebut – dan masih banyak lagi Hadits-Hadits lainnya-, maka tidak ada amal yang terbaik yang dapat dilakukan oleh seorang anak untuk orangtuanya yang sudah meninggal dunia kecuali doa dan permohonan ampunan untuknya. Dengan demikian, maka pertanyaan yang mungkin lebih tepat adalah: bagaimana agar doa dan permohonan ampunan saya kepada Allah swt. dapat dikabulkan?
Jawabannya adalah dengan cara mendekatkan diri kepada Allah swt. dengan cara bertakwa kepada-Nya. Sebab, bila seseorang telah dekat dengan Allah, maka Allah akan mencintainya. Bila Allah telah mencintainya, maka apa yang dimintanya insya Allah akan dikabulkan, seperti difirmankan Allah dalam sebuah Hadits Qudsi: “Jika Aku (Allah) telah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengaran baginya yang digunakannya untuk mendengar, penglihatan baginya yang digunakannya untuk melihat, tangannya yang akan digunakannya untuk berbuat dan kakinya yang digunakannya untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberikan kepadanya (apa yang dia minta); dan jika dia memohon perlindungan kepada-Ku, maka Aku akan memberikan perlindungan itu kepadanya.“
Selain itu, perbanyaklah shadaqah dengan niat untuk orangtua Anda, karena dalam sebuah Hadits, Rasulullah saw. bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian hendak mengeluarkan shadaqah, maka bila kedua orangtuanya Muslim, hendaklah dia niatkan shadaqah itu untuk kedua orangtuanya, niscaya kedua orangtuanya itu akan mendapatkan pahala shadaqah tersebut tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang bershadaqah.”
Pada riwayat lain yang bersumber dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa Ibu Sa’ad bin Ubadah meninggal dunia saat Sa’ad bin Ubadah tidak berada di sampingnya. Sa’ad pun bertanya kepada Rasulullah saw.: “Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia saat aku sedang tidak berada di dekatnya. Manfaatkah untuknya jika aku mensedekahkan sesuatu (yang pahalanya) diperuntukkan baginya?” Beliau menjawab: “Ya.” Mendengar jawaban itu, Sa’ad berkata: “Aku memintamu menjadi saksi bahwa kebunku ini sudah aku sedekahkan (dengan niat) untuknya (ibuku).”
Demikian penjelasan dari saya, mudah-mudahan dapat bermanfaat. Wallaahu A’lam….
Akhlak Adalah Dasar (Standar Utama) Untuk Memilih Suami
Dikisahkan bahwa ada seorang wanita badui yang dilamar oleh seorang pemuda. Dia sangat kagum terhadap ketampanan pemuda tersebut. Karena itu, dia pun tidak peduli lagi terhadap akhlak dan perilaku pemuda tersebut. Ketika ayahnya menasehatinya dengan mengatakan bahwa pemuda itu bukanlah orang yang shaleh (baik), dia pun tidak senang dengan nasehat itu. Bahkan, dia memastikan bahwa dirinya tidak mau menerima dan menolak nasehat ayahnya itu. Akhirnya, dia menikah dengan pemuda tersebut.
Sebulan setelah pernikahannya, sang ayah berkunjung ke rumahnya. Ketika itu, sang ayah melihat pada tubuh wanita itu terdapat tanda-tanda bekas pukulan yang dilakukan oleh suaminya. Sang ayah pura-pura tidak tahu, lalu dia bertanya kepadanya: “Bagaimana kabarmu, wahai puteriku?” Sang anak pun pura-pura memperlihatkan perasaan senang (bahagia). Tetapi kemudian sang ayah bertanya kepadanya: “Lalu tanda-tanda bekas pukulan apa yang ada di tubuhmu itu?” Mendengar itu, sang anak langsung menangis dan meratap dalam waktu yang cukup lama, kemudian dia berkata: “Wahai ayahku, apa yang harus aku katakan kepadamu? Sungguh aku tidak mematuhi perkataanmu dan aku telah memilih dia (suamiku) tanpa memperhatikan akhlak dan sikap baiknya terlebih dahulu.” (Footnote: Tuhfah Al-‘Aruus, hal. 77.)
Sebulan setelah pernikahannya, sang ayah berkunjung ke rumahnya. Ketika itu, sang ayah melihat pada tubuh wanita itu terdapat tanda-tanda bekas pukulan yang dilakukan oleh suaminya. Sang ayah pura-pura tidak tahu, lalu dia bertanya kepadanya: “Bagaimana kabarmu, wahai puteriku?” Sang anak pun pura-pura memperlihatkan perasaan senang (bahagia). Tetapi kemudian sang ayah bertanya kepadanya: “Lalu tanda-tanda bekas pukulan apa yang ada di tubuhmu itu?” Mendengar itu, sang anak langsung menangis dan meratap dalam waktu yang cukup lama, kemudian dia berkata: “Wahai ayahku, apa yang harus aku katakan kepadamu? Sungguh aku tidak mematuhi perkataanmu dan aku telah memilih dia (suamiku) tanpa memperhatikan akhlak dan sikap baiknya terlebih dahulu.” (Footnote: Tuhfah Al-‘Aruus, hal. 77.)
Senin, 23 November 2009
Ad-Dars Al-Khaamis (Pelajaran Kelima) - Level Tiga
v Untuk bilangan 3-10, kata benda yang digandengkan dengannya harus dalam bentuk jamak, seperti dapat dilihat pada contoh di atas.
v Bila kata benda tersebut maskulin (mudzakkar), maka kata bilangannya harus feminim (mu`annats), seperti pada kolom sebelah kanan. Sedangkan bila kata bendanya feminim, maka kata bilangannya harus maskulin, seperti pada kolom sebelah kiri. Jadi, harus berlawanan.
v Kata benda tersebut harus dalam bentuk jamak. Karena itu, sebaiknya pelajari kembali cara membuat jamak, baik jamak mudzakkar, jamak mu`annats ataupun jamak taksiir.
Untuk mendownload file pelajaran kelima ini, klik judul tulisan!
v Bila kata benda tersebut maskulin (mudzakkar), maka kata bilangannya harus feminim (mu`annats), seperti pada kolom sebelah kanan. Sedangkan bila kata bendanya feminim, maka kata bilangannya harus maskulin, seperti pada kolom sebelah kiri. Jadi, harus berlawanan.
v Kata benda tersebut harus dalam bentuk jamak. Karena itu, sebaiknya pelajari kembali cara membuat jamak, baik jamak mudzakkar, jamak mu`annats ataupun jamak taksiir.
Untuk mendownload file pelajaran kelima ini, klik judul tulisan!
Budaya Sumpah dan Kesaksian Palsu
Kemarin malam, saya mengkaji tafsir Surah Yusuf di salah satu pengajian tafsir Al-Qur`an. Saya sangat tertarik dengan kisah Nabi Yusuf yang disampaikan dalam surah tersebut, karena ada beberapa kemiripan dengan sejumlah kasus yang akhir-akhir ini menjadi topik utama di sejumlah media massa di Indonesia, baik media cetak maupun elektronik, dari mulai kasus Antasari, kasus Bibit-Chandra, maupun kasus Bank Century.
Ada dua kisah yang saya jelaskan dalam pengajian tersebut:
1. Kisah Nabi Yusuf as. dengan saudara-saudaranya yang ingin mencelakai beliau. Seperti yang digambarkan Al-Qur`an dalam Surah Yusuf, dari ayat 8 hingga 15, Yusuf merupakan anak yang paling disayang oleh ayahnya, Nabi Ya’qub as.. Hal itu menyebabkan saudara-saudara Yusuf merasa iri kepadanya. Karena itu, mereka pun merekayasa satu skenario yang bertujuan untuk melenyapkan Yusuf. Skenario itu berakhir dengan dimasukkannya Yusuf ke dalam sebuah sumur. Guna menutupi kejahatan yang telah mereka lakukan, mereka pun mulai berakting di hadapan ayah mereka dengan cara menangis (ayat 16), lalu mereka memberikan keterangan dan bukti palsu (ayat 17 dan 18).
2. Kisah Nabi Yusuf dengan Zulaikha (isteri Raja Mesir) yang sangat berhasrat ingin menundukkan hati Yusuf. Ayat 23 dan 24 menggambarkan bagaimana Zulaikha berusaha menggoda dan merayu Yusuf (yang saat itu masih muda) agar mau berbuat mesum dengannya, tetapi rayuan dan ajakan Zulaikha itu ditolak keras oleh Yusuf. Yusuf pun lari ke arah pintu untuk keluar, yang segera dikejar oleh Zulaikha. Saat Yusuf membuka pintu, ternyata suami Zulaikha sudah berada di depan pintu tersebut karena ingin masuk ke dalam kamar. Dia memergoki Zulaikha sedang menarik baju Yusuf hingga robek. Karena tidak mau dianggap sebagai pihak yang bersalah, Zulaikha pun memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya terjadi. Dia langsung berkata kepada suaminya: “Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan isterimu selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?” (ayat 25).
Dari kedua potongan kisah tersebut, saya menarik satu kesimpulan yaitu bahwa bila orang yang bersalah tidak ingin kesalahannya terbongkar atau diketahui oleh orang lain, maka dia akan memberikan keterangan atau kesaksian yang tidak benar. Dia juga akan membuat bukti-bukti palsu yang dianggap dapat memperkuat keterangan dan kesaksiannya itu. Bahkan dia berani untuk bersumpah atas nama Tuhannya di depan pengadilan. Budaya memberikan keterangan, kesaksian dan bukti palsu ini bukan merupakan hal baru, tetapi sudah ada sejak zaman dulu, bahkan dapat dijumpai pada kisah nabi-nabi terdahulu.
Dalam kaitannya dengan kasus-kasus yang sedang marak sekarang ini, di sini saya tidak ingin memberikan penilaian mana yang benar ataupun mana yang salah, baik pada kasus Antasari, kasus Bibit-Chandra, ataupun kasus Bank Century. Sebab, bukan kapasitas saya untuk memberikan penilaian seperti itu, meskipun dengan hati nurani yang saya miliki, saya dapat memberikan penilaian. Yang ingin saya soroti hanyalah masalah budaya memberikan keterangan, kesaksian dan bukti palsu di pengadilan, seperti yang terjadi pada kedua kisah yang saya sebutkan di atas. Lihatlah bagaimana Ary Muladi mencabut kembali BAP-nya dan memberikan keterangan yang berbeda dengan keterangan yang diberikan sebelumnya. Mana yang benar? Tentunya, hanya satu keterangan yang benar. Ini artinya Ari Muladi telah memberikan keterangan yang tidak benar atau palsu. Hal serupa juga terjadi pada kasus Antasari, dimana Wiliardi mencabut BAP-nya. Kesaksian yang diberikannya saat persidangan berbeda dengan apa yang tertulis dalam BAP. Lagi-lagi muncul pertanyaan: Mana yang benar? Di sini, kita belum bisa memastikan mana yang benar, tapi kita bisa memastikan bahwa tidak mungkin dua keterangan (kesaksian) yang saling bertentangan itu sama-sama benar. Pasti salah satunya salah atau palsu.
Belum lagi ada beberapa orang yang diduga terlibat dalam kasus-kasus tersebut secara terang-terangan bersumpah atas nama Allah bahwa dirinya tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya. Padahal, di sisi lain ada orang yang juga bersumpah atau bersaksi di depan pengadilan (dengan di sumpah terlebih dahulu sebelum memberikan kesaksian) bahwa apa yang dituduhkan kepada orang tersebut adalah benar. Sumpah mana yang benar dan sumpah mana yang palsu? Betigu mudahnyakah orang mengucapkan sumpah palsu, padahal dalam Islam sumpah palsu seperti itu termasuk dosa besar. Bahkan menurut sebagian besar ulama, tidak ada kaffarah (amalan penebus dosa) bagi sumpah palsu tersebut. Hal ini disebabkan karena sumpah seperti itu dapat merugikan orang lain atau dapat merusak hak-hak orang lain. Kaffarah hanya berlaku bagi sumpah yang tidak menyebabkan rusaknya hak orang lain, seperti sumpah seseorang atas dirinya sendiri seperti dengan mengatakan “Aku bersumpah, sejak sekarang aku tidak akan….”.
Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْكَبَائِرُ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَالْيَمِينُ الْغَمُوسُ
“Diriwayatkan dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda: ‘(Di antara) dosa besar adalah menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orangtua, membunuh orang lain (tanpa sebab yang dibenarkan) dan sumpah palsu.” (HR. Bukhari)
Sumpah dan kesaksian palsu ini jelas dapat merugikan orang lain. Bahkan bila telah membudaya di kalangan masyarakat, maka kebenaran dan keadilan rasanya sulit diwujudkan. Karenanya, bila kita menginginkan tegaknya kebenaran dan keadilan di tengah-tengah masyarakat kita, maka kita harus berusaha untuk memberantas budaya yang buruk tersebut. Kemudian setiap orang di antara kita harus memikirkan kepentingan orang banyak (rakyat) dan harus berani mengatakan yang benar, meskipun pahit hasilnya: “Katakanlah yang benar meskipun pahit akibatnya.” Wallaahu A’lam…….
Ada dua kisah yang saya jelaskan dalam pengajian tersebut:
1. Kisah Nabi Yusuf as. dengan saudara-saudaranya yang ingin mencelakai beliau. Seperti yang digambarkan Al-Qur`an dalam Surah Yusuf, dari ayat 8 hingga 15, Yusuf merupakan anak yang paling disayang oleh ayahnya, Nabi Ya’qub as.. Hal itu menyebabkan saudara-saudara Yusuf merasa iri kepadanya. Karena itu, mereka pun merekayasa satu skenario yang bertujuan untuk melenyapkan Yusuf. Skenario itu berakhir dengan dimasukkannya Yusuf ke dalam sebuah sumur. Guna menutupi kejahatan yang telah mereka lakukan, mereka pun mulai berakting di hadapan ayah mereka dengan cara menangis (ayat 16), lalu mereka memberikan keterangan dan bukti palsu (ayat 17 dan 18).
2. Kisah Nabi Yusuf dengan Zulaikha (isteri Raja Mesir) yang sangat berhasrat ingin menundukkan hati Yusuf. Ayat 23 dan 24 menggambarkan bagaimana Zulaikha berusaha menggoda dan merayu Yusuf (yang saat itu masih muda) agar mau berbuat mesum dengannya, tetapi rayuan dan ajakan Zulaikha itu ditolak keras oleh Yusuf. Yusuf pun lari ke arah pintu untuk keluar, yang segera dikejar oleh Zulaikha. Saat Yusuf membuka pintu, ternyata suami Zulaikha sudah berada di depan pintu tersebut karena ingin masuk ke dalam kamar. Dia memergoki Zulaikha sedang menarik baju Yusuf hingga robek. Karena tidak mau dianggap sebagai pihak yang bersalah, Zulaikha pun memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya terjadi. Dia langsung berkata kepada suaminya: “Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan isterimu selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?” (ayat 25).
Dari kedua potongan kisah tersebut, saya menarik satu kesimpulan yaitu bahwa bila orang yang bersalah tidak ingin kesalahannya terbongkar atau diketahui oleh orang lain, maka dia akan memberikan keterangan atau kesaksian yang tidak benar. Dia juga akan membuat bukti-bukti palsu yang dianggap dapat memperkuat keterangan dan kesaksiannya itu. Bahkan dia berani untuk bersumpah atas nama Tuhannya di depan pengadilan. Budaya memberikan keterangan, kesaksian dan bukti palsu ini bukan merupakan hal baru, tetapi sudah ada sejak zaman dulu, bahkan dapat dijumpai pada kisah nabi-nabi terdahulu.
Dalam kaitannya dengan kasus-kasus yang sedang marak sekarang ini, di sini saya tidak ingin memberikan penilaian mana yang benar ataupun mana yang salah, baik pada kasus Antasari, kasus Bibit-Chandra, ataupun kasus Bank Century. Sebab, bukan kapasitas saya untuk memberikan penilaian seperti itu, meskipun dengan hati nurani yang saya miliki, saya dapat memberikan penilaian. Yang ingin saya soroti hanyalah masalah budaya memberikan keterangan, kesaksian dan bukti palsu di pengadilan, seperti yang terjadi pada kedua kisah yang saya sebutkan di atas. Lihatlah bagaimana Ary Muladi mencabut kembali BAP-nya dan memberikan keterangan yang berbeda dengan keterangan yang diberikan sebelumnya. Mana yang benar? Tentunya, hanya satu keterangan yang benar. Ini artinya Ari Muladi telah memberikan keterangan yang tidak benar atau palsu. Hal serupa juga terjadi pada kasus Antasari, dimana Wiliardi mencabut BAP-nya. Kesaksian yang diberikannya saat persidangan berbeda dengan apa yang tertulis dalam BAP. Lagi-lagi muncul pertanyaan: Mana yang benar? Di sini, kita belum bisa memastikan mana yang benar, tapi kita bisa memastikan bahwa tidak mungkin dua keterangan (kesaksian) yang saling bertentangan itu sama-sama benar. Pasti salah satunya salah atau palsu.
Belum lagi ada beberapa orang yang diduga terlibat dalam kasus-kasus tersebut secara terang-terangan bersumpah atas nama Allah bahwa dirinya tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya. Padahal, di sisi lain ada orang yang juga bersumpah atau bersaksi di depan pengadilan (dengan di sumpah terlebih dahulu sebelum memberikan kesaksian) bahwa apa yang dituduhkan kepada orang tersebut adalah benar. Sumpah mana yang benar dan sumpah mana yang palsu? Betigu mudahnyakah orang mengucapkan sumpah palsu, padahal dalam Islam sumpah palsu seperti itu termasuk dosa besar. Bahkan menurut sebagian besar ulama, tidak ada kaffarah (amalan penebus dosa) bagi sumpah palsu tersebut. Hal ini disebabkan karena sumpah seperti itu dapat merugikan orang lain atau dapat merusak hak-hak orang lain. Kaffarah hanya berlaku bagi sumpah yang tidak menyebabkan rusaknya hak orang lain, seperti sumpah seseorang atas dirinya sendiri seperti dengan mengatakan “Aku bersumpah, sejak sekarang aku tidak akan….”.
Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْكَبَائِرُ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَالْيَمِينُ الْغَمُوسُ
“Diriwayatkan dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda: ‘(Di antara) dosa besar adalah menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orangtua, membunuh orang lain (tanpa sebab yang dibenarkan) dan sumpah palsu.” (HR. Bukhari)
Sumpah dan kesaksian palsu ini jelas dapat merugikan orang lain. Bahkan bila telah membudaya di kalangan masyarakat, maka kebenaran dan keadilan rasanya sulit diwujudkan. Karenanya, bila kita menginginkan tegaknya kebenaran dan keadilan di tengah-tengah masyarakat kita, maka kita harus berusaha untuk memberantas budaya yang buruk tersebut. Kemudian setiap orang di antara kita harus memikirkan kepentingan orang banyak (rakyat) dan harus berani mengatakan yang benar, meskipun pahit hasilnya: “Katakanlah yang benar meskipun pahit akibatnya.” Wallaahu A’lam…….
Rabu, 18 November 2009
Ditelantarkan Suami, Apakah Jatuh Thalak?
* Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Saya memiliki suami yang alhamdulillah taat luar biasa kepada ibunya. Bagi suami saya, ibunya adalah segala-galanya. Perkataannya adalah perintahnya. Bahkan saat ini, suami telah meninggalkan saya dan bayi kami (yang kini berusia 21 bulan) tanpa ada berita apapun selama dua bulan. Hal itu dia lakukan agar dia dapat menikah dengan wanita pilihan ibunya. Sebab dengan pilihan ibunya itu, kondisi ekonomi keluarganya di kampung bisa meningkat. Bagaimana seharusnya tindakan saya? Apa tindakan suami saya itu bisa dibenarkan?
Apakah nanti setelah 3 bulan 10 hari setelah kepergian suami saya itu, bisa dikatakan bahwa saya telah menjalani masa ‘iddah? Salahkah saya jika setelah itu saya mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan, dengan alasan suami telah menelantarkan saya dan juga anak kami. Perlu diketahui, sampai sekarang suami tidak pernah peduli dengan kabar kami, bahkan untuk mengirim SMS guna menanyakan kabar kami saja tidak pernah. Mohon penjelasannya, terima kasih.
* Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
* D - ……
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Menuruti perintah kedua orangtua -termasuk ibu- adalah kewajiban seorang anak dan merupakan wujud baktinya kepada mereka. Sebagaimana pernah saya jelaskan pada konsultasi yang berjudul “Hukum Mendoakan Orangtua Yang Non-Muslim”, berbakti kepada kedua orangtua merupakan satu amaliah yang sangat mulia, dan hal ini didasarkan pada firman Allah swt.: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Israa` [17]: 23)
Bahkan dalam kaitannya dengan masalah berbakti kepada ibu, telah diriwayatkan sebuah Hadits dari Abu Hurairah, bahwa dia berkata, “Seorang lelaki pernah mendatangi Rasulullah, lalu dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu.’ Lelaki itu bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu.’ Lelaki itu bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu.’ Lelaki itu bertanya (lagi), ‘Kemudian siapa lagi?’ Lelaki itu menjawab, ‘Bapakmu.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hanya saja perlu diingat, menuruti perintah orangtua ini dibolehkan (bahkan diwajibkan) selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam. Dalam kasus yang sedang ibu hadapi, saya melihat adanya pelanggaran terhadap syariat yang telah dilakukan suami, karena dia telah menelantarkan isteri dan anaknya. Jadi menurut saya, apa yang telah dilakukan suami ibu itu salah, karena dengan menelantarkan isteri dan anaknya, berarti dia telah melanggar perintah Allah untuk memperlakukan isteri dengan baik seperti yang difirmankan Allah dalam QS. An-Nisaa` (4): 19: “dan bergaullah dengan mereka secara patut.”
Tapi dengan kepergian suami begitu saja tidak serta merta jatuh thalak, karena sesaat setelah Anda dan suami melakukan akad nikah, suami telah mengucapkan shighat taklik (ikrar atau janji) yang berbunyi: “Saya membaca shighat taklik atas isteri saya sebagai berikut: Sewaktu-waktu saya:
Meninggalkan isteri saya dua tahun berturut-turut,
Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,
Atau saya menyakiti badan / jasmani isteri saya,
Atau saya membiarkan (tidak mempedulikan) isteri saya enam bulan lamanya,
kemudian isteri saya tidak ridha dan mengadukan halnya ke Pengadilan Agama, dan pengaduannya itu dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan tersebut, dan isteri saya membayar sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sebagai ‘iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah thalak saya satu kepadanya.” (Dikutip dari Buku Nikah)
Berdasarkan hal tersebut, sebaiknya ibu hubungi dulu suami ibu dan ingatkan kepadanya akan janji atau ikrarnya tersebut. Bila dia tidak menggubris, kemudian ibu tidak ridha (tidak menerima) sikapnya itu, maka ibu berhak mengadukan masalah ini ke Pengadilan Agama, dengan menggunakan salah satu alasan yang tertera pada shighat taklik di atas. Dalam hal ini, ibu bisa menggunakan alasan kedua (tidak memberi nafkah wajib selama tiga bulan) bila ibu tidak ridha atas perlakuan suami tersebut. Menurut saya, alasan ini sangat tepat karena dengannya ibu tidak perlu menunggu dalam waktu lama guna mendapatkan kepastian hukum, sehingga status ibu pun tidak terkatung-katung dalam waktu yang lama. Tetapi sekali lagi, semua ini tergantung apakah ibu ridha atau tidak terhadap perlakuan suami ibu.
Sebelum saya tutup, ada satu pernyataan ibu yang ingin saya koreksi, yaitu pernyataan mengenai masa ‘iddah. Dalam pertanyaan, ibu menyebutkan bahwa masa ‘iddah adalah 3 bulan 10 hari. Padahal, tidak ada masa ‘iddah seperti yang ibu sebutkan. Yang ada adalah sebagai berikut:
Tiga kali quru` (masa suci), bagi wanita yang diceraikan suaminya.
4 bulan 10 hari, bagi wanita yang ditinggal mati suaminya.
Sampai melahirkan, bagi wanita yang hamil.
Masa ‘iddah ini terhitung sejak jatuhnya thalak atau sejak hari kematian suami, dan bukan sejak kepergian suami pada kasus dimana seorang wanita ditinggal pergi oleh suaminya. Demikian penjelasan dari saya, mudah-mudahan bermanfaat. Wallaahu A’lam….
Saya memiliki suami yang alhamdulillah taat luar biasa kepada ibunya. Bagi suami saya, ibunya adalah segala-galanya. Perkataannya adalah perintahnya. Bahkan saat ini, suami telah meninggalkan saya dan bayi kami (yang kini berusia 21 bulan) tanpa ada berita apapun selama dua bulan. Hal itu dia lakukan agar dia dapat menikah dengan wanita pilihan ibunya. Sebab dengan pilihan ibunya itu, kondisi ekonomi keluarganya di kampung bisa meningkat. Bagaimana seharusnya tindakan saya? Apa tindakan suami saya itu bisa dibenarkan?
Apakah nanti setelah 3 bulan 10 hari setelah kepergian suami saya itu, bisa dikatakan bahwa saya telah menjalani masa ‘iddah? Salahkah saya jika setelah itu saya mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan, dengan alasan suami telah menelantarkan saya dan juga anak kami. Perlu diketahui, sampai sekarang suami tidak pernah peduli dengan kabar kami, bahkan untuk mengirim SMS guna menanyakan kabar kami saja tidak pernah. Mohon penjelasannya, terima kasih.
* Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
* D - ……
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Menuruti perintah kedua orangtua -termasuk ibu- adalah kewajiban seorang anak dan merupakan wujud baktinya kepada mereka. Sebagaimana pernah saya jelaskan pada konsultasi yang berjudul “Hukum Mendoakan Orangtua Yang Non-Muslim”, berbakti kepada kedua orangtua merupakan satu amaliah yang sangat mulia, dan hal ini didasarkan pada firman Allah swt.: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Israa` [17]: 23)
Bahkan dalam kaitannya dengan masalah berbakti kepada ibu, telah diriwayatkan sebuah Hadits dari Abu Hurairah, bahwa dia berkata, “Seorang lelaki pernah mendatangi Rasulullah, lalu dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu.’ Lelaki itu bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu.’ Lelaki itu bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu.’ Lelaki itu bertanya (lagi), ‘Kemudian siapa lagi?’ Lelaki itu menjawab, ‘Bapakmu.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hanya saja perlu diingat, menuruti perintah orangtua ini dibolehkan (bahkan diwajibkan) selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam. Dalam kasus yang sedang ibu hadapi, saya melihat adanya pelanggaran terhadap syariat yang telah dilakukan suami, karena dia telah menelantarkan isteri dan anaknya. Jadi menurut saya, apa yang telah dilakukan suami ibu itu salah, karena dengan menelantarkan isteri dan anaknya, berarti dia telah melanggar perintah Allah untuk memperlakukan isteri dengan baik seperti yang difirmankan Allah dalam QS. An-Nisaa` (4): 19: “dan bergaullah dengan mereka secara patut.”
Tapi dengan kepergian suami begitu saja tidak serta merta jatuh thalak, karena sesaat setelah Anda dan suami melakukan akad nikah, suami telah mengucapkan shighat taklik (ikrar atau janji) yang berbunyi: “Saya membaca shighat taklik atas isteri saya sebagai berikut: Sewaktu-waktu saya:
Meninggalkan isteri saya dua tahun berturut-turut,
Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,
Atau saya menyakiti badan / jasmani isteri saya,
Atau saya membiarkan (tidak mempedulikan) isteri saya enam bulan lamanya,
kemudian isteri saya tidak ridha dan mengadukan halnya ke Pengadilan Agama, dan pengaduannya itu dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan tersebut, dan isteri saya membayar sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sebagai ‘iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah thalak saya satu kepadanya.” (Dikutip dari Buku Nikah)
Berdasarkan hal tersebut, sebaiknya ibu hubungi dulu suami ibu dan ingatkan kepadanya akan janji atau ikrarnya tersebut. Bila dia tidak menggubris, kemudian ibu tidak ridha (tidak menerima) sikapnya itu, maka ibu berhak mengadukan masalah ini ke Pengadilan Agama, dengan menggunakan salah satu alasan yang tertera pada shighat taklik di atas. Dalam hal ini, ibu bisa menggunakan alasan kedua (tidak memberi nafkah wajib selama tiga bulan) bila ibu tidak ridha atas perlakuan suami tersebut. Menurut saya, alasan ini sangat tepat karena dengannya ibu tidak perlu menunggu dalam waktu lama guna mendapatkan kepastian hukum, sehingga status ibu pun tidak terkatung-katung dalam waktu yang lama. Tetapi sekali lagi, semua ini tergantung apakah ibu ridha atau tidak terhadap perlakuan suami ibu.
Sebelum saya tutup, ada satu pernyataan ibu yang ingin saya koreksi, yaitu pernyataan mengenai masa ‘iddah. Dalam pertanyaan, ibu menyebutkan bahwa masa ‘iddah adalah 3 bulan 10 hari. Padahal, tidak ada masa ‘iddah seperti yang ibu sebutkan. Yang ada adalah sebagai berikut:
Tiga kali quru` (masa suci), bagi wanita yang diceraikan suaminya.
4 bulan 10 hari, bagi wanita yang ditinggal mati suaminya.
Sampai melahirkan, bagi wanita yang hamil.
Masa ‘iddah ini terhitung sejak jatuhnya thalak atau sejak hari kematian suami, dan bukan sejak kepergian suami pada kasus dimana seorang wanita ditinggal pergi oleh suaminya. Demikian penjelasan dari saya, mudah-mudahan bermanfaat. Wallaahu A’lam….
Ad-Dars Ar-Raabi’ (Pelajaran Keempat) – Level Tiga
v Sekedar mengingatkan kembali, bila dalam metode pembalajaran bahasa Arab ini ada istilah-istilah yang sulit dihafal, maka Anda tidak perlu menghafalnya dalam bahasa Arab. Cukup Anda memahaminya dalam bahasa Indonesia, seperti al-‘adad, cukup mengingatnya dengan istilah bilangan.
v Pembahasan tentang al-’adad (bilangan) merupakan pembahasan yang cukup rumit, karena bilangan 1 – 2 memiliki pola yang berbeda dengan bilangan 3 – 10. Bilangan 3 – 10 memiliki pola yang berbeda dengan bilangan 11 – 12. Bilangan 11 – 12 memiliki pola yang berbeda dengan bilangan 13-99, dan demikian pula seterusnya. Oleh karena itu, untuk lebih mempermudah, pembahasan tentang bilangan tersebut disampaikan dalam beberapa bab.
v Untuk bilangan 1-2, kata yang menunjukkan bilangan (satu atau dua) diletakkan di belakang kata benda dan harus menyesuaikan dengan kata benda tersebut. Bila kata benda tersebut maskulin, maka bilangannya juga maskulin, dan demikian pula sebaliknya, seperti yang dapat dilihat pada tabel (Perhatikan kata yang berwarna merah).
v Khusus untuk bilangan 2, kata yang menunjukkan bilangan boleh disebutkan dan boleh juga tidak, yang penting kata benda yang berada di depannya di tambah huruf alif dan nuun seperti yang pernah kita pelajari pada pelajaran kesepuluh-level dua. Oleh karena itu, pada contoh di atas kata tersebut diberi tanda kurung.
Untuk mendownload file keempat ini, klik judul tulisan!
v Pembahasan tentang al-’adad (bilangan) merupakan pembahasan yang cukup rumit, karena bilangan 1 – 2 memiliki pola yang berbeda dengan bilangan 3 – 10. Bilangan 3 – 10 memiliki pola yang berbeda dengan bilangan 11 – 12. Bilangan 11 – 12 memiliki pola yang berbeda dengan bilangan 13-99, dan demikian pula seterusnya. Oleh karena itu, untuk lebih mempermudah, pembahasan tentang bilangan tersebut disampaikan dalam beberapa bab.
v Untuk bilangan 1-2, kata yang menunjukkan bilangan (satu atau dua) diletakkan di belakang kata benda dan harus menyesuaikan dengan kata benda tersebut. Bila kata benda tersebut maskulin, maka bilangannya juga maskulin, dan demikian pula sebaliknya, seperti yang dapat dilihat pada tabel (Perhatikan kata yang berwarna merah).
v Khusus untuk bilangan 2, kata yang menunjukkan bilangan boleh disebutkan dan boleh juga tidak, yang penting kata benda yang berada di depannya di tambah huruf alif dan nuun seperti yang pernah kita pelajari pada pelajaran kesepuluh-level dua. Oleh karena itu, pada contoh di atas kata tersebut diberi tanda kurung.
Untuk mendownload file keempat ini, klik judul tulisan!
Pemimpin Yang Bertanggung Jawab
Pada waktu malam, Umar melihat nyala api dari kejauhan. Dia pun pergi menuju ke arah api tersebut. Ternyata, dia menjumpai seorang wanita yang dikelilingi oleh anak-anaknya. Sementara di atas api, ada sebuah periuk yang di dalamnya terdapat batu dan air. Wanita ini memegang sebuah tongkat guna membolak-balikkan batu yang ada di dalam periuk tersebut, sementara anak-anaknya menangis karena kelaparan.
Umar pun berkata, “Assalamu’alaikum, wahai orang yang sedang menyalakan api.”
Wanita itu menjawab, “Wa’alaikumsalam.”
“Apakah aku boleh mendekat?” tanya Umar.
“Mendekatlah dengan cara yang baik,” jawab perempuan itu.
“Apa yang sedang kalian alami?” tanya Umar lagi.
“Kami tidak mempunyai rumah yang dapat melindungi kami dari malam dan dingin,” jawab sang wanita.
“Kenapa anak-anak kecil itu menangis?” tanya Umar.
“Sesungguhnya mereka sedang lapar,” tukas wanita itu.
“Apa yang ada di dalam periuk ini?” tanya Umar.
“Batu-batu yang aku panaskan dengan maksud untuk membuat mereka terdiam hingga akhirnya mereka tertidur. Demi Allah, kami merasa kesal kepada Umar,” keluh wanita itu.
Wanita tersebut tidak mengetahui bahwa yang berbicara dengannya adalah Umar. Maka, Umar berkata, “Ada apa dengan Umar?”
Sang wanita menjawab, “Dia telah menjadi pemimpin kami, tetapi kemudian dia melalaikan kami!”
Umar pun segera pergi menuju Baitul Maal. Sesampainya di sana, dia mengambil satu karung tepung dan beberapa lemak. Umar berkata kepada pembantunya, “Angkatlah barang-barang ini ke pundakku!”
“Biar aku yang membawanya, wahai Amirul Mukminin,” kata pembantu itu.
“Apakah kamu siap untuk menanggung dosa-dosaku pada hari kiamat nanti?” tukas Umar.
Umar pun, akhirnya, sampai di tempat wanita itu setelah membawa sendiri tepung tersebut. Sesampainya di sana, dia melempar tepung itu, lalu dia berkata kepadanya, “Tuangkanlah tepung itu, biar aku yang membolak-balikkannya.”
Umar meniup api hingga asap keluar dari sela-sela jenggotnya yang lebat. Umar memasak makanan untuk wanita tersebut dan anak-anaknya, kemudian dia meletakkan makanan itu di sebuah piring besar untuk diberikan kepada anak-anak kecil itu. Umar memberi langsung makanan itu kepada mereka hingga tangisan mereka tidak terdengar lagi, dan setelah itu mereka pun tertidur.
Wanita itu, kemudian, berkata kepada Umar dalam keadaan dia tidak mengetahui bahwa orang yang diajaknya berbicara adalah Umar, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Sungguh, kamu lebih berhak memegang kepemimpinan ini daripada Umar.”
Umar pun meninggalkan wanita itu, lalu dia berkata kepada pembantunya, Aslam, “Sesungguhnya kelaparan telah membuat mereka tidak dapat tidur. Maka, aku tidak mau meninggalkan mereka sampai mereka benar-benar merasa kenyang.”
Umar pun berkata, “Assalamu’alaikum, wahai orang yang sedang menyalakan api.”
Wanita itu menjawab, “Wa’alaikumsalam.”
“Apakah aku boleh mendekat?” tanya Umar.
“Mendekatlah dengan cara yang baik,” jawab perempuan itu.
“Apa yang sedang kalian alami?” tanya Umar lagi.
“Kami tidak mempunyai rumah yang dapat melindungi kami dari malam dan dingin,” jawab sang wanita.
“Kenapa anak-anak kecil itu menangis?” tanya Umar.
“Sesungguhnya mereka sedang lapar,” tukas wanita itu.
“Apa yang ada di dalam periuk ini?” tanya Umar.
“Batu-batu yang aku panaskan dengan maksud untuk membuat mereka terdiam hingga akhirnya mereka tertidur. Demi Allah, kami merasa kesal kepada Umar,” keluh wanita itu.
Wanita tersebut tidak mengetahui bahwa yang berbicara dengannya adalah Umar. Maka, Umar berkata, “Ada apa dengan Umar?”
Sang wanita menjawab, “Dia telah menjadi pemimpin kami, tetapi kemudian dia melalaikan kami!”
Umar pun segera pergi menuju Baitul Maal. Sesampainya di sana, dia mengambil satu karung tepung dan beberapa lemak. Umar berkata kepada pembantunya, “Angkatlah barang-barang ini ke pundakku!”
“Biar aku yang membawanya, wahai Amirul Mukminin,” kata pembantu itu.
“Apakah kamu siap untuk menanggung dosa-dosaku pada hari kiamat nanti?” tukas Umar.
Umar pun, akhirnya, sampai di tempat wanita itu setelah membawa sendiri tepung tersebut. Sesampainya di sana, dia melempar tepung itu, lalu dia berkata kepadanya, “Tuangkanlah tepung itu, biar aku yang membolak-balikkannya.”
Umar meniup api hingga asap keluar dari sela-sela jenggotnya yang lebat. Umar memasak makanan untuk wanita tersebut dan anak-anaknya, kemudian dia meletakkan makanan itu di sebuah piring besar untuk diberikan kepada anak-anak kecil itu. Umar memberi langsung makanan itu kepada mereka hingga tangisan mereka tidak terdengar lagi, dan setelah itu mereka pun tertidur.
Wanita itu, kemudian, berkata kepada Umar dalam keadaan dia tidak mengetahui bahwa orang yang diajaknya berbicara adalah Umar, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Sungguh, kamu lebih berhak memegang kepemimpinan ini daripada Umar.”
Umar pun meninggalkan wanita itu, lalu dia berkata kepada pembantunya, Aslam, “Sesungguhnya kelaparan telah membuat mereka tidak dapat tidur. Maka, aku tidak mau meninggalkan mereka sampai mereka benar-benar merasa kenyang.”
Rabu, 11 November 2009
Haruskah Wanita Pakai Gamis?
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya mau menanyakan tentang pakaian wanita:
1. Bagaimanakah menurut Islam cara berpakaian wanita; Apakah harus memakai gamis ataukah boleh menggunakan model lain asal longgar dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh?
2. Apa yang dimaksud dengan “pakaian luar” dalam QS. An-Nuur ayat 60? Mohon penjelasannya. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Petri Yanti
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
1. Baik dalam Al-Qur`an ataupun Hadits, tidak ada nash yang secara tegas menyebutkan ketentuan model pakaian yang harus dikenakan oleh seorang wanita Muslimah, apakah harus model gamis ataukah boleh model-model lain. Yang ada hanyalah ketentuan agar wanita Muslimah mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya, seperti disebutkan pada firman Allah swt.: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzaab [33]: 59)
Pada ayat lain, Allah swt. berfirman: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka…..” (QS. An-Nuur [24]: 31)
Pada kedua ayat yang sering dijadikan dalil kewajiban berjilbab tersebut, tidak disebutkan jenis atau model pakaian yang harus digunakan wanita Muslimah. Yang disebutkan hanyalah sifatnya saja, yaitu pada firman Allah: “mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya” dan firman-Nya: “menutupkan kain kudung ke dadanya”. Kedua lafazh tersebut mengisyaratkan bahwa pakaian yang harus dikenakan oleh wanita Muslimah adalah pakaian yang memiliki sifat dapat menutupi lekak-lekuk tubuhnya, termasuk bagian dada. Tujuannya jelas, yaitu untuk menutupi lekak-lekuk tubuh wanita yang dikhawatirkan dapat membangkitkan hasrat laki-laki yang melihatnya sehingga akan terjadi fitnah, atau dengan kata lain agar wanita Muslimah terhindar dari fitnah (hal buruk) yang dapat menimpanya. Tujuan ini terkandung pada firman Allah: “Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu”. Jadi menurut saya, apapun jenis atau model pakaiannya dibolehkan, asalkan memiliki sifat yang dapat mewujudkan tujuan tersebut.
Sayangnya, tidak sedikit wanita Muslimah yang kurang memperhatikan hal ini. Banyak di antara mereka yang tidak memakai jilbab, bahkan bangga dengan pakaian yang serba terbuka, baik di bagian atas ataupun bawahnya. Tidak sedikit pula wanita yang mengenakan jilbab tetapi jilbabnya itu terkesan hanya formalitas semata, karena hanya menutupi kepalanya saja, sementara pakaiannya begitu ketat hingga terlihat dengan jelas lekak-lekuk tubuhnya. Karenanya, terkadang mata laki-laki lebih melotot saat melihat wanita berjilbab seperti itu ketimbang melihat wanita yang tidak berjilbab tapi mengenakan pakaian yang tidak ketat. Di sini, bukan berarti saya menganggap bahwa wanita yang tidak berjilbab itu lebih baik, akan tetapi alangkah lebih baiknya bila setiap wanita yang berjilbab juga memperhatikan hal ini, sehingga niatannya untuk mengenakan jilbab benar-benar selaras dengan tujuan disyariatkannya jilbab, seperti yang telah dijelaskan di atas. Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan Hadits Nabi saw. yang berbunyi:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ
“Ada dua jenis penghuni neraka yang belum pernah aku lihat sebelumnya; (1) Satu kaum yang memegang cemeti yang berbentuk seperti ekor sapi lalu digunakan untuk memukul manusia lain, (2) Wanita-wanita yang berpakaian tetapi mereka terlihat seperti telanjang, mereka berlenggak-lenggok, dan kepala-kepala mereka seperti punuk unta.” (HR. Muslim)
2. Pada QS. An-Nuur (24): 60, sebenarnya tidak ada lafazh “pakaian luar”, itu hanya penafsiran. Lafazh sebenarnya adalah “tsiyaabahunna” (pakaian-pakaian mereka). Lengkapnya, ayat tersebut berbunyi: “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (pakaian luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan….” Para mufassir menafsirkan bahwa pakaian yang boleh ditanggalkan oleh wanita tersebut adalah pakaian yang jika dibuka, maka aurat wanita yang memakainya tidak ikut terbuka (masih tertutup). Yang termasuk katagori pakaian ini adalah mantel, jilbab dan sejenisnya. Jadi, yang dimaksud dengan pakaian tersebut bukanlah pakaian yang biasa kita istilahkan dengan “pakaian luar” (lawan pakaian dalam). Wallaahu A’lam….
Pak Ustadz, saya mau menanyakan tentang pakaian wanita:
1. Bagaimanakah menurut Islam cara berpakaian wanita; Apakah harus memakai gamis ataukah boleh menggunakan model lain asal longgar dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh?
2. Apa yang dimaksud dengan “pakaian luar” dalam QS. An-Nuur ayat 60? Mohon penjelasannya. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Petri Yanti
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
1. Baik dalam Al-Qur`an ataupun Hadits, tidak ada nash yang secara tegas menyebutkan ketentuan model pakaian yang harus dikenakan oleh seorang wanita Muslimah, apakah harus model gamis ataukah boleh model-model lain. Yang ada hanyalah ketentuan agar wanita Muslimah mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya, seperti disebutkan pada firman Allah swt.: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzaab [33]: 59)
Pada ayat lain, Allah swt. berfirman: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka…..” (QS. An-Nuur [24]: 31)
Pada kedua ayat yang sering dijadikan dalil kewajiban berjilbab tersebut, tidak disebutkan jenis atau model pakaian yang harus digunakan wanita Muslimah. Yang disebutkan hanyalah sifatnya saja, yaitu pada firman Allah: “mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya” dan firman-Nya: “menutupkan kain kudung ke dadanya”. Kedua lafazh tersebut mengisyaratkan bahwa pakaian yang harus dikenakan oleh wanita Muslimah adalah pakaian yang memiliki sifat dapat menutupi lekak-lekuk tubuhnya, termasuk bagian dada. Tujuannya jelas, yaitu untuk menutupi lekak-lekuk tubuh wanita yang dikhawatirkan dapat membangkitkan hasrat laki-laki yang melihatnya sehingga akan terjadi fitnah, atau dengan kata lain agar wanita Muslimah terhindar dari fitnah (hal buruk) yang dapat menimpanya. Tujuan ini terkandung pada firman Allah: “Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu”. Jadi menurut saya, apapun jenis atau model pakaiannya dibolehkan, asalkan memiliki sifat yang dapat mewujudkan tujuan tersebut.
Sayangnya, tidak sedikit wanita Muslimah yang kurang memperhatikan hal ini. Banyak di antara mereka yang tidak memakai jilbab, bahkan bangga dengan pakaian yang serba terbuka, baik di bagian atas ataupun bawahnya. Tidak sedikit pula wanita yang mengenakan jilbab tetapi jilbabnya itu terkesan hanya formalitas semata, karena hanya menutupi kepalanya saja, sementara pakaiannya begitu ketat hingga terlihat dengan jelas lekak-lekuk tubuhnya. Karenanya, terkadang mata laki-laki lebih melotot saat melihat wanita berjilbab seperti itu ketimbang melihat wanita yang tidak berjilbab tapi mengenakan pakaian yang tidak ketat. Di sini, bukan berarti saya menganggap bahwa wanita yang tidak berjilbab itu lebih baik, akan tetapi alangkah lebih baiknya bila setiap wanita yang berjilbab juga memperhatikan hal ini, sehingga niatannya untuk mengenakan jilbab benar-benar selaras dengan tujuan disyariatkannya jilbab, seperti yang telah dijelaskan di atas. Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan Hadits Nabi saw. yang berbunyi:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ
“Ada dua jenis penghuni neraka yang belum pernah aku lihat sebelumnya; (1) Satu kaum yang memegang cemeti yang berbentuk seperti ekor sapi lalu digunakan untuk memukul manusia lain, (2) Wanita-wanita yang berpakaian tetapi mereka terlihat seperti telanjang, mereka berlenggak-lenggok, dan kepala-kepala mereka seperti punuk unta.” (HR. Muslim)
2. Pada QS. An-Nuur (24): 60, sebenarnya tidak ada lafazh “pakaian luar”, itu hanya penafsiran. Lafazh sebenarnya adalah “tsiyaabahunna” (pakaian-pakaian mereka). Lengkapnya, ayat tersebut berbunyi: “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (pakaian luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan….” Para mufassir menafsirkan bahwa pakaian yang boleh ditanggalkan oleh wanita tersebut adalah pakaian yang jika dibuka, maka aurat wanita yang memakainya tidak ikut terbuka (masih tertutup). Yang termasuk katagori pakaian ini adalah mantel, jilbab dan sejenisnya. Jadi, yang dimaksud dengan pakaian tersebut bukanlah pakaian yang biasa kita istilahkan dengan “pakaian luar” (lawan pakaian dalam). Wallaahu A’lam….
Keluhan Seorang Wanita
Seorang wanita pernah menghadap Umar ra. dan berkata: “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya suamiku selalu berpuasa pada waktu siang dan melakukan qiyamul-lail di malam harinya. Sungguh aku tidak suka dan mengadukan kepadamu sikapnya itu. Dia menghabiskan waktunya untuk melakukan ketaatan kepada Allah.” Umar berkata kepada wanita itu: “Sungguh suamimu adalah suami yang terbaik!” Wanita itu pun mengulangi lagi perkataannya, tetapi Umar tetap memberikan jawaban yang sama.
Mendengar itu, Ka’ab bin Suwar Al-Asadi berkata kepada Umar: “Wahai Amirul Mukminin, wanita ini mengadukan kepadamu sikap suaminya yang tidak pernah menggaulinya.” Umar bin Khathab ra. pun berkata kepada Ka’ab: “Seperti yang telah engkau fahami dari perkataannya, maka putuskanlah perkara mereka berdua itu!”
Ka’ab berkata: “Aku harus memanggil suaminya terlebih dahulu.” Suami wanita itu pun didatangkan kepada Ka’ab, lalu Ka’ab berkata kepadanya: “Sesungguhnya isterimu ini mengeluhkan sikapmu!” Suami wanita itu berkata: “Apakah ada kaitannya dengan makanan (yang dia makan) atau minuman (yang dia minum)?” Ka’ab menjawab: “Tidak ada kaitannya dengan kedua-duanya?”
Kemudian wanita itu berkata:
“Wahai Sang Hakim yang keputusannya sungguh bijaksana,
Sungguh urusan masjid (maksudnya, ibadah) suamiku ini telah melupakannya dari kasurku (menggauliku).
Ibadahnya (kepada Allah) telah menyebabkannya tidak suka untuk menggauliku,
Siang dan malam dia tidak pernah tidur.
Aku sama sekali tidak memuji (tidak senang kepada) sikapnya itu,
Maka, berilah keputusan (di antara kami), wahai Ka’ab! Dan janganlah engkau menyuruhnya pulang (sebelum ada keputusan)!”
Sang suami berkata:
“Yang membuatku tidak suka kepada kasurnya (menggaulinya) dan kamar mempelai,
Adalah karena pikiranku dibuat kacau (tidak tenang) oleh apa yang diturunkan (Allah),
Dalam surah An-Nahl dan dalam As-Sab’i Ath-Thiwaal (tujuh surah panjang),
Dan sungguh dalam Kitabullah banyak sekali terdapat peringatan yang keras.”
Ka’ab berkata kepada laki-laki itu:
“Sesungguhnya dia memiliki hak yang harus kamu penuhi, wahai laki-laki,
Bagiannya adalah seperempat dari waktumu, bagi orang yang mengerti.
Maka, berikanlah kepadanya (bagiannya itu) dan tinggalkanlah perasaan cemasmu itu!”
Kemudian Ka’ab berkata: “Sesungguhnya Allah telah menghalalkan untukmu (untuk menikahi) wanita-wanita lain dua, tiga, atau empat. (Karena kamu hanya menikah dengan satu wanita saja, maka jatah untuk ketiga wanita itu) yaitu 3 hari 3 malam dapat kamu gunakan untuk beribadah kepada Tuhanmu, sementara yang satu hari satu malam untuk isterimu.”
Mendengar penjelasan Ka’ab tersebut, Umar ra. berkata kepadanya: “Demi Allah, aku tidak tahu, mana di antara dua hal berikut ini yang aku kagumi? Apakah aku kagum terhadap pemahamanmu tentang masalah kedua orang itu ataukah terhadap keputusan yang engkau berikan? Sekarang pergilah (ke Bashrah) karena sesungguhnya aku telah mengangkatmu sebagai qadhi (hakim) di sana!” (Dikutip dari buku Al-Ahkaam As-Sulthaaniyyah, karya Al-Mawardi.)
Mendengar itu, Ka’ab bin Suwar Al-Asadi berkata kepada Umar: “Wahai Amirul Mukminin, wanita ini mengadukan kepadamu sikap suaminya yang tidak pernah menggaulinya.” Umar bin Khathab ra. pun berkata kepada Ka’ab: “Seperti yang telah engkau fahami dari perkataannya, maka putuskanlah perkara mereka berdua itu!”
Ka’ab berkata: “Aku harus memanggil suaminya terlebih dahulu.” Suami wanita itu pun didatangkan kepada Ka’ab, lalu Ka’ab berkata kepadanya: “Sesungguhnya isterimu ini mengeluhkan sikapmu!” Suami wanita itu berkata: “Apakah ada kaitannya dengan makanan (yang dia makan) atau minuman (yang dia minum)?” Ka’ab menjawab: “Tidak ada kaitannya dengan kedua-duanya?”
Kemudian wanita itu berkata:
“Wahai Sang Hakim yang keputusannya sungguh bijaksana,
Sungguh urusan masjid (maksudnya, ibadah) suamiku ini telah melupakannya dari kasurku (menggauliku).
Ibadahnya (kepada Allah) telah menyebabkannya tidak suka untuk menggauliku,
Siang dan malam dia tidak pernah tidur.
Aku sama sekali tidak memuji (tidak senang kepada) sikapnya itu,
Maka, berilah keputusan (di antara kami), wahai Ka’ab! Dan janganlah engkau menyuruhnya pulang (sebelum ada keputusan)!”
Sang suami berkata:
“Yang membuatku tidak suka kepada kasurnya (menggaulinya) dan kamar mempelai,
Adalah karena pikiranku dibuat kacau (tidak tenang) oleh apa yang diturunkan (Allah),
Dalam surah An-Nahl dan dalam As-Sab’i Ath-Thiwaal (tujuh surah panjang),
Dan sungguh dalam Kitabullah banyak sekali terdapat peringatan yang keras.”
Ka’ab berkata kepada laki-laki itu:
“Sesungguhnya dia memiliki hak yang harus kamu penuhi, wahai laki-laki,
Bagiannya adalah seperempat dari waktumu, bagi orang yang mengerti.
Maka, berikanlah kepadanya (bagiannya itu) dan tinggalkanlah perasaan cemasmu itu!”
Kemudian Ka’ab berkata: “Sesungguhnya Allah telah menghalalkan untukmu (untuk menikahi) wanita-wanita lain dua, tiga, atau empat. (Karena kamu hanya menikah dengan satu wanita saja, maka jatah untuk ketiga wanita itu) yaitu 3 hari 3 malam dapat kamu gunakan untuk beribadah kepada Tuhanmu, sementara yang satu hari satu malam untuk isterimu.”
Mendengar penjelasan Ka’ab tersebut, Umar ra. berkata kepadanya: “Demi Allah, aku tidak tahu, mana di antara dua hal berikut ini yang aku kagumi? Apakah aku kagum terhadap pemahamanmu tentang masalah kedua orang itu ataukah terhadap keputusan yang engkau berikan? Sekarang pergilah (ke Bashrah) karena sesungguhnya aku telah mengangkatmu sebagai qadhi (hakim) di sana!” (Dikutip dari buku Al-Ahkaam As-Sulthaaniyyah, karya Al-Mawardi.)
Ad-Dars Ats-Tsaalits (Pelajaran Ketiga) - Level Tiga
v Pada bagian conversation pelajaran ketiga ini, disebutkan pembicaraan antara seorang guru dengan murid-muridnya. Sementara pada bagian grammer dan translation, kita akan belajar tentang isim maushuul (kata sambung).
v Dalam menyusun sebuah kalimat, terkadang kita membutuhkan satu kata yang digunakan untuk menyambungkan satu kalimat dengan kalimat yang lain. Dalam bahasa Arab, kata sambung seperti itu disebut dengan istilah isim maushuul.Biasanya kata ini digunakan di belakang kata benda yang membutuhkan penjelasan.
v Bila kata benda yang ingin dijelaskan itu termasuk kata benda jenis maskulin (laki-laki), maka kata sambung yang digunakan adalah al-ladzii, seperti yang dapat dilihat pada kolom sebelah kanan.
v Tetapi bila kata benda yang ingin dijelaskan adalah kata benda jenis feminim (perempuan), maka kata sambung yang digunakan adalah al-latii, seperti yang dapat dilihat pada kolom sebelah kiri.
Untuk mendownload file ketiga dari level tiga ini, klik di sini!
v Dalam menyusun sebuah kalimat, terkadang kita membutuhkan satu kata yang digunakan untuk menyambungkan satu kalimat dengan kalimat yang lain. Dalam bahasa Arab, kata sambung seperti itu disebut dengan istilah isim maushuul.Biasanya kata ini digunakan di belakang kata benda yang membutuhkan penjelasan.
v Bila kata benda yang ingin dijelaskan itu termasuk kata benda jenis maskulin (laki-laki), maka kata sambung yang digunakan adalah al-ladzii, seperti yang dapat dilihat pada kolom sebelah kanan.
v Tetapi bila kata benda yang ingin dijelaskan adalah kata benda jenis feminim (perempuan), maka kata sambung yang digunakan adalah al-latii, seperti yang dapat dilihat pada kolom sebelah kiri.
Untuk mendownload file ketiga dari level tiga ini, klik di sini!
Kamis, 05 November 2009
Bila Suami Mengatakan “Pisah”, Apakah Jatuh Thalak?
* Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya ajukan:
1. Langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan bila suami hendak menceraikan isterinya?
2. Apabila suami berkata “pisah” kepada isterinya, apakah sama dengan artinya kata “cerai”? Dan apakah jatuh thalak?
3. Mohon penjelasannya tentang apa yang dimaksud thalak 1, thalak 2 dan thalak 3. Terima kasih sebelum dan sesudahnya.
* Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
* Yaddi R
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
1. Karena pernikahan merupakan sebuah ikatan suci, maka setiap Muslim harus berusaha untuk menjaganya semaksimal mungkin dan tidak mudah memutuskan ikatan tersebut, kecuali bila ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan ikatan suci tersebut tidak bisa dipertahankan lagi. Oleh karena itu, bila ada satu masalah rumah tangga, maka seorang suami yang ingin menceraikan isterinya atau isteri yang ingin menuntut cerai sebaiknya berfikir matang-matang atau mempertimbangkannya berulang-ulang, lebih dianjurkan untuk beristikharah terlebih dahulu. Sebab, bisa jadi keinginannya untuk bercerai itu hanya didasari oleh emosi sesaat saja, tanpa mempertimbangkan sisi-sisi positif dan sisi-sisi negatifnya. Hal itu terkadang akan menyebabkan penyesalan yang selalu datang di akhir.
Bila ternyata masalah itu tidak dapat diatasi oleh suami isteri, maka sebaiknya dipanggil juru pendamai, satu dari pihak laki-laki dan satu dari pihak perempuan. Ini sesuai dengan firman Allah swt.: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisaa` [4]: 35)
Tetapi bila kedua belah pihak sulit untuk didamaikan lagi, maka sebaiknya suami mengajukan permohonan cerai ke pengadilan agama, biar hakim yang memutuskan, meskipun menurut agama, suami berhak menjatuhkan thalak sendiri. Atau, bila isteri yang menginginkan perceraian, maka dia berhak mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama.
2. Ada beberapa macam lafazh yang digunakan oleh seorang laki-laki dalam menceraikan isterinya:
- Lafazh yang secara tegas mengandung pengertian thalak (cerai), seperti dengan mengatakan: “Aku thalak (cerai) kamu” atau “Kamu aku thalak”. Bila lafazh ini yang digunakan, maka thalak langsung jatuh meskipun tidak ada niat.
- Bila lafazh yang digunakan adalah lafazh yang dikaitkan dengan satu syarat (perbuatan atau kondisi tertentu), seperti dengan mengatakan: “Aku thalak (cerai) kamu bila kamu melakukan perbuatan….atau mengucapkan perkataan….” Lafazh seperti ini sangat tergantung kepada niat orang yang mengucapkannya. Bila dia benar-benar bermaksud menceraikan isterinya bila sang isteri melakukan perbuatan atau mengucapkan perkataan yang disyaratkan itu, maka thalak akan jatuh bila perbuatan tersebut dilakukan atau bila perkataan tersebut diucapkan. Tetapi bila suami hanya bermaksud mengancam atau menakut-nakuti isterinya, maka thalak tidak jatuh meskipun perbuatan tersebut dilakukan atau perkataan tersebut diucapkan. Dalam hal ini, suami hanya dikenai kewajiban membayar kaffarah (denda) sumpah, yaitu dengan memberi makan 10 orang miskin atau berpuasa selama tiga hari.
- Tetapi bila lafazh yang digunakan adalah lafazh yang mengandung unsur kinayah (kiasan) atau lafazh yang multitafsir, seperti dengan mengatakan: “Pulanglah kamu ke rumah orangtuamu!”, maka lafazh tersebut membutuhkan adanya niat. Jadi, kalau tidak ada niat dari suami untuk menceraikan isterinya, maka tidak jatuh thalak. Menurut hemat saya, kata “pisah” termasuk ke dalam katagori ini, karena lafazh tersebut bisa jadi maksudnya: “Kita pisah dulu untuk sementara waktu” atau “Aku pisah-ranjangkan kamu”.
3. Dalam Islam, secara garis besar, thalak terbagi menjadi dua:
- Thalak yang di dalamnya suami masih dapat rujuk (kembali) kepada isterinya selama masih dalam masa ‘iddah (masa menunggu) atau masih dibolehkan untuk menikahinya kembali bila masa ‘iddahnya telah habis. Yang termasuk dalam thalak jenis ini adalah thalak ke-1 dan thalak ke-2. Artinya, bila suami menceraikan isterinya untuk pertama kali atau untuk kedua kalinya, maka dia masih dapat kembali (rujuk) kepada isterinya tanpa melalui akad nikah baru, dengan syarat masih dalam masa ‘iddah. Tetapi bila masa ‘iddah-nya sudah habis, kemudian suami ingin kembali lagi, maka harus ada akad nikah baru (Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 229).
- Thalak yang di dalamnya suami tidak boleh kembali lagi kepada isteri yang diceraikannya kecuali setelah isterinya itu dinikahi oleh laki-laki lain dengan akad nikah yang sah, bukan dengan akad pura-pura atau yang biasa diistilahkan dengan akad nikah tahlil. Thalak jenis ini disebut dengan thalak ke-3 atau thalak bain kubro. Bila thalak ini terjadi, maka seorang wanita sudah tidak halal lagi bagi suaminya kecuali bila dia telah dinikahi oleh laki-laki lain dengan akad nikah yang sah (Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 230).
Wallaahu A’lam….
Pak Ustadz, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya ajukan:
1. Langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan bila suami hendak menceraikan isterinya?
2. Apabila suami berkata “pisah” kepada isterinya, apakah sama dengan artinya kata “cerai”? Dan apakah jatuh thalak?
3. Mohon penjelasannya tentang apa yang dimaksud thalak 1, thalak 2 dan thalak 3. Terima kasih sebelum dan sesudahnya.
* Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
* Yaddi R
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
1. Karena pernikahan merupakan sebuah ikatan suci, maka setiap Muslim harus berusaha untuk menjaganya semaksimal mungkin dan tidak mudah memutuskan ikatan tersebut, kecuali bila ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan ikatan suci tersebut tidak bisa dipertahankan lagi. Oleh karena itu, bila ada satu masalah rumah tangga, maka seorang suami yang ingin menceraikan isterinya atau isteri yang ingin menuntut cerai sebaiknya berfikir matang-matang atau mempertimbangkannya berulang-ulang, lebih dianjurkan untuk beristikharah terlebih dahulu. Sebab, bisa jadi keinginannya untuk bercerai itu hanya didasari oleh emosi sesaat saja, tanpa mempertimbangkan sisi-sisi positif dan sisi-sisi negatifnya. Hal itu terkadang akan menyebabkan penyesalan yang selalu datang di akhir.
Bila ternyata masalah itu tidak dapat diatasi oleh suami isteri, maka sebaiknya dipanggil juru pendamai, satu dari pihak laki-laki dan satu dari pihak perempuan. Ini sesuai dengan firman Allah swt.: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisaa` [4]: 35)
Tetapi bila kedua belah pihak sulit untuk didamaikan lagi, maka sebaiknya suami mengajukan permohonan cerai ke pengadilan agama, biar hakim yang memutuskan, meskipun menurut agama, suami berhak menjatuhkan thalak sendiri. Atau, bila isteri yang menginginkan perceraian, maka dia berhak mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama.
2. Ada beberapa macam lafazh yang digunakan oleh seorang laki-laki dalam menceraikan isterinya:
- Lafazh yang secara tegas mengandung pengertian thalak (cerai), seperti dengan mengatakan: “Aku thalak (cerai) kamu” atau “Kamu aku thalak”. Bila lafazh ini yang digunakan, maka thalak langsung jatuh meskipun tidak ada niat.
- Bila lafazh yang digunakan adalah lafazh yang dikaitkan dengan satu syarat (perbuatan atau kondisi tertentu), seperti dengan mengatakan: “Aku thalak (cerai) kamu bila kamu melakukan perbuatan….atau mengucapkan perkataan….” Lafazh seperti ini sangat tergantung kepada niat orang yang mengucapkannya. Bila dia benar-benar bermaksud menceraikan isterinya bila sang isteri melakukan perbuatan atau mengucapkan perkataan yang disyaratkan itu, maka thalak akan jatuh bila perbuatan tersebut dilakukan atau bila perkataan tersebut diucapkan. Tetapi bila suami hanya bermaksud mengancam atau menakut-nakuti isterinya, maka thalak tidak jatuh meskipun perbuatan tersebut dilakukan atau perkataan tersebut diucapkan. Dalam hal ini, suami hanya dikenai kewajiban membayar kaffarah (denda) sumpah, yaitu dengan memberi makan 10 orang miskin atau berpuasa selama tiga hari.
- Tetapi bila lafazh yang digunakan adalah lafazh yang mengandung unsur kinayah (kiasan) atau lafazh yang multitafsir, seperti dengan mengatakan: “Pulanglah kamu ke rumah orangtuamu!”, maka lafazh tersebut membutuhkan adanya niat. Jadi, kalau tidak ada niat dari suami untuk menceraikan isterinya, maka tidak jatuh thalak. Menurut hemat saya, kata “pisah” termasuk ke dalam katagori ini, karena lafazh tersebut bisa jadi maksudnya: “Kita pisah dulu untuk sementara waktu” atau “Aku pisah-ranjangkan kamu”.
3. Dalam Islam, secara garis besar, thalak terbagi menjadi dua:
- Thalak yang di dalamnya suami masih dapat rujuk (kembali) kepada isterinya selama masih dalam masa ‘iddah (masa menunggu) atau masih dibolehkan untuk menikahinya kembali bila masa ‘iddahnya telah habis. Yang termasuk dalam thalak jenis ini adalah thalak ke-1 dan thalak ke-2. Artinya, bila suami menceraikan isterinya untuk pertama kali atau untuk kedua kalinya, maka dia masih dapat kembali (rujuk) kepada isterinya tanpa melalui akad nikah baru, dengan syarat masih dalam masa ‘iddah. Tetapi bila masa ‘iddah-nya sudah habis, kemudian suami ingin kembali lagi, maka harus ada akad nikah baru (Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 229).
- Thalak yang di dalamnya suami tidak boleh kembali lagi kepada isteri yang diceraikannya kecuali setelah isterinya itu dinikahi oleh laki-laki lain dengan akad nikah yang sah, bukan dengan akad pura-pura atau yang biasa diistilahkan dengan akad nikah tahlil. Thalak jenis ini disebut dengan thalak ke-3 atau thalak bain kubro. Bila thalak ini terjadi, maka seorang wanita sudah tidak halal lagi bagi suaminya kecuali bila dia telah dinikahi oleh laki-laki lain dengan akad nikah yang sah (Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 230).
Wallaahu A’lam….
Surah An-Naas
“Katakanlah: ‘Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia, Raja manusia, Sembahan manusia; dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia, dari (golongan) jin dan manusia.’” (QS. An-Naas [114]: 1-6)
Makna Kata:
قُلْ : Katakanlah. Berasal dari kata qaala yaquulu. Perintah ini merupakan perintah kepada Nabi Muhammad saw. yang juga ditujukan kepada umatnya.
أَعُوْذُ : Aku berlindung. Maksudnya meminta pertolongan kepada Allah agar dijauhkan dari hal-hal yang buruk. Dari kata ini, terbentuklah kata ta’awwudz dan isti’adzah.
رَبِّ النَّاسِ : Tuhan manusia. Kata “Rabb” berasal dari kata rabba yarubbu yang berarti mendidik, memelihara. Jadi, Rabbun-naas artinya Dzat Yang Memelihara, Mendidik dan Membimbing manusia.
مَلِكِ النَّاسِ : Raja manusia; Dzat Yang Merajai dan Menguasai manusia.
إِلَهِ النَّاسِ : Sembahan manusia; Dzat yang patut disembah oleh manusia. Kata ini mengandung unsur kesempurnaan Allah dan penghambaan manusia terhadap-Nya.
شَرِّ : Kejahatan (bisikan)
الْوَسْوَاسِ : Syaitan. Berasal dari kata waswasa yuwaswisu yang artinya membisik-bisiki. Ini menunjukkan bahwa syaitan selalu berusaha untuk membisik-bisiki manusia.
الْخَنَّاسِ : yang biasa bersembunyi, hingga tidak terlihat oleh manusia.
يُوَسْوِسُ : membisikkan; Mendorong manusia secara sembunyi-sembunyi untuk melakukan perbuatan-perbuatan maksiat.
الْجِنَّةِ : Jin
Tafsir Surah:
v Surah ini mengandung perintah kepada manusia untuk selalu memohon pertolongan kepada Allah dalam semua urusan mereka karena Dialah Dzat yang telah mendidik, memelihara dan membimbing mereka dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan mereka.
v Surah ini juga memerintahkan manusia untuk memohon perlindungan kepada Allah dari hal-hal yang buruk, termasuk dari godaan (bisikan) syaitan yang selalu membisik-bisiki manusia untuk melakukan berbagai macam keburukan atau perbuatan dosa serta menjadikannya selalu terlihat indah dalam pandangannya.
v Bila seorang muslim menyebut nama Allah swt., maka syeitan akan lari dan bersembunyi hingga tidak mampu lagi menggoda orang tersebut untuk berbuat maksiat. Tetapi bila seorang muslim jarang berdzikir (mengingat) Allah, maka syaitan akan datang kepadanya, akan membisik-bisikinya dan akan membimbingnya ke jalan yang sesat.
v Di antara manusia ada orang yang memiliki kemampuan membujuk orang lain untuk melakukan perbuatan maksiat. Orang-orang seperti ini diumpamakan seperti syaitan, bahkan diistilahkan dengan syayaatiin al-insi (syaitan-syaitan manusia). Oleh karena itu, setiap muslim diperintahkan untuk berhati-hati dalam memilih teman. Dia harus berteman dengan orang-orang yang shaleh dan bertakwa, yang dapat membantu dan mendorongnya untuk melakukan amal-amal shaleh. Dia juga diperintahkan untuk menjauhi teman-teman yang tidak baik, yang akan mengajaknya kepada keburukan dan perbuatan dosa. Rasulullah saw. bersabda:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ وَكِيرِ الْحَدَّادِ لَا يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
“Perumpamaan teman yang baik dengan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dengan tukang las (patri). Bila kamu dekat dengan penjual minyak wangi, ada kemungkinan akan membeli (minyak itu) darinya atau kamu akan mendapatkan bau wanginya. Tetapi bila dengan dengan tukang las, (percikan api) akan mengenai tubuhmu atau bajumu, atau kamu akan mencium bau yang tidak sedap.”
Makna Kata:
قُلْ : Katakanlah. Berasal dari kata qaala yaquulu. Perintah ini merupakan perintah kepada Nabi Muhammad saw. yang juga ditujukan kepada umatnya.
أَعُوْذُ : Aku berlindung. Maksudnya meminta pertolongan kepada Allah agar dijauhkan dari hal-hal yang buruk. Dari kata ini, terbentuklah kata ta’awwudz dan isti’adzah.
رَبِّ النَّاسِ : Tuhan manusia. Kata “Rabb” berasal dari kata rabba yarubbu yang berarti mendidik, memelihara. Jadi, Rabbun-naas artinya Dzat Yang Memelihara, Mendidik dan Membimbing manusia.
مَلِكِ النَّاسِ : Raja manusia; Dzat Yang Merajai dan Menguasai manusia.
إِلَهِ النَّاسِ : Sembahan manusia; Dzat yang patut disembah oleh manusia. Kata ini mengandung unsur kesempurnaan Allah dan penghambaan manusia terhadap-Nya.
شَرِّ : Kejahatan (bisikan)
الْوَسْوَاسِ : Syaitan. Berasal dari kata waswasa yuwaswisu yang artinya membisik-bisiki. Ini menunjukkan bahwa syaitan selalu berusaha untuk membisik-bisiki manusia.
الْخَنَّاسِ : yang biasa bersembunyi, hingga tidak terlihat oleh manusia.
يُوَسْوِسُ : membisikkan; Mendorong manusia secara sembunyi-sembunyi untuk melakukan perbuatan-perbuatan maksiat.
الْجِنَّةِ : Jin
Tafsir Surah:
v Surah ini mengandung perintah kepada manusia untuk selalu memohon pertolongan kepada Allah dalam semua urusan mereka karena Dialah Dzat yang telah mendidik, memelihara dan membimbing mereka dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan mereka.
v Surah ini juga memerintahkan manusia untuk memohon perlindungan kepada Allah dari hal-hal yang buruk, termasuk dari godaan (bisikan) syaitan yang selalu membisik-bisiki manusia untuk melakukan berbagai macam keburukan atau perbuatan dosa serta menjadikannya selalu terlihat indah dalam pandangannya.
v Bila seorang muslim menyebut nama Allah swt., maka syeitan akan lari dan bersembunyi hingga tidak mampu lagi menggoda orang tersebut untuk berbuat maksiat. Tetapi bila seorang muslim jarang berdzikir (mengingat) Allah, maka syaitan akan datang kepadanya, akan membisik-bisikinya dan akan membimbingnya ke jalan yang sesat.
v Di antara manusia ada orang yang memiliki kemampuan membujuk orang lain untuk melakukan perbuatan maksiat. Orang-orang seperti ini diumpamakan seperti syaitan, bahkan diistilahkan dengan syayaatiin al-insi (syaitan-syaitan manusia). Oleh karena itu, setiap muslim diperintahkan untuk berhati-hati dalam memilih teman. Dia harus berteman dengan orang-orang yang shaleh dan bertakwa, yang dapat membantu dan mendorongnya untuk melakukan amal-amal shaleh. Dia juga diperintahkan untuk menjauhi teman-teman yang tidak baik, yang akan mengajaknya kepada keburukan dan perbuatan dosa. Rasulullah saw. bersabda:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ وَكِيرِ الْحَدَّادِ لَا يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
“Perumpamaan teman yang baik dengan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dengan tukang las (patri). Bila kamu dekat dengan penjual minyak wangi, ada kemungkinan akan membeli (minyak itu) darinya atau kamu akan mendapatkan bau wanginya. Tetapi bila dengan dengan tukang las, (percikan api) akan mengenai tubuhmu atau bajumu, atau kamu akan mencium bau yang tidak sedap.”
Ad-Dars Ats-Tsani (Pelajaran Kedua)-Level Tiga
v Pada bagian conversation, kita akan mempelajari percakapan antara seseorang dengan pelayan toko buku. Sementara pada bagian grammer kita akan belajar tentang jamak taksiir (kata jamak irregular).
v Tidak semua kata benda (isim) memiliki bentuk jamak yang beraturan, yaitu dengan menambahkan huruf wawu dan nuun bila maskulin (mudzakkar) atau huruf alif dan taa` bila feminim (mu`annats) – seperti yang telah dijelaskan pada pelajaran kesepuluh level dua. Bahkan banyak sekali kata benda yang bentuk jamaknya tidak beraturan atau tidak memiliki bentuk baku.
v Kata jamak seperti ini dalam bahasa Arab disebut dengan jamak taksiir (irreguler). Bentuk jamak seperti ini lebih sering dijumpai pada kata-kata yang digunakan untuk benda-benda yang tidak berakal.
v Karena tidak memiliki bentuk yang baku, maka sebaiknya bentuk jamak untuk kata-kata tersebut dihapal.
Untuk mendownload pelajaran ini, klik di sini!
v Tidak semua kata benda (isim) memiliki bentuk jamak yang beraturan, yaitu dengan menambahkan huruf wawu dan nuun bila maskulin (mudzakkar) atau huruf alif dan taa` bila feminim (mu`annats) – seperti yang telah dijelaskan pada pelajaran kesepuluh level dua. Bahkan banyak sekali kata benda yang bentuk jamaknya tidak beraturan atau tidak memiliki bentuk baku.
v Kata jamak seperti ini dalam bahasa Arab disebut dengan jamak taksiir (irreguler). Bentuk jamak seperti ini lebih sering dijumpai pada kata-kata yang digunakan untuk benda-benda yang tidak berakal.
v Karena tidak memiliki bentuk yang baku, maka sebaiknya bentuk jamak untuk kata-kata tersebut dihapal.
Untuk mendownload pelajaran ini, klik di sini!
Mengapa Laki-Laki Bisa Berpoligami Sedangkan Wanita Tidak?
(Tulisan ini dikutip dari buku berjudul “Zaujaat An-Nabiy” (Isteri-isteri Nabi) karya Prof. Dr. Jasim Muhammad Al-Muthawwa’.)
Seorang wanita pernah menghadang langkahku, kemudian dia berkata kepadaku, “Mengapa laki-laki bisa menikah dengan banyak wanita sedangkan wanita tidak dapat menikah dengan banyak laki-laki?” Saya berkata kepadanya, “Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa wanita tidak dapat menikah dengan banyak laki-laki?” Dia sangat terkejut dengan pertanyaanku itu, dan saya dapat merasakan bahwa dia sangat shock. Tetapi kemudian, dia dapat mengendalikan dirinya, lalu dia berkata, “Dari perkataanmu itu, aku dapat memahami bahwa aku dapat menikah dengan banyak laki-laki?”
Saya menjawab, “Ya.”
Dia berkata, “Sungguh, tidak ada seorangpun sebelummu yang pernah mengucapkan perkataan seperti ini!”
Saya berkata, “Perkataanmu itu tidak benar, bahkan para ahli fikih telah mengatakan hal itu.”
Dia berkata, “Apakah kamu masih tetap pada pendapatmu itu?”
Saya menjawab, “Ya.”
Dia berkata lagi, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”
Saya menjawab, “Dalam syariat Islam, jika hati seorang wanita telah terpikat kepada laki-laki lain, kemudian dia ingin menikah dengannya, maka dia berhak meminta kepada suaminya untuk menceraikannya, atau dia dapat mengadukan masalah itu ke pengadilan sehingga pengadilan-lah yang akan memisahkan mereka berdua dengan cara-cara perceraian yang telah diatur oleh syariat Islam.”
Dia berkata, “Apakah perkataanmu itu benar?”
Saya menjawab, “Ya.”
Dia berkata lagi, “Akan tetapi, saya ingin menikah dengan beberapa orang laki-laki dalam waktu yang bersamaan.”
Saya berkata, “Jika kamu hamil, kemudian kamu melahirkan seorang anak, maka tahukah kamu dari suami yang manakah anakmu itu?”
Wanita itu terdiam sejenak, kemudian dia berkata, “Demi Allah, perkataanmu itu benar.”
Saya berkata lagi kepadanya, “Hal itu adalah disebabkan karena tiang garis keturunan itu adalah milik laki-laki. Seandainya syariat Islam membolehkan seorang wanita untuk berpoliandri, niscaya dalam masyarakat kita, akan terjadi kekacauan dalam menentukan garis keturunan.”
Dia berkata, “Jika demikian, maka berarti kita membolehkan wanita-wanita yang telah mencapai usia menopouse (tidak dapat melahirkan lagi) atau wanita-wanita yang telah melakukan operasi pengikatan leher rahimnya untuk berpoliandri!”
Saya berkata, “Perkataanmu memang benar, akan tetapi bagaimana kita dapat menerapkan sistem qawâmah (kepemimpinan laki-laki atas wanita) jika seorang wanita memiliki dua atau tiga suami?”
Dia berkata, “Wahai Abu Muhammad, sungguh setiap kali aku membuka satu pintu masalah, maka kamu pun akan menutupnya!”
Saya berkata, “Wahai Saudariku yang terhormat, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah adalah Maha Adil, dan Dia tidak pernah menzhalimi manusia dengan sesuatu apapun. Ketika Dia mensyariatkan (menetapkan) satu agama untuk kita, maka dalam pensyariatan-Nya itu terdapat keadilan yang bersifat absolut, meski dalam masalah poligami sekalipun. Meskipun demikian, Allah telah memberikan sejumlah cara kepada wanita dalam menyikapi aturan tentang poligami ini, di antaranya adalah:
1- Dalam Islam, sebuah pernikahan tidak dapat dilakukan dengan menggunakan paksaan. Oleh karena itu, bagi seorang wanita yang tidak mau dimadu, dia dibolehkan untuk menolak poligami yang dilakukan oleh suaminya itu yaitu dengan cara menuntut cerai. Dia berhak melakukan hal itu, karena Islam tidak pernah memaksanya agar mau dimadu.
2- Bagi wanita yang merasa khawatir jika suaminya akan berpoligami, maka Islam telah memberikan kepadanya hak untuk mengajukan syarat agar dia tidak dimadu ketika hendak melakukan akad nikah.
3- Ketika telah terjadi hubungan percintaan yang diharamkan antara seorang wanita dengan laki-laki lain selain suaminya, maka dia dibolehkan untuk menuntut cerai meskipun suaminya menolak. Dalam pengadilan agama, wanita itu akan mendapat dukungan untuk bercerai (Hal ini adalah seperti telah dijelaskan di atas).
4- Selain itu, disyariatkannya poligami adalah karena adanya kebutuhan masyarakat ataupun individu terhadapnya. Ketahuilah bahwa ada aturan-aturan dan syarat-syarat tertentu dalam poligami. Jadi, pintu poligami tidaklah terbuka lebar bagi orang-orang yang ingin memanfaatkan ‘fasilitas’ poligami tersebut. Barangsiapa yang ingin menikah lagi dengan isteri kedua, maka dia diwajibkan untuk bertindak adil, lalu dia juga diharuskan untuk memberi nafkah, memberikan jaminan tempat tinggal, serta memenuhi hak-hak lainnya yang telah ditentukan oleh syariat.”
Wanita itu berkata lagi, “Demi Allah, perkataanmu sangatlah indah. Akan tetapi, apa dosa isteri pertama ketika suaminya menikah lagi dengan isteri kedua? Mengapa Islam tidak memperhatikan perasaannya?”
Saya pun balik bertanya, “Apa dosa isteri kedua ketika dia tidak dinikahi oleh laki-laki tersebut? Bukankah termasuk hal yang indah jika Islam juga memperhatikan kebutuhan dan perasaan wanita tersebut? Apakah kamu tidak ingat tentang realitas yang terjadi di masyarakat Barat dimana di dalamnya terdapat kekacauan dan kebiasaan berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan sejumlah aturan dan syarat-syarat tertentu serta tidak memperhatikan hak-hak tertentu, sehingga prosentase anak yang dilahirkan di luar pernikahan di sebagian negara Barat pun mencapai 60%. Bahkan setiap hari, jumlah penderita AIDS akibat pergaulan bebas yang baru masuk ke dalam panti rehabilitasi penderita AIDS mencapai 7500 orang.”
Wanita itu berkata, “Akan tetapi, aku sama sekali tidak mengatakan bahwa sistem kehidupan masyarakat Barat merupakan sistem yang benar.”
Saya berkata, “Sesungguhnya kamu telah mengkritik aturan poligami dalam Islam, dan sungguh aku telah menjelaskan kepadamu tentang aturan tersebut dan tentang sistem sosial kemasyarakatan di Barat. Inilah dua pandangan yang berasal dari dua peradaban yang berbeda. Jika kamu memiliki pandangan lain tentang solusi bagi sejumlah problematika sosial, maka kemukakanlah sehingga kita dapat mendiskusikannya. Kemudian kita dapat melihat apakah proyek yang kamu kemukakan itu adalah lebih baik daripada proyek Islam dan Barat itu? Ketahuilah bahwa di antara aturan yang harus diperhatikan dalam menyampaikan sebuah kritikan adalah bahwa orang yang menyampaikan kritikan itu harus memberikan alternatif solusi lain.”
Dia berkata, “Aku tidak memiliki satu solusi atau satu alternatif pun. Aku hanyalah seorang kritikus saja.”
Saya berkata, “Jadi, bagaimana pendapatmu tentang angka-angka berikut ini? Di Amerika, perbandingan antara laki-laki dengan perempuan adalah 1:4, demikian pula di Swedia dan Rusia. Sedangkan di Afrika dan negara-negara Khalij, perbandingannya adalah 1:3; di China 1:10; dan di Jepang 1:6. Lalu, bagaimana pendapatmu tentang hal tersebut?”
Kemudian saya berkata, “Pasca perang dunia ke-2, Jerman telah meminta kepada pihak al-Azhar di Mesir untuk menjelaskan tentang aturan poligami sehingga aturan itu dapat diterapkan di sana. Akan tetapi, pihak Vatikan berusaha untuk menghalangi proyek ini. Lalu, apa pendapatmu tentang hal itu?”
Wanita itu menjawab, “Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan kepadamu. Akan tetapi, aku dapat mengatakan kepadamu bahwa aturan poligami dalam Islam merupakan aturan yang bagus dan benar-benar adil. Meskipun demikian, aku tidak rela jika aturan itu diterapkan pada diriku.”
Saya berkata, “Inilah yang seharusnya kamu katakan di awal pertemuan kita, sehingga kamu tidak akan menghukumi aturan poligami itu hanya berdasarkan hawa nafsu dan keingananmu saja. Aku ingin menambahkan penjelasan kepadamu bahwa perasaan yang ada dalam dirimu itu telah diperhatikan oleh Islam, dan sebagaimana telah kami sebutkan tadi, Islam telah memberikan kebebasan kepadamu untuk menentukan pilihan.”
Seorang wanita pernah menghadang langkahku, kemudian dia berkata kepadaku, “Mengapa laki-laki bisa menikah dengan banyak wanita sedangkan wanita tidak dapat menikah dengan banyak laki-laki?” Saya berkata kepadanya, “Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa wanita tidak dapat menikah dengan banyak laki-laki?” Dia sangat terkejut dengan pertanyaanku itu, dan saya dapat merasakan bahwa dia sangat shock. Tetapi kemudian, dia dapat mengendalikan dirinya, lalu dia berkata, “Dari perkataanmu itu, aku dapat memahami bahwa aku dapat menikah dengan banyak laki-laki?”
Saya menjawab, “Ya.”
Dia berkata, “Sungguh, tidak ada seorangpun sebelummu yang pernah mengucapkan perkataan seperti ini!”
Saya berkata, “Perkataanmu itu tidak benar, bahkan para ahli fikih telah mengatakan hal itu.”
Dia berkata, “Apakah kamu masih tetap pada pendapatmu itu?”
Saya menjawab, “Ya.”
Dia berkata lagi, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”
Saya menjawab, “Dalam syariat Islam, jika hati seorang wanita telah terpikat kepada laki-laki lain, kemudian dia ingin menikah dengannya, maka dia berhak meminta kepada suaminya untuk menceraikannya, atau dia dapat mengadukan masalah itu ke pengadilan sehingga pengadilan-lah yang akan memisahkan mereka berdua dengan cara-cara perceraian yang telah diatur oleh syariat Islam.”
Dia berkata, “Apakah perkataanmu itu benar?”
Saya menjawab, “Ya.”
Dia berkata lagi, “Akan tetapi, saya ingin menikah dengan beberapa orang laki-laki dalam waktu yang bersamaan.”
Saya berkata, “Jika kamu hamil, kemudian kamu melahirkan seorang anak, maka tahukah kamu dari suami yang manakah anakmu itu?”
Wanita itu terdiam sejenak, kemudian dia berkata, “Demi Allah, perkataanmu itu benar.”
Saya berkata lagi kepadanya, “Hal itu adalah disebabkan karena tiang garis keturunan itu adalah milik laki-laki. Seandainya syariat Islam membolehkan seorang wanita untuk berpoliandri, niscaya dalam masyarakat kita, akan terjadi kekacauan dalam menentukan garis keturunan.”
Dia berkata, “Jika demikian, maka berarti kita membolehkan wanita-wanita yang telah mencapai usia menopouse (tidak dapat melahirkan lagi) atau wanita-wanita yang telah melakukan operasi pengikatan leher rahimnya untuk berpoliandri!”
Saya berkata, “Perkataanmu memang benar, akan tetapi bagaimana kita dapat menerapkan sistem qawâmah (kepemimpinan laki-laki atas wanita) jika seorang wanita memiliki dua atau tiga suami?”
Dia berkata, “Wahai Abu Muhammad, sungguh setiap kali aku membuka satu pintu masalah, maka kamu pun akan menutupnya!”
Saya berkata, “Wahai Saudariku yang terhormat, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah adalah Maha Adil, dan Dia tidak pernah menzhalimi manusia dengan sesuatu apapun. Ketika Dia mensyariatkan (menetapkan) satu agama untuk kita, maka dalam pensyariatan-Nya itu terdapat keadilan yang bersifat absolut, meski dalam masalah poligami sekalipun. Meskipun demikian, Allah telah memberikan sejumlah cara kepada wanita dalam menyikapi aturan tentang poligami ini, di antaranya adalah:
1- Dalam Islam, sebuah pernikahan tidak dapat dilakukan dengan menggunakan paksaan. Oleh karena itu, bagi seorang wanita yang tidak mau dimadu, dia dibolehkan untuk menolak poligami yang dilakukan oleh suaminya itu yaitu dengan cara menuntut cerai. Dia berhak melakukan hal itu, karena Islam tidak pernah memaksanya agar mau dimadu.
2- Bagi wanita yang merasa khawatir jika suaminya akan berpoligami, maka Islam telah memberikan kepadanya hak untuk mengajukan syarat agar dia tidak dimadu ketika hendak melakukan akad nikah.
3- Ketika telah terjadi hubungan percintaan yang diharamkan antara seorang wanita dengan laki-laki lain selain suaminya, maka dia dibolehkan untuk menuntut cerai meskipun suaminya menolak. Dalam pengadilan agama, wanita itu akan mendapat dukungan untuk bercerai (Hal ini adalah seperti telah dijelaskan di atas).
4- Selain itu, disyariatkannya poligami adalah karena adanya kebutuhan masyarakat ataupun individu terhadapnya. Ketahuilah bahwa ada aturan-aturan dan syarat-syarat tertentu dalam poligami. Jadi, pintu poligami tidaklah terbuka lebar bagi orang-orang yang ingin memanfaatkan ‘fasilitas’ poligami tersebut. Barangsiapa yang ingin menikah lagi dengan isteri kedua, maka dia diwajibkan untuk bertindak adil, lalu dia juga diharuskan untuk memberi nafkah, memberikan jaminan tempat tinggal, serta memenuhi hak-hak lainnya yang telah ditentukan oleh syariat.”
Wanita itu berkata lagi, “Demi Allah, perkataanmu sangatlah indah. Akan tetapi, apa dosa isteri pertama ketika suaminya menikah lagi dengan isteri kedua? Mengapa Islam tidak memperhatikan perasaannya?”
Saya pun balik bertanya, “Apa dosa isteri kedua ketika dia tidak dinikahi oleh laki-laki tersebut? Bukankah termasuk hal yang indah jika Islam juga memperhatikan kebutuhan dan perasaan wanita tersebut? Apakah kamu tidak ingat tentang realitas yang terjadi di masyarakat Barat dimana di dalamnya terdapat kekacauan dan kebiasaan berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan sejumlah aturan dan syarat-syarat tertentu serta tidak memperhatikan hak-hak tertentu, sehingga prosentase anak yang dilahirkan di luar pernikahan di sebagian negara Barat pun mencapai 60%. Bahkan setiap hari, jumlah penderita AIDS akibat pergaulan bebas yang baru masuk ke dalam panti rehabilitasi penderita AIDS mencapai 7500 orang.”
Wanita itu berkata, “Akan tetapi, aku sama sekali tidak mengatakan bahwa sistem kehidupan masyarakat Barat merupakan sistem yang benar.”
Saya berkata, “Sesungguhnya kamu telah mengkritik aturan poligami dalam Islam, dan sungguh aku telah menjelaskan kepadamu tentang aturan tersebut dan tentang sistem sosial kemasyarakatan di Barat. Inilah dua pandangan yang berasal dari dua peradaban yang berbeda. Jika kamu memiliki pandangan lain tentang solusi bagi sejumlah problematika sosial, maka kemukakanlah sehingga kita dapat mendiskusikannya. Kemudian kita dapat melihat apakah proyek yang kamu kemukakan itu adalah lebih baik daripada proyek Islam dan Barat itu? Ketahuilah bahwa di antara aturan yang harus diperhatikan dalam menyampaikan sebuah kritikan adalah bahwa orang yang menyampaikan kritikan itu harus memberikan alternatif solusi lain.”
Dia berkata, “Aku tidak memiliki satu solusi atau satu alternatif pun. Aku hanyalah seorang kritikus saja.”
Saya berkata, “Jadi, bagaimana pendapatmu tentang angka-angka berikut ini? Di Amerika, perbandingan antara laki-laki dengan perempuan adalah 1:4, demikian pula di Swedia dan Rusia. Sedangkan di Afrika dan negara-negara Khalij, perbandingannya adalah 1:3; di China 1:10; dan di Jepang 1:6. Lalu, bagaimana pendapatmu tentang hal tersebut?”
Kemudian saya berkata, “Pasca perang dunia ke-2, Jerman telah meminta kepada pihak al-Azhar di Mesir untuk menjelaskan tentang aturan poligami sehingga aturan itu dapat diterapkan di sana. Akan tetapi, pihak Vatikan berusaha untuk menghalangi proyek ini. Lalu, apa pendapatmu tentang hal itu?”
Wanita itu menjawab, “Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan kepadamu. Akan tetapi, aku dapat mengatakan kepadamu bahwa aturan poligami dalam Islam merupakan aturan yang bagus dan benar-benar adil. Meskipun demikian, aku tidak rela jika aturan itu diterapkan pada diriku.”
Saya berkata, “Inilah yang seharusnya kamu katakan di awal pertemuan kita, sehingga kamu tidak akan menghukumi aturan poligami itu hanya berdasarkan hawa nafsu dan keingananmu saja. Aku ingin menambahkan penjelasan kepadamu bahwa perasaan yang ada dalam dirimu itu telah diperhatikan oleh Islam, dan sebagaimana telah kami sebutkan tadi, Islam telah memberikan kebebasan kepadamu untuk menentukan pilihan.”
Rabu, 28 Oktober 2009
Hak dan Kewajiban Isteri Yang Dipoligami
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz, saya adalah seorang isteri yang sekarang dimadu (dipoligami). Saya ingin tahu hak dan kewajiban isteri yang dipoligami serta hak dan kewajiban suami. Terima kasih Ustadz.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Hamba Allah - …….
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Sebelum menjawab pertanyaan ukhti, terlebih dahulu saya ingin mengucapkan kekaguman dan rasa salut saya kepada ukhti yang nampaknya telah rela menerima keputusan suami untuk menikah lagi, meskipun mungkin pada mulanya hal itu begitu mengejutkan dan menyakitkan hati ukhti. Mudah-mudahan ketulusan hati dan kesabaran ukhti dalam menerima keputusan suami itu dapat menjadi amal shaleh yang diridhai Allah swt., dan semoga ukhti dapat meraih kebahagiaan dalam berumah tangga meskipun harus dipoligami. Aamiin….
Secara umum, hak dan kewajiban isteri yang dipoligami tidaklah berbeda dengan hak dan kewajiban isteri yang tidak dipoligami, demikian pula dengan hak dan kewajiban suami yang berpoligami. Hanya saja, ada hak tambahan bagi isteri tersebut yang juga menjadi kewajiban bagi suaminya. Hak yang dimaksud adalah hak diperlakukan secara adil. Artinya, suami Anda harus bersikap adil terhadap isteri-isterinya. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt.:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa` [4]:3)
Yang dimaksud perlakuan yang adil di sini adalah perlakuan yang adil dalam pengertian lahiriyah, yaitu meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Adil dalam pengertian seperti inilah yang ditetapkan ulama sebagai syarat poligami, dan inilah yang telah dipraktekkan oleh Baginda Rasulullah saw., seperti disebutkan dalam riwayat Muslim yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah membagikan kepada setiap isterinya satu hari satu malam sebagai jatah gilirannya, kemudian Saudah binti Zam’ah memberikan jatah gilirannya itu kepada Aisyah ra. dengan tujuan untuk memperoleh keridhaan Rasulullah saw..
Berbicara mengenai konsep adil dalam berpoligami ini, memang ada sebagian orang yang berpendapat bahwa tidak ada seorang pun yang bisa adil, apalagi orang-orang pada masa sekarang ini. Karenanya poligami pun tidak dibolehkan. Mereka mendasarkan pendapat tersebut pada firman Allah swt.:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa` [4]: 129)
Saya pribadi tidak setuju dengan pendapat tersebut, karena berdasarkan tafsir-tafsir yang ada, yang dimaksud adil dalam QS. An-Nisaa` (4): 129 tersebut adalah adil dalam pengertian batiniyah (hati atau cinta), bukan adil dalam pengertian lahiriyah seperti yang dijelaskan di atas. Karena ayat tersebut berkaitan dengan pribadi Rasulullah saw. yang lebih mencintai Aisyah daripada isteri-isteri beliau yang lain. Meskipun demikian, beliau berusaha keras untuk bisa bersikap adil dalam pengertian lahiriyah, termasuk dalam masalah jatah giliran, seperti yang disebutkan dalam riwayat Muslim di atas. Hal ini diperkuat oleh sebuah hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Wahai Allah, inilah pembagianku atas apa yang aku miliki. Maka, janganlah Engkau mencelaku atas apa yang Engkau miliki tetapi aku tidak memilikinya.” (HR. Abu Dawud [2/610] dan Nasa`i [7/64]) Hadits ini mengisyaratkan bahwa Rasulullah saw. telah berusaha untuk bersikap adil dalam masalah-masalah yang sifatnya lahiriyah, dan beliau mengaku bahwa dirinya tidak bisa bersikap adil dalam masalah batiniyah (hati).
Satu hal lagi yang ingin saya tekankan di sini, sebagai isteri yang dipoligami, Anda harus berusaha untuk menjalin silaturahim dengan isteri yang lain. Anda juga harus saling memahami dan saling berkoordinasi, bukan saling mencaci ataupun mencurigai. Walaahu A’lam….
Ustadz, saya adalah seorang isteri yang sekarang dimadu (dipoligami). Saya ingin tahu hak dan kewajiban isteri yang dipoligami serta hak dan kewajiban suami. Terima kasih Ustadz.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Hamba Allah - …….
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Sebelum menjawab pertanyaan ukhti, terlebih dahulu saya ingin mengucapkan kekaguman dan rasa salut saya kepada ukhti yang nampaknya telah rela menerima keputusan suami untuk menikah lagi, meskipun mungkin pada mulanya hal itu begitu mengejutkan dan menyakitkan hati ukhti. Mudah-mudahan ketulusan hati dan kesabaran ukhti dalam menerima keputusan suami itu dapat menjadi amal shaleh yang diridhai Allah swt., dan semoga ukhti dapat meraih kebahagiaan dalam berumah tangga meskipun harus dipoligami. Aamiin….
Secara umum, hak dan kewajiban isteri yang dipoligami tidaklah berbeda dengan hak dan kewajiban isteri yang tidak dipoligami, demikian pula dengan hak dan kewajiban suami yang berpoligami. Hanya saja, ada hak tambahan bagi isteri tersebut yang juga menjadi kewajiban bagi suaminya. Hak yang dimaksud adalah hak diperlakukan secara adil. Artinya, suami Anda harus bersikap adil terhadap isteri-isterinya. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt.:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa` [4]:3)
Yang dimaksud perlakuan yang adil di sini adalah perlakuan yang adil dalam pengertian lahiriyah, yaitu meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Adil dalam pengertian seperti inilah yang ditetapkan ulama sebagai syarat poligami, dan inilah yang telah dipraktekkan oleh Baginda Rasulullah saw., seperti disebutkan dalam riwayat Muslim yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah membagikan kepada setiap isterinya satu hari satu malam sebagai jatah gilirannya, kemudian Saudah binti Zam’ah memberikan jatah gilirannya itu kepada Aisyah ra. dengan tujuan untuk memperoleh keridhaan Rasulullah saw..
Berbicara mengenai konsep adil dalam berpoligami ini, memang ada sebagian orang yang berpendapat bahwa tidak ada seorang pun yang bisa adil, apalagi orang-orang pada masa sekarang ini. Karenanya poligami pun tidak dibolehkan. Mereka mendasarkan pendapat tersebut pada firman Allah swt.:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa` [4]: 129)
Saya pribadi tidak setuju dengan pendapat tersebut, karena berdasarkan tafsir-tafsir yang ada, yang dimaksud adil dalam QS. An-Nisaa` (4): 129 tersebut adalah adil dalam pengertian batiniyah (hati atau cinta), bukan adil dalam pengertian lahiriyah seperti yang dijelaskan di atas. Karena ayat tersebut berkaitan dengan pribadi Rasulullah saw. yang lebih mencintai Aisyah daripada isteri-isteri beliau yang lain. Meskipun demikian, beliau berusaha keras untuk bisa bersikap adil dalam pengertian lahiriyah, termasuk dalam masalah jatah giliran, seperti yang disebutkan dalam riwayat Muslim di atas. Hal ini diperkuat oleh sebuah hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Wahai Allah, inilah pembagianku atas apa yang aku miliki. Maka, janganlah Engkau mencelaku atas apa yang Engkau miliki tetapi aku tidak memilikinya.” (HR. Abu Dawud [2/610] dan Nasa`i [7/64]) Hadits ini mengisyaratkan bahwa Rasulullah saw. telah berusaha untuk bersikap adil dalam masalah-masalah yang sifatnya lahiriyah, dan beliau mengaku bahwa dirinya tidak bisa bersikap adil dalam masalah batiniyah (hati).
Satu hal lagi yang ingin saya tekankan di sini, sebagai isteri yang dipoligami, Anda harus berusaha untuk menjalin silaturahim dengan isteri yang lain. Anda juga harus saling memahami dan saling berkoordinasi, bukan saling mencaci ataupun mencurigai. Walaahu A’lam….
Langganan:
Postingan (Atom)