Rabu, 10 Februari 2010

Keuntungan ≠ Riba

Keuntungan ≠ Riba
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Saya telah menyimak penjelasan tentang hukum rentenir. Yang ingin saya tanyakan, jika kita mengambil untung dalam berjualan, apakah hal itu juga termasuk riba? Apalagi pada zaman yang serba sulit sekarang ini, banyak orang yang menjual barang dengan harga semaunya, alias dengan keuntungan yang besar. Apakah hal itu dibolehkan?
Sekian dari saya, kurang lebihnya saya mohon maaf. Terima kasih, Pak Ustadz. Wabillahit-taufiq wal hidayah…
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Z - …..

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Riba dan jual beli adalah dua hal yang berbeda, seperti yang disinyalir pada firman Allah swt.: “dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah [2]: 275) Pada penjelasan yang lalu (Hukum Rentenir), secara implisit saya telah menyebutkan bahwa riba bisa terjadi pada transaksi hutang piutang dan juga transaksi jual beli.
Mengenai riba yang terjadi pada transaksi hutang piutang, saya kira mudah difahami dan mudah-mudahan Anda dan para pembaca sudah bisa membedakannya dengan jual beli yang dibolehkan oleh Allah. Sebab, riba tersebut menggunakan akad hutang piutang dan bukan akad jual beli. Sebagai contoh, Ahmad meminjam uang kepada Salman sebesar Rp. 100.000,- dengan perjanjian harus dikembalikan dengan jumlah Rp. 110.000,-
Mungkin yang melatarbelakangi pertanyaan Anda adalah penjelasan tentang riba yang terjadi pada transaksi jual beli. Saya kutipkan kembali penjelasan tersebut: “kelebihan pada salah satu harta sejenis yang diperjualbelikan dengan ukuran syara’ (timbangan atau takaran). Misal, 1 kg gula dijual dengan 1 ¼ kg gula lainnya. Kelebihan ¼ kg gula dalam jual beli ini disebut dengan riba al-fadhl.” Riba ini menggunakan akad jual beli, tepatnya jual beli muqayadhah (barter). Mungkin penjelasan tersebut masih belum gamblang sehingga menimbulkan kesan ada kesamaan antara riba dengan jual beli pada umumnya.
Sebenarnya, yang saya maksud dalam contoh tersebut adalah jual beli barang yang sejenis, seperti gula dengan gula, beras dengan beras, emas dengan emas, perak dengan perak, dan lain-lain. Dalam jual beli seperti ini, bila ada kelebihan pada salah satunya, maka itulah yang disebut dengan riba. Sekali lagi, ini hanya barang-barang yang sejenis dengan kadar yang berbeda. Tetapi bila yang ditukar (dijual-belikan) adalah barang yang sejenis tetapi dengan kadar yang sama, atau barang yang tidak sejenis meskipun ada kelebihan pada salah satunya, maka jual beli ini tidak termasuk riba.
Hal ini telah dijelaskan oleh Baginda Rasulullah saw. dalam sabdanya: “(Memperjual-belikan) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, anggur dengan anggur, kurma dengan kurma, garam dengan garam (haruslah) sama, seimbang dan tunai. Apabila jenis yang diperjual-belikan berbeda, maka juallah sesuai dengan kehendakmu (boleh ada kelebihan) asal dengan tunai.” (HR. Muslim)
Hadits tersebut menjelaskan bahwa seorang Muslim boleh menjual suatu barang untuk ditukar dengan barang lainnya yang tidak sejenis atau dengan nilai tukar (uang), dengan mengambil kelebihan (keuntungan). Inilah jual beli yang dibolehkan Allah swt., seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah (2): 275 tersebut.
Adapun masalah keuntungan yang besar, hal itu berkaitan dengan pembahasan tentang tas’ir atau penentuan harga. Kata tas’ir berasal dari kata as-si’r yang berarti harga aktual yang berlaku di pasar. Secara umum, penentuan harga ini diserahkan sepenuhnya kepada pedagang. Artinya, para pedagang bebas menjual barangnya dengan harga yang dikehendakinya, tentunya selama masih dalam batas-batas kewajaran. Penentuan harga ini berhubungan dengan hukum ekonomi (hukum permintaan dan penawaran). Bila permintaan banyak sementara stock barang sedikit, maka harga akan naik dengan sendirinya. Sebaliknya, bila permintaan sedikit sementara stock barang banyak, maka harga akan turun. Dalam hal ini, pemerintah tidak berhak ikut campur dalam menentukan harga kecuali bila ada ulah sebagian pedagang yang memonopoli dan menimbun barang dengan tujuan agar harga naik.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pada zaman Rasulullah saw. pernah terjadi pelonjakan harga di pasar. Sejumlah sahabat pun menemui Rasulullah saw. seraya berkata: “Wahai Rasulullah, harga-harga di pasar melonjak begitu tinggi, maka tetapkanlah harga untuk kami!” Rasulullah saw. menjawab: “Sesungguhnya Allah-lah yang berhak menetapkan harga, Allah-lah Dzat yang Maha Menahan dan Melapangkan (rezeki), serta Dzat yang Maha Pemberi rezeki. Aku berharap akan bertemu Allah, dan janganlah seseorang di antara kalian menuntut saya untuk berlaku zhalim dalam soal nyawa dan harta.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan Ibnu Hibban)
Dari sini, maka jelaslah bahwa penentuan harga merupakan hak pedagang, dan ini berarti bahwa pedagang dibolehkan untuk mengambil keuntungan (termasuk keuntungan yang besar), tentunya selama masih dalam batas-batas kewajaran. Wallaahu A’lam……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda