Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Maaf Pak Ustadz, saya mau nanya. Saya mempunyai ayah yang sudah meninggal sekitar 10 bulan yang lalu. Beliau meninggalkan harta yang cukup banyak, antara lain 4 buah rumah. Salah satu di antaranya vila, sawah, kolam ikan serta rumah kontrakan sebanyak 36 kamar. Belum lagi warisan rumah, tanah dan sawah peninggalan ayahnya (kakek saya) di Jawa. Tetapi ibu saya tidak mau membagikannya dengan alasan untuk membiayai sekolah adik laki-laki saya yang bungsu. Bahkan, bila ibu ditanya tentang pembagian warisan tersebut, beliau malah marah-marah dan menganggap kami anak yang durhaka. Karena bingung, kami pun membiarkan sikap ibu. Kami 5 bersaudara, 2 laki-laki dan 3 perempuan. Bagaimana hukumnya Pak Ustadz, sedangkan ada salah satu anaknya yang membutuhkannya. Terima kasih atas waktunya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
D - …..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Seperti yang pernah saya utarakan, persoalan warisan merupakan persoalan yang sangat sensitif karena dapat merusak hubungan antara seseorang dengan kerabatnya, saudaranya atau bahkan dengan orangtuanya sendiri. Karena itu, hendaknya seorang Muslim mengikuti aturan-aturan warisan yang telah ditetapkan oleh Islam. Seperti pada kasus yang Anda hadapi, bila salah satu pihak tidak hati-hati dalam mengambil sikap, maka hubungan antara dirinya dengan pihak yang lain dapat renggang. Dalam hal ini, hubungan antara anak dengan ibunya sendiri. Di sini dibutuhkan adanya sikap bijaksana orangtua dan pengertian dari anak-anaknya.
Orangtua harus bersikap bijaksana terhadap anak-anaknya termasuk dalam masalah warisan. Dia juga harus membuang jauh-jauh egonya, tentunya tidak lain dan tidak bukan hanya untuk kebaikan seluruh anaknya, bukan hanya untuk satu anak saja. Dalam kasus Anda, seharusnya ibu membagikan harta warisan sang ayah kepada anak-anaknya, apalagi anak-anaknya sudah dewasa hingga dapat mengelola hartanya sendiri. Atau paling tidak, ibu harus menentukan bagian masing-masing sesuai ketentuan hukum fara`idh meskipun pengelolaan atas harta tersebut masih di pegang dirinya. Sebab, berbicara soal warisan adalah berbicara soal hak, dan hak harus disampaikan kepada pemiliknya. Oleh karena itu, ibu harus bersikap legowo dan terbuka dalam masalah pembagian warisan. Dia tidak boleh marah bila ditanya oleh anak-anaknya yang sudah dewasa mengenai hal itu, apalagi sampai menganggap anaknya durhaka.
Menurut saya, andaikata ibu Anda memang ingin membiayai anak bungsunya dari harta warisan tersebut, maka ada dua alternatif solusi yang bisa dia lakukan dimana keduanya tetap sesuai dengan aturan Islam.
Pertama: Ibu membagikan kepada anak-anaknya haknya masing-masing tetapi dia meminta komitmen mereka (terutama yang sudah bekerja) untuk membantu pembiayaan sekolah adik bungsu mereka. Di sini, ibu tidak berperan sebagai pengelola seluruh harta karena sudah dibagikan kepada anak-anaknya kecuali bagiannya sendiri dan (bila ada) bagian anak yang belum mampu mengelola hartanya.
Kedua: Ibu menentukan bagian masing-masing ahli waris (termasuk dirinya) tanpa harus membagikannya langsung sehingga pengelolaan atas seluruh harta masih di tangan sang ibu. Dalam hal ini, yang berlaku adalah prinsip syirkah jabar (kepemilikan bersama akibat faktor warisan) seperti yang pernah saya jelaskan pada konsultasi sebelumnya. Tentunya bila kira-kira ada anak yang sangat membutuhkan, maka sebaiknya ibu memberikan jatah anak tersebut, sisanya dia kelola atas kesepakatan semua pihak. Ibu dapat menggunakan hasil pengelolaan harta tersebut untuk pembiayaan sekolah anak bungsunya, bila ada sisa maka dibagikan kepada anak-anaknya.
Selain membutuhkan adanya sikap bijaksana sang ibu, masalah yang Anda hadapi juga membutuhkan adanya pengertian atau kesadaran dari anak-anak untuk membantu orangtuanya. Apalagi sejak ditinggal sang ayah, mungkin ibu tidak memiliki penghasilan untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya termasuk pembiayaan sekolah anak bungsunya. Mungkin inilah yang menyebabkan kekhawatiran sang ibu sehingga dia tidak mau membagikan harta warisan suaminya kepada anak-anaknya. Bila memang kondisinya seperti itu, maka –menurut saya- alternatif solusi kedua lebih baik.
Saran saya, cobalah bicarakan masalah ini dengan saudara-saudara Anda yang lain, setelah itu bicarakan bersama-sama dengan ibu dengan penyampaian yang baik yang tidak menyinggung perasaannya. Pilihlah waktu yang tepat, terutama saat ibu sedang dalam keadaan nyaman untuk diajak berdiskusi. Sebab, walau bagaimana pun, dia adalah ibu Anda yang harus tetap dihormati dan diperlakukan dengan baik, sesuai firman Allah swt.: “maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.’” (QS. Al-Israa` [17]: 23) Di ayat lain, Allah swt. juga berfirman: “dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqmaan [31]: 15)
Sekedar informasi, cara pembagian warisan harta ayah Anda adalah sebagai berikut:
- Ibu (isteri ayah) mendapat 1/8
- Yang 7/8 dibagi untuk 2 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Karena bagian 1 anak laki-laki = bagian 2 anak perempuan, maka bila ada 2 anak laki-laki dan 3 anak perempuan, itu sama saja dengan 7 anak perempuan. Dengan demikian, maka 7/8 dibagi 7 = 1/8. Jadi bagian 1 anak perempuan = 1/8.
- Sedangkan bagian 1 anak laki-laki : 1/8 x 2 = 2/8.
Wallaahu A’lam Fatkhurozi
Rabu, 30 Desember 2009
Rabu, 23 Desember 2009
Curhat Soal Warisan Orangtua
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, saya juga ada problem yang hampir sama dengan topik warisan. Begini ceritanya Pak Ustadz; Almarhum kakek (dari pihak ayah) mempunyai sebidang tanah (lahan) yang lumayan luas yang dibeli dari bapak mertua beliau. Beliau mempunyai 5 orang putera dan puteri, yaitu:
1. Almarhum ayah saya
2. Puteri (hilang akal sehat)
3. Puteri (bibi)
4. Putera (paman)
5. Puteri (anak pungut)
Sertifikat tanah tersebut dibuat atas nama orangtua perempuan (nenek) dari pihak ayah. Sebenarnya masih ada warisan lain, tapi kami tidak mau tahu. Kami pernah dengar bahwa anak-anak dari paman dan bibi sudah ditentukan bagiannya masing-masing. Demi Allah, kami tidak mempersoalkan hal itu. Bukankah langkah, rezeki, pertemuan dan maut datang dari Allah swt. selagi kita punya niat dan mau berusaha di jalan yang diridhai-Nya?
Di atas tanah tersebut, dulunya berdiri rumah lama almarhum kakek dan nenek. Saat menikah, paman membangun rumah huni keluarganya persis di samping rumah lama. Kemudian paman memugar rumahnya lebih besar lagi. Akhirnya, rumah lama pun dibongkar dan didirikanlah bangunan baru, rumah paman dan nenek. Dulu kami tinggal di luar daerah, tetapi entah kenapa tiba-tiba almarhum ayah mengajak almarhum ibu dan kami pindah ke lahan itu juga.
Almarhum ayah pernah berkata, hal itu beliau lakukan atas permintaan nenek. Ayah pun membangun rumah huni di sisi lahan yang masing kosong. Perbandingan rumah di lahan tersebut adalah sebagai berikut:
· ½ bagian dari lahan tersebut dibangun rumah paman.
· ¼ nya dibangun rumah nenek yang ditempatinya bersama bibi yang (hilang akal sehatnya) serta bibi janda (anak pungut) dan kedua anaknya.
· ¼ bagian lagi dibangun almarhum ayah untuk rumah huni kami sekeluarga.
· Bibi (no. 3) diberikan lahan beserta rumah 7 km dari lahan ini.
Perlu Pak Ustadz ketahui, almarhum ayah pernah menanyakan apakah itu sudah pembagian masing-masing ataukah hanya sementara. Eh malah almarhum ayah dimusuhi oleh paman-paman, bibi-bibi dan juga nenek. Nenek mengatakan “Warisan itu belum dibagi”. Sampai-sampai kami yang saat itu masih kecil dimusuhi juga. Ditegur pun tak pernah. Bahkan tetangga-tetangga kami juga ikut dihasut agar membenci kami. Bertahun-tahun kami sekeluarga menjalani hidup seperti itu tanpa ada pembelaan dari siapapun. Almarhum ayah seperti anak yang terbuang, selalu dikucilkan dari lingkungan keluarga. Bahkan yang paling sadis, saat ayah menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit, tidak satu orang pun dari mereka yang melihat. Setelah jasad almarhum sampai di rumah, dan setelah tetangga-tetangga lain di sekitar rumah berdatangan, barulah mereka datang ke rumah.
Tepat 4 tahun setelah almarhum ayah dikebumikan, tepatnya pada saat ganti rugi pembebasan tanah oleh Negara untuk pelebaran jalan, barulah diketahui bahwa tanpa sepengetahuan ayah semasa hidup, nenek dan adik-adik ayah telah membuat 3 sertifikat baru atas lahan yang kami huni bersama sesuai ukuran rumah masing-masing (rumah paman, rumah nenek dan rumah ayah). Namun ketiga sertifikat tersebut atas nama nenek. Ketiga sertifikat tersebut sampai detik ini masih disimpan paman.
Tujuh tahun setelah ayah wafat, ibu pun menyusul. Maka, tinggallah kami bertiga. Susah senang kami jalani bersama tanpa ada dukungan dari siapapun. Saya (perempuan 28 th) memiliki dua adik laki-laki (26 th dan 24 th). Kami semua sudah bekerja, namun belum ada yang menikah. Bukankah kami sudah dewasa untuk diajak bicara, baik atau buruk. Kami pernah bertanya kepada nenek, apa status rumah yang kami huni itu? Beliau menyuruh kami untuk bertanya kepada paman. Namun, sang paman selalu menghindar dengan 1000 cara. Yang ingin kami tanyakan adalah:
1. Apakah benar tindakan nenek, paman dan bibi yang membuat 3 sertifikat baru atas nama nenek tanpa sepengetahuan ayah semasa hidup? Jika salah, tolong jelaskan bagaimana tata cara pembagian yang seharusnya menurut aturan Islam?
2. Apakah anak pungut juga mempunyai hak waris yang sama seperti anak kandung?
3. Apakah isteri dari paman dibolehkan berlaku dominan dalam urusan hak waris saudara kandung dari suaminya?
4. Apakah status kami dalam masalah pembagian harta warisa ayah?
Sekian dan terima kasih Pak Ustadz.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
D - ……
Jawaban
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
1. Terus terang, setelah membaca cerita Anda, saya belum tahu persis apakah tanah yang Anda anggap sebagai warisan kakek tersebut masih berstatus hak milik kakek atau sudah menjadi hak milik nenek. Sebab, Anda mengatakan bahwa sertifikat tanah tersebut atas nama orangtua perempuan dari ayah alias nenek. Berdasarkan kaidah “An-Naasu yahkumuuna bizh-zhawaahir wallaahu yahkumu bil-bawaathin” (Manusia menghukumi sesuatu berdasarkan hal-hal yang sifatnya lahiriah [bukti-bukti fisik], sedangkan Allah menghukumi sesuatu berdasarkan hal-hal yang sifatnya batiniyah), maka tanah tersebut bukan termasuk harta kakek, melainkan harta nenek karena sertifikatnya atas nama nenek.
Tetapi di kalangan masyarakat kita, terkadang pencantuman nama isteri dalam sertifikat tanah atau rumah suami hanya bersifat formalitas belaka, yang salah satu tujuannya untuk menghindari atau meminimalisir pajak. Jadi, pencantuman tersebut tidak berpengaruh terhadap pemindahan hak milik dari suami kepada isteri. Karenanya, perlu dilihat kembali apakah kakek benar-benar telah menghibahkan tanah tersebut kepada nenek dengan bukti pencantuman nama nenek dalam sertifikat tersebut, ataukah pencantuman itu hanya formalitas belaka?
Kedua hal tersebut jelas memiliki implikasi yang sangat berbeda. Bila kakek telah menghibahkan kepada nenek, maka tanah tersebut bukan lagi milik kakek sehingga ia tidak menjadi harta warisan sang kakek saat dia meninggal dunia. Ingat, pembicaraan mengenai harta (termasuk harta waris) tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai hak milik; siapa yang memiliki harta tersebut? Jika memang kakek telah menghibahkan kepada nenek, maka apa yang telah dilakukan nenek dengan membuat 3 sertifikat baru atas nama dirinya tidak salah, karena nenek berhak atas hak miliknya sendiri. Tetapi tidak bisa dibenarkan sepenuhnya, karena nenek tidak memberitahukan hal itu kepada ayah Anda padahal dia telah memberitahukannya kepada anak-anak yang lain.
Lain halnya bila ternyata pencantuman nama tersebut hanya formalitas belaka sehingga tidak berpengaruh terhadap perpindahan hak kepemilikan atas tanah tersebut dari kakek kepada nenek. Karena kakek tidak menghibahkan tanah tersebut kepada nenek, maka ia pun menjadi harta warisan kakek yang harus dibagikan kepada ahli warisnya secara adil dan sesuai ketentuan yang berlaku dalam hukum fara`idh (warisan). Bila memang demikian adanya, maka apa yang dilakukan nenek jelas tidak benar karena dia telah membuat sertifikat baru tanpa sepengetahuan ayah Anda yang juga termasuk salah satu ahli warisnya. Yang seharusnya dilakukan oleh nenek adalah membagi tanah tersebut dengan perhitungan sebagai berikut:
- Nenek (isteri kakek) mendapat 1/8 atau 0,125 karena ada anak
- Yang 7/8 (0,875) dibagi untuk 2 anak laki-laki (almarhum ayah Anda dan paman Anda) dan 2 puteri kandung kakek. Karena 1 bagian anak laki-laki = 2 bagian anak perempuan, maka 7/8 dibagi 3 = 0,2916666667. Itulah bagian untuk 1 anak laki-laki (termasuk ayah Anda), sedangkan bagian untuk 1 anak perempuan adalah 0,2916666667 dibagi 2 = 0,1458333334.
2. Anak pungut atau anak angkat bukan mrupakan ahli waris karena ia tidak memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan darah dengan si mayyit. Karenanya, Islam memberikan alternatif, apabila seseorang menginginkan agar anak angkatnya mendapat bagian dari harta yang akan ditinggalkannya nanti, maka dia dapat memberikannya melalui akad wasiat. Bila tidak ada wasiat, maka anak angkat tidak mendapat bagian sama sekali dari harta yang ditinggalkan. Tetapi perlu diingat, wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 dan tidak boleh diberikan kepada ahli waris.
2. Jelas tidak boleh, karena dia tidak memiliki hak sama sekali atas harta warisan tersebut.
3. Status Anda dan saudara Anda adalah sebagai ashabah, yaitu ahli waris yang mendapat sisa harta waris setelah dibagi untuk ahli waris yang lain. Dalam hal ini, ibu Anda (isteri ayah) mendapat 1/8. Dalam keterangan Anda di atas, Anda tidak secara tegas menyebutkan apakah nenek meninggal setelah ayah Anda ataukah sebelumnya. Bila nenek meninggal setelah ayah, maka nenek mendapat 1/6, setelah itu sisanya baru dibagi untuk Anda bertiga (dengan ketentuan 1 bagian anak laki-laki = 2 bagian anak perempuan). Tetapi bila nenek meninggal sebelum ayah, maka hanya dibagi untuk ibu Anda yaitu 1/8, sisanya untuk Anda bertig.
Demikian penjelasan dari saya. Mudah-mudahn bisa difahami dan dapat bermanfaat. Wallaahu A’lam… Fatkhurozi
Pak Ustadz, saya juga ada problem yang hampir sama dengan topik warisan. Begini ceritanya Pak Ustadz; Almarhum kakek (dari pihak ayah) mempunyai sebidang tanah (lahan) yang lumayan luas yang dibeli dari bapak mertua beliau. Beliau mempunyai 5 orang putera dan puteri, yaitu:
1. Almarhum ayah saya
2. Puteri (hilang akal sehat)
3. Puteri (bibi)
4. Putera (paman)
5. Puteri (anak pungut)
Sertifikat tanah tersebut dibuat atas nama orangtua perempuan (nenek) dari pihak ayah. Sebenarnya masih ada warisan lain, tapi kami tidak mau tahu. Kami pernah dengar bahwa anak-anak dari paman dan bibi sudah ditentukan bagiannya masing-masing. Demi Allah, kami tidak mempersoalkan hal itu. Bukankah langkah, rezeki, pertemuan dan maut datang dari Allah swt. selagi kita punya niat dan mau berusaha di jalan yang diridhai-Nya?
Di atas tanah tersebut, dulunya berdiri rumah lama almarhum kakek dan nenek. Saat menikah, paman membangun rumah huni keluarganya persis di samping rumah lama. Kemudian paman memugar rumahnya lebih besar lagi. Akhirnya, rumah lama pun dibongkar dan didirikanlah bangunan baru, rumah paman dan nenek. Dulu kami tinggal di luar daerah, tetapi entah kenapa tiba-tiba almarhum ayah mengajak almarhum ibu dan kami pindah ke lahan itu juga.
Almarhum ayah pernah berkata, hal itu beliau lakukan atas permintaan nenek. Ayah pun membangun rumah huni di sisi lahan yang masing kosong. Perbandingan rumah di lahan tersebut adalah sebagai berikut:
· ½ bagian dari lahan tersebut dibangun rumah paman.
· ¼ nya dibangun rumah nenek yang ditempatinya bersama bibi yang (hilang akal sehatnya) serta bibi janda (anak pungut) dan kedua anaknya.
· ¼ bagian lagi dibangun almarhum ayah untuk rumah huni kami sekeluarga.
· Bibi (no. 3) diberikan lahan beserta rumah 7 km dari lahan ini.
Perlu Pak Ustadz ketahui, almarhum ayah pernah menanyakan apakah itu sudah pembagian masing-masing ataukah hanya sementara. Eh malah almarhum ayah dimusuhi oleh paman-paman, bibi-bibi dan juga nenek. Nenek mengatakan “Warisan itu belum dibagi”. Sampai-sampai kami yang saat itu masih kecil dimusuhi juga. Ditegur pun tak pernah. Bahkan tetangga-tetangga kami juga ikut dihasut agar membenci kami. Bertahun-tahun kami sekeluarga menjalani hidup seperti itu tanpa ada pembelaan dari siapapun. Almarhum ayah seperti anak yang terbuang, selalu dikucilkan dari lingkungan keluarga. Bahkan yang paling sadis, saat ayah menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit, tidak satu orang pun dari mereka yang melihat. Setelah jasad almarhum sampai di rumah, dan setelah tetangga-tetangga lain di sekitar rumah berdatangan, barulah mereka datang ke rumah.
Tepat 4 tahun setelah almarhum ayah dikebumikan, tepatnya pada saat ganti rugi pembebasan tanah oleh Negara untuk pelebaran jalan, barulah diketahui bahwa tanpa sepengetahuan ayah semasa hidup, nenek dan adik-adik ayah telah membuat 3 sertifikat baru atas lahan yang kami huni bersama sesuai ukuran rumah masing-masing (rumah paman, rumah nenek dan rumah ayah). Namun ketiga sertifikat tersebut atas nama nenek. Ketiga sertifikat tersebut sampai detik ini masih disimpan paman.
Tujuh tahun setelah ayah wafat, ibu pun menyusul. Maka, tinggallah kami bertiga. Susah senang kami jalani bersama tanpa ada dukungan dari siapapun. Saya (perempuan 28 th) memiliki dua adik laki-laki (26 th dan 24 th). Kami semua sudah bekerja, namun belum ada yang menikah. Bukankah kami sudah dewasa untuk diajak bicara, baik atau buruk. Kami pernah bertanya kepada nenek, apa status rumah yang kami huni itu? Beliau menyuruh kami untuk bertanya kepada paman. Namun, sang paman selalu menghindar dengan 1000 cara. Yang ingin kami tanyakan adalah:
1. Apakah benar tindakan nenek, paman dan bibi yang membuat 3 sertifikat baru atas nama nenek tanpa sepengetahuan ayah semasa hidup? Jika salah, tolong jelaskan bagaimana tata cara pembagian yang seharusnya menurut aturan Islam?
2. Apakah anak pungut juga mempunyai hak waris yang sama seperti anak kandung?
3. Apakah isteri dari paman dibolehkan berlaku dominan dalam urusan hak waris saudara kandung dari suaminya?
4. Apakah status kami dalam masalah pembagian harta warisa ayah?
Sekian dan terima kasih Pak Ustadz.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
D - ……
Jawaban
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
1. Terus terang, setelah membaca cerita Anda, saya belum tahu persis apakah tanah yang Anda anggap sebagai warisan kakek tersebut masih berstatus hak milik kakek atau sudah menjadi hak milik nenek. Sebab, Anda mengatakan bahwa sertifikat tanah tersebut atas nama orangtua perempuan dari ayah alias nenek. Berdasarkan kaidah “An-Naasu yahkumuuna bizh-zhawaahir wallaahu yahkumu bil-bawaathin” (Manusia menghukumi sesuatu berdasarkan hal-hal yang sifatnya lahiriah [bukti-bukti fisik], sedangkan Allah menghukumi sesuatu berdasarkan hal-hal yang sifatnya batiniyah), maka tanah tersebut bukan termasuk harta kakek, melainkan harta nenek karena sertifikatnya atas nama nenek.
Tetapi di kalangan masyarakat kita, terkadang pencantuman nama isteri dalam sertifikat tanah atau rumah suami hanya bersifat formalitas belaka, yang salah satu tujuannya untuk menghindari atau meminimalisir pajak. Jadi, pencantuman tersebut tidak berpengaruh terhadap pemindahan hak milik dari suami kepada isteri. Karenanya, perlu dilihat kembali apakah kakek benar-benar telah menghibahkan tanah tersebut kepada nenek dengan bukti pencantuman nama nenek dalam sertifikat tersebut, ataukah pencantuman itu hanya formalitas belaka?
Kedua hal tersebut jelas memiliki implikasi yang sangat berbeda. Bila kakek telah menghibahkan kepada nenek, maka tanah tersebut bukan lagi milik kakek sehingga ia tidak menjadi harta warisan sang kakek saat dia meninggal dunia. Ingat, pembicaraan mengenai harta (termasuk harta waris) tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai hak milik; siapa yang memiliki harta tersebut? Jika memang kakek telah menghibahkan kepada nenek, maka apa yang telah dilakukan nenek dengan membuat 3 sertifikat baru atas nama dirinya tidak salah, karena nenek berhak atas hak miliknya sendiri. Tetapi tidak bisa dibenarkan sepenuhnya, karena nenek tidak memberitahukan hal itu kepada ayah Anda padahal dia telah memberitahukannya kepada anak-anak yang lain.
Lain halnya bila ternyata pencantuman nama tersebut hanya formalitas belaka sehingga tidak berpengaruh terhadap perpindahan hak kepemilikan atas tanah tersebut dari kakek kepada nenek. Karena kakek tidak menghibahkan tanah tersebut kepada nenek, maka ia pun menjadi harta warisan kakek yang harus dibagikan kepada ahli warisnya secara adil dan sesuai ketentuan yang berlaku dalam hukum fara`idh (warisan). Bila memang demikian adanya, maka apa yang dilakukan nenek jelas tidak benar karena dia telah membuat sertifikat baru tanpa sepengetahuan ayah Anda yang juga termasuk salah satu ahli warisnya. Yang seharusnya dilakukan oleh nenek adalah membagi tanah tersebut dengan perhitungan sebagai berikut:
- Nenek (isteri kakek) mendapat 1/8 atau 0,125 karena ada anak
- Yang 7/8 (0,875) dibagi untuk 2 anak laki-laki (almarhum ayah Anda dan paman Anda) dan 2 puteri kandung kakek. Karena 1 bagian anak laki-laki = 2 bagian anak perempuan, maka 7/8 dibagi 3 = 0,2916666667. Itulah bagian untuk 1 anak laki-laki (termasuk ayah Anda), sedangkan bagian untuk 1 anak perempuan adalah 0,2916666667 dibagi 2 = 0,1458333334.
2. Anak pungut atau anak angkat bukan mrupakan ahli waris karena ia tidak memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan darah dengan si mayyit. Karenanya, Islam memberikan alternatif, apabila seseorang menginginkan agar anak angkatnya mendapat bagian dari harta yang akan ditinggalkannya nanti, maka dia dapat memberikannya melalui akad wasiat. Bila tidak ada wasiat, maka anak angkat tidak mendapat bagian sama sekali dari harta yang ditinggalkan. Tetapi perlu diingat, wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 dan tidak boleh diberikan kepada ahli waris.
2. Jelas tidak boleh, karena dia tidak memiliki hak sama sekali atas harta warisan tersebut.
3. Status Anda dan saudara Anda adalah sebagai ashabah, yaitu ahli waris yang mendapat sisa harta waris setelah dibagi untuk ahli waris yang lain. Dalam hal ini, ibu Anda (isteri ayah) mendapat 1/8. Dalam keterangan Anda di atas, Anda tidak secara tegas menyebutkan apakah nenek meninggal setelah ayah Anda ataukah sebelumnya. Bila nenek meninggal setelah ayah, maka nenek mendapat 1/6, setelah itu sisanya baru dibagi untuk Anda bertiga (dengan ketentuan 1 bagian anak laki-laki = 2 bagian anak perempuan). Tetapi bila nenek meninggal sebelum ayah, maka hanya dibagi untuk ibu Anda yaitu 1/8, sisanya untuk Anda bertig.
Demikian penjelasan dari saya. Mudah-mudahn bisa difahami dan dapat bermanfaat. Wallaahu A’lam… Fatkhurozi
Kamis, 17 Desember 2009
wajah seorang penipu
Serpihan yang tercecer di tahun 2009-nya ade anita.
Wajah seorang penipu
“Bu.. . itu ada tamu.” Aku segera membenahi pakaianku. Siapa orangnya yang ingin bertemu tanpa ada janji terlebih dahulu di waktu menjelang maghrib seperti ini. Sepuluh menit lagi azan akan berkumandang. Artinya, waktu buka akan segera tiba. Di bulan Ramadhan tahun 2009 ini, anggota keluarga yang ikut berpuasa hampir semuanya Alhamdulillah.
Ternyata perempuan itu. Wajahnya yang dekil terlihat sumringah begitu melihat hadirku. Tapi hanya sesaat karena sedetik kemudian, wajah itu kembali terlihat sendu. Aku mendengus membuang muakku di dalam keranjang sampah di dalam hatiku. Mau apa dia?
“Bu. Saya senang melihat ibu sehat-sehat saja. Saya selalu berdoa kepada Allah agar ibu baik-baik saja. Ibu beruntung banget dibanding saya yang terus menerus menderita.” Aku terdiam mendengar ceracaunya tanpa reaksi.
Tahun lalu, perempuan ini pernah datang ke rumah. Waktu itu suamiku sedang berada di luar kota. Perempuan ini datang sambil membawa tiga buah gelas belimbing, serta dua buah mangkuk dengan gambar ayam jago. Mangkuk yang biasa dipakai oleh para penjual bakso. Tapi bukan apa yang dibawanya itu yang membuatku dengan segera membuka pintu dan mempersilakannya duduk. Yang membuatku segera mempersilakannya duduk adalah air mata yang mengalir deras di pipinya yang kotor. Sedu sedannya begitu menyayat hati.
“Tolong saya bu. Saya nggak tahu mesti minta tolong sama siapa lagi. Tetangga sudah bosan memberi bantuan pada saya. Tapi memang bukan kehendak saya yang terus menerus tertimpa kemalangan.” Aku mengangsurkan sehelai tissue untuknya menghapus sungai yang mengalir deras di pipinya tersebut. Coreng kelabu di wajahnya mulai terhapus oleh air mata itu. Tapi itu malah membuat wajahnya terlihat semakin memelas. Menggelitik rasa iba yang semula tertidur pulas. Perempuan itu bercerita bahwa suaminya sakit keras. Tidak dapat berdiri dan hanya dapat tertidur saja di atas tempat tidur. Struk datang tanpa permisi. Sudah lama penyakit darah tinggi dan diabetes menggerogoti suaminya. Tapi ketidak adaan biaya membuat perempuan itu tidak dapat membawa suaminya pergi ke dokter. Sementara anak-anaknya, yang berjumlah tiga orang, hari itu tidak mau pergi sekolah karena malu sudah dua bulan terlambat bayar SPP.
Dunia memang terkadang amat kejam pada beberapa orang, tapi amat sangat manis dan empuk bagi beberapa orang yang lain. Kebetulan, perempuan di depanku ini merasakan sisi yang serba tidak enak.
“Ibu, belilah gelas dan mangkuk saya ini. Berapa saja ibu menebusnya saya akan terima. Saya benar-benar butuh uang untuk beli obat suami saya dan bayar SPP anak-anak saya. Kasihan suami saya bu. Dia tidak bisa makan apa-apa jika belum menebus obatnya, karena obat itu bisa membantunya menetralkan penyakitnya. Kasihani suami saya bu.” Perempuan itu lalu bersimpuh di kakiku. Membuatku risih dan memintanya untuk kembali duduk di bangku. Aku punya uang. Masih ada sisa uang belanja yang semula aku sisihkan untuk membeli baju renang bagi putriku. Baju renang muslimah agar aurat putriku tertutup jika dia ingin bermain-main di dalam air sekalipun.
“Ibu tinggal dimana?” Mulutku mencoba untuk mengulur waktu. Sementara otakku terus menyusun prioritas mana yang lebih utama, membantunya atau memenuhi kebutuhan putriku. Perempuan itu lalu menyebutkan sebuah alamat. Ternyata alamat yang disebutnya tidak jauh dari tempatku tinggal. Aku tanya lagi, siapa nama suaminya. Perempuan itu lalu menyebut nama suaminya, lengkap dengan nama tetangga rumahnya di kiri dan di kanan. Aku tahu mereka semua. Aku sering bertemu mereka di pengajian kampung. Lalu dengan Bismillah uang seratus ribupun lolos ke tangannya dan menolak semua gelas dan mangkuk yang dia tawarkan.
“Pakai saja. Di sini masih banyak gelas dan mangkuk. Ibu lebih membutuhkannya.” Bibir perempuan itu langsung gemetar mendengar penolakanku. Sekali lagi dia langsung duduk bersimpuh ingin mencium kakiku. Aku menolaknya dengan risih. Hatiku masih menangis membayangkan penderitaan yang harus dia pikul. Seorang istri yang tiba-tiba harus merawat suaminya yang tidak bisa apa-apa, dan rengekan anak-anaknya yang merongrong. Tanpa pekerjaan, tanpa penghasilan, dia masih berusaha untuk bertahan di atas bumi yang keras seperti cadas.
Lalu perempuan itu pergi pulang.
Lalu aku menyelesaikan masakanku. Selesai masak, aku jadi terpikir untuk mengirim masakanku sebagian ke rumahnya. Bukankah Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk berbuat baik pada tetangga? Maka dengan berjalan kaki dan membawa masakan serta beberapa keperluan sembako, aku berjalan kaki mencari alamat.
Sayangnya, hingga satu jam aku berputar-putar tidak ada seorang pun yang tahu perempuan dan suaminya. Bahkan hingga Pak RT datang dan mendengar penuturanku, tetap perempuan itu tidak diketahui keberadaannya. Aku mulai merasa tidak enak. Rasa sesak mulai menyerang. Sesak karena marah yang tiba-tiba naik ke atas kepala. Aku telah ditipu di siang bolong. Kurang ajar!
Keesokannya Pak RW menemuiku dan menanyakan perihal kabar yang beredar. Terpaksa dengan hati yang masih marah aku ceritakan pada beliau. Akhirnya terungkap. Benar saja, ada beberapa orang yang juga mengadukan hal yang sama. Perempuan itu ternyata bukan siluman yang bisa begitu saja menghilang. Dia memang pernah menjadi warga di daerah kami tapi akhirnya diusir karena sering menipu kiri kanan. Masih gadis tapi mengaku sudah bersuami. Belum pernah punya anak tapi mengaku anak-anaknya banyak dan merongrong. Yang lebih parah lagi, semua uang yang diperolehnya itu dipakainya untuk main judi. ARFGHHH….
Lalu bulan Ramadhan di tahun 2009 ini, perempuan itu datang lagi di depan pintuku. Masih dengan wajah memelas dan dandanan bedak debu yang cukup tebal.
“Ibu, terima kasih atas bantuannya waktu itu. Di bulan ramadhan ini bu, saya jadi terpikir, mungkin enak kali ya kalau dagang kolak. Kalau nggak habis, ada anak-anak yang bisa ngabisinnya.” Aku tidak tersenyum juga tidak menyapa. Tapi aku melihat kesumringahan di wajahnya.
“Bu… ingat tahun lalu ibu datang ke rumah saya dan bilang suami ibu sakit parah?”
‘Iya… iya, ingat. Sekarang dia sudah baikan bu. Sudah bisa tertawa lagi, tapi tetap nggak bisa bangun dari tempat tidur. Ya Cuma itu saja kebiasaannya, tertawa saja. Terima kasih banyak bu atas bantuannya. Cuma yang namanya hidup, saya tetap harus cari uang. Makanya, bantuin saya dong bu buat dagang kolak.” Aku mendengus tapi mencoba untuk bersabar. Sebentar lagi buka, sebentar lagi buka.
“Bu, tahun lalu, setelah ibu pulang, saya menyusul ke rumah ibu. Ternyata ibu penipu. Ibu belum menikah dan belum pernah punya anak. Saya nggak tahu gelas dan mangkuk siapa yang ibu bawa. Tapi ibu sudah menipu saya.” Luka lama itu terbuka lagi. Kali ini aku amat sangat ingin menangis, bukan karena perih tapi karena berusaha keras untuk menahan sabar karena sedang berpuasa. Dadaku sesak menahan bendungan tangis yang saya tahan. Bayangan detik detik azan maghrib yang sebentar lagi mengalun menguatkan pertahanan dinding beton yang terus saya pertebal, pertebal. Ah, kenapa harus bermain-main dengan emosi seorang perempuan. Tidak tahukah bahwa jumlah air yang mengalir di tubuh seorang perempuan sepenuhnya adalah air mata yang akan langsung bergejolak jika emosinya sudah dipermainkan? Aku terus menyabar-nyabarkan diri. Tidak boleh setitikpun air mata ini tumpah. Aku adalah wanita yang amat sangat ingin terlihat kuat dan tangguh. Meski sebenarnya amat sangat rapuh.
Perempuan itu terperangah menatap saya. “Kok, rajin banget sih pake nyamperin segala? Kayak nggak ada kerjaan.” lalu dengan seringai yang tidak jelas dia langsung membalikkan tubuhnya dan berjalan santai menuju pagar rumahku. Pergi begitu saja. Tanpa permisi, tanpa keluar kata maaf satu potong pun. Sementara aku terus menerus harus mengaduk campuran semen dan batu-batu kali, agar beton-beton kesabaranku tidak runtuh. Agar dinding-dinding bangunan bendunganku tidak kalah oleh volume tangis yang benar-benar sudah membludak memenuhi rongga dada.
Dan itulah ujian kesabaran yang paling berat yang harus saya hadapi di bulan ramadhan 1430 H ini (Agustus 2009).
Wajah seorang penipu
“Bu.. . itu ada tamu.” Aku segera membenahi pakaianku. Siapa orangnya yang ingin bertemu tanpa ada janji terlebih dahulu di waktu menjelang maghrib seperti ini. Sepuluh menit lagi azan akan berkumandang. Artinya, waktu buka akan segera tiba. Di bulan Ramadhan tahun 2009 ini, anggota keluarga yang ikut berpuasa hampir semuanya Alhamdulillah.
Ternyata perempuan itu. Wajahnya yang dekil terlihat sumringah begitu melihat hadirku. Tapi hanya sesaat karena sedetik kemudian, wajah itu kembali terlihat sendu. Aku mendengus membuang muakku di dalam keranjang sampah di dalam hatiku. Mau apa dia?
“Bu. Saya senang melihat ibu sehat-sehat saja. Saya selalu berdoa kepada Allah agar ibu baik-baik saja. Ibu beruntung banget dibanding saya yang terus menerus menderita.” Aku terdiam mendengar ceracaunya tanpa reaksi.
Tahun lalu, perempuan ini pernah datang ke rumah. Waktu itu suamiku sedang berada di luar kota. Perempuan ini datang sambil membawa tiga buah gelas belimbing, serta dua buah mangkuk dengan gambar ayam jago. Mangkuk yang biasa dipakai oleh para penjual bakso. Tapi bukan apa yang dibawanya itu yang membuatku dengan segera membuka pintu dan mempersilakannya duduk. Yang membuatku segera mempersilakannya duduk adalah air mata yang mengalir deras di pipinya yang kotor. Sedu sedannya begitu menyayat hati.
“Tolong saya bu. Saya nggak tahu mesti minta tolong sama siapa lagi. Tetangga sudah bosan memberi bantuan pada saya. Tapi memang bukan kehendak saya yang terus menerus tertimpa kemalangan.” Aku mengangsurkan sehelai tissue untuknya menghapus sungai yang mengalir deras di pipinya tersebut. Coreng kelabu di wajahnya mulai terhapus oleh air mata itu. Tapi itu malah membuat wajahnya terlihat semakin memelas. Menggelitik rasa iba yang semula tertidur pulas. Perempuan itu bercerita bahwa suaminya sakit keras. Tidak dapat berdiri dan hanya dapat tertidur saja di atas tempat tidur. Struk datang tanpa permisi. Sudah lama penyakit darah tinggi dan diabetes menggerogoti suaminya. Tapi ketidak adaan biaya membuat perempuan itu tidak dapat membawa suaminya pergi ke dokter. Sementara anak-anaknya, yang berjumlah tiga orang, hari itu tidak mau pergi sekolah karena malu sudah dua bulan terlambat bayar SPP.
Dunia memang terkadang amat kejam pada beberapa orang, tapi amat sangat manis dan empuk bagi beberapa orang yang lain. Kebetulan, perempuan di depanku ini merasakan sisi yang serba tidak enak.
“Ibu, belilah gelas dan mangkuk saya ini. Berapa saja ibu menebusnya saya akan terima. Saya benar-benar butuh uang untuk beli obat suami saya dan bayar SPP anak-anak saya. Kasihan suami saya bu. Dia tidak bisa makan apa-apa jika belum menebus obatnya, karena obat itu bisa membantunya menetralkan penyakitnya. Kasihani suami saya bu.” Perempuan itu lalu bersimpuh di kakiku. Membuatku risih dan memintanya untuk kembali duduk di bangku. Aku punya uang. Masih ada sisa uang belanja yang semula aku sisihkan untuk membeli baju renang bagi putriku. Baju renang muslimah agar aurat putriku tertutup jika dia ingin bermain-main di dalam air sekalipun.
“Ibu tinggal dimana?” Mulutku mencoba untuk mengulur waktu. Sementara otakku terus menyusun prioritas mana yang lebih utama, membantunya atau memenuhi kebutuhan putriku. Perempuan itu lalu menyebutkan sebuah alamat. Ternyata alamat yang disebutnya tidak jauh dari tempatku tinggal. Aku tanya lagi, siapa nama suaminya. Perempuan itu lalu menyebut nama suaminya, lengkap dengan nama tetangga rumahnya di kiri dan di kanan. Aku tahu mereka semua. Aku sering bertemu mereka di pengajian kampung. Lalu dengan Bismillah uang seratus ribupun lolos ke tangannya dan menolak semua gelas dan mangkuk yang dia tawarkan.
“Pakai saja. Di sini masih banyak gelas dan mangkuk. Ibu lebih membutuhkannya.” Bibir perempuan itu langsung gemetar mendengar penolakanku. Sekali lagi dia langsung duduk bersimpuh ingin mencium kakiku. Aku menolaknya dengan risih. Hatiku masih menangis membayangkan penderitaan yang harus dia pikul. Seorang istri yang tiba-tiba harus merawat suaminya yang tidak bisa apa-apa, dan rengekan anak-anaknya yang merongrong. Tanpa pekerjaan, tanpa penghasilan, dia masih berusaha untuk bertahan di atas bumi yang keras seperti cadas.
Lalu perempuan itu pergi pulang.
Lalu aku menyelesaikan masakanku. Selesai masak, aku jadi terpikir untuk mengirim masakanku sebagian ke rumahnya. Bukankah Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk berbuat baik pada tetangga? Maka dengan berjalan kaki dan membawa masakan serta beberapa keperluan sembako, aku berjalan kaki mencari alamat.
Sayangnya, hingga satu jam aku berputar-putar tidak ada seorang pun yang tahu perempuan dan suaminya. Bahkan hingga Pak RT datang dan mendengar penuturanku, tetap perempuan itu tidak diketahui keberadaannya. Aku mulai merasa tidak enak. Rasa sesak mulai menyerang. Sesak karena marah yang tiba-tiba naik ke atas kepala. Aku telah ditipu di siang bolong. Kurang ajar!
Keesokannya Pak RW menemuiku dan menanyakan perihal kabar yang beredar. Terpaksa dengan hati yang masih marah aku ceritakan pada beliau. Akhirnya terungkap. Benar saja, ada beberapa orang yang juga mengadukan hal yang sama. Perempuan itu ternyata bukan siluman yang bisa begitu saja menghilang. Dia memang pernah menjadi warga di daerah kami tapi akhirnya diusir karena sering menipu kiri kanan. Masih gadis tapi mengaku sudah bersuami. Belum pernah punya anak tapi mengaku anak-anaknya banyak dan merongrong. Yang lebih parah lagi, semua uang yang diperolehnya itu dipakainya untuk main judi. ARFGHHH….
Lalu bulan Ramadhan di tahun 2009 ini, perempuan itu datang lagi di depan pintuku. Masih dengan wajah memelas dan dandanan bedak debu yang cukup tebal.
“Ibu, terima kasih atas bantuannya waktu itu. Di bulan ramadhan ini bu, saya jadi terpikir, mungkin enak kali ya kalau dagang kolak. Kalau nggak habis, ada anak-anak yang bisa ngabisinnya.” Aku tidak tersenyum juga tidak menyapa. Tapi aku melihat kesumringahan di wajahnya.
“Bu… ingat tahun lalu ibu datang ke rumah saya dan bilang suami ibu sakit parah?”
‘Iya… iya, ingat. Sekarang dia sudah baikan bu. Sudah bisa tertawa lagi, tapi tetap nggak bisa bangun dari tempat tidur. Ya Cuma itu saja kebiasaannya, tertawa saja. Terima kasih banyak bu atas bantuannya. Cuma yang namanya hidup, saya tetap harus cari uang. Makanya, bantuin saya dong bu buat dagang kolak.” Aku mendengus tapi mencoba untuk bersabar. Sebentar lagi buka, sebentar lagi buka.
“Bu, tahun lalu, setelah ibu pulang, saya menyusul ke rumah ibu. Ternyata ibu penipu. Ibu belum menikah dan belum pernah punya anak. Saya nggak tahu gelas dan mangkuk siapa yang ibu bawa. Tapi ibu sudah menipu saya.” Luka lama itu terbuka lagi. Kali ini aku amat sangat ingin menangis, bukan karena perih tapi karena berusaha keras untuk menahan sabar karena sedang berpuasa. Dadaku sesak menahan bendungan tangis yang saya tahan. Bayangan detik detik azan maghrib yang sebentar lagi mengalun menguatkan pertahanan dinding beton yang terus saya pertebal, pertebal. Ah, kenapa harus bermain-main dengan emosi seorang perempuan. Tidak tahukah bahwa jumlah air yang mengalir di tubuh seorang perempuan sepenuhnya adalah air mata yang akan langsung bergejolak jika emosinya sudah dipermainkan? Aku terus menyabar-nyabarkan diri. Tidak boleh setitikpun air mata ini tumpah. Aku adalah wanita yang amat sangat ingin terlihat kuat dan tangguh. Meski sebenarnya amat sangat rapuh.
Perempuan itu terperangah menatap saya. “Kok, rajin banget sih pake nyamperin segala? Kayak nggak ada kerjaan.” lalu dengan seringai yang tidak jelas dia langsung membalikkan tubuhnya dan berjalan santai menuju pagar rumahku. Pergi begitu saja. Tanpa permisi, tanpa keluar kata maaf satu potong pun. Sementara aku terus menerus harus mengaduk campuran semen dan batu-batu kali, agar beton-beton kesabaranku tidak runtuh. Agar dinding-dinding bangunan bendunganku tidak kalah oleh volume tangis yang benar-benar sudah membludak memenuhi rongga dada.
Dan itulah ujian kesabaran yang paling berat yang harus saya hadapi di bulan ramadhan 1430 H ini (Agustus 2009).
Rabu, 16 Desember 2009
Warisan Orangtua 3
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Maaf Pak, saya mau ikut nanya. Warisan itu harus segera dibagikan, tetapi bagaimana kalau ada salah satu ahli waris yang tidak setuju? Ibu saya sudah meninggal 1 tahun yang lalu. Beliau meninggalkan 1 buah rumah yang dulunya merupakan warisan dari orangtuanya (nenek saya). Sementara ayah saya ikut menyumbang pembangunan rumah tersebut. Bagaimana pembagian warisannya? (Ahli waris: ayah saya, 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan).
Saat ini, rumah itu ditempati oleh ayah saya, keluarga kakak saya yang perempuan dan keluarga adik saya. Kakak saya yang perempuan tersebut merasa keberatan bila rumah itu dibagikan, padahal semua keluarga sudah sepakat untuk membaginya termasuk ayah saya. Bagaimana solusinya Pak? Terima kasih atas jawabannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
T - ……
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
1. Dari penjelasan Anda, nampaknya rumah itu memang hak milik ibu, karena ayah hanya sekedar membantu. Biasanya dalam hubungan antara suami isteri, kalau niatnya hanya sekedar membantu, maka hal itu tidak akan mempengaruhi kepemilikan kecuali bila ada perjanjian antara kedua belah pihak ketika hendak membangun rumah.
2. Solusi yang tepat dalam kasus yang Anda sampaikan ini sangat tergantung pada kondisi masing-masing ahli waris, terutama kebutuhan sang ayah akan tempat tinggal dan kebutuhan anak-anak akan bagian dari harta waris tersebut. Yang dimaksud dengan kebutuhan ayah akan tempat tinggal adalah, apakah setelah harta waris itu dibagi ada jaminan tempat tinggal untuk sang ayah ataukah tidak. Bila ada, maka sebaiknya harta waris itu dibagi secepatnya. Tetapi bila tidak ada, maka sebaiknya pembagian itu ditunda tetapi dengan catatan bagian masing-masing ahli waris sudah ditetapkan, bila perlu menggunakan bukti tertulis. Dalam hal ini, berlakulah prinsip syirkah jabar (perserikatan atas sesuatu secara paksa karena faktor warisan).
Adapun yang dimaksud dengan kebutuhan anak-anak akan bagian dari harta waris tersebut adalah, apakah kondisi anak-anak yang menjadi ahli waris itu sangat membutuhkan bagian tersebut, terutama untuk menunjang perokonomian keluarganya masing-masing? Bila memang ada yang membutuhkan, maka sebaiknya harta waris itu dibagi secepatnya. Tetapi bila tidak ada yang membutuhkan, maka bisa menggunakan prinsip syirkah jabar. Hanya saja melihat penjelasan Anda bahwa semua keluarga telah sepakat untuk membaginya termasuk ayah, kecuali kakak perempuan, maka menurut saya sebaiknya harta warisan itu dibagi secepatnya. Bicarakan kembali dengan ayah dan saudara-saudara Anda dengan mempertimbangkan hal-hal yang saya jelaskan di atas.
3. Bagian untuk masing-masing ahli waris adalah:
- Karena ada anak, maka ayah mendapat ¼ atau 0,25
- 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan mendapat ¾ atau 0,75
- Bagian 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan sama dengan bagian 3 anak laki-laki, karena 1 anak laki-laki sama dengan 2 anak perempuan. Jadi bagian untuk 1 anak laki-laki adalah: ¾ dibagi 3 = 0,25
- Sedangkan bagian 1 anak perempuan adalah 0,25 : 2 = 0,125
Wallaahu A’lam
Maaf Pak, saya mau ikut nanya. Warisan itu harus segera dibagikan, tetapi bagaimana kalau ada salah satu ahli waris yang tidak setuju? Ibu saya sudah meninggal 1 tahun yang lalu. Beliau meninggalkan 1 buah rumah yang dulunya merupakan warisan dari orangtuanya (nenek saya). Sementara ayah saya ikut menyumbang pembangunan rumah tersebut. Bagaimana pembagian warisannya? (Ahli waris: ayah saya, 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan).
Saat ini, rumah itu ditempati oleh ayah saya, keluarga kakak saya yang perempuan dan keluarga adik saya. Kakak saya yang perempuan tersebut merasa keberatan bila rumah itu dibagikan, padahal semua keluarga sudah sepakat untuk membaginya termasuk ayah saya. Bagaimana solusinya Pak? Terima kasih atas jawabannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
T - ……
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
1. Dari penjelasan Anda, nampaknya rumah itu memang hak milik ibu, karena ayah hanya sekedar membantu. Biasanya dalam hubungan antara suami isteri, kalau niatnya hanya sekedar membantu, maka hal itu tidak akan mempengaruhi kepemilikan kecuali bila ada perjanjian antara kedua belah pihak ketika hendak membangun rumah.
2. Solusi yang tepat dalam kasus yang Anda sampaikan ini sangat tergantung pada kondisi masing-masing ahli waris, terutama kebutuhan sang ayah akan tempat tinggal dan kebutuhan anak-anak akan bagian dari harta waris tersebut. Yang dimaksud dengan kebutuhan ayah akan tempat tinggal adalah, apakah setelah harta waris itu dibagi ada jaminan tempat tinggal untuk sang ayah ataukah tidak. Bila ada, maka sebaiknya harta waris itu dibagi secepatnya. Tetapi bila tidak ada, maka sebaiknya pembagian itu ditunda tetapi dengan catatan bagian masing-masing ahli waris sudah ditetapkan, bila perlu menggunakan bukti tertulis. Dalam hal ini, berlakulah prinsip syirkah jabar (perserikatan atas sesuatu secara paksa karena faktor warisan).
Adapun yang dimaksud dengan kebutuhan anak-anak akan bagian dari harta waris tersebut adalah, apakah kondisi anak-anak yang menjadi ahli waris itu sangat membutuhkan bagian tersebut, terutama untuk menunjang perokonomian keluarganya masing-masing? Bila memang ada yang membutuhkan, maka sebaiknya harta waris itu dibagi secepatnya. Tetapi bila tidak ada yang membutuhkan, maka bisa menggunakan prinsip syirkah jabar. Hanya saja melihat penjelasan Anda bahwa semua keluarga telah sepakat untuk membaginya termasuk ayah, kecuali kakak perempuan, maka menurut saya sebaiknya harta warisan itu dibagi secepatnya. Bicarakan kembali dengan ayah dan saudara-saudara Anda dengan mempertimbangkan hal-hal yang saya jelaskan di atas.
3. Bagian untuk masing-masing ahli waris adalah:
- Karena ada anak, maka ayah mendapat ¼ atau 0,25
- 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan mendapat ¾ atau 0,75
- Bagian 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan sama dengan bagian 3 anak laki-laki, karena 1 anak laki-laki sama dengan 2 anak perempuan. Jadi bagian untuk 1 anak laki-laki adalah: ¾ dibagi 3 = 0,25
- Sedangkan bagian 1 anak perempuan adalah 0,25 : 2 = 0,125
Wallaahu A’lam
Warisan Orangtua 2
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, ada seorang laki-laki meninggalkan warisan sebuah rumah. Ketika meninggal, dia meninggalkan seorang isteri, 5 orang anak (3 laki-laki dan 2 perempuan), 15 cucu dan 1 cicit. Sekarang anaknya yang perempuan dan cucunya yang perempuan sudah meninggal. Kini rumah itu hendak dijual. Yang ingin saya tanyakan adalah:
1. Bagaimana cara pembagian warisannya ketika rumah itu laku terjual dan sudah menjadi uang?
2. Apakah anaknya yang sudah meninggal tetap mendapatkan warisan?
3. Apakah cucunya juga mendapatkan warisan?
Saya minta penjelasan secara terperinci. Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
I - …..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara I, saya akan mencoba menjawab pertanyaan Anda satu persatu-satu. Mudah-mudahan dapat membantu:
1. Berdasarkan data yang Anda berikan, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah isteri dan 5 orang anak (3 laki-laki dan 2 perempuan). Karena ada anak, maka isteri mendapat 1/8 bagian atau 0.125; dan karena ada anak laki-laki, maka kelima anak tersebut menjadi ashabah (ahli waris yang mendapat sisa warisan setelah dibagi untuk ahli waris yang lain). Jadi kelima anak tersebut mendapat 7/8 bagian atau 0,875, dengan ketentuan bagian 1 anak laki-laki sama dengan bagian 2 anak perempuan (QS. An-Nisaa` [4]: 11). Berdasarkan ketentuan tersebut, bila ada 3 anak laki-laki dan 2 anak perempuan, maka itu sama saja dengan 4 anak laki-laki. Dengan demikian, maka 7/8 (0,875) dibagi 4, hasilnya 0,21875. Inilah bagian untuk 1 anak laki-laki. Sedangkan bagian untuk 1 anak perempuan adalah 0,21875 dibagi 2, hasilnya 0,109375.
Andaikata harga rumah tersebut 1 Milyar, maka perhitungannya adalah sebagai berikut:
- Isteri : 0,125 x 1.000.000.000 = Rp. 125.000.000,-
- 1 anak laki-laki : 0,21875 x 1.000.000.000 = Rp. 218.750.000,-
- 1 anak perempuan : 0,109375 x 1.000.000.000 = Rp. 109.375.000,-
2. Karena anak perempuan tersebut meninggal setelah meninggalnya sang ayah, hanya saja warisan sang ayah belum dibagi, maka dia berhak mendapat bagian yaitu 0,109375 atau Rp. 109.375.000,- (andaikata warisannya senilai 1 Milyar). Bila warisan itu sudah dibagi, maka bagian untuk anak tersebut diserahkan kepada ahli warisnya untuk dibagi.
3. Karena ada anak, maka cucu menjadi mahjub (tertutup) sehingga dia tidak berhak mendapat warisan.
Wallaahu A’lam….
Pak Ustadz, ada seorang laki-laki meninggalkan warisan sebuah rumah. Ketika meninggal, dia meninggalkan seorang isteri, 5 orang anak (3 laki-laki dan 2 perempuan), 15 cucu dan 1 cicit. Sekarang anaknya yang perempuan dan cucunya yang perempuan sudah meninggal. Kini rumah itu hendak dijual. Yang ingin saya tanyakan adalah:
1. Bagaimana cara pembagian warisannya ketika rumah itu laku terjual dan sudah menjadi uang?
2. Apakah anaknya yang sudah meninggal tetap mendapatkan warisan?
3. Apakah cucunya juga mendapatkan warisan?
Saya minta penjelasan secara terperinci. Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
I - …..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara I, saya akan mencoba menjawab pertanyaan Anda satu persatu-satu. Mudah-mudahan dapat membantu:
1. Berdasarkan data yang Anda berikan, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah isteri dan 5 orang anak (3 laki-laki dan 2 perempuan). Karena ada anak, maka isteri mendapat 1/8 bagian atau 0.125; dan karena ada anak laki-laki, maka kelima anak tersebut menjadi ashabah (ahli waris yang mendapat sisa warisan setelah dibagi untuk ahli waris yang lain). Jadi kelima anak tersebut mendapat 7/8 bagian atau 0,875, dengan ketentuan bagian 1 anak laki-laki sama dengan bagian 2 anak perempuan (QS. An-Nisaa` [4]: 11). Berdasarkan ketentuan tersebut, bila ada 3 anak laki-laki dan 2 anak perempuan, maka itu sama saja dengan 4 anak laki-laki. Dengan demikian, maka 7/8 (0,875) dibagi 4, hasilnya 0,21875. Inilah bagian untuk 1 anak laki-laki. Sedangkan bagian untuk 1 anak perempuan adalah 0,21875 dibagi 2, hasilnya 0,109375.
Andaikata harga rumah tersebut 1 Milyar, maka perhitungannya adalah sebagai berikut:
- Isteri : 0,125 x 1.000.000.000 = Rp. 125.000.000,-
- 1 anak laki-laki : 0,21875 x 1.000.000.000 = Rp. 218.750.000,-
- 1 anak perempuan : 0,109375 x 1.000.000.000 = Rp. 109.375.000,-
2. Karena anak perempuan tersebut meninggal setelah meninggalnya sang ayah, hanya saja warisan sang ayah belum dibagi, maka dia berhak mendapat bagian yaitu 0,109375 atau Rp. 109.375.000,- (andaikata warisannya senilai 1 Milyar). Bila warisan itu sudah dibagi, maka bagian untuk anak tersebut diserahkan kepada ahli warisnya untuk dibagi.
3. Karena ada anak, maka cucu menjadi mahjub (tertutup) sehingga dia tidak berhak mendapat warisan.
Wallaahu A’lam….
Suami Yang Pemurah Adalah Lebih Baik
Seorang wanita disunahkan dan dianjurkan untuk memilih suami yang pemurah dan sebisa mungkin menghindari suami yang bakhil, kikir dan sangat perhitungan. Diriwayatkan bahwa Mughirah bin Syu’bah ra. dan seorang pemuda Arab pernah melamar wanita yang sama. Pemuda itu adalah pemuda yang berparas tampan. Wanita yang dilamar itu pun mengirim surat kepada kedua laki-laki tersebut. Dia berkata: “Sesungguhnya kalian berdua telah melamarku, dan aku tidak akan memberikan jawaban kepada salah seorangpun di antara kalian berdua sebelum aku melihatnya dan mendengar perkataannya. Jika kalian mau, maka datanglah!”
Ketika Mughirah melihat pemuda pesaingnya itu, lalu dia mengetahui ketampanannya, penampilannya, serta usianya yang masih muda, dia pun merasa putus asa. Dia menyangka bahwa wanita itu tidak mungkin lebih memilih dirinya daripada pemuda tersebut. Karena itu, dia menghadap ke arah pemuda itu. Sungguh dia telah memikirkan (menemukan) jalan keluar. Dia pun bertanya kepada pemuda itu: “Sungguh engkau telah dikaruniai ketampanan, kegantengan dan kegagahan, tapi adakah hal lain yang engkau miliki?”
Pemuda itu menjawab: “Ya.” Lalu dia menyebutkan sejumlah kebaikan (kelebihan) yang dimilikinya, setelah itu dia pun diam. Mughirah ra. bertanya lagi kepadanya: “Bagaimana soal perhitunganmu (dalam masalah keuangan)?” Pemuda itu menjawab: “Tidak ada boleh sesuatupun yang jatuh (luput) dari pengawasanku. Bahkan, aku akan menghitung sesuatu yang lebih kecil daripada biji sawi!”
Mughirah berkata kepadanya: “Kalau aku, aku selalu meletakkan badrah (Footnote: Badrah adalah harta dalam jumlah yang cukup banyak. Ada pula yang berpendapat bahwa badrah adalah uang 10 ribu dirham.) di salah satu sudut rumah. Keluargaku bebas untuk membelanjakannya sesuka mereka. Aku sendiri tidak tahu bila badrah itu sudah habis kecuali bila mereka meminta kepadaku badrah yang lain.”
Mendengar itu, wanita tersebut berkata dalam hatinya: “Demi Allah, orang tua yang tidak terlalu perhitungan terhadapku lebih aku sukai daripada pemuda yang sangat perhitungan terhadapku, bahkan dalam masalah sekecil biji sawi.” Akhirnya, wanita itu pun menikah dengan Mughirah bin Syu’bah ra.. (Footnote: Tuhfah Al-‘Aruus, hal. 284, yang dikutip dari kitab Al-Adzkiyaa`, karya Ibnu Al-Jauzi.)
Ketika Mughirah melihat pemuda pesaingnya itu, lalu dia mengetahui ketampanannya, penampilannya, serta usianya yang masih muda, dia pun merasa putus asa. Dia menyangka bahwa wanita itu tidak mungkin lebih memilih dirinya daripada pemuda tersebut. Karena itu, dia menghadap ke arah pemuda itu. Sungguh dia telah memikirkan (menemukan) jalan keluar. Dia pun bertanya kepada pemuda itu: “Sungguh engkau telah dikaruniai ketampanan, kegantengan dan kegagahan, tapi adakah hal lain yang engkau miliki?”
Pemuda itu menjawab: “Ya.” Lalu dia menyebutkan sejumlah kebaikan (kelebihan) yang dimilikinya, setelah itu dia pun diam. Mughirah ra. bertanya lagi kepadanya: “Bagaimana soal perhitunganmu (dalam masalah keuangan)?” Pemuda itu menjawab: “Tidak ada boleh sesuatupun yang jatuh (luput) dari pengawasanku. Bahkan, aku akan menghitung sesuatu yang lebih kecil daripada biji sawi!”
Mughirah berkata kepadanya: “Kalau aku, aku selalu meletakkan badrah (Footnote: Badrah adalah harta dalam jumlah yang cukup banyak. Ada pula yang berpendapat bahwa badrah adalah uang 10 ribu dirham.) di salah satu sudut rumah. Keluargaku bebas untuk membelanjakannya sesuka mereka. Aku sendiri tidak tahu bila badrah itu sudah habis kecuali bila mereka meminta kepadaku badrah yang lain.”
Mendengar itu, wanita tersebut berkata dalam hatinya: “Demi Allah, orang tua yang tidak terlalu perhitungan terhadapku lebih aku sukai daripada pemuda yang sangat perhitungan terhadapku, bahkan dalam masalah sekecil biji sawi.” Akhirnya, wanita itu pun menikah dengan Mughirah bin Syu’bah ra.. (Footnote: Tuhfah Al-‘Aruus, hal. 284, yang dikutip dari kitab Al-Adzkiyaa`, karya Ibnu Al-Jauzi.)
Kamis, 10 Desember 2009
Warisan Orangtua
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Saya ingin bertanya tentang aturan warisan orangtua untuk anak-anaknya. Seandainya ada suatu keluarga besar, mereka mempunyai banyak anak perempuan dan anak laki-laki, dimana semuanya sudah menikah kecuali satu anak perempuan. Sang ayah mempunyai bisnis yang lancar dan dia meminta sang anak yang belum menikah untuk membantunya menjalankan usaha tersebut. Hingga akhirnya sang anak perempuan tersebut sudah cukup dipercaya untuk menjalankan usaha sang ayah sampai sang ayah meninggal dunia. Jadilah anak perempuan itu sebagai orang yang menjalankan usaha sang ayah hingga saat ini.
Suatu saat, salah seorang saudara laki-laki mereka yang sudah menikah mengalami kesulitan finansial. Dia terlilit hutang sana sini karena usahanya gagal, hingga anak laki-laki tersebut beserta isteri dan anak-anaknya diusir dari rumah kontrakan mereka karena tidak sanggup lagi membayar uang kontrakan. Akhirnya mereka menumpang di rumah salah satu saudaranya.
Yang ingin saya tanyakan, usaha yang dijalankan anak perempuan ini merupakan usaha sang ayah. Jadi, bukannya sudah menjadi kewajiban anak perempuan tersebut untuk menolong saudaranya yang sedang kesusahan? Karena setahu saya, orangtua tetap bertanggung jawab terhadap anak laki-lakinya sampai kapanpun, sementara usaha yang dijalankan itu adalah usaha sang ayah. Bagaimana jika anak perempuan itu tidak mau menolong karena dia menganggap penghasilan dari usaha itu merupakan miliknya dan hasil kerja kerasnya selama ini.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
N - …..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Dari penjelasan Anda, nampaknya harta sang ayah (dalam hal ini adalah usaha yang dijalankan tersebut) belum dibagi hingga sekarang, bahkan nampaknya belum ada pembicaraan di antara anak-anak yang ditinggalkan untuk membaginya. Sebab, penekanan Anda hanya pada tuntutan anak lak-laki yang sedang kesulitan itu, apakah dia berhak mendapatkan bantuan dari saudara perempuannya yang menjalankan usaha tersebut ataukah tidak. Padahal yang seharusnya menjadi penekanan adalah masalah pembagian harta warisan sang ayah, dimana semua anak berhak mendapatkan bagian dari harta warisan tersebut, tentunya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam ilmu faraa`idh (ilmu waris).
Bila seseorang meninggal dunia, maka sebaiknya pembagian harta warisan yang ditinggalkan dilakukan secepatnya, tentunya setelah kewajiban-kewajiban terhadap si mayit sudah dijalankan terlebih dahulu, seperti pengurusan jenazahnya, penunaian wasiatnya serta pelunasan hutang-hutangnya (bila ada), sesuai firman Allah swt.: “(Pembagian-pembagian tersebut di atas dilakukan) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” (QS. An-Nisaa` [4]: 11) Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi perselisihan di antara ahli waris di kemudian hari, karena persoalan harta waris merupakan persoalan yang sangat sensitif yang dapat menimbulkan perpecahan dan putusnya tali silaturahim antara seseorang dengan saudaranya atau dengan anggota-anggota keluarga lainnya bila tidak dilakukan dengan baik dan sesuai ketentuan yang berlaku. Upaya untuk mempercepat pembagian harta waris itu juga dimaksudkan untuk menghindari terjadinya percampurbauran antara harta si mayit dengan harta-harta yang lain, termasuk harta orang yang mengelolanya.
Dalam kasus yang Anda ceritakan di atas, semua anak berhak mendapatkan bagian dari harta waris tersebut. Bila tidak ada isteri dan orangtua dari ayah, maka semua anak menjadi pewaris seluruh harta sang ayah, dengan ketentuan anak laki-laki memperoleh dua bagian anak perempuan, sesuai firman Allah swt.: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisaa` [4]: 11) Tetapi bila ada isteri (isteri ayah), maka isteri mendapatkan 1/8, sementara yang 7/8 menjadi bagian semua anak, dengan ketentuan anak laki-laki memperoleh 2 bagian anak perempuan.
Karena yang ditinggalkan sang ayah berbentuk usaha, maka masing-masing ahli waris akan memperoleh saham sesuai bagian warisannya. Jadi usaha tersebut bukan hanya milik anak perempuan yang mengelolanya saja, melainkan milik semua ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, kecuali bila sebelum meninggal dunia sang ayah telah memberikan usaha tersebut kepada anak perempuan yang mengelolanya itu dengan menggunakan akad hadiah. Dalam hal ini, yang menjadi ahli waris adalah semua anak (laki-laki dan perempuan), isteri ayah (bila ada) dan orangtua ayah (bila ada).
Mengenai keengganan saudara perempuan itu untuk menolong, sebenarnya hal itu tidak ada kaitannya dengan masalah pembagian harta waris. Ia lebih terkait dengan aspek sosial dalam Islam, dimana seorang Muslim (yang mampu) diwajibkan untuk menolong saudaranya sesama Muslim yang sedang kesusahan, apalagi bila orang yang memerlukan pertolongan tersebut masih merupakan kerabatnya. Wallaahu A’lam….
Saya ingin bertanya tentang aturan warisan orangtua untuk anak-anaknya. Seandainya ada suatu keluarga besar, mereka mempunyai banyak anak perempuan dan anak laki-laki, dimana semuanya sudah menikah kecuali satu anak perempuan. Sang ayah mempunyai bisnis yang lancar dan dia meminta sang anak yang belum menikah untuk membantunya menjalankan usaha tersebut. Hingga akhirnya sang anak perempuan tersebut sudah cukup dipercaya untuk menjalankan usaha sang ayah sampai sang ayah meninggal dunia. Jadilah anak perempuan itu sebagai orang yang menjalankan usaha sang ayah hingga saat ini.
Suatu saat, salah seorang saudara laki-laki mereka yang sudah menikah mengalami kesulitan finansial. Dia terlilit hutang sana sini karena usahanya gagal, hingga anak laki-laki tersebut beserta isteri dan anak-anaknya diusir dari rumah kontrakan mereka karena tidak sanggup lagi membayar uang kontrakan. Akhirnya mereka menumpang di rumah salah satu saudaranya.
Yang ingin saya tanyakan, usaha yang dijalankan anak perempuan ini merupakan usaha sang ayah. Jadi, bukannya sudah menjadi kewajiban anak perempuan tersebut untuk menolong saudaranya yang sedang kesusahan? Karena setahu saya, orangtua tetap bertanggung jawab terhadap anak laki-lakinya sampai kapanpun, sementara usaha yang dijalankan itu adalah usaha sang ayah. Bagaimana jika anak perempuan itu tidak mau menolong karena dia menganggap penghasilan dari usaha itu merupakan miliknya dan hasil kerja kerasnya selama ini.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
N - …..
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Dari penjelasan Anda, nampaknya harta sang ayah (dalam hal ini adalah usaha yang dijalankan tersebut) belum dibagi hingga sekarang, bahkan nampaknya belum ada pembicaraan di antara anak-anak yang ditinggalkan untuk membaginya. Sebab, penekanan Anda hanya pada tuntutan anak lak-laki yang sedang kesulitan itu, apakah dia berhak mendapatkan bantuan dari saudara perempuannya yang menjalankan usaha tersebut ataukah tidak. Padahal yang seharusnya menjadi penekanan adalah masalah pembagian harta warisan sang ayah, dimana semua anak berhak mendapatkan bagian dari harta warisan tersebut, tentunya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam ilmu faraa`idh (ilmu waris).
Bila seseorang meninggal dunia, maka sebaiknya pembagian harta warisan yang ditinggalkan dilakukan secepatnya, tentunya setelah kewajiban-kewajiban terhadap si mayit sudah dijalankan terlebih dahulu, seperti pengurusan jenazahnya, penunaian wasiatnya serta pelunasan hutang-hutangnya (bila ada), sesuai firman Allah swt.: “(Pembagian-pembagian tersebut di atas dilakukan) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” (QS. An-Nisaa` [4]: 11) Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi perselisihan di antara ahli waris di kemudian hari, karena persoalan harta waris merupakan persoalan yang sangat sensitif yang dapat menimbulkan perpecahan dan putusnya tali silaturahim antara seseorang dengan saudaranya atau dengan anggota-anggota keluarga lainnya bila tidak dilakukan dengan baik dan sesuai ketentuan yang berlaku. Upaya untuk mempercepat pembagian harta waris itu juga dimaksudkan untuk menghindari terjadinya percampurbauran antara harta si mayit dengan harta-harta yang lain, termasuk harta orang yang mengelolanya.
Dalam kasus yang Anda ceritakan di atas, semua anak berhak mendapatkan bagian dari harta waris tersebut. Bila tidak ada isteri dan orangtua dari ayah, maka semua anak menjadi pewaris seluruh harta sang ayah, dengan ketentuan anak laki-laki memperoleh dua bagian anak perempuan, sesuai firman Allah swt.: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisaa` [4]: 11) Tetapi bila ada isteri (isteri ayah), maka isteri mendapatkan 1/8, sementara yang 7/8 menjadi bagian semua anak, dengan ketentuan anak laki-laki memperoleh 2 bagian anak perempuan.
Karena yang ditinggalkan sang ayah berbentuk usaha, maka masing-masing ahli waris akan memperoleh saham sesuai bagian warisannya. Jadi usaha tersebut bukan hanya milik anak perempuan yang mengelolanya saja, melainkan milik semua ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, kecuali bila sebelum meninggal dunia sang ayah telah memberikan usaha tersebut kepada anak perempuan yang mengelolanya itu dengan menggunakan akad hadiah. Dalam hal ini, yang menjadi ahli waris adalah semua anak (laki-laki dan perempuan), isteri ayah (bila ada) dan orangtua ayah (bila ada).
Mengenai keengganan saudara perempuan itu untuk menolong, sebenarnya hal itu tidak ada kaitannya dengan masalah pembagian harta waris. Ia lebih terkait dengan aspek sosial dalam Islam, dimana seorang Muslim (yang mampu) diwajibkan untuk menolong saudaranya sesama Muslim yang sedang kesusahan, apalagi bila orang yang memerlukan pertolongan tersebut masih merupakan kerabatnya. Wallaahu A’lam….
Doa Nabi Yunus bin Mata As.
Allah swt. mengutus Rasul-Nya yang bernama Yunus kepada penduduk Nainuni di negeri Moushol, Irak. Nabi Yunus mengajak mereka untuk menyembah Allah Yang Maha Esa, tetapi mereka mendustakan beliau dan mendurhakai perintahnya. Maka, beliau pergi kepada Tuhannya dalam keadaan marah (kepada kaumnya). Beliau naik sebuah bahtera di laut. Bahtera itu membawa mereka (para penumpangnya), tetapi (di tengah perjalanan), bahtera itu tergoncang hingga mereka semua hampir tenggelam. Mereka pun bermusyawarah, lalu mereka sepakat untuk mengadakan undian. Barangsiapa yang namanya keluar dalam undian itu, maka dia harus menceburkan diri ke dalam laut hingga semua orang yang ada di atas bahtera itu dapat selamat. Ternyata, nama yang keluar dalam undian itu adalah nama Rasulullah Yunus as., maka beliau terpaksa menceburkan dirinya ke laut.
Tidak lama kemudian, beliau ditelan oleh seekor ikan besar. Lalu Tuhan memerintahkan kepada ikan itu untuk tidak memakan daging Nabi Yunus sedikitpun dan tidak meremukkan satupun di antara tulang-tulangnya. Ketika Nabi Yunus telah berada di dalam perut ikan, lalu beliau meyakini bahwa dirinya masih hidup, beliau pun berseru di dalam sejumlah kegelapan; yaitu kegelapan perut ikan, kegelapan laut dan kegelapan malam: “Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Anbiyaa` [21]: 87) Maksudnya: Tidak ada yang dapat memberikan pertolongan kecuali Engkau, tidak ada yang dapat memberikan perlindungan kecuali Engkau, tidak ada yang dapat menyelamatkan diriku dari masalah yang sedang aku hadapi kecuali Engkau, tidak ada yang dapat menjauhkanku dari musibah ini kecuali Engkau, tidak ada yang dapat melapangkanku dari kesulitan yang aku hadapi kecuali Engkau, tidak ada yang dapat mengabulkan doaku kecuali Engkau, tidak ada yang dapat menghilangkan kesedihanku kecuali Engkau, tidak ada yang dapat memalingkanku dari kesusahanku kecuali Engkau, dan tidak ada yang menemaniku di dalam perut ikan ini kecuali Engkau. Maha Suci Engkau, sungguh Engkau Suci (Bersih) dari kezhaliman dan perbuatan yang sia-sia. Maha Suci Engkau, keburukan tidaklah pantas dinisbatkan kepada-Mu. Maha Suci Engkau, sungguh tidaklah pantas dikatakan kepada-Mu kecuali hal-hal yang baik.
Nabi Yunus as., kemudian, mensifati dirinya dengan mengatakan bahwa dirinya memiliki kekurangan dan telah melakukan kesalahan. Ini merupakan etika seorang nabi; Meskipun beliau sebenarnya tidak melakukan satu kesalahan atau dosa, namun seperti yang dikatakan dalam sebuah pepatah: “Kebaikan orang-orang yang baik (pada umumnya) adalah sebuah keburukan bagi orang-orang yang dekat (dengan Allah).”
Bagi orang-orang yang (berjiwa) besar, dosa-dosa kecil dianggapnya sebagai dosa-dosa besar #
Sementara bagi orang-orang yang (berjiwa) kecil, dosa-dosa besar dianggapnya sebagai dosa-dosa kecil.
Allah swt. pun mengabulkan doa Nabi Yunus as., memberikan kepadanya apa yang beliau minta, dan Allah tidak mengecewakannya. Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul, (ingatlah) ketika ia lari, ke kapal yang penuh muatan, kemudian ia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian, maka ia ditelah oleh ikan besar dalam keadaan tercela. Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (QS. Ash-Shaaffaat [37]: 139-144)
Tidak lama kemudian, beliau ditelan oleh seekor ikan besar. Lalu Tuhan memerintahkan kepada ikan itu untuk tidak memakan daging Nabi Yunus sedikitpun dan tidak meremukkan satupun di antara tulang-tulangnya. Ketika Nabi Yunus telah berada di dalam perut ikan, lalu beliau meyakini bahwa dirinya masih hidup, beliau pun berseru di dalam sejumlah kegelapan; yaitu kegelapan perut ikan, kegelapan laut dan kegelapan malam: “Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Anbiyaa` [21]: 87) Maksudnya: Tidak ada yang dapat memberikan pertolongan kecuali Engkau, tidak ada yang dapat memberikan perlindungan kecuali Engkau, tidak ada yang dapat menyelamatkan diriku dari masalah yang sedang aku hadapi kecuali Engkau, tidak ada yang dapat menjauhkanku dari musibah ini kecuali Engkau, tidak ada yang dapat melapangkanku dari kesulitan yang aku hadapi kecuali Engkau, tidak ada yang dapat mengabulkan doaku kecuali Engkau, tidak ada yang dapat menghilangkan kesedihanku kecuali Engkau, tidak ada yang dapat memalingkanku dari kesusahanku kecuali Engkau, dan tidak ada yang menemaniku di dalam perut ikan ini kecuali Engkau. Maha Suci Engkau, sungguh Engkau Suci (Bersih) dari kezhaliman dan perbuatan yang sia-sia. Maha Suci Engkau, keburukan tidaklah pantas dinisbatkan kepada-Mu. Maha Suci Engkau, sungguh tidaklah pantas dikatakan kepada-Mu kecuali hal-hal yang baik.
Nabi Yunus as., kemudian, mensifati dirinya dengan mengatakan bahwa dirinya memiliki kekurangan dan telah melakukan kesalahan. Ini merupakan etika seorang nabi; Meskipun beliau sebenarnya tidak melakukan satu kesalahan atau dosa, namun seperti yang dikatakan dalam sebuah pepatah: “Kebaikan orang-orang yang baik (pada umumnya) adalah sebuah keburukan bagi orang-orang yang dekat (dengan Allah).”
Bagi orang-orang yang (berjiwa) besar, dosa-dosa kecil dianggapnya sebagai dosa-dosa besar #
Sementara bagi orang-orang yang (berjiwa) kecil, dosa-dosa besar dianggapnya sebagai dosa-dosa kecil.
Allah swt. pun mengabulkan doa Nabi Yunus as., memberikan kepadanya apa yang beliau minta, dan Allah tidak mengecewakannya. Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul, (ingatlah) ketika ia lari, ke kapal yang penuh muatan, kemudian ia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian, maka ia ditelah oleh ikan besar dalam keadaan tercela. Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (QS. Ash-Shaaffaat [37]: 139-144)
Hukum Pengobatan Alternatif
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustad, mohon bantuannya. Saya mau tanya, Bapak mertua saya sedang sakit tumor dan udah dibawa ke dokter beberapa kali, tetapi belum ada tanda-tanda kesembuhan. Akhirnya, karena keterbatasan biaya, suami saya dan keluarga membawanya berobat ke tempat pengobatan alternatif di daerah Sukabumi. Pengobatan yang dilakukan adalah, bapak mertua saya masuk ke dalam sebuah ruangan ditemani dari jauh oleh adik ipar saya dan ibu mertua. Lalu perut Bapak mertua saya dibedah memakai pisau dengan membaca asma Allah. Tetapi anehnya, Bapak mertua tidak merasakan sakit sedikitpun ketika daging dan air dikeluarkan dari perutnya.
Anehnya lagi, setelah tindakan pembedahan itu selesai dilakukan, perut Bapak mertua kembali normal seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Menurut saya, hal itu sangat tidak masuk akal. Karenanya, saya khawatir orang yang mengobati tersebut bekerjasama dengan jin.
Nah, yang ingin saya tanyakan adalah apakah cara pengobatan yang dilakukan terhadap Bapak mertua saya itu dibolehkan? Sekedar informasi, kami sudah tidak punya biaya lagi untuk ke dokter, padahal kami sangat menginginkan kesembuhan bagi orangtua kami. Insya Allah bulan depan, suami saya akan kembali lagi membawa bapaknya untuk cek-up ke Sukabumi lagi. Mohon bantuannya Ustadz unTuk memberikan jawabannya. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih banyak, dan semoga Ustadz selalu dalam lindungan Allah swt.. Amin
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jawaban:
F - ….
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Kekhawatiran Anda bisa dimaklumi karena sebagai muslim, kita harus berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang diharamkan, termasuk dalam masalah pengobatan. Apalagi Rasulullah saw. pernah melarang kita untuk berobat dengan menggunakan sesuatu (obat atau pengobatan) yang haram. Termasuk ke dalam katagori pengobatan yang haram ini adalah pengobatan dengan menggunakan metode yang mengandung unsur-unsur syirik. Sebab sebagaimana diketahui, syirik adalah dosa yang paling besar di antara dosa-dosa besar lainnya. Apabila seseorang yang pernah berbuat syirik meninggal dunia sementara dirinya belum sempat bertaubat atas dosa tersebut, maka Allah tidak akan mengampuninya, sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Qur`an surah An-Nisaa ayat 48.
Mengenai pengobatan alternatif, memang ada sebagian orang yang diberi kelebihan oleh Allah swt. sehingga dia dapat mengobati orang lain seperti layaknya seorang dokter. Ada kalanya kelebihan itu datang sendiri dan ada kalanya kelebihan itu melalui sebuah proses pembelajaran. Tetapi perlu diingat, ada pula orang yang diberi kelebihan oleh Allah berupa istidraj, yang bertujuan untuk menyesatkan dirinya, seperti kelebihan yang dimiliki oleh para dukun. Jadi menurut saya, bila ada orang memiliki kelebihan bisa mengobati seperti yang Anda sebutkan di atas, tidak serta merta itu menggunakan bantuan jin. Untuk membedakannya, biasanya para ulama melihat apakah ada ritual-ritual yang menjurus kepada perbuatan syirik yang dilakukan oleh orang yang mengobati itu saat akan melakukan pengobatan, ataukah tidak. Ritual yang dimaksud seperti dengan menyembelih ayam cemani (ayam berwarna hitam), memakai kemenyan, memberikan sesajen, atau dengan menggunakan jenis-jenis ritual lainnya. Tetapi bila tidak ada ritual seperti itu, maka -menurut saya-, hal itu dibolehkan selama kita meyakini bahwa hanya Allah swt. yang Maha Menyembukan. Tabib hanyalah sebagai perantara saja, sama seperti dokter.
Satu lagi, biasanya untuk membedakannya, para ulama juga melihat amaliah orang yang mengobatinya. Maksudnya, apakah dia menjalankan syariat Allah (terutama shalat) dengan baik ataukah tidak?? Bila tidak, maka sebaiknya kita hindari. Perlu diketahui pula, dari kajian-kajian hadits yang pernah saya ikuti, alam jin sama seperti alam manusia. Ada jin yang mukmin dan ada pula jin yang kafir. Memang ada perbedaan pendapat mengenai hukum memperbantukan jin. Bagi ulama yang membolehkan, hal itu sama seperti kita memperbantukan seorang pembantu atau asisten dalam pekerjaan yang kita lakukan. Tetapi sekali lagi, asalkan tidak ada permintaan-permintaan tertentu dari jin tersebut yang diwujudkan dalam bentuk ritual-ritual yang menjurus ke perbuatan syirik. Demikian penjelasan sementara saya, mudah-mudahan dapat bermanfaat. Wallaahu A’lam….
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Ustad, mohon bantuannya. Saya mau tanya, Bapak mertua saya sedang sakit tumor dan udah dibawa ke dokter beberapa kali, tetapi belum ada tanda-tanda kesembuhan. Akhirnya, karena keterbatasan biaya, suami saya dan keluarga membawanya berobat ke tempat pengobatan alternatif di daerah Sukabumi. Pengobatan yang dilakukan adalah, bapak mertua saya masuk ke dalam sebuah ruangan ditemani dari jauh oleh adik ipar saya dan ibu mertua. Lalu perut Bapak mertua saya dibedah memakai pisau dengan membaca asma Allah. Tetapi anehnya, Bapak mertua tidak merasakan sakit sedikitpun ketika daging dan air dikeluarkan dari perutnya.
Anehnya lagi, setelah tindakan pembedahan itu selesai dilakukan, perut Bapak mertua kembali normal seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Menurut saya, hal itu sangat tidak masuk akal. Karenanya, saya khawatir orang yang mengobati tersebut bekerjasama dengan jin.
Nah, yang ingin saya tanyakan adalah apakah cara pengobatan yang dilakukan terhadap Bapak mertua saya itu dibolehkan? Sekedar informasi, kami sudah tidak punya biaya lagi untuk ke dokter, padahal kami sangat menginginkan kesembuhan bagi orangtua kami. Insya Allah bulan depan, suami saya akan kembali lagi membawa bapaknya untuk cek-up ke Sukabumi lagi. Mohon bantuannya Ustadz unTuk memberikan jawabannya. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih banyak, dan semoga Ustadz selalu dalam lindungan Allah swt.. Amin
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jawaban:
F - ….
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Kekhawatiran Anda bisa dimaklumi karena sebagai muslim, kita harus berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang diharamkan, termasuk dalam masalah pengobatan. Apalagi Rasulullah saw. pernah melarang kita untuk berobat dengan menggunakan sesuatu (obat atau pengobatan) yang haram. Termasuk ke dalam katagori pengobatan yang haram ini adalah pengobatan dengan menggunakan metode yang mengandung unsur-unsur syirik. Sebab sebagaimana diketahui, syirik adalah dosa yang paling besar di antara dosa-dosa besar lainnya. Apabila seseorang yang pernah berbuat syirik meninggal dunia sementara dirinya belum sempat bertaubat atas dosa tersebut, maka Allah tidak akan mengampuninya, sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Qur`an surah An-Nisaa ayat 48.
Mengenai pengobatan alternatif, memang ada sebagian orang yang diberi kelebihan oleh Allah swt. sehingga dia dapat mengobati orang lain seperti layaknya seorang dokter. Ada kalanya kelebihan itu datang sendiri dan ada kalanya kelebihan itu melalui sebuah proses pembelajaran. Tetapi perlu diingat, ada pula orang yang diberi kelebihan oleh Allah berupa istidraj, yang bertujuan untuk menyesatkan dirinya, seperti kelebihan yang dimiliki oleh para dukun. Jadi menurut saya, bila ada orang memiliki kelebihan bisa mengobati seperti yang Anda sebutkan di atas, tidak serta merta itu menggunakan bantuan jin. Untuk membedakannya, biasanya para ulama melihat apakah ada ritual-ritual yang menjurus kepada perbuatan syirik yang dilakukan oleh orang yang mengobati itu saat akan melakukan pengobatan, ataukah tidak. Ritual yang dimaksud seperti dengan menyembelih ayam cemani (ayam berwarna hitam), memakai kemenyan, memberikan sesajen, atau dengan menggunakan jenis-jenis ritual lainnya. Tetapi bila tidak ada ritual seperti itu, maka -menurut saya-, hal itu dibolehkan selama kita meyakini bahwa hanya Allah swt. yang Maha Menyembukan. Tabib hanyalah sebagai perantara saja, sama seperti dokter.
Satu lagi, biasanya untuk membedakannya, para ulama juga melihat amaliah orang yang mengobatinya. Maksudnya, apakah dia menjalankan syariat Allah (terutama shalat) dengan baik ataukah tidak?? Bila tidak, maka sebaiknya kita hindari. Perlu diketahui pula, dari kajian-kajian hadits yang pernah saya ikuti, alam jin sama seperti alam manusia. Ada jin yang mukmin dan ada pula jin yang kafir. Memang ada perbedaan pendapat mengenai hukum memperbantukan jin. Bagi ulama yang membolehkan, hal itu sama seperti kita memperbantukan seorang pembantu atau asisten dalam pekerjaan yang kita lakukan. Tetapi sekali lagi, asalkan tidak ada permintaan-permintaan tertentu dari jin tersebut yang diwujudkan dalam bentuk ritual-ritual yang menjurus ke perbuatan syirik. Demikian penjelasan sementara saya, mudah-mudahan dapat bermanfaat. Wallaahu A’lam….
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Menjaga Kemaluan
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Yassar bahwa dia pernah keluar dari Madinah untuk menunaikan ibadah haji. Dia pergi bersama seorang temannya. Mereka berdua singgah di sebuah tempat yang bernama Abwa`. (Footnote: Sebuah tempat yang berada di dekat Madinah) Sesaat setelah singgah di sana, sang teman pergi ke pasar untuk membeli sesuatu, sementara Sulaiman tinggal seorang diri di dalam tenda. Sulaiman termasuk orang yang berparas paling tampan dan menarik. Tiba-tiba ada seorang wanita badui yang melihatnya dari puncak bukit. Wanita itu pun turun untuk menghampiri Sulaiman hingga akhirnya dia berdiri di hadapan Sulaiman. Dia memakai kain penutup wajah, tetapi (sesampainya di hadapan Sulaiman) dia pun membuka penutup wajahnya itu, dan ternyata wajahnya itu seperti belahan bulan.
Dia berkata: ‘Senangkanlah hatiku!’ Sulaiman mengira bahwa wanita itu menginginkan makanan, maka dia pun segera mengambil makanan sisa bekal perjalanan dengan maksud untuk diberikan kepada wanita itu. Tetapi wanita itu justru berkata: “Aku tidak menginginkan makanan ini, tetapi aku menginginkan apa yang biasa dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap isterinya (maksudnya, berhubungan badan).” Sulaiman pun berkata kepadanya: “Semoga Allah menjadikanmu bodoh!” Kemudian Sulaiman meletakkan kepalanya di antara kedua lututnya, lalu dia pun menangis tersedu-sedu. Tak henti-hentinya dia menangis, hingga ketika wanita itu melihat hal tersebut, dia pun segera memakai kembali penutup wajahnya, dan setelah itu dia pergi hingga dia sampai di rumah keluarganya.
Tidak lama kemudian, teman Sulaiman datang. Dia melihat Sulaiman sedang menangis, maka dia pun menanyakan kepada Sulaiman apa yang membuatnya menangis. Sulaiman memberitahukan kepada temannya itu kabar (berita) tentang wanita badui tadi. Mendengar penjelasan Sulaiman, sang teman langsung duduk, lalu dia menangis dengan suara yang sangat keras. Sulaiman bertanya kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Sulaiman menjawab: “Sungguh aku lebih pantas untuk menangis daripada kamu, karena aku khawatir bila aku berada pada posisimu niscaya aku tidak akan kuat untuk menghadapi godaan seperti itu.”
Sesampainya Sulaiman di Mekkah, dia segera menunaikan ibadah Sa’i dan Thawaf. Kemudian dia mendatangi Hijir Ismail. Di sana, kedua matanya terasa mengantuk hingga akhirnya dia pun tertidur. Dalam tidurnya itu, dia bermimpi melihat seorang laki-laki yang sangat tampan dan berbau wangi. Sulaiman pun bertanya kepadanya: “Siapakah kamu?” Laki-laki itu menjawab: “Aku adalah Yusuf.” Sulaiman bertanya: “Apakah maksudnya Yusuf Ash-Shiddiq (Nabi Yusuf)?” Laki-laki itu menjawab: “Ya.” Sulaiman berkata: “Sungguh apa yang telah engkau lakukan ketika menghadapi isteri Al-Aziz, Zulaikha, begitu menakjubkan!” Nabi Yusuf as. pun berkata kepada Sulaiman: “Sungguh apa yang kamu lakukan ketika menghadapi wanita badui itu lebih menakjubkan!”
Dia berkata: ‘Senangkanlah hatiku!’ Sulaiman mengira bahwa wanita itu menginginkan makanan, maka dia pun segera mengambil makanan sisa bekal perjalanan dengan maksud untuk diberikan kepada wanita itu. Tetapi wanita itu justru berkata: “Aku tidak menginginkan makanan ini, tetapi aku menginginkan apa yang biasa dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap isterinya (maksudnya, berhubungan badan).” Sulaiman pun berkata kepadanya: “Semoga Allah menjadikanmu bodoh!” Kemudian Sulaiman meletakkan kepalanya di antara kedua lututnya, lalu dia pun menangis tersedu-sedu. Tak henti-hentinya dia menangis, hingga ketika wanita itu melihat hal tersebut, dia pun segera memakai kembali penutup wajahnya, dan setelah itu dia pergi hingga dia sampai di rumah keluarganya.
Tidak lama kemudian, teman Sulaiman datang. Dia melihat Sulaiman sedang menangis, maka dia pun menanyakan kepada Sulaiman apa yang membuatnya menangis. Sulaiman memberitahukan kepada temannya itu kabar (berita) tentang wanita badui tadi. Mendengar penjelasan Sulaiman, sang teman langsung duduk, lalu dia menangis dengan suara yang sangat keras. Sulaiman bertanya kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Sulaiman menjawab: “Sungguh aku lebih pantas untuk menangis daripada kamu, karena aku khawatir bila aku berada pada posisimu niscaya aku tidak akan kuat untuk menghadapi godaan seperti itu.”
Sesampainya Sulaiman di Mekkah, dia segera menunaikan ibadah Sa’i dan Thawaf. Kemudian dia mendatangi Hijir Ismail. Di sana, kedua matanya terasa mengantuk hingga akhirnya dia pun tertidur. Dalam tidurnya itu, dia bermimpi melihat seorang laki-laki yang sangat tampan dan berbau wangi. Sulaiman pun bertanya kepadanya: “Siapakah kamu?” Laki-laki itu menjawab: “Aku adalah Yusuf.” Sulaiman bertanya: “Apakah maksudnya Yusuf Ash-Shiddiq (Nabi Yusuf)?” Laki-laki itu menjawab: “Ya.” Sulaiman berkata: “Sungguh apa yang telah engkau lakukan ketika menghadapi isteri Al-Aziz, Zulaikha, begitu menakjubkan!” Nabi Yusuf as. pun berkata kepada Sulaiman: “Sungguh apa yang kamu lakukan ketika menghadapi wanita badui itu lebih menakjubkan!”
Langganan:
Postingan (Atom)