Rabu, 17 Februari 2010

Dilema Wanita Yang Akan Dimadu

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Saya baru saja membaca blog Bapak. Kebetulan sekarang saya sedang menghadapi satu masalah, karena itu saya ingin berkonsultasi kepada Bapak. Begini Pak, saya dan suami menikah bulan Juli tahun lalu. Sebenarnya kami sudah saling mengenal selama kira-kira 6 tahun. Tetapi karena dia baru bekerja tahun lalu, maka kami pun baru menikah. Saya menikah dengannya dengan niat karena Allah, yaitu dengan niat ibadah kepada-Nya, untuk menjauhi perbuatan dosa dan untuk membina keluarga yang sakinah serta penuh mawaddah dan rahmah.
Saya mau menikah dengannya karena dia yang mengajari saya tentang Islam. Namun mungkin karena faktor cobaan, sekarang suami saya bekerja di kapal pesiar, sebuah lingkungan yang jarang menjalankan ibadah.
Sebelum menikah, dia sudah mengenal seorang wanita melalui dunia maya. Bahkan mereka pernah bertemu sekali, namun hal itu diketahui oleh saya. Dia pun meminta maaf kepada saya, dan akhirnya kami menikah.
Namun saat kami kembali ke Jerman (setelah kami menikah), wanita itu menghubungi suami saya lagi. Dia mengatakan bahwa dirinya tidak bisa jauh dari suami saya, dan dia tidak menginginkan apa-apa kecuali hanya cintanya. Bahkan dia rela untuk ikut ke Jakarta, tempat dimana kami akan tinggal. Dia juga mengatakan bahwa dirinya akan masuk Islam asal suami saya mau menikah dengannya.
Sebenarnya suami saya sudah memutuskan hubungan dengannya hingga 3 kali, namun wanita itu merasa sangat bersedih. Katanya, dia siap menjadi isteri kedua.
Dua hari yang lalu (sebelum konsultasi ini disampaikan-red), suami saya berterus terang kepada saya bahwa dia masih berhubungan dengan wanita itu. Dia sudah berusaha untuk tidak berhubungan, namun tetap tidak bisa. Saya sarankan kepadanya: “Memohonlah kepada Allah agar kamu diberi yang terbaik!” Saya sarankan hal itu karena saya tahu, di kapal dia mungkin jarang ada waktu untuk shalat. Saya hanya bisa mengingatkan dia dan berdoa saja, Pak.
Akhirnya dia meminta izin kepada saya agar bisa menikahi wanita itu. Ketika saya tanya: “Mengapa kamu ingin menikah lagi?”, dia pun mengatakan bahwa dia menikah lagi karena ingin mengikuti perintah Allah dan agar dirinya tidak berbuat dosa. Terus saat kutanya: “Apakah wanita itu bisa membawa kamu ke surga?”, dia mengatakan bahwa dia menikahinya karena wanita itu mau masuk Islam. Dia merasa kasihan kepada wanita itu bila tidak dinikahi, karena tetap menjadi orang kafir. Mungkin ini cobaan bagi saya, Pak. Karena itu, saya hanya bisa memohon kepada Allah yang terbaik. Saya katakan kepada suami bahwa saya akan mencoba ikhlas, tapi saya tidak bisa janjikan hal itu.
Bagaimana menurut Bapak? Adakah ayat-ayat Al-Qur`an atau hadits-hadits Nabi yang dapat saya beritahukan kepada suami yang berkaitan dengan hal tersebut?
Suami mengatakan bahwa dirinya akan menikah lagi karena Allah, dan dirinya yakin bisa adil. Tetapi apa itu mungkin Pak, sementara wanita itu saja cemburu bila melihat foto saya. Bagaimana kalau harus bersilaturahim, mungkin saja dia tidak mau. Bila saya biarkan mereka tetap kontak karena memang sekarang mereka hanya bisa berhubungan lewat email atau chat, apakah itu yang terbaik Pak? Sebab, kami bertiga berada di tempat yang berbeda. Sebenarnya saya ikhlas Pak, tapi saya khawatir bila wanita itu akan membuat suami saya jauh dari Allah. Bagaimana dengan keluarga, apakah mereka juga harus diberitahu?
Sekarang saya terus memohon kepada Allah swt.. Untuk sementara waktu, saya tidak kontak suami saya dulu, baik lewat email ataupun chat. Tetapi apa itu berdosa, Pak? Doa apa yang sebaiknya dibaca guna memohon ketenangan hati. Saya mohon maaf bila ada salah kata. Terima kasih sebelumnya atas kebaikan Bapak.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
E - …..

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudariku yang terhormat, sebelumnya saya minta maaf karena saya telah mengedit pertanyaan yang Anda sampaikan. Hal itu dimaksudkan agar lebih mudah difahami oleh para pembaca. Terus terang, awalnya ada sebagian kalimat yang agak sulit difahami, dan itu saya maklumi karena nampaknya Anda belum begitu lancar dalam menggunakan bahasa Indonesia resmi. Tetapi alhamdulillah, setelah beberapa kali saya baca, akhirnya saya bisa memahaminya. Mudah-mudahan adanya perubahan redaksi tersebut tidak merubah makna atau maksud yang ingin Anda sampaikan.
Setelah membaca cerita Anda, saya menangkap bahwa sebenarnya inti permasalahan Anda terletak pada kekhawatiran Anda bila nantinya isteri kedua suami Anda tidak bisa mengantarkan suami Anda ke surga. Atau dengan kata lain, pernikahan kedua suami Anda itu justru akan menjauhkannya dari ketaatan kepada Allah. Padahal pernikahan pertamanya dengan Anda didasari oleh komitmen untuk membangun keluarga yang sakinah, penuh mawaddah dan rahmah, serta keluarga yang taat kepada Allah swt..
Bila inti permasalahannya memang seperti itu, maka menurut saya, solusi yang akan saya tawarkan tidak sesulit bila inti permasalahannya terletak pada ketidaksiapan Anda untuk dimadu. Dalam hal ini, saya angkat jempol (salut) terhadap Anda. Sebab ketegaran, keikhlasan dan kedewasaan Anda dalam menghadapi masalah tersebut sungguh luarbiasa. Tidak sedikit wanita muslimah yang ketika dihadapkan pada masalah seperti itu, mereka lebih mendahulukan faktor perasaan. Mereka secara tegas menolak untuk dimadu karena faktor pertimbangan perasaan, bukan pertimbangan ketaatan kepada Allah swt, seperti yang Anda lakukan. Tidak terpikir dalam benak mereka, apakah pernikahan kedua suami mereka dapat mengantarkannya ke surga atau tidak.
Saya yakin, sebagai wanita Anda juga sama seperti mereka, sama-sama mempunyai perasaan. Mungkin pada awalnya Anda juga terkejut saat mendengar keinginan suami untuk menikah lagi. Hanya saja Anda lebih mendahulukan faktor ketaatan kepada Allah daripada faktor perasaan. Sebab bila hanya memperhatikan faktor perasaan, saya kira tidak ada wanita yang rela membagi cinta suaminya dengan wanita lain, termasuk Anda. Perlu digarisbawahi, pernyataan saya ini bukan berarti sikap menolak dimadu tidak dibenarkan dalam Islam. Islam sangat memperhatikan hak wanita dalam masalah tersebut, yaitu dengan memberikan hak kepadanya untuk menuntut cerai bila dirinya tidak mau dimadu. Hal ini pernah saya jelaskan dalam artikel berjudul: “Mengapa Laki-laki Bisa Berpoligami Sementara Wanita Tidak?”
Mengenai kekhawatiran Anda di atas, sebenarnya Andalah yang lebih tahu, karena Anda lebih mengetahui tentang karakter suami Anda sendiri daripada saya. Apakah apa yang Anda khawatirkan itu akan terwujud atau tidak, saya tidak tahu persis. Hanya saja dari cerita Anda di atas, nampaknya suami Anda termasuk tipe laki-laki yang bisa membimbing wanita yang dinikahinya. Buktinya, Anda yang dulunya tidak (kurang) mengenal Islam, sekarang telah menjadi wanita yang tidak hanya mengenal Islam, tetapi juga sudah mulai mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Bila hal itu bisa dia lakukan terhadap Anda, maka tidak menutup kemungkinan hal itu juga bisa dilakukan terhadap calon isteri keduanya yang sampai saat ini masih kafir.
Tapi perlu diingat, karena masalah yang Anda hadapi ini sangat berkaitan dengan kebaikan di dunia dan akhirat, sementara kita hanyalah manusia yang hanya bisa menilai berdasarkan dugaan semata, maka saya sarankan kepada Anda dan suami untuk meminta petunjuk langsung kepada Dzat Yang Maha Mengetahui (Allah swt.), yaitu dengan cara melakukan shalat istikharah. Jelaskan kepada suami Anda, bahwa apa yang dia katakana belum tentu benar dan belum tentu terbaik di mata Allah. Saya yakin, bila alasan suami Anda menikah lagi adalah seperti yang dia katakan, maka dia pasti akan menuruti saran tersebut. Oleh karena itu, memohon petunjuklah kepada Allah dengan penuh kerendahan hati dan kekhusyuan, insya Allah solusi yang terbaik akan Anda dapatkan.
Mengenai ayat atau hadits yang bisa disampaikan kepada suami Anda, dan juga mengenai kemungkinan bisa adil atau tidak, Anda sampaikan saja firman Allah swt. dalam QS. An-Nisaa` ayat 3. Penjelasan mengenai ayat tersebut bisa Anda lihat pada artikel berjudul: “Hak dan Kewajiban Isteri Yang Dipoligami”. Berikut kutipannya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa` [4]:3)

Yang dimaksud perlakuan yang adil di sini adalah perlakuan yang adil dalam pengertian lahiriyah, yaitu meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Adil dalam pengertian seperti inilah yang ditetapkan ulama sebagai syarat poligami, dan inilah yang telah dipraktekkan oleh Baginda Rasulullah saw., seperti disebutkan dalam riwayat Muslim yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah membagikan kepada setiap isterinya satu hari satu malam sebagai jatah gilirannya, kemudian Saudah binti Zam’ah memberikan jatah gilirannya itu kepada Aisyah ra. dengan tujuan untuk memperoleh keridhaan Rasulullah saw..
Berbicara mengenai konsep adil dalam berpoligami ini, memang ada sebagian orang yang berpendapat bahwa tidak ada seorang pun yang bisa adil, apalagi orang-orang pada masa sekarang ini. Karenanya poligami pun tidak dibolehkan. Mereka mendasarkan pendapat tersebut pada firman Allah swt.:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa` [4]: 129)
Saya pribadi tidak setuju dengan pendapat tersebut, karena berdasarkan tafsir-tafsir yang ada, yang dimaksud adil dalam QS. An-Nisaa` (4): 129 tersebut adalah adil dalam pengertian batiniyah (hati atau cinta), bukan adil dalam pengertian lahiriyah seperti yang dijelaskan di atas. Karena ayat tersebut berkaitan dengan pribadi Rasulullah saw. yang lebih mencintai Aisyah daripada isteri-isteri beliau yang lain. Meskipun demikian, beliau berusaha keras untuk bisa bersikap adil dalam pengertian lahiriyah, termasuk dalam masalah jatah giliran, seperti yang disebutkan dalam riwayat Muslim di atas. Hal ini diperkuat oleh sebuah hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Wahai Allah, inilah pembagianku atas apa yang aku miliki. Maka, janganlah Engkau mencelaku atas apa yang Engkau miliki tetapi aku tidak memilikinya.” (HR. Abu Dawud [2/610] dan Nasa`i [7/64]) Hadits ini mengisyaratkan bahwa Rasulullah saw. telah berusaha untuk bersikap adil dalam masalah-masalah yang sifatnya lahiriyah, dan beliau mengaku bahwa dirinya tidak bisa bersikap adil dalam masalah batiniyah (hati).”
Adapun mengenai apakah Anda harus tetap berkomunikasi dengan suami Anda atau tidak, saya sarankan sebaiknya Anda tetap mengontaknya baik melalui email ataupun chat. Sebab walau bagaimanapun, Anda masih resmi sebagai isterinya. Jangan rusak hubungan Anda dengannya (sebagai suami-isteri) sebelum Anda menemukan kepastian solusi melalui istikharah. Bahkan menurut saya, Anda berdosa bila Anda sengaja memutuskan hubungan (komunikasi) dengan suami Anda sendiri, padahal hal itu sangat mungkin untuk Anda lakukan. Kecuali, bila Anda telah meminta izin kepadanya untuk menenangkan diri sambil berusaha mencari jawaban atas masalah yang Anda hadapi itu.
Terakhir, mengenai doa untuk mendapatkan ketenangan, saya kutipkan firman Allah swt.: "Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du [13]: 28)
Demikian penjelasan dari saya, mudah-mudahan bisa membantu. Bila ada hal-hal yang ingin Anda tanyakan lebih lanjut, silahkan kirim messega ke inbox facebook saya. Mudah-mudahan dengan niat ikhlas karena Allah swt. dalam menghadapi masalah ini, Anda dapat memperoleh solusi yang terbaik, Amin Ya Robbal-‘Alamin. Wallaahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar Anda